LOGIKA
Oleh: Drs. Sudadi, M.Hum.
A.
PENDAHULUAN
Logika merupakan cabang filsafat yang
bersifat praktis berpangkal pada penalaran, sekaligus juga sebagai dasar
filsafat. Oleh karena itu, untuk berfilsafat yang baik harus dilandasi logika,
supaya penalarannya logis dan kritis. Logika juga sebagai sarana ilmu, hal ini
bisa disamakan dengan matematik dan statistic, sebab semua ilmu mesti didukung
dengan penalaran logis dan sistematis yang merupakan sebagian syarat dari sifat
ilmiah.
PENGETAHUAN MANUSIA
Macam Pengetahuan
|
Objek
|
Paradigma
|
Metode
|
Ukuran
|
Sains
Filsafat
Mistik
|
Empiris
Abstrak & Logis
Abstrak & Supralogis
|
Postivistis
Logis
Mistis
|
Sains
Rasio
Latihan & Mistik
|
Logis dan bukti empiris
Logis
Rasa yakin, kadang kadang empiris
|
1. Pengertian
Logika
Filsafat tidak memberikan jawaban
atas pemecahan persoalan filsafat dengan suatu jawaban yang dapat diuji
kebenarannya dengan metode empiris atau yang dapat dibuktikan dengan pengujan-
pengujian eksperimental. Pemecahan terhadap persoalan filsafat hanya dapat
dilakukan melalui pemikiran yang sungguh-sungguh dan sampai ke akar-akarnya.
Walaupun demikian, jawaban yang diajukan haruslah dengan deskusi yang masuk
akal. Pendek kata, bahwa keberlangsungan filsafat harus didukung dengan adanya
penalaran (reasoning) dan perbincangan (argument). Hal di atas
dibicarakan dalam logika. Untuk memahami pengertian logika dapat dilihat dari
sejarah istilah logika dan arti logika dari pendapat para filsuf maupun
ilmiawan.
2.Sejarah Istilah Logika
Perkataan logika diturunkan
dari kata sifat logike, dari bahasa Yunani, yang berhubungan dengan kata benda
logos, berarti pikiran atau perkataan sebagai pernyataan dari pikiran. Hal ini
membuktikan bahwa ternyata ada hubungan yang erat antara pikiran dan perkataan
yang merupakan pernyataan dalam bahasa.
Nama
logika untuk pertama kali muncul pada filsuf Cicero (abad ke-1 Sebelum Masehi),
tetapi dalam arti seni berdebat. Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan abad
ke-3 Sesudah Masehi) adalah orang pertama yang mempergunakan kata logika dalam
arti ilmu yang menyelidiki lurus tidak nya pemikiran manusia (K. Bertens, 1975:
137-138). Di samping dua filsuf yang telah disebutkan di atas, Aristoteles pun
telah berjasa dalam menemukan logika. Namun, Aristpteles belum memakai nama
logika. Aristoteles memakai istilah analitika dan dialektika. Analitika untuk
penyelidikan mengenai berbagai argumentasi yang bertitik tolak dari putusan
putusan yang benar, sedangkan dialektika untuk penyelidikan mengenai
argumentasi argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis putusan yang tidak
pasti kebenarannya (K. Bertens, 1975: 138).
Aristoteles membagi ilmu pengetahuan atas tiga golongan, yaitu
ilmu pengetahuan praktis, ilmu pengetahuan produktif, dan ilmu pengetahuan
teoritis. Ilmu pengetahuan produktif berakaitan dengan pengetahuan yang sanggup
menghasilkan suatu karya (teknik dan kesenian). Ilmu pengetahuan praktis
meliputi etika dan politika. Sedangkan ilmu pengetahuan teoritis mencakup tiga
bidang, yakni: fisika, matetatika, dan fisafat pertama (metafisika). Logika
tidak termasuk ilmu pengetahuan sendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan
sebagai persiapan untuk berpikir dengan cara ilmiah. (Bertens, 1975: 138).
Sepeninggalnya
Aristoteles, naskah naskah ajarannya tentang penalaran, oleh para pengikutnya
telah dihimpun menjadi satu. Himpunan tersebut oleh para pengikut Aristoteles
disebut dengan istilah Organon. Ajaran Aristoteles tentang penalaran termuat
dalam enam buah naskah sbb.:
1.
Categories, yang dibahas tentang cara menguraikan sesuatu objek dalam jenis
jenis pengertian umum.
2.
On Interpretation (tentang penafsiran), yang dibahas tentang komposisi dan hibungan dari keterangan
keterangan sebagai satuan pikiran. Dalam hal ini Aristoteles membahas segala
sesuatu yang dikenal sebagai penyimpulan langsung dan bujur sangkar
pertentangan.
3.
Prior Analyties (analitika yang lebih dahulu), memuat tentang teori silogisme dalam ragam dan pola polanya.
4.
Posterior Analyties (analitika yang lebih dahulu), membicarakan tentang pelaksanaan dan penerapan, penalaran silogistis
dalam pembuktian ilmiah sebagai materi dari silogisme.
5.
Topics (mengupas dialektika), yang dibahas tentang persoalan dalam perbincangan berdasarkan
premis premis yang boleh jadi benar.
6.
Sophistical Refutations (cara perbincangan kaum sofis), membahas tentang sifat sadar dan penggolongan sesat pikir
(Sirajiyo dkk, 2015: 4).
Di samping ajaran mengenai penalaran di atas, Aristoteles juga
mengemukakan ajaran tentang pembagian pengetahuan rasional (episteme). Seluruh
kumpulan pengetahuan rasional dibaginua ke dalam rincian sebagai berikut:
PENGETAHUAN
RASIONAL ((EPESTEME)
1.
Pengetahuan Praktis
2.
Pengetahuan Produktif
3.
Pengetahuan Teoritis
Pengetahuan Praktis
1.1.
Ekonomi
1.2.
Etika
1.3.
Politik
Pengetahuan Produktif
2.1.
Pengetahuan Produktif
Pengetahuan Teoritis
3.1.
Matematika
3.2.
Fisika
3.3.
Filsafat Pertama
Menurut Aristoteles, filsafat pertama (prote philosophia) adalah
ilmu tentang peradaan sebagai peradaan. Pengetahuan teoritis jenis ini kemudian
dikenal dengan nama metafisika. Sedangkan Analitika dan Dialektika leh
Aristoteles tidak dimasukkan ke dalam pembagian pengetahuan rasional, sebab
bagi Aristoteles kedua hal tersebut dianggap sebagai alat di luar Episteme yang
justru diperlukan untuk mempelajari kumpulan pengetahuan tersebut. Karena dianggap
sebagai alat ilmu itulah maka himpunan mengenai karya tentang penalaran oleh
para pengikut Aristoteles kemudian disebut Organon.
Dalam abab pertengahan otoritas
Aristoteles diakui sedemikian tingginya, sehingga karya karya logikanya lalu
diwajibkan untuk dipelajari dalam pendidikan untuk warga bebas. Dalam abad
pertengahan juga dikenal ada istilah bahasa Latin, yakni Ars yang mempunyai
pengertian meliputi usaha mencari pengetahuan, ilmu teoritis, dan ilmu praktis,
serta seni kerajinan. Dengan meneruskan konsepsi klasik tentang corak
pendidikan yang dianggap cocok bagi para warga “bebas” yang dilahirkan merdeka,
dalam abad pertengahan dikenl adanya Artes Liberalis yang “logika”
termasuk di dalanya. Studi ini meliputi tujuh macam pengetahuan atau pelajaran
yang oleh Martinus dibaginya menjadi dua kelompok yang kemudian dikenal dengan
istilah Quadrium dan Trivium (The Liang Gie, dkk., 1980:
32).
Adapun rinciannya adalah sebagai
berikut:
STUDI BEBAS (ARTES LIBERALIS) Terdiri:
1. Quadrium
(empat serangkai), yakni:
a.Aritmetik
b.Astronomi
c.Geometri
d.Teori
Musik
2. Trivium
(tiga serangkai)
a.Gramatika
b.Retorika
c.Logika
jadi, kalau pada jaman Yuanani Kuno,
logika oleh Aristoteles dianggap sebagai suatu jenis pengetahuan yang
berkedudukan di luar semua jenis pengetahuan rasional, dalam abad Pertengahan
logika telah mulai dianggap sebagai satu di antara pelbagai ilmu pengetahuan.
Dalam perkembangan selanjutnya,
ternyata “logika” pada umumnya dipandang sebagai salah satu cabang filsafat.
Ini terbukti dari pembagian filsafat yang banyak dilakukan para ahli filsafat
dan filsuf yang selalu memasukkan “logika” termasuk dalam cabang filsafat, di
antaranya sebagai berikut:
a.
Louis O. Kattsoff menyebutnya
bahwa cabang cabang filsafat adalah: logika, metodologi, metafisika,
epistemology, filsafat biologi, filsafat psikologi, filsafat antropologi,
filsafat sosiologi, etika, estetika, dan filsafat agama.
b.
The Liang Gie membagi filsafat sistematis menjadi:
1. Metafisika (filsafat tentang hal ada; 2. Epistemology (filsafat/ teori
pengetahuan); 3. Metodologi (teori tentang metode); 4. Logika (teori tentang
penyimpulan); 5. Etika (filsafat tentang pertimbangan moral); 6. Estetika
(filsafat tentang keindahan); 7. Sejarah filsafat (Lasiyo dan Yuwono, 1985:
19).
c.
Ir. Poedjawijatno membagi
filsafat menjadi: ontologia; theodicea; ontropologia; metaphysica; ethica;
logica (minor dan mayor); dan aesthetica.
d.
Plato membedakan lapangan filsafat ke
dalam tiga cabang, yakni: dialektika; fisika; dan etika.
e.
Aristoteles merumuskan filsafat ke dalam empat
cabang berikut:
1). Logika. Ilmu ini bagi Aristoteles
dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.
2). Filsafat teoritis.
Dalam cabang ini meliputi tiga cabang ilmu,
yakni:
a). ilmu fisika yang mempersoalkan dunia
materi dari alam nyata.
b). ilmu matematika yang mempersoalkan benda
benda alam dalam kuantitasnya/ jumlahnya.
c). ilmu metafisika yang mempersoalkan
tentang hakikat segala sesuatu. Menurut Aristoteles ilmu metafisika ini yang
paling utama dari filsafat, atau disebut intinya filsafat.
3). Filsafat Praktis.
Dalam cabang ini mencakup tiga macam ilmu,
yakni:
a). ilmu etika yang mengatur kesusilaan dan
kebahagiaan dalam hidup perseorangan.
b). ilmu ekonomi yang mengatur kesusilaan dan
kemakmuran dalam keluarga/ rumah tangga.
c). ilmu politik yang mengatur kesusilaan dan
kemakmuran dalam Negara.
4). Filsafat poetika (kesenian) (Hasbullah
Bakry, 1986: 15).
Dari pembagian cabang filsafat
menurut beberapa tokoh di atas, tampak luas bidang yang menanggapi persoalan
kefilsafatan. Oleh debab itu, karena sangat luasnya cakupan filsafat, maka
sering ada beberapa kesulitan untuk membahas setiap masalah sampai selesai/
tuntas.
Berdasarkan tiga jenis persoalan
filsafat yang utama, yakni persoalan tentang keberadaan, persoalan tentang
pengetahuan, dan persoalan tentang nilai nilai, maka cabang filsafat adalah:
1.
Dimensi ontologis atau persoalan
tentang keberadaan (being) atau juga eksistensi (existence). Persoalan
yang terkandung pada cabang filsafat ini, yakni metafisika.
2.
Dimensi epistemologis atau persoalan
pengetahuan (knowledge) atau juga kebenaran (truth). Pengetahuan
ditinjau dari segi isinya bersangkutan dengan cabang filsafat, yakni
epistemology. Adapun kebenaran ditinjau dari segi bentuknya berangkutan dengan
cabang filsafat, yakni logika.
3.
Dimensi aksiologis atau persoalan
nilai nilai (values). Hal ini nilai nilai dibedakan menjadi dua, yakni: nilai nilai kebaikan
tingkah laku, dan nilai nilai keindahan. Nilai nilai kebaikan tingkah laku
bersangkutan dengan cabang filsafat, yaitu: etika. Nilai nilai keindahan
bersangkutan dengan cabang filsafat, yaitu: estetika.
Berdasarkan
jenis persoalan di atas, bahwa logika termasuk salah satu cabang dari filsafat yang
membahas mengenai pengetahuan atau kebenaran ditinjau dari segi bentuknya.
3.Definisi Logika
Istilah ‘logika” telah banyak mendapat perhatian dari beberapa
kalangan yang hususnya di Indonesia. Berikut beberapa definisi logika, yakni:
1). Hasbullah Bakry mengatakan, bahwa logika adalah ilmu pengetahuan yang mengatur
penitian hokum hokum akal manusia, sehingga menyebabkan pikirannya dapat
mencapai kebenaran. Logika juga mempelajari aturan aturan dan cara berpikir
yang dapat menyampaikan manusia kepada kebenaran dan logika mempelajari
pekerjaan akal dipandang dari aspek benar dan salah (Hasbullah Bakry, 1964:
10).
2). A.B. Hutabarat, dalam buku Logika (1967) terjemahan dari karya A. Vloemans dan
Regis Joliet, mendefinisikan logika adalah ilmu berpikir yang tepat, dan dapat
menunjukkan adanya kekeliruan di dalam rantai proses pemikiran, sehingga kekeliruan
itu dapat dielakkan, maka hakikat dari logika dapat pula disebut teknik
berpikir.
3). Logic
is the study of methods and principles used to distinguish good (correct) from
bad (incorrect) reasoning (Irving M.
Copy, dalam buku Introduction To Logic, 1972: 5).
Artinya:
Logika adalah penelaahan mengenai metode metode dan prinsip prinsip yang
digunakan untuk membedakan penalaran yang baik dalam arti benar dari penalaran
yang jelek dalam arti tidak benar.
4). William Alston mengatakan, bahwa: logic is the study of inference, more
preciselythe attempt to device criteria for separating valid from invalid
inference (Drs. Suajiyo, dkk., 2015: 9).
Artinya:
logika adalah studi tentang penyimpulan, secara lebih cermat usaha untuk
menetapkan ukuran ukuran guna memisahkan penyimpulan yang sah dan yang tidak
sah.
5). Menurut Pengajar, bahwa logika adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip
serta norma norma penyimpulan yang sah. Pendek akata, bahwa logika adalah
cabang filsafat yang membahas metode penalaran yang sah dari premis ke
kesimpulan.
B. OBJEK LOGIKA
Objek adalah sesuatu yang merupakan
bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan
pasti mempunyai objek yang dibedakan menjadi dua, yakni objek material dan
objek formal.
Objek material, adalah suatu bahan
yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Objek
material juga merupakan hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu
disiplin ilmu. Objek material mencakup hal hal baik yang konkrit ataupunhal
yang abstrak.
Objek formal adalah sudut pandang
yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu,
atau sudut dari mana objek material itu disorot. Objek formal suatu ilmu tidak
hanya member keutuhan ilmu, namun pada saat yang sama membedakannya dari
bidang-bidang lain. Satu objek material dapat ditinjau bari berbagai sudut
pandang sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda. Misalnya, objek
materialnya adalah “manusia”, dan manusia ini ditinjau dari sudut pandangnya
yang berbeda beda, sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia, di
antaranya psikologi, antropologi, sosiologi, dan sebagainya. Kiprah kerjanya
logika adalah asas asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat.
Agar dapat berpikir lurus, tepat, dan teratur, maka logika menyelidiki,
merumuskan, dan menerapkan hokum hokum yang harus ditepati.
Berpikir adalah objek material
logika. Sedangkan yang dimaksud berpikir di sini adalah kegiatan pikiran, akal
budi manusia. Dengan berpikir, manusia mengolah
dan mengerjakannya ini terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan,
membandingkan, dan menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang
lainnya. Di dalam logika, berpikir dipandang dari sudut kelurusan dan
ketepatannya. Oleh sebab itu, berpikir lurus dan tepat merupakan objek formal
logika.
C. GUNA DAN MANFAAT
LOGIKA
Ada beberapa kegunaan logika,
seperti:
1.
Membantu setiap orang yang
mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tepat,
tertib, metodis, dan koheren.
2.
Meningkatkan kemampuan berpikir
secara abstrak, cermat, dan objektif.
3.
Menambah kecerdasan dan meningkatkan
kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.
4.
Mingkatkan cinta akan kebenaran, dan
menghindari kekeliruan, serta kesesatan (Drs. Suajiyo, dkk., 2015: 15).
Di
samping beberapa kegunaan di atas, logika juga dapat bermanfaat secara teoritis
dan secara praktis. Manfaat logika secara teoritis, yakni bahwa logika sebagai
ilmu banyak menjadikan dalil dalil, hokum berpikir logis, dengan demikian
logika mengajarkan tentang berpikir yang seharusnya. Artinya, bahwa logika
adalah ilmu normative, karena logika membicarakan tentang berpikir sebagaimana
seharusnya bukan membicarakan tentang berpikir sebagaimana adanya dalam ilmu
ilmu positif, seperti fisika, psikologi, dan sebagainya. Dengan berpikir
sebagaimana seharusnya, ini berarti logika memberikan syarat syarat tentang apa
yang harus dipenuhi dalam berpikir untuk mencapai gagasan tentang kebenaran.
Manfaat logika secara praktis,
adalah akal semakin tajam dan tinggi kemampuannya (kritis) dalam hal imajinasi
logis. Imajinasi logis, artinya adalah kemampuan akal untuk menggambarkan
kemungkinan terjadinya sesuatu sebagai keputusan akal yang benar dan runtut (consistent).
Bagi ilmu pengetahuan, bahwa logika
merupakan keharusan. Tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada
logika. Ilmu pengetahuan tanpa logika tidak akan pernah mencapai kebenaran
ilmiah. Hal ini seperti dikatakan oleh Aristoteles, bahwa logika benar benar
merupakan alat bagi seluruh epistemology (pengetahuan). Oleh
sebab itu, barang siapa yang mempelajari logika, sesungguhnya bahwa ia telah
menggenggam master key untuk membuka semua pintu masuk ke berbagai disiplin
ilmu pengetahuan.
D. JENIS-JENIS LOGIKA
The Liang Gie dkk., (1980: 35-36) dalam bukunya Pengantar Logika
Modern Jilid I mengatakan, bahwa logika dapat digolongkan menjadi lima (5)
jenis,yakni:
1.Logika Makna Luas dan Logika Makna Sempit
Dalam hal ini logika dibedakan
logika makna luas dan logika makna sempit. Logika dalam arti makna sempit adalah
logika yang dipakai searti dengan logika deduktif atau logika formal. Sedangkan
logika dalam makna luas adalah logika
yang pemakaiannya mencakup kesimpulan dari pelbagai bukti yang system-sistem
penjelasannya disusun dalam ilmu alam serta meliputi pula pembahasan mengenai
logika itu sendiri. Oleh sebab itu, logika dalam arti luas, logika dapat dipakai
untuk menyebut tiga cabang secara bersamaan, seperti:
a.
Asas paling umum mengenai pembentukan
pengertian, inferensi/ penyimpulan, dan tatanan (logika formal dan logika
simbolis).
b.
Sifat dasar dan syarat pengetahuan,
terutama hubungan antara budi dengan objek yang diketahui, ukuran kebenaran,
dan kaidah kaidah pembuktian (epistemology).
c.
Metode metode untuk mendapatkan
pengetahuan dalam penyelidikan ilmiah (metodologi).
2.logika Deduktif dan Logika Induktif
Logika deduktif adalah ragam logika
yang mempelajari asas asas penalaran yang bersidat deduktif, yakni: suatu
penalaran yang menurunkan kesimpulan sebagai keharusan dari pangkal pikirnya,
sehingga bersifat betul menurut bentuknya saja. Dalam logika jenis ini yang
terutama ditelaah, yaitu bentuk bekerjanya akal, keruntutannya, dan
kesesuaiannya dengan langkah langkah, serta aturan yang berlaku, sehingga
penalaran yang terjadi adalah tepat dan sah.
Logika induktif merupakan suatu
ragam logika yang mempelajari asas penalaran yang betul dari sejumlah sesuatu
yang khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi.
Penalaran yang demikian ini digolongkan sebagai induksi. Induksi adalah bentuk
penalaran atau penyimpulan yang berdasarkan pengamatan terhadap sejumlah kecil
hal, atau anggota sesuatu himpunan, untuk tiba pada suatu kesimpulan yang
diharapkan berlaku umum untuk semua hal, atau seluruh anggota himpunan itu,
tetapi yang kesimpulan sesungguhnya hanya bersifat boleh jadi saja.
3.Logika Formal dan Logika Material
Logika deduktif juga biasa disebut
logika formal, sedang logika induktif kadang kadang disebut logika material.
Pernyataan ini tidak sepenuhnya tepat, karena logika formal hanyalah suatu
bagian dari logika deduktif, yakni bagian yang bertalitan dengan
perbincangan-perbincangan yang sah menurut bentuknya, bukan menurut isinya.
Logika formal mempelajari asas,
aturan atau hokum hokum berpikir yang harus ditaati, agar orang dapat berpikir
dengan benar dan mencapai kebenaran. Logika material mempelajari langsung
pekerjaan akal, serta menilai hasil hasil logika formal dan mengujinya dengan
kenyataan praktis yang sesungguhnya. Logika material mempelajari sumber sumber
dan asalnya pengetahuan, alat alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan,
dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan itu.
Logika formal biasa dinamakan orang
dengan sebutan logika minor, sedangkan logika material biasa dinamakan logika
mayor. Dengan demikian, logika formal adalah ilmu yang mengandung kumpulan
kaidah kaidah cara berpikir untuk mencapai kebenaran.
4.Logika Murni dan Logika Terapan
Logika Murni (pure logic) adalah ilmu
tentang efek terhadap arti dari pernyataan, dan sebagai akibatnya terhadap
kesahan dan pembuktian tentang semua bagian dan segi dari pernyataan dan
pembuktian, kecuali arti arti tertentu dari istilah yang termuat di dalamnya.
Logika murni merupakan suatu
pengetahuan tentang asas dan aturan logika yang berlaku umum pada semua segi
dan bagian dari pernyataan tanpa mempersoalkan arti khusus dalam sesuatu cabang
ilmu dari istilah yang dipakai dalam pernyataan dimaksud.
Logika terapan adalah pengetahuan
logika yang diterapkan dalam setiap cabang ilmu, bidang filsafat, dan juga
dalam pembicaraan yang mempergunakan bahasa sehari-hari. Apabila sesuatu ilmu
mengenakan asas dan aturan logika bagi istilah dan ungkapan yang mempunyai
pengertian khusus dalam bidangnya sendiri, ilmu tersebut sebenarnya telah
mempergunakan sesuatu logika terapan dari ilmu yang bersangkutan, seperti
logika ilmu hayat bagi biologi, dan logika sosiologi bagi sosiologi.
5.Logika Filsafati dan Logika Matematik
Logika filsafati dapat digolongkan
sebagai suatu ragam atau bagian logika yang masih berhubungan erat dengan
pembahasan dalam bidang filsafat, seperti: logika kewajiban dengan etika atau
logika arti dengan metafisika. Adapun logika matematik merupakan suatu ragam
logika yang menelaah penalaran yang benar dengan menggunakan metode matematik
serta bentuk lambing yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna ganda
atau kekaburan yang terdapat dalam bahasa biasa.
6.Macam-macam Logika
Dari segi sejarah, macam macam
Logika ada 2, yaitu:
a.Logika Naturalis
Sejak manusia mulai melakukan kegiatan yang disebut berpikir, saat
itulah ia mempraktekkan hokum-hukum atau aturan aturan berpikir, meskipun belum
disadarinya. Pendek kata, bahwa sejak manusia ada secara potensial, manusia
sedah berlogika, dan teraktualisasikan sejak budi manusia berfungsi sebagaimana
mestinya. Namun kemampuan berlogika seperti itu hanya merupakan bawaan/ kodrat
manusia saja. Hal itu masih alami dan sangat sederhana. Inilah yang disebut
logika naturalis (logika alamiah).
b.Logika Artificialis
Meskipun secara potensial semua
manusia sudah memiliki kemampuan menggunakan logika, namun terkadang juga
sesat, bila memikirkan masalah-masalah yang agak rumit. Untuk menolong manusia
agar tidak sesat, maka manusia membuat logika buatan (artificialis). Jadi,
lahirnya logika artificialis, minimal ada dua penyebabnya, yaitu:
1).
Kemampuan berlogika secara alami yang sangat terbatas.
2).
Permasalahan yang dihadapi oleh manusia yang semakin kompleks.
Namun meskipun manusia membuat
logika buatan, untuk menolong logika alamiah yang dimiliki manusia sejak lahir,
bukan berarti logika naturalis tidak lagi digunakan. Yang benar adalah
mengembangkan logika naturalis yang telah dimilikinya. Aturan-aturan,
patokan-patokan berfikir yang telah ada kemudian diatur secara sistematis,
untuk selanjutnya diserahkan kepada sesama manusia agar digunakan sebagaimana
mestinya, sehingga ia dapat berpikir lebih tepat, efektif dan efisien. Sedangkan
logika artificialis dibagi menjadi dua, yaitu logika material atau mayor, dan logika formal atau minor.
a). logika material atau mayor adalah logika yang membicarakan materi atau bahan-bahan atau barang
barang dalam realita yang berhubungan dengan pikiran manusia. Namun, dapat jiga
dikatakan bahwa logika material membicarakan persesuaian antara pikiran dengan
objeknya (materinya) atau hal yang dipikirkan. Logika material biasanya disebut
juga epistemologi.
b). logika formal atau minor adalah logika yang mempelajari bentuk berpikir. Sedangkan yang
diamaksud bentuk berpikir adalah aturan-aturan, patokan patokan dan
metode-metode yang digunakan orang untuk dapat berpikir tepat. Logika formal
dapat dibeakan menjadi dua macam, yaitu logika tradisional dan logika modern.
E.KOMPONEN-KOMPONEN LOGIKA
Logika
formal yang tradisional, atau yang biasa disebut logika, mempunyai tiga komponen, yaitu:
a.
Pengertian atau ide atau konsep
b.
Keputusan atau pendapat
c.
Penalaran atau pemikiran
1.
Pengertian atau idea tau konsep
Pengertian adalah hasil penangkapan
hakikat objek. Jadi, bila mengerti, maka akan berarti menangkap hakikat objek
(yang dimengerti).
Dapat juga disebut sebagai ide. Kata
“ide” berasal dari bahasa Yunani “ideos” yang arti sebenarnya adalah “gambar”.
Perkembangan selanjutnya, dalam karya Plato, kata “ide” berarti “pengertian”
atau “maksud”. Pada abad Pertengahan, istilah yang digunakan adalah universal, dan jamaknya adalah universalia
yang artinya “umum”. Hal ini
dikarenakan pengertian dimaksud berlaku umum. Selain istilah universale,
ada istilah lain yang searti dengan istilah pengertian, yaitu “konsep”, yang berasal dari kata “conseptus” yang asal
katanya adalah “concipere” yang berarti menangkap.
Hal ini disama artikan dengan “pengertian”,
karena pengertian itu merupakan hasil tangkapan manusia dengan budinya
(Dardiri, 1986; 31).
Dengan demikian, pengertian adalah buah pikiran umum
tentang suatu himpunan benda benda atau hal-hal yang biasanya dibedakan dari
penglihatan atau perasaan, misalnya: pengertian tentang buku, pengertian
tentang mahasiswa, dll. Jadi, pengertian itu isinya hanya satu atau sekelompok
subjek, individual atau hal.
Tentang istilah “pengertian”, ada
dua persoalan yang jadi perbincangan dari sejak jaman dahulu hingga sekarang.
Dua hal dimaksud adalah:
a.
Persoalan pertama: “Apakah pengertian
itu memang benar-benar ada, atau hanya bualan/ omong kosong belaka ?”.
b.
Persoalan kedua: “Kalau memang
pengertian itu benar-benar ada, lalu bagaimana cara manusia menangkap
pengertian itu ?”.
Persoalan
yang kedua, muncul setelah setelah diketahui bahwa pengertian itu adalah
abstrak dan bersifat umum, sedangkan manusia itu hidup dalam alam yang khusus
konkrit. Lalu permasalahannya lagi adalah “Bagaimana yang khusus konkrit itu
dapat menangkap yang umum abstrak itu ?”. oleh sebab itu, maka dua persoalan
tersebut, telah diusahakan jawabannya oleh para filsuf terdahulu, dan
jawabannya adalah:
Filsuf Yunani Kuno, seperti:
Plato (427-348 SM), menjawab
persoalan pertama dengan mengatakan, bahwa pengertian atau ide memang ada
secara sungguh-sungguh, tetapi adanya tidak di dunia fana, melainkan adanya di
dunianya sendiri, yaitu dunia ide.
Terkait hal di atas, Pertanyaan yang
muncul adalah: Kalau idea tau pengertian itu tidak ada di dunia yang fana ini,
melainkan di dunia ide, sedangkan manusia itu ada dan hidup di dunia yang fana,
dan di dunia pengamatan, lalu bagaimana manusia dapat menvapai atau memperoleh
idea tau pengertian itu ?. kemudian jawaban Plato, adalah: bahwa manusia itu
dapat dikatakan sebagai makhluk yang termasuk dalam dua dunia, yaitu: dunia
ide, dan dunia pengamatan. Hal ini disebabkan manusia itu terdiri dari Jiwa dan
Raga. Jiwa manusia ada di dalam dunia ide sebelum bersatu dengan raganya yang
jasmani. Setelah bersatu dengan raganya, maka manusia itu berkenalan dengan
hal-hal khusus konkrit di dunia pengamatan ini, yang merupakan pencerminan
(baying-bayang atau gambaran) dari dunia ide (Dardiri, 1986; 32).
Aristoteles (384-322 SM) juga
mengakui bahwa ide itu ada, namun menurutnta bukan merupakan realita dan
konkrit, melainkan menurut Aristoteles bahwa ide itu abstrak. Adapun cara
manusia menangkap ide itu dengan abstraksi, yaitu menghiraukan aspek yang sama,
dan mengabaikan (menyingkirkan dalam pikiran) aspek yang berbeda.
Contohnya:
ditangkapnya ide tentang manusia. Adapun aspek yang berbeda dari tiap tiap
manusia adalah bentuk tubuhnya, rambutnya, warna kulitnya, bahasanya,
adat-istiadatnya, dan lain sebagainya. Namun mereka tetap manusia juga.
Abad Pertengahan
Pada abad Pertengahan, istilah yang
digunakan untuk menunuk idea tau pengertian adalah istilah “universale” atau “coceptus”.
Rumusan pertanyaannya adalah: apakah “universael”
itu benar benar ada ataukah hanya sekedar nama, yang tidak menunjuk realitas ?
Persoalan
seperti ini, ada dua aliran yang berusaha menjawabnya, yakni: aliran Ultra-realisme, dan aliran Nominalisme.
-
Ultra-realisme, menyebutkan
bahwa universal itu sungguh sungguh ada, terdapat dalam tiap-tiap dan semua
individu yang sejenis. Universal itu sama. Oleh karena itu, berlaku umum.
-
Nominalisme, menyebutkan bahwa universal itu
hanya nama jenis, tidak sungguh-sungguh ada. Universal itu dapat disamakan
dengan cap atau etiket, yang berguna untuk percakapan sehari-hari.
Zaman
Modern
Rene Descartes (1596-1650) adalah
filsuf Perancis yang terkenal dengan sebutannya bapak ilmu modern, dan juga
bapak aliran Rasionalisme. Rene Descartes member sumbangan terhadap persoalan
ide. Menurut Rene Descartes, bahwa manusia dapat mencapai ide itu dengan rasio
yang selalu berpikir. Karena rasio itulah manusia dapat mencapai ide. Dan hanya
ide yang bersumber dari rasiolah yang benar. Demikianlah persoalan ide telah
dicoba diberi jawaban oleh beberapa filsuf atau aliran dari sejak zaman Yunani
Kuno sampai awal zaman Modern.
2.
Keputusan atau Pendapat
Keputusan adalah aksi manusia dalam
dan dengan mana ia mengakui atau mengingkari sesuatu hal tentang hal lain.
Keputusan merupakan kegiatan rohani yang menyebabkan akal atau budi manusia
menyatakan sesuatu tentang sesuatu yang lain. Dapat juga dikatakan, bahwa
keputusan adalah tindakan budi manusia yang mengakui atau mengingkari sesuatu
terhadap sesuatu yang lain.
Meskipun secara formal, keputusan
atau pendapat dibuat oleh budi manusia, namun dilihat secaa keseluruhan, karena
yang melakukan kegiatan memikir itu mansia, maka hakikatnya manusia juga yang
melakukan keputusan.
Sehubungan dengan keputusan atau
pendapat ini barangkali akan lebih jelas manakala manusia sejenak mengamati
kegiatannya sehari-hari. Hamper berates-ratus manusia melakukan keputusan
setiap harinya. Namun kadang kadang manusia tdak menyadari bahwa perbuatan
manusia, di setiap harinya merupakan buah dari keputusan keputusan yang dibuat
oleh budinya. Contoh: perbuatan memilih. Saya akan makan dahulu atau mandi
dahulu ?. misalnya, jatuh pada pilihan, ah mandi dulu, dan makannya setelah
mandi aja. Maka: kalimat terakhir tadi yang disebut keputusan, yakni setelah
menimbang nimbang, akhirnya jatuh pada pilihan tertentu. Jadi, pilihan tertentu
itulah yang disebut keputusan.
Perbedaan antara keputusan/ pendapat
dengan pengertian adalah sbb.: pengertian hanya berisi konsep mengenai satu
persatu atau kolektif orang atau benda atau hal, sedangkan keputusan atau
pendapat adalah berisi dua pengertian atau lebih. Contohnya: “saya akan makan
dulu”. Jika dianalisa, maka kata “saya” adalah satu pengertian, yakni
pengertian “saya” dan “makan” satu pengertian, yakni pengertian “makan”. Masing
masing pengertian itu jika dihubungkan dan dijadikan satu rangkaian akan
menjadi keputusan atau pendapat. Jadi, kalau baru berupa subjek saja atau
predikat saja disebut pengertian, dan baru menjadi keputusan, kalau sudah
tersusun menjadi subjek dan predikat. Artinya, bahwa dalam keputusan atau
pendapat, ada pengertian yang berfungsi sebagai subjek, dan ada pula pengertian
yang berfungsi sebagai predikat.
2.1.Macam-macam keputusan atau pendapat, seperti:
a.
Dipandang dari segi bahannya atau
materinya
b.
Dipandang dari segi jumlahnya
c.
Dipandang dari segi hubungan subjek
dan predikatnya
d.
Dipandang dari segi modalitasnya
1). Dipandang dari segi bahan atau materinya, keputusan terbagi menjadi:
-
Keputusan analitik, yaitu
keputusan yang predikatnya merupakan suatu keharusan bagi subjeknya. Misalnya :
sapi adalah hewan; atau mangga adalah buah buahan.
Keputusan analitik ini tidak memberikan
pengetahuan baru, karena pengetahuan yang diperuleh telah terkandung dalam
subjeknya.
-
Keputusan sintetik, yaitu
keputusan yang predikatnya tidak merupakan suatu keharusan bagi subjeknya.
Missal: Pak Lurah gemuk; atau anggur ini manis rasanya.
Predikat gemuk dan manis pada kalimat kalimat
di atas adalah sifat atau keadaan yang tidak selamanya melekat pada subjeknya,
sebab boleh jadi Pak Lurah menjadi kurus, dan anggur tidak lagi manis rasanya.
Jadi pada keputusan sintetik, didapatkan pengetahuan baru, artinya bahwa
predikatnya dapat berganti ganti.
Dipandang dari segi jumlah, bahwa keputusan ini terbagi menjadi:
-
Keputusan umum atau universal,
yaitu suatu keputusan yang mencakup semua dalam lingkungan subjek. Missal:
semua mahasiswa unhi hadir dalam acara Diesnatalis.
Biasanya keputusan umum atau universal
ditandai dengan kata-kata: semua, seluruh, dan segenap.
-
Keputusan sebagian atau particular, adalah keputusan yang mencakup sebagian saja dari lingkungan
subjeknya. Missal: sebagian mahasiswa unhi hadir dalam acara Diesnatalis.
Biasanya keputusan particular atau sebagian
ditandai dengan kata-kata: sebagian, beberapa, separuh, dan tidak semua.
-
Keputusan tunggal atau singular,
adalah keputusan yang hanya mencakup satu subjek saja (bisa manusia, bisa
benda, atau hal lainnya). Missal: seurang mahasiswa unhi tidak dating di acara
Diesnatalis.
Biasanya keputusan “tunggal” atau “singular”
ditandai dengan kata-kata: seorang, sebuah, atau seekor, dll. Karena namanya
saja keputusan singular, maka akan berbeda dengan pengertian singular
(tunggal).
Jadi, jika dalam suatu keputusan (kalimat yang tersusun dari
subjek dan predikat) subjeknya didahului dengan kata-kata seluruh, semua, dsb.,
maka keputusan itu disebut keputusan universal. Jika suatu keputusan,subjeknya
didahului dengan kata-kata sebagian, beberapa, dan sebagainya, maka keputusan
itu disebut keputusan particular. Dan yang ketiga, yakni jika dalam suatu
keputusan, subjeknya didahului dengan kata-kata seorang, seekor, sebuah, dan
lain lain, maka keputusan itu adalah keputusan singular.
2). Dipandang dari segi sifat atau
kualitasnya, maka keputusan terbagi menjadi
beberapa keputusan, seperti:
-
Keputusan Afirmatif, adalah
keputusan yang berbentuk mengiakan atau mengakui atau positif. Misalnya: Si
Amir gemuk, Adikku cantik, dll.
Dua contoh tersebut di atas, menunjukkan
bahwa predikat gemuk diakui hanya ada pada si Amir. Begitu juga predikat cantik
diakui adanya pada adikku.
-
Keputusan negative, adalah suatu
keputusan yang bebentuk pengingkaran. Misalnya: Si Ali tidak gemuk, dan adikku
tidak cantik.
Dua contoh tersebut di atas, menunjukkan
bahwa predikat gemuk tidak diakui adanya
pada si Ali. Begitu juga, predikat cantik tidak diakui adanya pada
adikku.
3).Dipandang dari segi hubungan subjek dan
predikatnya, keputusan itu terbagi menjadi
beberapa keputusan, seperti:
-
Keputusan Kategorik, adalah
keputusan yang berisi hubungan antara subjek dan predikatnya dengan tidak
menggunakan syarat apapun. Oleh sebab itu, subjek dapat menerima pridikat apa
saja.
Misalnya: semua pelajar membutuhkan alat
tulis; atau semua penduduk di pinggir sungai yang banjir diungsikan, dll.
-
Keputusan Hipotetik, adalah
keputusan yang berisi hubungan antara subjek dan predikat dengan menggunakan
syarat tertentu.
Missal: Rajinlah belajar, jika ingin lulus
ujian. Keputusan hipotetik biasanya ditandai dengan kata-kata: kalau, jika, dan
apabila.
-
Keputusan Disjungtif adalah
keputusan yang predikatnya berbentuk pilihan, dan hanya satu predikat yang
benar.
Missal: sekarang mengikuti kuliah logika atau
Weda. Maka ini hanya salah satu pilihan yang benar, yakni ikut kuliah logika
saja, atau ikut Weda.
3).Dipandang dari segi Modalitasnya (cara menganggap dalam hubungan dengan kenyataan), keputusan ini
terbagi menjadi:
-
Keputusan Problematik, adalah suatu
keputusan yang berisi hubungan antara subjek dan predikat berdasarkan
kemungkinan.
Misal: mungkin dia datang mengikuti kuliah
logika, mungkin juga kuliah Weda.
-
Keputusan Asertorik, adalah
keputusan yang di dalamnya terdapat hubungan subjek dan predikat berdasarkan
kenyataan.
Missal: (menurut kenyataan) Amir ikut dalam
kuliah logika. Dalam keputusan Asertorik ini, seperti pada contohnya, bahwa ikut
atau tidak ikutnya si Amir, dasarnya adalah kenyataan berdasarkan pengalaman.
Jadi, setelah dalam kenyataan di kelas Amir ikut, maka lalu muncullah
keputusan, bahwa amir ikut dalam kuliah logika.
-
Keputusan Apodiktif, adalah
keputusan yang predikatnya harus berlaku pada subjek.
Missal: malam itu gelap; atau api itu panas,
dll.
2.2.Simbul-silbul dalam keputusan
Simbul-simbul yang digunakan untuk
menunjuk kualitas (bentuk atau sifat) dan kuantitas (jumlah atau lingkaran) ada
empat, yaitu: A, E, I, dan O.
A – menyimbulkan
(melambangkan) keputusan yang berkualitas (berbentuk, bersifat) positif atau
yang mengiakan dan berkuantitas (berjumlah, berlingkaran) umum atau universal.
Dengan singkat, A = umum mengiakan.
E - menyimbulkan
(melambangkan) keputusan yang berkualitas (berbentuk, bersifat) negative atau
mengingkari dan berkuantitas (berjumlah, berlingkaran) umum atau universal.
Dengan singkat, E = Umum mengingkari.
I - menyimbulkan
(melambangkan) keputusan yang berkualitas (berbentuk, bersifat) positif atau mengiakan
dan berkuantitas (berjumlah, berlingkaran) khusus atau partikulir. Dengan
singkat, I = khusus mengiakan.
O - menyimbulkan
(melambangkan) keputusan yang berkualitas (berbentuk, bersifat) negative atau
mengingkari dan berkuantitas (berjumlah, berlingkaran) khusus atau partikuler. Dengan
singkat, O = khusus mengngkari.
Simbul-simbul A dan I diambil
darikata AFFIRMO (mengiakan dan mengakui), sedangkan simbul-silmbul E dan O,
diambil dari kata NEGO (mengingkari dan menidakkan).
Adapun
sebagai contoh dalam kalimat adalah sebagai berikut:
A:
“Semua mahasiswa baru UNHI, mengikuti upacara Pembukaan Kuliag” (SaP)
E :
“Semua mahasiswa baru UNHI, tidak mengikuti upacara Pembukaan Kuliah”.(SeP)
I :
“Beberapa mahasiswa baru UNHI, mengikuti upacara Pembukaan Kuliah”.(SiP)
O :
“Beberapa mahasiswa baru UNHI, tidak mengikuti upacara Pembukaan Kuliah”.SoP)
2.3. Pertentangan-pertentangan dalam
keputusan
Dua keputusan dianggap bertentangan
apabila mengenai hal yang sama, tetapi menerangkan isi yang tidak sama.
Missal:
semua mahasiswa UNHI mengikuti upacara
pembukaan kuliah.
Keputusan
tersebut dapat dinyatakan dengan keputusan lain,
Missal:
tidak ada mahasiswa UNHI yang tidak
mengikuti upacara pembukaan kuliah.
Dua
keputusan tersebut tidak bertentangan, namun coba perhatikan contoh berikut:
Misal:
tidak semua mahasiswa UNHI mengikuti
upacara pembukaan kuliah.
Keputusan
yang terakhir ini bertentangan baik dengan yang keputusan pertama maupun dengan keputusan yang kedua.
Dengan demikian, jika dirinci ternyata ada 4 (empat) pertentangan dalam keputusan, yaitu:
1).
Pertentangan dalam kuantitas (jumlah, lingkaran), dan kualitas (bentuk, sifat).
Disebut pertentangan kontradiktorik
(kontradiksi). Yakni: S a P bertentangan dengan S o P. dan contoh lain
kontradiksi, yakni: S e P berkontradiksi dengan S I P.
2). Pertentangan dalam kualitas (bentuk, sifat) saja, sedangkan kuantitas (jumlah, lingkaran) sama sama umum atau universal. Disebut dengan pertentangan kontrarik (kontrer), yakni: S a P bertentangan kontrarik (kontrer) dengan S e P.
3).
Pertentangan dalam kualitas (bentuk, sifat), sedangkan kuantitas
(jumlah,lingkaran) sama sama khusus atau particular. Disebut dengan
pertentangan Sub-kontrarik (Sub-kontrer)
yakni: S I P bertentangan Sub-Kontrerik (Sub-kontrer) dengan S o P.
4).
Pertentangan dalam kuantitas (jumlah, lingkaran), sedangkan kualtitas (bentuk,
sifat) tetap sama, bisa sama sama positif (mengiakan), bisa sama sama negative
(mengingkari). Disebut dengan pertentangan Sub-alternasi,
yakni: S a P bertentangan Sub-alternasi dengan S I P. atau S e P bertentangan
Sub-alternasi dengan S o P.
A
E
I O
TABEL KEBENARAN
Jika
|
A
|
E
|
I
|
O
|
A BENAR
|
------
|
S
|
B
|
S
|
E BENAR
|
S
|
-------
|
S
|
B
|
I BENAR
|
?
|
S
|
-------
|
?
|
O BENAR
|
S
|
?
|
?
|
-------
|
TABEL KESALAHAN
Jika
|
A
|
E
|
I
|
O
|
A SALAH
|
-----
|
?
|
?
|
B
|
E SALAH
|
?
|
------
|
B
|
?
|
I SALAH
|
S
|
B
|
-------
|
B
|
O SALAH
|
B
|
S
|
B
|
--------
|
(Drs.
Suajiyo, dkk., 2015: 49-50).
2.4. Hukum-hukum Pertentangan
Hokum-hukum pertentangan
kontradiktorik (kontradiksi), hokum pertentangan kontrarik (kontrer, hokum pertentangan
sub-kontrarik (sub-kontrer), dan hokum pertentangan sub-alternasi.
1). Hokum pertentangan kontradiktorik
(kontradiksi) berbunyi:
a.
Jika yang satu benar, maka yang lain
pasti salah
b.
Jika yang satu salah, maka yang lain
pasti benar
c.
Tidak mungkin keduanya salah
d.
Tidak mungkin keduanya benar
Jadi, yang satu merobohkan yang lain
Missal: semua mahasiswa UNHI mengikuti
upacara pembukaan kuliah
Dengan keputusan: beberaapa mahasiswa UNHI
tidak mengikuti upacara pembukaan kuliah.
Penjelasan
keputusan:
Jika keputusan (contoh) pertama benar, maka
keputusan (contoh) kedua tentu salah dan sebaliknya. Jadi, “semua mahasiswa UNHI mengikuti upacara pebukaan kuliah”
dianggap benar, maka didak mungkin “beberapa mahasiswa UNHI tidak mengikuti
upacara pembukaan kuliah”, dianggap benar pula.
Sebaliknya,
jika keputusan menyatakan “beberapa mahasiswa UNHI tidak mengikuti upacara
pembukaan kuliah”, dianggap benar, maka keputusan yang menyatakan “ semua
mahaisswa UNHI mengikuti upacara pembukaan kuliah” pasti salah.
Jadi,
pendek kata: Jika beberapa mahasiswa UNHI tidak ikut upacara pembukaan kuliah,
berarti tidak mungkin orang mengatakan, bahwa semua mahasiswa UNHI mengikuti
upacara pembukaan kuliah.
2).Hukum pertentangan kontrarik (kontrer), berbunyi:
a.
Jika yang satu benar, maka yang lain
pasti salah
b.
Jika yang satu salah, maka yang lain
mungkin salah mungkin benar
c.
Tidak mungkin kedua-duanya sama-sama
benar
d. Mungkin keduanya sama sama salah.
Keputusan
II berbunyi: “semua orang Kupang tidak kaya”
Perhatikan hokum pertentangan kontrarik
(kontrer)
Hokum a,
jika keupusan I benar, maka keputusan II pasti salah.
Yakni: Jika “semua orang Kupang kaya”
dianggap sebagai keputusan yang benar, maka tidak benar, bila orang berkata
“semua orang Kupang tidak kaya”.
Hukum b,
Jika yang satu salah, maka yang lain mungkin salah mungkin benar.
Jika “Semua orang Kupang kaya” dianggap
sebagai keputusan yang salah, maka keputusan lain, yakni: “semua orang Kupang
tidak kaya” bisa benar, bisa salah, mungkin salah mungkin benar.
Mungkin benar, karena ternyata memang semua
orang Kupang tidak ada yang kaya. Mungkin juga salah, karena ternyata ada
sebagian orang Kupang yang kaya.
Hukum c,
Sama-sama benar tidak mungkin
Jika “semua orang Kupang kaya” dianggap sebagai
kuputusan yang benar, maka tidak mungkin keputusan yang berbunyi “semua orang
Kupang tidak kaya” dianggap benar pula, karena sudah dinyatakan bahwa “semua
orang Kupang kaya”. Ini, artinya berlawanan, jika ada orang yang menyatakan,
“semua orang kupang tidak kaya”.
Hokum d,
Sama-sama salah mungkin
Jika “semua orang Kupang kaya” dianggap
sebagai keputusan yang salah, maka keputusan yang berikut ini juga mungkin
salah: “semua orang Kupang tidak kaya”, karena ternyata memang orang Kupang itu
tidak semua kaya, dan tidak semua tidak kaya.
3).Hukum pertentangan sub-kontrarik (sub-kontrer), berbunyi:
a.
Jika yang satu salah yang lain pasti
benar
b.
Tidak mungkin keduanya salah
c.
Jika yang satu benar yang lain bisa
benar bisa salah
Misalnya: Keputusan I berbunyi: “Sebagian
penduduk pulau Jawa beragama Islam” (S I P)
Keputusan
II berbunyi: “Sebagian penduduk pulau Jawa tidak beragama Islam” (S o P).
Silahkan diterangkan sesuai dengan hokum
pertentangan sub-kontrarik (sub-kontrer) di atas.
4).Hukum pertentangan sub-alternasi (sub-altern) berbunyi:
a.
Keduanya bisa sasa-sama salah
b.
Keduanya bisa sama-sama benar
c.
Mungkin yang satu benar dan yang lain
salah
Missal; Keputusan I berbunyi: “Semua
mahasiswa memiliki tabungan”
Keputusan
II berbunyi: “Sebagian mahasiawa memiliki tabungan”
Contoh lain:
Keputusan I berbunyi: “Semua
mahasiswa tidak memiliki tabungan”
Keputusan II berbunyi: “Sebagian
mahasiswa tidak memiliki tabungan”
Silahkan
pembaca mencoba untuk menerangkan hokum sub-alternasi (sub-altern) dengan
contoh di atas.
2.5.Prinsip-prinsip
Dasar Logika
Prinsip dasar
adalah pernyataan kebenaran universal yang kebenarannya sudah terbukti dengan
sendirinya. Artinya, bahwa kebenaran universal yang tidak membutuhkan lagi
hal-hal lain untuk membuktikan kebenarannya. Meskiputn demikian,
prinsip-prinsip dasar ini merupakan dasar dari semua pembuktian. Prinsip dasar
dalam logika adalah segala kebenaran yang dianggap benar dan semua pemikiran
manusia harus didasarkan atas kebenaran ini supaya valid (sah).
Aristoteles (384-322 SM) merumuskan empat (4)
buah prinsip atau hokum, yaitu:
-
Prinsip indentitatis (identik/ sama)
-
Prinsip kontradiksi
-
Prinsip penyisihan jalan tengah
-
Prinsip cukup alasan
a.
Prinsip indentitatis
(identik/ sama), yang dalam bahasa Latin disebut “prinsipium Identitatis”
atau “Law
of identity”, yang bunyinya adalah: “suatu benda adalah benda itu
sendiri”. Secara simbulik dapat dinyatakan: A adalah A, oleh sebab itu, A ya A
bukan yang lain. Missal: si Bambang ya si Bambang bukanlah Yanto. Jadi,
meskipun tiap tiap individu mempunyai banyak persamaan, tetapi individu
individu yang berlainan satu sama lain tidak pernah akan identik (sama).
b.
Prinsip kontradiksi atau pertentangan, yang dalam bahasa Latin adalah “principium contradictionis”
dan dalam bahasa Inggris adalah “Law of Contradiction”, bunyinya
adalah: “sesuatu benda tidak dapat merupakan benda itu sendiri dan benda yang
lain pada waktu yang sama”. Atau bisa juga: “sesuatu tidak dapat positif dan
negative pada waktu yang sama”. Maksud prinsip ini adalah: bahwa dua sifat yang
berlawanan, tidak mungkin ada pada suatu benda pada waktu dan tempat yang
sama”. Misalanya: meja ini hitam dan tidak hitam pada waktu dan tempat yang
sama.
c.
Prinsip Penyisihan
Jalan Tengah, yang dalam bahasa Latin prinsip ini disebut: “principium
exlusi tertii”, atau dalam bahasa inggris adalah: “Law of Excluded Middle”. Adapun
bunyi prinsipnya adalah: “segala sesuatu haruslah Positif atau Negatif”.
Maksudnya dari prinsip ini adalah, bahwa sesuatu hal mestilah merupakan hal
tertentu atau bukan hal tertentu, tidak ada kemungkinan ketiga. Jadi, kalau ada
keputusan yang menyatakan “Iwan sekarang ada di ruang kuliah”, maka artinya,
bahwa tidak mungkin si Iwan sekarang
juga tidak ada di ruang kuliah. Hanya ada dua alternative, Iwan sekarang
ada di ruang kuliah atau tidak ada di ruang kuliah, tidak ada kemungkinan
ketiga, tidak ada jalan tengah. Dalam simbul bisa ditulis: P mestilah bukan Q
atau bukan Q.
d.
Prinsip Cukup Alasan, yang dalam
bahasa Latin dikenal dengan istilah “principium rationis sufficientis”, dan
dalam bahasa Inggris yaitua “Law of Sufficient Reason”. Adapun
bungi prinsip dimaksud adalah: “adanya sesuatu mestilah mempunyai alas an yang
cukup, yang menyebabkan sesuatu itu ada”. Artinya, bahwa segala sesuatu yang
ada pasti mempunyai sebab.Misalnya: Tidak mungkin ada arloji di tengah sawah
itu tanpa sesuatu sebab. Adanya arloji di tengah sawah, pasti ada yang
menaruhnya di tengah sawah itu, atau secara lebih umum, pasti ada yang
menyebabkan mengapa arloji sampai di tengah sawah.
3.
Penalaran atau pemikiran
Komponen
yang ketiga (3) dari Logika adalah penalaran atau pemikiran. Penalaran atau
pemikiran adalah rangkaian budi/ akal manusia utnuk tiba pada suatu kesimpulan
(pendapat baru) dari satu atau lebih keputusan atau pendapat yang telah
diketahui (premis). Keputusan atau pendapat baru, yang disebut juga kesimpulan
atau konklusi adalah akibat lanjut yang runtut dari premis atau pangkal piker
yang bersangkutan. Pengadaan penalaran atau pengambilan kesimpulan, manusia
dapat menempuh dua (2) jalan, jaitu:
-
Jalan induksi
-
Jalan deduksi
3.1.Induksi
Induksi adalah metode penalaran yang
berdasarkan sejumlah hal khusus untuk tiba pada suatu kesimpulan yang bersifat
boleh jadi. Dikatakan boleh jadi atau kemungkinan, karena hal hal khusus
sebagai data hanyalah mendukung atau menguatkan kesimpulan yang bersangkutan.
Namun hal itu tidak mutlak menjamin kebenarannya, artinya: mungkin benar,
mungkin salah, atau boleh jadi benar boleh jadi salah.
Aristoteles (384-322 SM) sendiri
mendefinisikan induksi adalah “a passage from individual to universals”, artinya:
“suatu aturan (proses peningkatan) dari hal hal yang bersifat khusus individual
menuju ke hal hal yang bersifat universal”. Memang definisi secara umum, bahwa
induksi adalah metode penalaran yang bertolak dari hal-hal khusus menuju pada
kesimpulan yang berupa hal-hal yang
bersifat umum.
Ada dua (2) jenis induksi, yakni:
-
Induksi sempurna
-
Induksi tidak sempurna
Dalam induksi sempurna,
peneliti (observer) menyelidiki seluruh subjek atau individu atau hal, dalam
kelasnya tanpa ada satu pun yang meleset. Dari hasil penyelidikan itu, kemudian
dapat diambil kesimpulan yang sifatnya umum. Missal: akan menyimpulkan bahwa
mangga di keranjang itu manis semua atau tidak. Maka peneliti dalam hal ini
mencoba seluruh mangga yang ada di keranjang itu tanpa satu pun yang meleset.
Hal inilah yang disebut: “induksi sempurna”, karena kesimpulan ditarik dari
seluruh hal khusus tanpa kecuali.
Dalam induksi tidak
sempurna, hal ini seorang peneliti tidak membutuhkan seluruh objek,
individu, atau hal yang diselidiki, melainkan cukup terhadap sebagian saja
(sampel). Meskipun demikian, kesimpulan dari penyelidikan terhadap penyelidikan
terhadap sampel 0bjek, individu, atau hal yang dikenakan peda seluruh objek,
bisa dilakukan penyimpulannya. Inilah yang disebut “induksi tidak sempurna”,
hal ini juga ada yang menyebutnya sampling study.
3.2.Deduksi
Deduksi
adalah suatu metode penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai
kemestian dari pernyataan yang merupakan pangkal pikir (premis). Kesimpulan itu
merupakan kelanjutan yang sah dan tak terhindarkan dari pangkal pikir (premis)
yang bersangkutan. Jadi, kalau pangkal pikir (premis)nya benar, maka
kesimpulannya pasti benar. Penalaran “deductive” juga sering disebut “deductive
reasoning”. Contoh:
-semua
manusia adalah manusia
-Hasan
adalah mahasiswa
-Jadi,
Hasan adalah manusia.
Jika dibandingkan antara “induksi” dan “deduksi”, maka tampak jelas bahwa pada penalaran deduktif tidak
didapatkan pengetahuan baru, karena kesimpulan hasil penalaran deduktif
merupakan pengetahuan yang secara implicit sudah ada pada premis yang
terdahulu. Oleh sebab itu, penalaran deduktif dikatakan penalaran yang
menghasilkan kebenaran “tautologik”. Sedangkan pada
penalaran induktif, didapatkan pengetahuan yang baru, karena kesimpulan pada
penalaran induktif, diperoleh setelah menyelidiki terlebih dahulu sejumlah hal
khusus.
3.3.Silogisme
Di atas telah disebutkan, bahwa
penalaran atas proses pengambilan kesimpulan dapat ditempuh dengan jalan induksi dan dengan jalan deduksi, sehingga disebut ada
penalaran induktif dan penalaran deduktif.
Penalaran dapat ditempuh secara tidak langsung dan dapat pula secara langsung. Bila penalaran
ditempuh secara tidak langsung,
berdasarkan dua keputusan yang diletakkan secara serentak (sekaligus), maka
penalarannya disebut silogisme.
Tetapi tidak setiap keputusan lalu
dapat dibuat dengan silogisme,
karena untuk membuat silogisme harus
memenuhi beberapa ketentuan.
Silogisme ada dua jenis, yaitu:
-silogisme
Kategorik
-silogisme
Hipotetik
Silogisme Kategorik adalah silogisme yang premis premisnya berupa keputusan Kategorik (keputusan yang berisi hubungan
antara subjek dan predikat dengan tanpa syarat apapun).
Missal
:
Semua
mahasiswa membutuhkan alat tulis.
Andre
adalah mahasiswa.
Jadi,
Andre membutuhkan alat tulis.
Sedangkan silogisme Hipotetik adalah silogisme yang premis
premisnya merupakan keputusan Hipotetik
(keputusan yang berisi hubungan antara
subjek dan predikat dengan menggunakan syarat tertentu).
Misal
:
Jika
lama tidak turun hujan, maka sawah menjadi kering.
Jika
sawah menjadi kering, maka padi tidak tumbuh.
Jadi,
jika lama tidak turun hujan, maka padi tidak tumbuh.
3.3.1.
Struktur silogisme
Sebuah silogisme terdiri dari 3
(tiga) buah keputusan, yang terdiri dari: Dua keputusan terdahulu disebut premis premis, dan satu keputusan yang merupakan hasil penarikan kesimpulan, disebut konklusi. Dalam silogisme ada tiga buah
term, yakni: term subjek (S), term
predikat (P), dan term medium (M) yang merupakan
penengah.
Ketiga
term di atas, mempunyai nama nama tertentu. Predikat dari konklusi disebut term
mayor, dan subjek dari konklusi
disebut term minor. Premis yang
mengandung term mayor disebut premis
mayor, dan premis yang mengandung term minor disebut premis minor. Dan term yang terdapat pada kedua keputusan atau
premis itu disebut term menengah atau
terminus medium.
3.3.2.
Pola silogisme
Pada dasarnya ada 4 pola
silogisme, dan dari 4 silogisme tersebut dapat dikembangkan menjadi 64 pola. Akan tetapi dari 64 pola
tersebut yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan syarat syarat silogisme,
sehingga tinggal menjadi 19 pola silogisme.
Keempat pola dasar silogisme tersebut adalah sebagai berikut:
1).
Term medium (penengah) (M) menjadi subjek dalam premis mayor, dan menjadi
predikat dalam premis minor. Yaitu:
- Semua
M adalah P
- Semua
S adalah M
- Jadi,
semua S adalah P
Hal
ini menjadi rumus yang pertama, yaitu:
M P
S M
Jadi,
S P
2).
Term medium (M) menjadi predikat dalam premis mayor dan premis minor, yaitu:
-Semua
P adalah M
-Sebagian
S tidaklah M
-Jadi,
sebagian S tidaklah P
Hal
ini menjadi rumus yang kedua, adalah:
P M
S M
Jadi,
S P
3).
Term medium (M) menjadi subjek dalam premis mayor dan premis minor, yaitu:
-Semua
M adalah P
-Semua
M adalah S
-Jadi,
sebagian S adalah P
Hal
ini menjadi rumus yang ketiga, adalah:
M P
M S
Jadi,
S P
4).
Term medium (M) menjadi predikat dalam premis mayor, dan menjadi subjek dalam
premis minor, yaitu:
-Semua
P adalah M
-Semua
M adalah S
-Jadi,
Sebagian S adalah P
Hal
ini menjadi rumus yang keempat, adalah:
P M
M S
Jadi,
S P
(Dardiri,
1986; 80).
Dari empat (4) pola tersebut di
atas, muncullah 19 pola silogisme yang dianggap memenuhi syarat, yaitu:
a). Pola pertama memiliki empat pola, seperti:
=
Barbara a a a
=
Celarent e a e
=
Darii a i i
=
Ferio e i o
Pada pola pertama yang ditemukan ini bentuk
silogisme yakni: Barbara (a a a),
yang rinciannya adalah:
a pertama berarti
premis mayor berupa keputusan umum mengiakan (S a P)
a kedua berarti
premis minor berupa keputusan umum mengiakan (S a P)
a ketia berarti konklusi atau kesimpulan
berupa keputusan umum mengiakan (S a P)
Contoh
silogisme pola Barbara (a a a), yaitu:
Semua binatang adalah makluk
hidup (S a P)
Semua Kambing adalah binatang (S
a P)
Jadi, semua Kambing adalah makhluk hidup (S
a P)
Perhatikan
bahwa contoh di atas, term medium (M) adalah kata “binatang” yang disebut dua
kali. Karena silogisme Barbara mengikuti pola pertama, maka letak kata
“binatang” sebagai term penengah berada atau berkedudukan sebagai subjek pada
premis mayor dan menjadi predikat pada premis minor.
Silahkan
pembaca untuk mencoba silogisme dengan mengikuti pola pertama dalam bentuk:
Celarent ( e a e); Darii (a
i i); dan Ferio (e i o).
b). Pola kedua memiliki empat pola, seperti:
Baroco : a
o o
Camestres : a
e e
Cesare : e
a e
Festino : e
i o
Pada
pola kedua yang ditemukan ini bentuk
silogisme yakni: Baroco (a o o), yang rinciannya adalah:
a pertama berarti
premis mayor berupa keputusan umum mengiakan (S a P)
o kedua berarti
premis minor berupa keputusan khusus mengingkar (S o P)
o ketia berarti
konklusi atau kesimpulan berupa keputusan khusus mengingkar (S o P)
contoh:
silogisme Baroco adalah:
Semua kucing adalah binatang (S a P)
Sebagian mkhluk hidup bukanlah
binatang (S o P)
Jadi,
Sebagian makhluk hidup bukanlah kucing
(S o
P)
Perhatikan contoh di atas, terminus
(term) medium atau term penengahnya adalah kata “binatang” yang disebut dua
kali. Karena silogisme Baroco mengikuti pola kedua, maka letak kata “binatang” sebagai
term penengah berada atau berkedudukan sebagai predikat pada premis mayor dan
premis minor.
Silahkan
pembaca untuk mencoba membuat silogisme dengan mengikuti pola kedua dalam
bentuk: Camestres ( a e e); Cesare (e
a e); dan Festino (e i o).
c). Pola ketiga memiliki enam pola, seperti:
Borcardo : o
a o
Darapti : a
a i
Disamis : i
a i
Datisi : a i i
Felapton : e
a o
Ferison : e i o
Pada
pola ketiga yang ditemukan ini
bentuk silogisme yakni: Bocardo (o
a o), yang rinciannya adalah:
o pertama berarti
premis mayor berupa keputusan khusus mengingkari (S o P)
a kedua berarti
premis minor berupa keputusan umum mengiakan (S a P)
o ketia berarti
konklusi atau kesimpulan berupa keputusan khusus mengingkar (S o P)
contoh:
silogisme Bocardo adalah:
Sebagian manusia bukan mahasiswa (S
o P)
Semua manusia membutuhkan makanan
(S a
P)
Jadi, Sebagian yang membutuhkan makanan bukan
mahasiswa (S o P)
Perhatikan contoh di atas, terminus (term) medium atau term
penengahnya adalah kata “manusia” yang disebut dua kali. Karena silogisme
Bocardo mengikuti pola ketiga, maka letak kata “manusia” sebagai term penengah
berada atau berkedudukan sebagai subjek, baik pada premis mayor dan premis
minor.
Silahkan
pembaca untuk mencoba membuat silogisme dengan mengikuti pola ketinga dalam
bentuk: Darapti ( a a i); Disamis (i a i);
Datisi (a i i); Felapton (e a o);
dan Ferison (e i o)
d). Pola keempat memiliki lima pola, seperti:
Bramantip : a
a i
Camenes : a
e e
Dimaris : i
a i
Fesapo : e
a o
Fresison : e
i o
Pada
pola keempat yang ditemukan ini
bentuk silogisme yakni: Bramantip (a
a i), yang rinciannya adalah:
a pertama berarti
premis mayor berupa keputusan umum mengiakan (S a P)
a kedua berarti
premis minor berupa keputusan umum mengiakan (S a P)
i ketiga berarti
konklusi atau kesimpulan berupa keputusan khusus mengiakan (S i P)
contoh:
silogisme Bramantip adalah:
Semua orang tua menghendaki anaknya
pandai dan sopan (S a P)
Semua yang menghendaki anaknya
pandai dan sopan adalah manusia (S
a P)
Jadi, Sebagian manusia adalah orang tua (S i P)
Perhatikan
contoh di atas, terminus (term) medium atau term penengahnya adalah kata
“menghendaki anaknya pandai dan sopan” yang disebut dua kali. Karena silogisme
Bramantip mengikuti pola keempat, maka letak kata “menghendaki anaknya pandai
dan sopan” sebagai term penengah berada atau berkedudukan sebagai predikat pada
premis mayor dan menjadi subjek dalam premis minor. (Drs. Suajiyo, dkk., 2015:
70).
Silahkan
pembaca untuk mencoba membuat silogisme dengan mengikuti pola keempat dalam
bentuk: Camenes ( a e e); Dimaris (i a i);
Fesapo (e a o); dan Fresison (e i o).
3.3.3.
Syarat syarat atau ketentuan ketentuan Silogisme
a.
Jumlah term (terminus) dalam
Silogisme tidak boleh lebih dari tiga buah, yakni: S, M, dan P (Subjek, Medium.
Dan Predikat).
b.
Term (terminus) penengah (M) tidak
boleh terdapat dalam konklusi (kesimpulan). Yang ada dalam konklusi adalah term
(terminus) subjek dan predikat. Sedangkan term (terminus) penengah (M) hanya
berada dalam premis premis, baik dalam premis mayor maupun dalam premis minor.
c.
Term (terminus) penengah (M) setidak
tidaknya satu kali harus didistribusi. Yang dimaksud dengan distribusi dari
sebuah term (terminus) adalah sebaran atau penggunaan term (terminus) yang
meliputi semua anggotanya secara individual, satu demi satu. Kalau term
(terminus) penengah harus berdistribusi paling tidak satu kali, itu artinya
yang menjadi term (terminus) penengah harus meliputi semua anggotanya, Misal:
Semua mahasiswa adalah manusia
Anton adalah mahasiswa
Jadi, Anton adalah
manusia
Silogisme di atas yang menjadi term
(terminus) penengahnya adalah kata “mahasiswa”. Kata “mahasiswa” pada premis
mayor berdistribusi, karena disitu meliputi semua mahasiswa tanpa kecuali.
Sedangkan kata “mahasiswa” pada premis minor di situ tidak berdistribusi,
karena yang dimaksud di situ hanyalah mahasiswa Anton, bukan seluruh mahasiswa.
Untuk
jelasnya perlu dikemukakan apa saja yang berdistribusi dan apa pula yang tidak
berdistribusi. Dalam keputusan universal (A dan E) term (terminus) subjeknya
berdistribusi, sedangkan dalam keputusan particular (I dan O) term (terminus)
subjeknya tidak berdistribusi. Dalam
keputusan yang bersifat afirmatif atau mengiakan (A dan I) term (terminus)
predikatnya tidak berdistribusi, sedangkan dalam keputusan negative atau
mengingkari, term (terminus) predikatnya berdistribusi.
d.
term (terminus) S dan P dalam
konklusi tidak boleh lebih luas atau lebih umum dari premis. Ini dapat
dimaklumi, karena penalaran deduktif bertolak dari keputusan atau keputusan
keputusan yang lebih umum menuju ke keputusan yang bersifat khusus.
e.
Apabila keputusan keputusan di dalam
premis itu bersifat afirmatif, maka konklusinya harus afirmatif pula. Jadi,
dalam premis mayor bersifat mengiakan, dalam premis minor juga mengiakan, maka
konklusi juga mengiakan.
f.
Keputusan keputusan dalam premis
premis tidak boleh bersifat negative semua. Ini berarti apabila hanya satu
premis saja itu negative, maka diperbolehkan.
g.
Konklusi mengikuti keputusan yang
lemah dalam premis. Yang dimaksud keputusan yang lemah dalam premis adalah
keputusan particular (kuantitas) dan keputusan yang bersifat atau berkualitas
negative. Ini berarti kalau salah satu premis berlingkaran particular (lemah),
maka konklusinya juga particular (lemah)
dan kalau satu premis itu bersifat negtif maka konklusinya juga negative.
h.
Keputusan keputusan dalam premis
premis tidak boleh kedua duanya pertikular, setidak tidak salah satu harus
universal. Hal ini disebabkan konklusi tidak bisa ditarik, kalau kedua
premisnya particular.
Baik
huruf f maupun h di atas menunjukkan bahwa konklusi tidak dapat ditarik, kalau
kedua premis itu negative atau particular. Jadi, kalau hanya salah satu premis
itu negative atau particular, maka konklusi masih dapat ditarik.
3.3.4.
Cirri cirri Silogisme
a.
Konklusi dalam silogisme ditarik dari
dua premis yang serentak disediakan dan bukan dari salah satu premisnya saja.
Konklusinya bukan merupakan penjumlahan premis premis itu, tetapi merupakan
sesuatu yang dapat diperoleh bila kedua premis itu diletakkan serentak. Ini
artinya bahwa dibutuhkan ketentuan ketentuan agar dua keputusan yang diletakkan
serentak dapat diperoleh suatu konklusi. Pendek kata, bahwa ini memang perlu
ketentuan dalam silogisme.
b.
Konklusi dari suatu silogisme tidak
dapat mempunyai sifat yang lebih umum dari premis premisnya. Silogisme adalah
suatu jenis penarikan kesimpulan secara deduktif, dan penarikan kesimpulan
secara deduktif konklusinya tidak ada yang lebih umum dari premis premis yang
disediakan.
c.
Konklusi akan benar, bila dilengkapi
dengan premis premis yang benar.
3.3.5.
Silogisme silogisme Non-Standar
Di atas telah dikemukakan, bahwa silogisme standar adalah
silogisme yang terdiri dari tiga buah keputusan, dua keputusan terdahulu
disebut premis premis, dan satu keputusan hasil penarikan kesimpulan disebut
konklusi.
Berikut ini dikemukakan silogisme
silogisme yang non-standar, yakni silogisme yang menyimpang dari silogisme
standar, adalah sebagai berikut:
a.
Epikirema, adalah salah satu silogisme
non-standar yang salah satu atau kedua premisnya disertai dengan alasan, sebab,
dan keterangan.
Misalnya:
Semua mobil baik adalah mobil mahal, karena
sulit pembuatannya.
Mobil Mercy itu mobil baik, karena selalu
nyaman dan awet.
Jadi, Mobil Mercy itu Mobil mahal.
b.
Sorites, adalah salah satu silogisme
non-standar yang premis premisnya bermata rantai. Silogisme sorites ini terdiri
lebih dari tiga keputusan.
Misal:
A = B
B = C
C = D
D = E
Jadi, A = E.
Cntoh dalam kalimat, yakni:
·
Cara member kuliah yang monoton
adalah membosankan.
·
Kuliah yang membosankan membuat
mahasiswa mengantuk.
·
Mahasiswa yang mengantuk tidak
memperoleh ilmu apa apa.
·
Mahasiswa yang tidak memperoleh ilmu
apapa bertentangan dengan tujuan pendidikan.
·
Jadi, cara memberikan kuliah yang
monoton bertentangan dengan tujuan pendidikan.
c.
Dilema, adalah salah satu silogisme
non-standar yang premis premisnya berupa gabungan dua keputusan bersyarat dan
premis keduanya terdiri dari sebuah keputusan pengatauan. Sedangkan kesimpulan
atau konklusinya adalah satu keputusan yang berbentuk subjek predikat
(kategorik) atau keputusan pengatauan.
Dalam suatu dilemma kedua kemungkinan itu
sama sama buruknya, sehingga pemilihan akan merupakan tindakan simalakama
(pilihan yang sulit), yaitu keputusan yang serba salah.
Misalnya:
1). Subjek predikat pada kesimpulan.
* Kalau penjaga malam tertidur sewaktu
terjadi pencurian, ia telah lalai, dan kalau ia sudah mendahului pulang sebelum
pagi, maka ia tidak bertanggung jawan (premis 1).
* Penjaga malam itu tertidur atau sudah
pulang ke rumah (premis 2)
* Jadi, Kesimpulannya, ia tetap bersalah
(apapun jawabannya yang ia pilih di antara kedua kemungkinan).
2). Kesimpulan berupa keputusan pengatauan
* Kalau berangkat ke Kupang dengan Pesawat
Udara ada bahaya pesawat jatuh, dan kalau berangkat dengan Kapal Laut akan
memerlukan waktu lama di perjalanan. (premis 1).
* Sesungguhnya orang tidak ingin mendapat
bahaya atau kehilangan banyak waktu di perjalanan. (premis 2)
* Jadi, Kesimpulannya, orang yang akan pergi
ke Kupang harus berkendaraan pesawat udara atau kapal laut.
d. Entimema, adalah salah satu silogisme non-standar yang tidak lengkap, yakni
sebuah premisnya atau konklusinya tidak dinyatakan karena dianggap telah dengan
sendirinya dimengerti.
Yang dimaksud tidak lengkap di sini, adalah:
1). Premis mayornya tidak dinyatakan.
2). Premis minornya tidak dinyatakan.
3). Konklusinya tidak dinyatakan.
4). Konklusi dan mayor atau minor tidak
dinyatakan.
Contoh dalam kalimat secara lengkap, adalah
sebagai berikut:
·
Semua WNI yang sudah dewasa boleh
memilih.
·
Saya adalah WNI yang sudah dewasa.
·
Jadi, Saya boleh memilih.
Nah sekarang kalau premis mayornya tidak
dinyatakan, maka akan menjadi:
·
Tentu saja saya boleh memilih. Saya
kan WNI yang sudah dewasa.
Kalau premis minornya yang tidak dinyatakan,
maka menjadi:
·
Tentu saja saya boleh memilih. Semua
WNI yang sudah dewasa kan boleh memilih.
Kalau konklusinya yang tidak dinyatakan, maka
menjadi:
·
Saya kan WNI yang sudah dewasa.
Atau
·
Semua WNI yang sudah dewasa boleh
memilih.
3.4.
Penalaran Langsung
Penalaran
langsung adalah jenis penalaran yang premisnya hanya terdiri dari satu
keputusan, yang langsung digunakan untuk menarik konklusi.
Termasuk
dalam penalaran langsung adalah: konversi, inverse, obverse, kontraposisi.
3.4.1.
Konversi.
Konversi adalah jenis penalaran langsung yang memutar kedudukan
subjek menjadi predikat dan sebaliknya predikat menjadi subjek dalam sesuatu
keputusan. Dalam konversi, keputusan yang dikonversi (convertend) dan hasil
konversinya (converse) kualitasnya tetap sama.
Misal:
·
Semua orang adalah makhluk hidup
(convertend).
·
Jadi, Semua makhluk hidup adalah
orang (concerse).
Perhatikan bahwa contoh di atas, S a P dikonversikan menjadi S a P
pula, tetapi kalau dicek dalam kenyataan ternyata tidak benar.Supaya dapat
benar,makaS a P dikonversikan menjadi S i P. Sehingga menjadi, sebagai berikut:
·
Semua orang adalah makhluk hidup
(convertend).
·
Jadi, beberapa mkhluk hidup adalah
orang (converse).
Kalau S e P dikonversikan menjadi S e P maka contohnya sebagai
berikut:
·
Semua manusia bukan binatang.
(convertend)
·
Jadi, semua binatang bukan manusia.
(converse).
Contoh di atas adalah benar menurut kenyataannya.
S i P dikonversi menjadi S i P, misalnya:
·
Sebagian manusia adalah mahasiswa
(convertend)
·
Jadi,
sebagian mahasiswa adalah manusia (converse)
Contoh di atas ini adalah tidak benar, karena ternyata semua
mahasiswa adalah manusia.
Hal seperti ini juga akan terjadi pada S o P dengan S o P,
Misalnya:
·
Sebagian manusia adalah bukan
mahasiswa (Convertend)
·
Jadi, Sebagian mahasiswa adalah bukan
manusia (converse)
Oleh sebab itu, Konversi, kualitas harus tetap sama, maka konversi
hanya terjadi pada S a P dengan S a P, S
a P dengan S i P, S e P dengan S e P, S e P dengan S o P, S i P dengan S i P,
dan S o p dengan S o P.
3.4.2.
Inversi
Inversi adalah jenis penalaran langsung dari keputusan pangkal
(invertend) disimpulkan keputusan balik (inverse) yang subjeknya adalah
penentang penuh dari subjek pada keputusan semula.
Misalnya:
·
“Semua seniman adalah pekerja”.
·
Jadi, beberapa bukan seniman adalah
bukan pekerja.
3.4.3.
Obversi
Obversi adalah jenis penalaran langsung dari keputusan pangkal
(Invertend) disimpulkan suatu keputusan balik (obverse) yang searti di mana
subjek tetap sama tetapi kualitas keputusan berubah dari mengiakan menjadi
mengingkari atau sebaliknya.
Misalnya:
·
Kera adalah binatang cerdik
(obvertend).
·
Kera bukanlah binatang tidak cerdik
(obverse).
3.4.4.
Kontraposisi
Kontraposisi adalah jenis penalaran langsung dengan jalan memutar
kedudukan subjek menjadi predikat, dan sebaliknya predikat menjadi subjek dalam
suatu keputusan dan kemudian masing-masing subjek dan predikat itu dibalik
menjadi penentangnya.
Misalnya:
·
“Mahasiswa yang rajin belajar lulus
dalam ujian”
·
Jadi, “Yang tidak lulus dalam ujian
adalah mahasiswa yang tidak rajin belajar”.
F. PENGOLAHAN PROPOSISI MAJEMUK
1. Pengertian Proposisi Majemuk dan Tabel
Kebenarannya
Proposisi majemuk adalah pernyataan
yang terdiri atas dua bagian yang dapat dinilai benar atau salah. Berdasarkan
bentuk hubungan antara dua bagian itu, proposisi majemuk dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu:
·
Proposisi hipotetis.
·
Proposisi disjungtif.
·
Proposisi konjungtif.
System
yang digunakan untuk membuktikan sah atau tidaknya suatu penalaran yang khusus
penalaran majemuk adalah nilai dari pernyataan itu sendiri. Pernyataan sebagai
dasar penalaran mempunyai dua kemungkinan nilainya, yaitu: benar atau salah,
tidak ada kemungkinan ketiga, dan juga tidak ada dua nilai tersebut dalam satu
pernyataan tunggal.
Misalnya pernyataan: “Semua bangsa Indonesia ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Pernyataan ini ada dua kemungkinan nilainya, jika terbukti “semuanya
ber-Ketuhana Yang Maha Esa”, dinilai benar, dan jika “tidak semuanya
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa”, berarti salah. Jadi mungkin benar mungkin juga
salah, tidak mungkin tidak ada nilai keduanya, dan juga tidak mungkin benar dan
salah sekaligus. Kedua nilai tersebut, yaitu: benar atau salah disebut dengan
istilah “nilai kebenaran”, yaitu: benar bahwa hal itu benar karena sesuai
dengan objeknya atau benar juga bahwa hal itu salah karena tidak sesuai dengan
objeknya. Jadi, kedua nilai tersebut benar atau salah merupakan suatu hal yang
benar. Benar bahwa hai itu sesuai dengan kenyataannya, dan benar juga bahwa hal
itu tidak sesuai dengan kenyataannya.
Dalam “logika”, nilai “benar” disimbulkan dengan angka “1”, dan
nilai “salah” disimbulkan dengan angka “0”. Atau juga ada yang menyebutkannya
bahwa “benar” dengan memakai simbul dengan angka “T” (True), dan “F” (False),
atau juga ada yang menulis huruf “B” (benar), dan “S” (salah)
Nilai logis dari suatu pernyataan tunggal, misalnya: p memiliki
nilai logika 1 dan 0. Jika ada dua pernyataan tunggal, nilai logikanya ada 2 X
2 = 4.
Misalnya: p q nilai logisnya: 1 1, 1 0, 0 1, dan 00. Jadi, nilai
logisnya dihiting “2n”, yakni, bahwa n berarti pernyataan tunggal. Oleh sebab
itu, kalau ada 3 pernyataan tunggal, maka berarti nilai logisnya: 2 X 2 X 2 =
8.
Berikut
ini adalah berbagai “Proposisi Majemuk”
dan tabel kebenarannya.
1.1.Proposisi Hipotetis
Proposisi
hipotetis adalah pernyataan yang terdiri atas dua bagian, yang hubungan kedua
bagian itu adalah ketergantungan yang satu sebagai “antecedent” (premis), dan
yang satu sebagai “konsekuen” (kesimpulan). Proposisi hipotetis ada dua, yaitu:
hipotetis yang kondisional (implikasi), dan hipotetis yang bikondisional
(ekuivalent/ biimplikasi).
1.1.1.
Proposisi Hipotetis Kondisional
Proposisi ini ditandai dengan kalimat: “jika
…….. maka …….. “, misalnya: “jika hujan maka jalan menjadi basah”.
Kata “hujan”, disini menjadi anteceden,
“jalan menjadi basah” adalah konsekuen. Kalau diabstraksikan maka menjadi:
“Jika p maka q, dan q belum tentu p”
Diagram
simbulnya: p q
Tabel kebenarannya adalah:
p q
|
p q
|
1 1
|
1
|
1 0
|
0
|
0 1
|
1
|
0 0
|
1
|
Jadi, Proposisi Hipotetis Kondisional
bernilai salah jika nilai anteceden benar dan konsekuen salah.
1.1.2.
Proposisi Hipotetis Bikondisional
Proposisi hipotetis bikondisional ini
ditandai dengan kata kata:
“Jika dan hanya jika ….. maka ……. “.
Sebagai contoh: “Jika dan hanya jika orang menjadi warga Negara Indonesia maka
harus berpancasila”.
Kata-kata: Orang menjadi warga Negara
Indonesia sebagai anteseden, dan kata-kata: harus berpancasila sebagai
konsekuen.
Diagram
Simbulnya: p q
Tabel Kebenarannya, adalah:
p q
|
p q
|
1 1
|
1
|
1 0
|
0
|
0 1
|
0
|
0 0
|
1
|
Jadi, Proposisi Hipotetis
Bikondisional bernilai benar jika nilai kedua komponennya bernilai sama, yaitu:
benar benar atau salah salah.
1.2.
Proposisi Disjungtif
Proposisi Disjungtif ini ditandai sibul: “atau”. Proposisi
Disjungtif dibagi menjadi tiga macam/ jenis, yaitu sebagai berikut:
1.2.1. Disjungsi Eksklusif
Proposisi Disjungsi Eksklusif ditandai dengan “atau”. Jadi, dua
bagian merupakan pilihan, tetapi tidak dapat menyatu, dan ada kemungkinan
ketiga.
Misalnya: Si Hasan ketika terjadi kebakaran berada di kampus atau
di rumah.
Diagram simbulnya, adalah: p
V q
Tabel Kebenarannya, adalah:
p q
|
p V q
|
1 1
|
0
|
1 0
|
1
|
0 1
|
1
|
0 0
|
1
|
Jadi,
prposisi Disjungsi Eksklusif bernilai benar kalau salah satu komponennya
bernilai salah. Dalam contoh di atas, tidak mungkin terjadi dalam waktu yang
bersamaan, si Hasan berada dalam dua tempat yang berbeda dinyatakan benar.
Yakni di kampus dan di rumah.
1.2.2. Disjungsi Inklusif
Disjungsi
Inklusif, ditandai dengan “dan atau”, artinya salah satu atau keduanya dapat
benar, tidak bisa keduanya salah. Misalnya: Mahasiswa UNHI adalah Guru dan atau
Pegawai. Pencuri dan atau perampok akan dihukum.
Diagram
Simbulnya, adalah: p V q
Tabel Kebenarannya adalah:
p q
|
p V q
|
1 1
|
1
|
1 0
|
1
|
0 1
|
1
|
0 0
|
0
|
Jadi,
Disjungsi Inklusif, ditandai dengan “dan atau”, artinya salah satu atau
keduanya dapat benar, tidak bisa keduanya salah.
G.
PENUTUP
Berdasarkan
paparan singkat perkembangan filsafat khususnya ”Logika” sejak kelahirannya
pada zaman Yunani Kuno sekitar Abad ke-6 Sebelum Masehi sampai dengan akhir Abad
ke-20 dan memasuki awal Abad ke-21 atau abad Kontemporer yang biasa juga lazim disebut
zaman Postmodern. Secara singkat dapat
ditegaskan bahwa pemikiran filsafat terutama ”logika” diawali dengan berkembangnya
pemikiran sebagai reaksi terhadap mitos-mitos dan sikap dogmatis. Reaksi
terhadap mitos dan sikap dogmatis ini melahirkan pemikiran rasional, artinya
bahwa suatu pendapat yang dimitoskan dan telah menjadi dogma yang beku dilawan,
ditentang, dan dikoreksi berdasarkan asumsi-asumsi ilmiah yang baru. Di sini
ciri utama ”logika” menjadi lebih dominan, artinya ada keberanian untuk menemukan
hal-hal baru, walaupun manusia pada zamannya mungkin belum dapat menerima
idea-idea tersebut pada massa itu, sebagaimana halnya Copernicus, Galileo
Galilei yang pandangan Heliosentrismenya belum dapat diterima oleh umat manusia
pada zamannya, namun akhirnya pandangan mereka tetap diakui kebenarannya pada
era-era sesudahnya.
Akhirnya
dari uraian-uraian di atas yang berupa perkembangan pemikiran filsafat
khususnya ”logika”, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Logika dapat dipandang sebagai sikap kritis yang mempersoalkan segala sesuatu yang menurut kacamata aturan cara berpikir yang disebut rasional.
- Logika memiliki daya dobrak/ gebrakkan yang tinggi terhadap kemapanan yang diciptakan oleh manusia dalam peradaban dan kebudayaannya, terutama aturan aturan cara berpikir untuk menemukan kesimpulan yang benar dan tepat/ sah.
- Logika bukan merupakan dogma, melainkan suatu aktivitas yang menuntut kreativitas pikir secara berkesinambungan, runtut dan dapat dipertanggung jawabkan baik benar secara materialnya maupun aturan berpikirnya.
DaftarPustaka
Ahmad Tafsir, 2009, Filsafat Umum, Bandung,
PT. Remaja Rosdakarya
Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Jakarta,
PT. Grafindo Persada
Bebbington, David, 1979, Patterns in history, ,
England, Inter-Varsity Press
Caputo, John D. 1987, Radical Hermeneutics,
Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press
Harun Hadiwijono, 1988, Sari Sejarah Fil safat Yunani,Yogyakarta,
Penerbit Kanisius
Robert N. Beck, 1967, Perspectives in Social Philosophy,
New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Sullivan, John Edward, 1970, Prophets
of the West, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc
Suparlan Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat,
Ruzz Media.Yogyakarta, ArFil.
Surajiyo, 2008, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
di Indonesia, Jakarta, PT. Bumi Perkasa
Surajiyo, dkk., 2015, Dasar dasar Logika,
Jakarta, Penerbit Bumi Aksara
Wowo Sunaryo Kuswana, 2013, Filsafat
Pendidikan Teknologi, Vakasi dan Kejuruan, Bandung, Penerbit ALFABETA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar