Senin, 04 September 2017

FILSAFAT TEKNOLOGI



FILSAFAT TEKNOLOGI
Oleh: Drs. Sudadi, M. Hum.


Pendahuluan
            Beberapa puluh tahun silam pernah diadakan sidang UNESCO di Paris yang membicarakan salah satunya untuk mencapai dan memelihara saling pengertian, penghargaan, dan kerja sama antar sesama mansusia. Hal ini dapat disimpulkan, bahwa calon sarjana filsafat, sangat perlu mendapatkan pendidikan filsafat. Dengan harapan untuk memperoleh sifat-sifat pribadi berdasarkan kemampuan seorang ahli filsafat, yakni dapat mengamalkan kemampuan yang dimilikinya. Seseorang yang mampu berfilsafat setidak-tidaknya akan memiliki sifat pribadi, seperti:
a.      Susila.
b.      Demokrasi.
c.       Berjiwa nasional.
d.      Jujur sesuai dengan ajaran agamanya.
e.      Memiliki pandangan hidup, tujuan hidup, dan filsafat hidup.
Dengan demikian bagi orang yang telah memperoleh pendidikan filsafat, maka akan memahami bahwa setiap manusia mempuyai filsafatnya sendiri-sendiri, yakni seperti tentang kehidupannya, dan mempunyai pandangan yang spesifik tentang dunia ini bagi masing-masing manusia. Misalnya bagi seorang perwira, ia akan bersikap sesuai dengan tugas dan fungsinya, begitu juga bagi seorang teknokrat, ia akan bersikap juga sesuai dengan keahliannya sebagai ahli teknologi, dan lain sebagainya.
            Konon, orang yang menggunakan akal secara serius adalah orang Yunani yang bernama Thales (tahun 624-546 SM). Thales diberi gelar sebagai Bapak Filsafat, karena ia mengajukan pertanyaan yang aneh, yaitu: “Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini ?”. Ia sendiri menjawab: “air”. Setelah itu silih bergantilah filosof sezamannya dan sesudahnya mengajukan jawabannya. Semakin lama persoalan yang dipikirkan oleh manusia semakin luas, dan semakin luas, dan semakin luas pula pemecahannya.
            Buah pikiran, yaitu hasil kerja akal, yang mulai mengagetkan manusia awam, pertama kali dilntarkan oleh Heraclitus (Heracleitus) yang hidup pada sekitar tahun 500-an SM, yaitu tatkala ia berkata bahwa sesungguhnya yang sungguh sungguh ada, yang hakikat, ialah gerak dan perubahan. Jadi, bila orang awam melihat sebuah patung dini hari yang diam, sesungguhnya patung itu bergerak dan berubah terus; demikian kata Heraclitus. Indera manusialah yang tertipu atau yang menipu. Kemudian filosof lain, orang Yunani juga, berhasil menyusun argumentasi untuk membuktikan sebaliknya yang hakikat, yang sungguh sungguh ada, ialah diam, tetap, tak berubah, tak bergerak. Misal: kalau dilihat anak panah yang meluncur dari busurnya, jadi bergerak, sesungguhnya anak panah itu dapat dibuktikan oleh Parmenides adalah tidak bergerak alias diam.
            Ceritera singkat di atas telah memperlihatkan bahwa karya akal memang cukup hebat. Keadaan itu dibuat semakin ramai oleh kemunculan orang yang bernama Zeno, juga orang Yunani, yang lahir pada kira-kira tahun 490 SM. Kemunculannya barangkali dapat dianggap menndai mulainya pemikiran Sofisme. Zeno berhasil membuktikan bahwa ruang kosong itu tidak ada; pluralitas (jamak) itu juga tidak ada. Jadi, semua yang mapan dalam pandangan orang awam ketika itu menjadi goyah. Inilah salah satu karya akal yang hebat itu: kebimbangan.
            Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh sofisme terbesar, yaitu Protagoras. Ia menyatakan bahwa manusia adalah ukuran segala-galanya. Nah, inilah dia rumus utama relativisme. Kebenaran telah. Yang benar ialah yang benar menurutku, menurutmu; kebenaran objektif tidak ada. Sialnya, pemikiran relativisme ini berpengaruh pula pada keyakinan agama orang Athena ketika itu. Apa jadinya ?. tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan,tentang etika, metafisika, juga tentang agama. Sekali lagi, inilah hasil karya akal yang hebat itu. Lantas akibatnya lebih jauh, yaitu orang Athena ketika itu, terutama pemudanya, menjadi orang bingung tanpa pegangan: sendi sendi agama telah digoyahkan, dasar dasar pengetahuan telah diguncangkan. Oleh siapa ? Oleh pemikiran, ya oleh akal.
            Menghadapi keadaan ini, muncul orang Yunani juga, yang bernama Socrates. Nama ini mungkin sama terkenalnya dengan nama Nabi tertentu. Socrates hiduppada kira-kira tahun 470-399 SM. Socrates orang yang taat beragama, meyakini dasar dasar pengetahuan, demikian menurut sejarah. Ia berpendapat bahwa yang benar secara objektif itu ada, itu dapat dipegang. Kebenaran yang relative memang ada juga. Socrates berusaha mengajak pemuda pemuda Athena untuk mempercayai adanya kebenaran yang objektif, yang dapat dipegang. Socrates pun mengajak pemuda pemuda itu kembali meyakini agama mereka. Socrates dengan menggunakan metode dialektika, dengan bercakap cakap ke sana-kemari, berhasil membuktikan adanya kebenaran yang objketif. Itulah esensi-esensi di dalam definisinya. Definisi atau pengertian umum merupakan penemuan Socrates yang sangat urgen. Metode induksi mulai digunakannya, yaitu dalam rangka mencari esensi-esensi tersebut. Yang relative memang ada, yaitu kebenaran-kebenaran pada cirri cirri aksidensia. Pendek kata, bahwa Socrates berhasil menginsafkan pemuda Athena ketika itu bahwa ada kebenaran yang umum dan dapat dipegang, dan agama pun mesti dianut kembali. Akan tetapi hasil ini harus ditebusnya dengan hukuman mati untuk dirinya dengan minum racun, melaksanakan keputusan pengadilan Athena.
            Usaha Socrates itu diteruskan oleh Plato. Plato adalah teman dan juga murid Socrates. Dengan mengangkat esensi pada pengertian umum Socrates menjadi idea, maka adanya kebenaran objektif, semakin dikukuhkan. Sampai di sini “kegaduhan” pertama dalam sejarah penggunaan akal dapat diredakan. Orang Athena mulaipercaya lagi pada adanya kebenaran yang objektif, kebenaran yang dapat dipegang, dan mulai meyakini kembali agama mereka. Relativisme mulai ditinggalkan. Yang relative memang ada, namun tidak seluruh kebenaran bersifat relaif.
            Setelah peristiwa tersebut di atas, pemikiran manusia (filsafat) mulai memasuki babak baru, yaitu suatu periode yang panjang sekali, kira-kira selama 1.500 tahun, dan periode inilah yang sering/ biasa disebut Abad Pertengahan. Ini adalah sebuah sebutan yang amat sederhana. Filsafat pada periode ini pada prinsipnya dipengaruhi oleh suatu keyakinan, yaitu yang bertumpu pada agama Kristiani (Kristen/ Katulik). Meskipun periode waktunya relative panjang, filsafat (di Barat) bisa dikatakan tidak banyak menghasilkan penemuan, terutama bila dibandingkan dengan rentangnya waktu, sebab pemikiran (filsafat) manusia bagaikan direm. Yang mengremnya ialah orang-orang Kristiani atas nama agama Kristiani. Akal dikekang oleh agama pada masa itu. Itulah sebabnya bahwa periode ini lalu disebut periode Skolastik, dan filsafatnya disebut dengan istilah “skolastisisme”. Periode ini seolah-olah merupakan periode “balas dendam” terhadap merajalelanya/ liarnya akal pada periode sebelumnya.
            Pada bagian akhir periode ini, seorang pemikir dengan penuh persiapan, dapat juga melepaskan diri dari periode itu. Ia melesat lepas dari kungkungan dan kekagan itu, laksana anak panah lepas dari busurnya. Ia meninggalkan zamannya. Dan orang dimaksud diberi gelar Bapak Filsafat Modern, ia adalah Rene Descartes yang hidup antara tahun 1596 s/d. tahun 1650 Masehi. Diperkirakan, bahwa Descartes pada masa persiapannya, membaca juga buah pikiran orang orang Islam (Ahmad Tafsir, 2009: 3). Cirri utama pemikiran Descartes adalah melepaskan diri dari pengaruh agama, dan menghidupkan kembali tradisi Yunani, yaitu: Rasionalisme, dan karena gerakannya tersebut, maka pada gerakan ini sering disebut gerakan Reanissance (Ahmad Tafsir, 2009: 3).
            Bila munculnya Socrates dapat dijadikan tonggak sebagai reaksi terhadap akal yang hanya khusus mendominasi pemikiran tentang manusia, maka munculnya Rene Descartes dapat dijadikan sebagai tonggak reaksi pemikiran yang mendominasi suara hati (dalam hal ini berupa iman/ agama) terhadap jalan hidup manusia. Jadi, tampak ada dua (2) tokoh besar yang muncul dari dua latar belakang yang berbeda, yakni: yang satu muncul karena ulah/ polahnya akal, sedangkan yang satu lagi karena ulah/ polahnya orang yang mengatasnamakan agama tertentu yang sangat dipengaruhi oleh hati atau rasa. Oleh sebab itu, akibat penggunaan akal yang keterlaluan besar pada zaman Yunani, orang pada waktu itu menjadi bingung; begitu juga karena kekangan agama yang terlalu didominasi oleh hati pada Abad Pertengahan, dan pemikiran direm. Sehingga keduanya merugikan manusia dan kemanusiaan. Pada masa masa kritis seperti itu biasanya muncul Nabi disatu pihak, atau Filosof dilain pihak. Kritis artinya masa masa yang amat menentukan kelanjutan riwayat manusia.
            Rene Descartes yang hidup di tahun 1596 s/d. tahun 1650 M , ia meletakkan akal (logos) sebagai basis filsafat, tepatnya adalah sebagai basis berfilsafat, bukan agama atau yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah, yakni ketika sejak saat ini pemikiran manusia melaju amat cepat, disbanding dari masa masa sebelumnya, bahkan lebih cepat dari masa  Yunani.
Filsuf pasca Rene Descartes (1596-1650) memberikan pengertian bahwa ciri-ciri eksistensi sejarah budaya manusia adalah mencakup Seni, kepercayaan, filsafat, dan ilmu, yang setiap unsur itu saling berinteraksi, sebagai berikut: a. interaksi kepercayaan dengan filsafat menjadi teologi; b. interaksi kepercayaan dengan seni menjadi mitos; c. interaksi filsafat dengan ilmu menjadi filsafat ilmu; d. interaksi seni dengan ilmu menjadi teknologi; e. interaksi kepercayaan dengan ilmu menjadi psikologi empiris; f. interaksi seni dengan filsafat menjadi kritik seni.
Kepercayaan, yakni bahwa manusia sebagai wujud refleksi dalam dirinya menyadari akan keterbatasannya dalam menghadapi kenyataan hidup. Meskipun demikian, melalui olah pikir, manusia meyakini adanya kekuatan luar yang dapat merubah suatu keadaan. Kekuatan luar itu yang menjadi tonggak kepercayaan
Filsafat adalah refleksi rasional atas keseluruhan yang nyata untuk mencapai kebenaran hakiki dan memperoleh kebijaksanaan secara khidmat. Oleh sebab itu, filsafat merupakan pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan yang ada.
Unsur Ilmu adalah olah pikir tertinggi manusia dalam memecahkan suatu masalah melalui metode, pendekatan dan teknik tertentu. Jadi ilmu adalah kumpulan teori teori yang sudah diuji coba menjelaskan tentang pola pola yang teratur atau pun tidak teratur di antara fenomena yang dipelajari.
Unsur Seni, yakni bepa wujud dari kegiatan akal manusia untuk menghasilkan sesuatu ciptaannya, seperti seni lukis, seni pahat, nyanyian, dll.
Teologi berasal dari bahasa Yunani , yakni theologia yang terdiri dari theos berarti tuhan, dan logos berarti penalaran. Oleh sebab itu, maka teologi lalu berarti pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang totalitas kenyatan berdasarkan iman.
Sedangkan kata Iman artinya adalah totalitas sikap, perilaku terhadap apa yang ditetapkan Tuhan, dan mengakui sebagai sumber aturan hidup dalam alam semesta dan akhir kehidupan.
Pengertian Filsafat Ilmu: Philosophy of science is the ethically and philosophically natutal analysis, descreption, and clarifications of science. (filsafat ilmu adalah analisis netral secara etis filsafati dalam penjelasan dan klarifikasi klarifikasi ilmu pengetahuan) (May Brodbeck 1949)
Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (filsafat ilmu adalah pertanyaan pertanyaan dan mengevaluasi metode metode pemikiran ilmiah serta mencoba menentukan nilai dan makna sebagai upaya ilmiah secara keseluruhan) (Lewis white Beck 1952).
Mitos adalah cara pemikiran yang dilandasi sifat keyakinan mistis atau kepercayaan dengan wujud simbol, nada, gerak dan tulisan, akan tetapi esensi mitos sulit untuk diperiksa dan diprediksi.
Teknologi adalah barang buatan, penggunaan dan pengetahuan alat, teknik, kerajinan, sistem atau metode dan manajemen.
Teknologi berasal dari bahasa Yunani Tehnoloogia, yang terdiri dari kata techne, suatu seni, skill, atau kerajinan, dan logia artinya studi tentang sesuatu.
Kritik Seni merupakan suatu wilayah keilmuan dalam bidang seni yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan kualitas seni modern dan postmodern.
Psikologi Empiris adalah  studi tentang jiwa (jiwa yang berarti nafas, roh, atau jiwa).
Pada awal pekembangannya , psikologi empiris masih pada ranah pengkajian yang dilandasi oleh kepercayaan dan filsafat.
            Keadaan dunia yang begini ini ada dua kekuatan yang mewarnainya. Kekuatan yang mewarnai itu yang pertama yakni agama, dan yang kedua yakni filsafat. Manusia yang mewarnai dunia juga hanya dua, yakni ahli agama (Nabi, Resi, ulama, dan para tokoh agama lainnya), dan ahli filsafat (filosof). Apakah sains dan teknologi ikut juga mewarnai dunia ? Tidak. Sains dan teknologi dalam garis besarnya adalah netral. Karena pakar sains dan teknologi menggunakan sains dan teknologi untuk mewarnai dunia dasarnya adalah pandangan hidupnya. Padahal pandangan hidup itu munculnya hanya dari dua hal, yakni agama dan filsafat (Ahmad Tafsir, 2009: 7).

A. PENGANTAR KEPADA FILSAFAT

1. Dua Kekuatan Yang Mewarnai Dunia
            Keadaan dunia yang begini ini ada dua kekuatan yang mewarnainya. Kekuatan yang mewarnai itu yang pertama yakni agama, dan yang kedua yakni filsafat. Manusia yang mewarnai dunia juga hanya dua, yakni ahli agama (Nabi, Resi, ulama, dan para tokoh agama lainnya), dan ahli filsafat (filosof). Apakah sains dan teknologi ikut juga mewarnai dunia ? Tidak. Sains dan teknologi dalam garis besarnya adalah netral. Karena pakar sains dan teknologi menggunakan sains dan teknologi untuk mewarnai dunia dasarnya adalah pandangan hidupnya. Padahal pandangan hidup itu munculnya hanya dari dua hal, yakni agama dan filsafat.
            Kenyataan di atas dapat dilihat, bahwa sejarah telah mempertontonkan adanya manusia yang berani mati untuk dan karena agama yang dianutnya. Banyak orang mengorbankan harta, pikiran, tenaga, atau nyawa sekalipun untuk dan karena kepercayaan yang dianutnya. Malah ada orang yang dibakar hidup-hidup oleh orang yang merasa agama/ kepercayaannya dilecehkan oleh orang tersebut. Orang dengan tekun menabur bunga atau membakar dupa dan sebagainya untuk dan karena kepercayaan terhadap agamanya. Demikian pada kenyataannya.
            Selain kenyataan itu, sejarah juga telah mencatat pula adanya orang kuat, yang kadang kadang juga berani mati, karena meyakini sesuatu yang diperolehnya karena memikirkannya. Yang ini adalah pemikir atau yang biasa disebut filosof. Sesuatu dipikirkan sedalam-dalamnya, kemudian suatu ketika ia sampai pada kesimpulan yang dianggapnya benar. Kemudian kebenarannya ini mempengaruhi tindakannya, sehingga keyakinannya pada kesimpulannya itu lalu membentuk sikapnya. Contoh Socrates sanggup mati dengan cara meminum racun, sebagai hukuman baginya karena mempertahankan kebenaran filsafat yang dianggap benar.
            Keyakinan terhadap kebenaran filsafatnya itu menjadikan filosof merasa wajib menyebarkan pendapatnya, sehingga pada orang yang mengikuti itu terbentuk pula sikap mereka, tindakan mereka dibentuk oleh pandangan filsafat itu, jadi menjadi pandangan hidup mereka. Maka dari itu mereka juga mewarnai dunia.
            Kedua hal di atas, yakni agama dan filsafat adalah dua kekuatan yang mewarnai dunia. Oleg sebab itu, barang siapa hendak memahami dunia, ia harus memahami agama atau filsafat yang mewarnai dunia itu. Dan dua kekuatan besar yang mewarnai dunia itu, orang harus mempelajari kekuatan itu, yakni apa agama itu ? apa filsafat itu ?.
            Tentang agama dalam hal ini tidak akan dibahas secara panjang dan lebar, namun yang pasti bahwa agama berdasarkan berbagai bacaan yang telah dibaca, tentang agama banyak sekali definisinya. Dari sekian banyak definisi itu agaknya dapat dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama, yakni definisi agama yang menekankan segi rasa iman atau kepercayaan, yang kedua, yakni definisi agama yang menekankan segi agama sebagai peraturan tentang cara hidup. Demikian tentang agama, sedangkan tentang filsafat sudah barang tentu dibicarakan secara panjang lebar, karena dalam hal ini adalah berupa materi kuliah tentang dasar-dasar filsafat.
2.Cara Mempelajari Filsafat
Ada dua cara, yaitu:
a.Secara Historis – mempelajari sejarah perkemangannya, yaitu sejak timbulnya filsafat sampai sekarang.
Mempelajari filsafat dalam hal ini adalah mempelajari filsafat dari sejak lahirnya hingga sekarang ini, yakni yang biasa disebut sejarah filsafat itu sendiri. Di samping itu, pengertian filsafat itu sendiri berkembang dari masa ke masa. Untuk lebih jelasnya bahwa pengertian filsafat berkembang dari masa ke masa adalah sebagai berikut.
            Mula mula filsafat diartikan sebagai the love of wisdom atau love for wisdom. Pada fase ini filsafat berarti sifat seseorang yang berusaha menjadi orang yang bijak atau sifat orang yang ingin atau cinta pada kebijaksanaan. Pada fase ini filsafat juga berarti sebagai kerja seseorang yang berusaha menjadi orang yang bijak. Jadi, yang pertama filsafat sebagai sifat, dan yang kedua filsafat sebagai kerja.
            Masih pada fase ini, yaitu pada Aristoteles, misalnya pengertian filsafat sangat umum, luas sekali. Waktu itu segala usaha dalam mencari kebenaran dinamakan filsafat, begitu pula hasil usaha tersebut. Dikatakan luas sekali karena semua pengetahuan, termasuk special science, tercakup dalam filsafat. Sebagai akibat dari pengertian menurut Aristoteles tidak dapat dipahami oleh para penggemar filsafat pada zaman ini karena special science telah memisahkan diri dari filsafat. Pada fase pertama ini wisdom memang luas sekali artinya, sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopedia of Philosophy (1967: 216) bahwa Homerus menyebut tukang kayu juga orang yang bijak (Ahmad Tafsir, 2009: 12).
            Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa pengertian filsafat mulai menyempit, yakni lebih menekankan pada latihan berpikir untuk memenuhi kesenangan intelektual (intellectual curiosity). Definisi dari Bertrand Russel barang kali dapat digolongkan ke sini tatkala ia mengatakan bahwa Philosophy is the attempt to answer ultimate question critically. Pada fase ini jelas pengertian filsafat jauh lebih sempit dari pada pengertian filsafat pada masa Aristoteles  di atas. Tugas filsafat pada masa ini, menurut definisi Bertrand Russel itu, ialah menjawab pertanyaan yang tinggi (ultimate), yakni pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh sains. Definisi filsafat dari William James berbeda dari definisi Bertrand Russel. William James mengatakan bahwa filsafat ialah kumpulan pertanyaan yang belum pernah terjawab secara memuaskan.
            Dengan demikian pengertian filsafat sering berbeda antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat, dan terakhir ini dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan pandangan hidup yang berbeda serta akibat perkembangan filsafat itu sendiri.
b.Secara Sistematis – mempelajari isinya, yaitu mempelajari bidang bahasan, seperti cabang metafisika, epistemologi, logika, etika, dll. Pada garis besarnya filsafat mempunyai tiga cabang besar, yakni dimensi epistemologis (teori pengetahuan), dimensi ontologism (teori hakekat), dan dimensi aksiologis (teori nilai).
Dimensi epistemologis pada dasarnya membicarakan cara memperoleh pengetahuan. Dimensi ontologism membahas semua objek, dan hasilnya ialah pengetahuan filsafat.
Yang ketiga, yakni dimensi aksiologis adalah membicarakan guna pengetahuan tersebut di atas.

B. ARTI FILSAFAT

a. Arti secara etimologis.
Filsafat(Indonesia) = falsafah(Arab), philosophy (Inggris), philosophia(Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu sumbernya = philosophia dari istilah Yunani.
Istilah Yunani asal katanya philein artinya mencintai,
Sedangkan kalau philos artinya teman.
Istilah sophos artinyabijaksana, sedangkan sophia artinya “kebijaksanaan”.
Jadi bila mengacu philein dan sophos artinya mencintai hal2 yang bersifat bijaksana,
Namun bila  mengacu pada kata philos dan sophia artinya teman kebijaksanaan.

b. Arti Filsafat Sebagai Suatu Sikap
Filsafat = suatu sikap terhadap kehidupan dan alam semesta.
Bila orang sedang menghadapi problem yang berat, maka dalam hatinya akan bertanya yang membutuhkan jawaban secara kefilsafatan.
Artinya membutuhkan jawaban yang ditinjau secara tenang, luas, dan mendalam.
Misal filsafat prajurit, rawe2 rantas malang2 putung

c. Arti Filsafat Sebagai Suatu Metode
Artinya bahwa filsafat sebagai cara berpikir secara reflektif, radikal, dan suatu penyelidikan yang menggunakan alasan serta berpikir secara hati hati dan teliti.
Jadi filsafat merupakan usaha untuk memikirkan seluruh pengalaman manusia secara mendalam dan jelas.
Misalnya: Metode Kritis oleh Socrates dan Plato.

d. Arti Filsafat Sebagai Sekelompok Teori atau Sistem Pemikiran
Teori atau sistem pemikiran filsafati dimunculkan oleh masing-masing filsuf, seperti Sokrates, Plato, Aristoteles dll.  Adalah untuk menjawab masalah masalah, misalnya tentang prinsip fundamental alam semesta, apa dan siapa manusia, serta masih banyak masalah masalah yang harus dijawab oleh para filsuf yang lain.  Karena tanpa filsuf filsuf besar seperti disebutkan di atas, filsafat tidak akan berkembang seperti sekarang ini.  Perlu diingat bahwa besarnya kadar subjektifitas seorang filsuf dalam manjawab permasalahan, membuat sulit untuk menentukan teori atau sistem pemikiran mana yang harus diikuti dan yang baku.
 
e. Arti Filsafat sbg. analisis logis tentang bahasa & penjelasan makna istilah
Para filsuf memakai metode analisis untuk menjelaskan suatu istilah.  Para filsuf seperti G. E. Moore, Bentrand Russel, Ludwig Wittgenstein, dll. Mengatakan bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan kekaburan dengan cara menjelaskan istilah. Sebab menurutnya bahasa adalah laboratorium para filsuf.  Misal, kata “ada” ini tentang adanya Tuhan dan adanya Manusia berbeda. Begitu juga ada dalam ruang waktu berbeda dengan ada secara transenden, dll.

ULASAN
            Setelah dicoba menjelaskan dari berbagai segi dan bermacam cara, dapat dimengerti bahwa filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara berpikir logis, tentang objek yang abstrak logis, kebenarannya hanya dipertanggung jawabkan secara logis pula. Jika diringkaskan, maka dapat juga dikatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang logis yang tidak dapat dibuktikan secara empiris. Definisi ini memang belum lengkap, belum mencakup seluruh konsep yang terkandung dalam istilah filsafat, namun agaknya telah mampu menunjukkan apa itu filsafat secara garis besarnya. Untuk mengetahuan apakah diri pembaca (Anda) telah mengerti apa filsafat, caranya mudah: yakni, Bacalah beberapa makalah, buku, atau apapun namanya, setelah itu Anda akan dapat mengatakan, bahwa makalah ini atau buku ini adalah makalah atau buku filsafat, atau malah mengatakan sebaliknya, yakni bahwa makalah atau buku ini adalah makalah atau buku sains, bukan filsafat dan buku bukan buku filsafat. Dengan demikian bila Anda telah mampu berbuat demikian, maka yakinlah bahwa Anda telah memahami apa filsafat itu.
 

C. FILSAFAT
 
Apa yang mendorong timbulnya filsafat – Jawaban terhadap pertanyaan ini kiranya akan membantu memahami apa filsafat itu sebenarnya. Dengan membaca ini mudah mudahan pengertian filsafat akan terungkap sedikit demi sedikit.
            Hata dalam bukunya, Alam Pikiran Yunani (1966, 1:1-3), menulis sbb:
“Tiap bangsa betapapun biadabnya, mempunyai dongeng takhayul (mitologi). Ada yang terjadi dari kisah perintang hari, keluar dari mulud orang yang suka bercerita. Ada yang terjadi dari muslihat menakut-nakuti anak supaya ia tidak nakal. Ada pula yang timbul dari keajaiban alam yang menjadi pangkal heran dan takut. Dari itu orang mengira ala mini penuh oleh makhul-makhluk gaib. Lama kelamaan timbul berbagai fantasi. Dengan fantasi itu manusia dapat menyatu ruh dengan alam sekitarnya. Orang yang membuat fantasi itu tidak ingin membuktikan kebenaran fantasinya, karena kesenangan ruhnya terletak pada fantasi itu. Tetapi kemudian ada orang yang ingin mengetahui lebih jauh. Di antaranya ada orang yang tidak percaya, ada yang bersifat kritis, lama kelamaan timbul keinginan pada kebenaran. Orang-orang Grik dahulunya banyak mempunyai dongeng dan takhayul. Tetapi yang ajaib pada mereka ialah bahwa angan-angan yang indah itu menjadi dasar untuk mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja. Tidak mengharapkan untung dari situ. Berhadapan dengan alam yang indah dan luas, yang sangat bagus dan ajaib pada malam hari, timbul di hati mereka keinginan hendak mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan di dalam hati mereka, dari mana datangnya ala mini, bagaimana terjadinya, bagaimana kemajuannya dank e mana sampainya. Demikianlah selama berates tahun alam ini menjadi pertanyaan yang memikat perhatian ahli-ahli piker Grik.”
            Dari kutipan di atas dapat diambil dua kesimpulan. Pertama, dongeng dan takhayul dapat menimbulkan filsafat. Di antara orang-orang ada yang tidak percaya begitu saja. Ia kritis, ingin mengetahui kebenaran dongeng itu. Dari situ timbul filsafat. Kedua, keindahan alam besar, terutama ketika malam hari, menimbulkan keinginan pada orang Grik untuk mengetahui rahasia alam itu. Keinginan mengetahui rahasia alam, berupa rumusan-rumusan pertanyaan, ini juga menimbulkan filsafat.


1.  Latar belakang timbulnya filsafat
a.Heran, kagum, dan takjub terhadap alam semesta dan peristiwa peristiwanya. 
         Pertama tama bangsa Yunani dalam menghadapi alam semesta beserta peristiwanya itu, yang muncul dari rasa heran, kagum dan takjub adalah percaya adanya mitologi.  Karena mitologi mitologi itu merupakan percobaan untuk mengerti.  Mite mite sudah memberi jawaban atas kekaguman dan keheranan manusia pada waktu itu. Kemudian mereka mulai mengadakan beberapa usaha, seperti mensistematiskan mite, menghubung hubungkan antara mite mite, dll. Akirnya mereka mulai berpikir secara serius dan muncullah filsafat.
b. Timbulnya kesusastraan Yunani.
Kesusastraan dimaksud bukanlah dalam arti sempit, seperti puisi atau sebangsanya, melainkan dalam arti yang seluas luasnya, sehingga dapat meliputi seperti, teka teki, dongeng, ceritera pendek, syair, dll.  Kemudian karya sastra seperti inilah yang mulai dipakai sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani.  Contoh, yaitu syair syair dapat berperan sebagai  pendidikan, hal ini bisa dibandingkan di Jawa atau Bali seperti wayang dan semacamnya.

c. Pengaruh ilmu pengetahuan yang sudah terdapat di Timur Kuno.

Hal ini dipahami dari datangnya ilmu ukur dan ilmu hitung yang sebagian besar datang dari Mesir. Ilmu ini di Mesir digunakan untuk mengukur dan menghitung wilayahnya yang terkikis sungai Nil. Tetapi bagi bangsa Yunani, ilmu pengetahuan itu tidak dijalankan dalam konteks praktis saja. Mereka mulai mempelajarinya dengan tidak mencari untung (Inggris: disinterestedly) saja, melainkan dipraktekan demi ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi untung yang letaknya di luar ilmu pengetahuan.

2. Definisi Filsafat
Menurut Plato, bahwa filsafat adalah ilmu pength. yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
Menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu pength. Yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Menurut Descartes, bahwa filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
Menurut Notonagoro, bahwa filsafat mengelola hal-hal yang menjadi objeknya dari sudut intinya yang mutlak dan tindakan yang tidak berobah, yaitu disebut hakekat.
Menurut Everton, bahwa Philosophy is love of learning, Philosohy is an interpretation of live, its value and meaning, Philosophy provides us with a rational view of the world.
Jadi menurut penulis, filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu yang ada dengan mendalam sampai ke hakekatnya.
 
3. Ciri ciri Orang Berfilsafat

a. Universal, artinya dalam berpikir tidak berkaitan dengan hal-hal khusus, melainkan berkaitan dengan idea-idea besar, misal: bukan menanyakan berapa harta anda disedekahkan, namun apa keadilan itu, dsb.
b. Spekulatif, artinya berpikir yang melampaui batas batas bidang pengeth. Ilmiah, berpikir untuk menduga apa yang akan terjadi, dan berpikir terkaan terkaan yang cerdik thdp hal hal di luar pength, kematian, kebahagiaan sempurna, dll
c. Nilai nilai (Inggris: values), artinya berpikir tentang keputusan penilaian, seperti nilai moral, nilai estetis, nilai sosial, nilai religius, dll. Dalam hal ini nilai sifatnya abstrak yang melekat pada suatu hal, sehingga dapat menimbulkan rasa senang atau puas terhadap halnya.
d. Kritis, artinya dalam berpikir mengahadapi sesuatu hal tidak menerima begitu saja, namun memeriksa dan menilai asumsi asumsinya, mengungkapkan arti, dan menentukan batas penerapannya.
e. Sinoptik, artinya meninjau hal yang menjadi objeknya secara menyeluruh, yaitu berusaha mengadakan generalisasi, menganalisa, mensintesakan, dan mengadakan integrasinya. Jadi mencakup setruktur kenyataan secara menyeluruh.
f. Radikal, kata ini berasal dari lata Yunani “radix” artinya akar. Jadi berarti berpikir sampai ke akar akarnya, yaitu berpikir sampai ke hakikat, esensi atau substansi yang dipikirkan.
g. Konseptual,  artinya berpikir sampai ke hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal hal dan proses individual. Misal: berpikir tentang manusia tidak secara khusus, melainkan manusia secara umum, seperti: apa hakekat manusia ?.
h. Koheren dan konsisten, arinya dalam berpikir  sesuai dengan kaidah kaidah berpikir (logis), dan tidak mengandung kontradiksi.
i. Sistematis, , artinya dalam berpikir merupakan kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan untuk mencapai suatu maksud dan tujuannya.
j. Komprehensif, artinya dalam berpikir mencakup secara menyeluruh, sehingga tidak ada satupun yang tertinggal di luarnya.
k. Bebas, artinya bebas dari prasangka prasangka sosial, historis, kultural, religius, dan lain sebagainya.
l. Bertanggung jawab, artinya berpikir yang bertanggung jawab, misalnya: dalam berpikir ada pertanggung jawaban terhadap hati nuraninya sendiri.

4. Objek Filsafat
            Tujuan filsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu pada garis besarnya ada tiga dimensi besar filsafat, yakni dimensi epistemologis, dimensi ontologism, dan dimensi aksiologis.
            Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan oleh filososf adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, jadi sangat luas objeknya. Oleh sebab itu objek filsafat dapat dipahami sebagai berikut:
Objek filsafat ada dua jenis, yaitu:
a.      Objek materiil.
Tentang objek materiil filsafat banyak yang sama dengan objek materiil sains. Bedanya ialah dalam dua hal. Pertama, bahwa sains menyelidiki objek materiil yang empiris, sedangkan filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris, melainkan bagian yang abstraknya. Kedua, objek materiil filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir,, yaitu objek materiil yang untuk selama lamanya tidak empiris. Jadi objek materiil filsafat tetap saja lebih luas dari objek materiil sains.
b.      Objek formil.
Objek formil, yaitu sifat penyelidikan. Objek formil filsafat adalah penyelidikan yang mendalam. Artinya, ingin tahunya filsafat adalah ingin tahu bagian dalamnya. Kata mendalam, artinya ingin tahu tentang objek yang tidak empiris.
 
5. Cara memahami objek material filsafat.

Pemahaman pertama atas segala sesuatu ialah pemahaman mengenai suatu yang identik.  Artinya, bahwa “Sesuatu” itu Sesuatu yang tertentu, dan bukannnya sesuatu yang lain. Yaitu: “Ini” adalah Ini dan bukan Itu.  Kelanjutannya berupa suatu konsep, bahwa A=A, A bukan non A, segala sesuatu itu A atau non A. Contoh kongkritnya ialah bahwa “Mangga” itu Mangga. 
 Jadi terdapat suatu keteraturan, bahwa kalau kita menanam  biji mangga, maka kita pada suatu waktu akan memetik buah mangga. Mengapa ?. Karena segala sesuatu itu identik dengan hakekatnya, jati dirinya. Segala sesuatu itu menjadi sesuatu di dalam suatu kerangka himpunan hal hal, sedemikian rupa sehingga pemahaman tentang sesuatu juga kita peroleh melalui vector, atau medan keberadaannya.  Suatu alat rumah tangga misalnya, yang kita kenal sebagai “Meja”, kita takrifkan sebagai “Alat Rumah Tangga” yang isi pengertiannya plus terhadap pengertian Alat Rumah Tangga, namun yang wilayah berlakunya pengertian “meja” lebih sempit daripada wilayah yang dicakup oleh pengertian Alat Rumah Tangga. Suatu Subjek yang didefinisi harus lebih sempit dari Predikatnya, dan juga lebih kongkret.  Rumusnya ialah : S > P. Lalu kalau kita bertanya : Semua ini apa ?.  
 Sesuai dengan aturan di atas, Sesuatu itu, yaitu Semua, yang harus merada pada sesuatu yang keluasannya melebihi Sesuatu yang kita sifatnya sebagai Semua itu tadi.  Kalau begitu, maka Semua itu bukan Semua, sebab masih ada sesuatu yang mengatasi kesemuanya. Baru membicarakan suatu hal yang kita sebut “Semua” saja, kita berhadapan dengan sesuatu, yang mau tidak mau kita lalu .......(merenung) Jadi yang namanya “semua” adalah disebut “ada”.  Artinya: ada dalam realita (kenyataan), ada dalam pikiran, dan ada dalam kemungkinan.

Ada daapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. ada umum
b. Ada khusus

6. Sistematika Filsafat

Hasil berpikir tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada itu tadi telah banyak sekali terkumpul, di dalambuku buku tebal dan tipis. Setelah disusun secara sistematis, ia dinamakan sistematika filsafat, disebut juga struktur filsafat. Sebelum ini sudah disebutkan bahwa dalam garis besarnya filsafat dibagi tiga cabang besar, yaitu: teori pengetahuan atau pemikiran filosofis tentang pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai, yaitu pemikiran filosofis tentang nilai. Berikut ini ketiga cabang itu akan diuraikan lebih rinci lagi.
Karena objek penelitian filsafat luas sekali (objek filsafat), dan sifat penelitiannya yang mendalam (objek forma), hasil penelitian itu bertambah terus dan tidak ada yang dibuang, maka hasil pemikiran yang terkumpul dalam sistematika filsafat menjadi banyak sekali. Karena banyaknya, jangankan mempelajarinya, membaginya pun repot. Oleh karena itu, tidak seorang pun yang berani mengaku ahli dalam filsafat; paling banter ia mengaku ahli logika, atau ahli dalam filsafat hokum, atau ahli dalam eksistensialisme saja. Di sini akan dicoba melihat cabang-cabang filsafat sampai yang kecil-kecil supaya dapat dipahami kapling-kaplingnya.
Perlu diulang lagi bahwa dalam garis besarnya filsafat mempunyai tiga cabang besar, yaitu: teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai. Teori pengetahuan pada dasarnya membicarakan cara memperoleh pengetahuan. Teori hakikat membahas semua objak, dan hasilnya ialah pengetahuan filsafat. Yang ketiga, teori nilai atau disebut juga aksiologi, membicarakan guna pengetahuan tadi. Kalau begitu ringkasannya ialah sebagai berikut:
                           -teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan, disebut epistemology
                           -teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri, disebut ontology
                           -teori nilai membicarakan guna pengetahuan itu, disebut axiology (Ahmad Tafsir, 2009: 23).
Inilah keseluruhan filsafat dalam garis besar yang ringkas, dan beriut bias dilihat sedikit lebih luas dan dalam.

7. Cabang cabang filsafat

Bidang-bidang yang masuk dalam wilayah filsafat dan merupakan konsep-konsep dasar filsafat meliputi:
1). Metafisika, yaitu suatu usaha untuk sampai pada teori umum dalam rangka menerangkan dan melukiskan alam semesta sebagai satu keseluruhan.
Hal ini metode yang digunakan bukan metode empirik, tetapi deduktif, sehingga muncullah pengertian metafisika sebagai berikut:
a. Metafisika adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu penjelasan yang benar tentang kenyataan.
b. Metafisika adalah studi tentang sifat dasar kenyataan dalam aspeknya yang sangat umum sejauh hal itu dapat dicapai manusia.
c. Metafisika adalah studi tentang “kenyataan yang terdalam” dari semua hal.
d. Metafisika adalah suatu usaha intelektual yang sungguh sungguh untuk melukiskan sifat sifat umum dari kenyataan.
e. Metafisika adalah teori tentang sifat dasar dan struktur dari kenyataan.
Metafisika sangat luas bahasannya, sehingga metafisika dapat dibahas dalam tiga cabang, yaitu: ontologi, kosmologi, dan antropologi metafisik.
a). Ontologi, adalah ilmu yang menyelidiki sifat dasar dari objek-objek fisis, hal universal, dan abstrak.
Oleh sebab itu, ontologi merupakan teori tentang prinsip-prinsip umum dari hal ada, atau ontologi dapat dipandang sebagai teori mengenai yang ada.
b). Kosmologi adalah ilmu yang menyelidiki tentang tata-tertib yang sangat fundamental dalam kenyataan.
c). Antropologi metafisik adalah ilmu yang menyelidiki tentang manusia yang berkaitan dengan pertanyaan pertanyaan tentang hakikat manusia dan pentingnya dalam alam semesta. 
d). Epistemologi
Yaitu: cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan kesahihan pengetahuan. Sedangkan filsafat ilmu mempelajari tentang ciri ciri pengetahuan ilmiah dan cara bagaimana mendapatkannya.
Oleh sebab itu mempelajari epistemologi dan filsafat ilmu diharapkan dapat membedakan antara pengetahuan dan ilmu serta mengetahui dan menggunakan metode yang tepat dalam memperoleh suatu ilmu

8. Aliran aliran Filsafat.
Aliran-aliran filsafat dasarnya adalah: a. Persoalan tentang keberadaan (dimensi ontologis) b. Persoalan pengetahuan (dimensi epistemologis) c. Persoalan nilai-nilai (dimensi aksiologis).

Ad. a. Persoalan tentang keberadaan (dimensi ontologism), bahwa keberadaan dapat dilihat dari dua kategori, yaitu: (lihat bagan di bawah ini).

Ada  dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Kuantitas;
b. kualitas

ad. a.Kuantitas terdiri dari: 1). Monisme (satu) ; 2). Dualisme (dua) ; 3). Pluralisme (banyak)
Ad.b.Kualitas terdiri dari:  Spiritualisme dan Meterialisme

Keterangan tentang keberadaan dipandang dari segi kuantitas, yaitu:
1).Monisme,
Yaitu aliran yang menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan fundamental di jagad raya ini dapat berupa: Tuhan atau substansi lain, seperti jiwa, materi. Dll. yang tak dapat diketahui.
Tokohnya, seperti:
Thales (abad 6 Seb. M.) Mengatakan air sebagai substansinya,
Anaximandros (abad 6 Seb. M) mengatakan bahwa Apeiron, yaitu sesuatu yang tak terbatas sebagai substansinya,
Baruch Spinoza (abad 17 M) berpendapat bahwa satu substansi itu adalah Tuhan yang dalam hal ini Tuhan diidentikkan dengan alam (Yunani: Naturans naturata).
2).Dualisme
Yaitu: aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing masing berdiri sendiri-sendiri.
Tokohnya, yaitu:
Plato (427-347 Seb. M). Yang membedakan adanya dua dunia, yaitu dunia indra (dunia bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia idea).
Rene Descartes (1596-1650), yang membedakan substansi pikiran dan substansi keluasan.
Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena)
3).Pluralisme, yaitu:
Aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi, melainkan banyak substansi sebagai kenyataan yang fundamental.
Tokohnya, yaitu:
Empedokles (490-430 Seb. M), yang menyatakan bahwa hakekat kenyataan terdiri dari empat unsur, ialah udara, api, air, dan tanah.
Anaxagoras, yang menyatakan bahwa hakikat kenyatan terdiri dari unsur-unsur yang tak terhitung jumlahnya, sebanyak jumlah sifat-sifat benda dan semuanya itu dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan “nous”.
Dikatakan olehnya bahwa “nous” adalah suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur, tapi tidak diatur.
Tokoh-tokoh pendukungnya adalah filsuf Postmodern, seperti Mitchel Foucault, J.J. Derrida, dan J.F. Lyotard (mereka sebagai tokoh yang memihak pada aliran pluraslisme)

Keterangan tentang keberadaan dipandang dari segi kualitas/sifatnya, adalah:
1). Spiritualisme,
Yaitu aliran yang menyatakan bahwa kenyataan fundamental adalah jiwa (pneuma, nous, reason, logos).
Jadi, yang mendasari seluruh alam ini adalah jiwa, sehingga ini dilawankan dengan materialisme.
Tokoh-tokohnya, yaitu:
Plato (427-347 Seb. M), yaitu dengan ajarannya tentang idea (cita). Idea (cita) adalah gambaran asli segala benda. Jadi semua benda yang ada di alam raya ini hanyalah merupakan bayangan idea saja.
2).Materialisme, yaitu:
Aliran yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata keculi materi.
Pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi dan dapat dikembalikan pada unsur-unsur fisik.
Jadi hal-hal yang bersifat kerochanian, seperti pikiran, jiwa, keyakinan, rasa sedih, dll. Tidak lain hanyalah ungkapan proses kebendaan.
Tokohnya, yaitu:
Demokritos (460-370 Seb. M) yang mengatakan bahwa alam semesta ini tersusun dari atom-atom kecil yang memiliki bentuk dan badan.
Atom-atom ini sifatnya sama, dan bedanya hanya pada bentuk, besar, dan letaknya. Oleh sebab itu jiwa pun terjadi dari atom-atom, hanya saja atom jiwa lebih kecil, bulat, dan sangat halus, serta mudah bergerak.
Thomas Hobbes (1588-1679), yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini merupakan gerak dari materi, termasuk juga pikiran, perasaan adalah gerak materi belaka.
Jadi, segala sesuatu terjadi dari benda-benda kecil, sehingga filsafat sama dengan ilmu yang mempelajari benda-benda.

ad. b. Persoalan pengetahuan yang bertalian dengan sumber-sumber pengetahuan (dimensi epistemologis), yaitu berupa:
Epistemologi membicarakan  sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperolehnya pengetahuan itu. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut:
1). Aliran rasionalisme
Yaitu, aliran yang berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber pada akal (rasio).
Tokohnya, ialah:
Rene Desacartes (1596-1650), mengatakan bahwa manusia sejak lahir telah memiliki idea bawaan (innate ideas). Dan tokoh yang lain, yaitu: Spinoza, dan Leibniz.
Pada perkembangan dewasa ini muncul aliran “Rasionalisme kritis” dengan tokohnya Karl R. Popper (1902- )
2). Aliran empirisme,
Yaitu aliran yang berpandangan bahwa semua pengetahuan diperoleh liwat indera.
Prosesnya: Indera memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, kemudian kesan-kesan itu berkumpul dalam diri manusia yang kemudian diolah menjadi pengalaman.
Tokohnya : John Locke (1632-1704), Thomas Hobbes (1588-1679), David Hume (1711-1776)
John Locke mengatakan, bahwa waktu lahir jiwa manusia adalah putih bersih (tabularasa), tidak ada bekal dari siapa pun.
Akal/ rasio pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Artinya, bahwa akal/ rasio tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri.
Jadi, semula akal serupa dengan secarik kertas putih yang tanpa tulisan, yang siap menerima sesuatu yang datang dari pengalaman. 
John Locke tidak membedakan antara pengetahuan iderawi dan pengetahuan akali.
Satu-satunya obyek pengetahuan adalah idea-idea yang timbul karena empiri/ pengalaman lahiriah (sensation) dan karena pengalaman/ empiri batiniah (reflection).
Kedua macam pengalaman itu jalin menjalin, yaitu pengalaman lahiriah menghasilkan gejala-gejala psikis yang harus ditanggapi oleh pengalaman batiniah.
Yang dibedakan oleh John Locke adalah antara idea-idea tunggal (simple ideas) dan idea-idea majemuk (complex ideas).
Idea tunggal datang pada manusia langsung dari pengalaman, tanpa pengolahan logis, sedang idea majemuk timbul dari gabungan idea-idea tunggal.
Jadi, jika idea-idea secara teratur bersama menampilkan diri, maka idea-idea itu sebagai satu hal yang sama, yang berdiri sendiri, yaitu yang disebut substansi.
3). Aliran Kritisisme,
Yaitu: aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal, baik dari dunia luar, maupun dari jiwa atau pikiran manusia.
Prosesnya: akal memperoleh pengetahuan dari empiri/ pengalaman, kemudian akal mengatur dan mentertibkan dalam bentuk pengamatan, yakni dalam bentuk ruang dan waktu.
Tokohnya: Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant (1724-1804) seorang filsuf Jerman yang mencoba mengatasi pertikaian antara rasionalisme dan empirisme.
Mulanya Kant mengakui rasionalisme, kemudian empirisme datang mempengaruhinya. Waktu menghadapi empirisme, Kant tidak begitu saja menerimanya, karena Kant tahu bahwa empirisme membawa keraguan terhadap rasio.
Di satu pihak, Kant mengakui kebenaran indra, dan di lain pihak, Kant mengakui pula bahwa rasio mampu mencapai kebenaran.
Oleh sebab itu, Kant mengkompromisasikan antara kedaulatan rasio dengan kedaulatan empiri/ pengalaman, yaitu:
Bagaimanapun, fungsi rasio adalah yang pertama dan utama, namun rasio/ akal harus mengakui persoalan-persoalan yang ada di luar jangkauannya.
Pada waktu rasio tidak mampu meraih pengetahuan, maka di sinilah batas-batas di mana ketentuan akal itu tidak berlaku lagi, dan sejak itulah fungsi pengalaman/ empiri tampil sebagai suatu cara penyampaian pengetahuan.
Jadi, bagi Immanuel Kant adalah dari satu pihak mempertahankan objektivitas, universalitas, dan keniscayaan pengertian, namun dari lain pihak ia menerima bahwa pengertian bertolak dari fenomin-fenomin, dan tidak dapat melebihi batas batasnya.
Oleh sebab itu, filsafat Kant tekanannya terletak pada pengertian (kegiatan) pengertian dan penilaian manusia, bukan  menurut aspek psikologis seperti dalam empirisme, melainkan sebagai analisa kritis.
4). Aliran Idealisme
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa dari suatu dasar menelurkan kesimpulan dan kemudian memberi keterangan tentang keseluruhan yang ada.
Artinya, bahwa pengetahuan itu tidaklah lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedang kenyataan yang diketahui manusia itu ada di luarnya. 
Prosenya: Yang ada adalah berupa idea itulah yang disebut aliran idealisme.
Tokohnya: Fichte (1762-1814); Schelling (1775-1854); Hegel 1770-1831).
Fichte mengakui dan memberikan prioritas yang tinggi kepada Aku, sehingga dikatakan bahwa Aku adalah satu-satunya realitas.
Bedanya dengan Schlling yang juga tokoh idealisme, yaitu bahwa Schelling mengakui obyek (bukan Aku) itu sungguh sungguh ada.
Sehingga kalau bagi Fichte, obyek itu muncul dari Aku, maka Schelling mengatakan Aku (subyek) dari alam (bukan Aku) yang sungguh-sungguh ada.
Akan tetapi, munculnya Aku dari alam adalah yang telah sadar.
Jadi, tampak ada keserasian antara Fichte dan Schelling
Sedangkan bagi Hegel yang juga tokoh idealisme, mengatakan:
Bahwa dibedakan antara yang mutlak dan yang tidak mutlak.
Yang mutlak adalah jiwa, namun jiwa itu menjelma pada alam, dan sadarlah akan dirinya.
Jiwa adalah idea, yang artinya berpikir. Dan dalam diri manusia, idea itu sadar akan dirinya, maka manusia itu merupakan bagian dari idea yang mutlak, yatu Tuhan.
5). Aliran Positivisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa kepercayaan kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi.
Artinya: bahwa filsafat hendaknya dan semata-mata mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif, yaitu peristiwa-pristiwa yang dialami manusia.
Prosesnya: apapun yang berada di luar pengalaman tidak perlu diperhatikan.
Tokohnya: August Comte  (1798-1857); Emile Durkheim (1858-1917); John Stuart Mill (1806-1873).
Menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis dari teraturnya masyarakat. Oleh sebab itu, jiwa dan budi haruslah mendapatkan pendidikan yang cukup dan matang. Sehingga menutut Comte, bahwa sekarang saatnya hidup dengan mengabdi pada ilmu positif, seperti matematika, fisika, biologi, ilmu kemasyarakatan, dll.
Hal ini seperti dikatakan oleh Comte, bahwa pengetahuan manusia di dalamnya ditemukan tiga tahap ilmu pengetahuan, yaitu:
1.Tahap ketika fenomena dijelaskan secara teologis seperti dilakukan pada Abad Tengah.
2. Tahap ketika fenomena dijelaskan secara metafisis seperti dilakukan pada periode Pencerahan.
3. Tahap ketika eksplanasi ditempuh melalui observasi hubungan hubungan serta ilmu ilmu yang mencapai konstruksi.

Jadi, Comte yakin bahwa ilmu-ilmu yang positivistik telah bergerak dari status yang lebih bersifat umum menuju tahap dan sifat yang lebih konkrit dan kompleks, seperti: matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan sosiologi.
Comte mengatakan, bahwa budi atau pemikiran manusia mengalami 3 tingkatan, yaitu:
Tingkat  teologis,
Tingkat  metafisis,
Tingkat  positif.
Pada tingkat teologis, manusia mengarahkan jiwanya kepada hakekat “batiniah” segala sesuatu dengan pengaruh dan sebab sebab yang melebihi kodrat, yaitu kepada “sebab pertama” dan “tujuan terakhir”.
Pada tingkat kedua, yaitu tingkat metafisika yang hanya perubahan saja dari teologis, karena yang hendak diterangkan harus melalui abstraksi.
Sebab kekuatan yang adikodrati hanya diganti dengan kekuatan yang abstrak, yang dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.
Tingkat  ketiga, yaitu tingkat  positif di mana manusia menganggap, bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak, baik pengetahuan teologis, maupun pengetahuan metafisis.
Sebab tujuan tertinggi adalah bilamana gejala gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja, misal: gaya berat. Jadi di sini hanya memperhatikan yang sungguh sungguh dan sebab akibat yang sudah ditentukan.
Emile Durkheim yang mengatakan bahwa positivisme sebagai asas sosiologis.
John Stuart Mill menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusasteraan.
6). Aliran Evolusionisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf hidup yang paling rendah.
Prosesnya: yaitu alam yang juga diatur oleh hukum hukum mekanik.
Berupa hukum survival of the fittest dan hukum struggle for live.
Tokohnya: Charles Darwin (1809-1882); Herbert Spencer (1820-1903).
Darwin mengatakan, bahwa manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf hidup yang paling rendah, yaitu alam, dan juga diatur oleh hukum-hukum mekanik  Jadi, hukum survival of the fittest dan hukum struggle for live dari tumbuh-tumbuhan dan hewan berlaku pula bagi manusia.
Sedangkan bagi Herbert Spencer, yang dapat dikenal adalah “yang menjadi”, bukannya “yang ada”. Oleh sebab itu, proses dunia ini tiada lain merupakan berkumpulnya kembali gerak dan bahan. Maka, evolusi adalah peralihan hubungan yang lebih erat (integrasi) dalam bahan, yang dengan sendirinya disertai oleh perluasan gerak.
7). Aliran Eksistensialisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan  untuk mengerti seluruh realitas.
Artinya, bahwa manusia harus bertitik tolak pada manusia yang konkrit, yaitu manusia sebagai existensi; dan sehubungan dengan titik tolak ini maka bagi manusia existensi itu mendahului essensi.
Prosesnya, yaitu memahami secara sadar, apakah sebenarnya mengetahui itu, maka harus mengetahui manusia yang benar-benar ada.
Tokohnya: Martin Heidegger (1889- ); Karl Jaspers (1883- ); Jean Paul Sartre (1905- ).
Ciri-ciri aliran existensialisme adalah:
1. manusia menyuguhkan dirinya (existere) dalam kesungguhannya.
2. manusia harus berhubungan dengan dunia.
3. manusia merupakan kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badannya
4. manusia berhubungan dengan “yang ada”.
Hal di atas seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, bahwa persoalan tentang “berada” hanya dapat dijawab melalui ontologi.
Artinya: jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan ini, maka agar berhasil harus dipergunakan metode “fenomenologis”.
Jadi, yang penting menemukan arti “berada” itu. Satu-satunya “berada” yang dapat dimengerti sebagai “berada”, ialah “berada”-nya manusia.
Catatan: harus dibedakan antara “berada” (Sein) dan “yang berada” (Seinde)
Ungkapan “yang berada” (Seinde) hanya berlaku bagi benda-benda, yang bukan manusia.
Jadi, benda-benda itu hanya “vorhanden”, artinya: hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu.
Keberadaan manusia disebut “Dasein”, artinya: “berada di dalam dunia”.
Oleh karena manusia “berada di dalam dunia”, maka manusia dapat memberi tempat kepada benda-benda yang di sekitarnya.

Ad. 3. persoalan dalam dimensi aksiologis.

            Seandainya ditanyakan kepada Socrates atai Nietzsche apa guna filsafat, agaknya mereka akan menjawab bahwa filsafat dapat menjadi manusia menjadi manusia. Dengan filsafat orang akan mungkin menjadi orang bijaksana. Kegunaan filsafat dalam rumusan ini terlalu umum sehingga sulit dipahami. Berikut ini dicoba dengan menampilkan beberapa aliran seperti:
a.Aliran Hedonisme, yaitu aliran yang menganjurkan bahwa manusia untuk mencapai kebahagiaan yang didasarkan pada kenikmakatn, dan kesenangan.Tokohnya: Epicurus (341-270 SM) yang menyatakan bahwa kesenangan dan kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia.  Epikuros mengatakan, bahwa manusia harus mengikuti tatanan dunia, tidak perlu takut mati, harus menggunakan kehendak yang bebas dan mencari kesenangan sebanyak mungkin. Namun, jika terlalu banyak kesenangan itu akan membuat sengsara. Oleh karena itu, manusia perlu membatasi diri dengan mengutamakan batin (Suparlan Suhartono, 2007: 102)
      b.Aliran Pragmatisme, yaitu aliran yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kosekuensi-konsekuensi yang menguntungkan.
Tokohnya, yakni  John Dewey (th. 1859-1952) mengatakan, bahwa kebenaran adalah dimisalkan manusia sedang tersesat di tengah hutan. Kepada diri sendiri manusia akan berkata dengan yakin bahwa “jalan keluarnya adalah ke arah kiri”. Pernyataan ini akan berarti jika manusia benar benar melangkah ke arah kiri. Selanjutnya, pernyataan ini benar apabila arah kiri itu pada akhirnya mengakibatkan konsekuensi positif, yakni benar-benar dapat membawa manusia tersebut keluar dari hutan itu.
Jadi, benar menurut pragmatisme bergantung pada kondisi-kondisi yang berupa (manfaat), kemungkinan dapat dikerjakan (workability), dan konsekuensi yang memuaskan (satisfactory results) ((Suparlan Suhartono, 2007: 81)

9.Filsafat adalah Berpikir Ilmiah
            Dalam menghadapi  berbagai masalah hidup di dunia ini, manusia akan menampilkan berbagai alat untuk mengatasinya. Alat itu adalah pikiran atau akal yang berfungsi di dalam pembahasannya secara filosofis tentang masalah yang dihadapi. Pikiran yang bagaimanakah yang dapat masuk dalam bidang filsafat itu ?. Jawabannya adalah pikiran yang senantiasa bersifat ilmiah. Jadi, pikiran itu mempunyai kerangka berpikir ilmiah filsafat, karena itu tidak semua berpikir itu bias diartikan berpikir filsafat. Berpikir ilmiah filsafat mengandung khasiat-khasiat tertentu, yaitu: mengabstrakhir pokok persoalan, bertanya terus sampai batas terakhir yang beralasan, dan berelasi (bersistem).

a.Mengabstrakhir pokok persoalan
            Beraneka macam persoalan yang dihadapi tidak begitu saja dapat diselesaikan. Pemilihan salah satu pokok tertentu adalah harus. Dari pokok tertentu yang merupakan kenyataan diusahakan dapat ditangkap dalam pikiran.

Kenyataan                                                       Abstraksi
                                    A                                                                      B

            Mengabstrakhir adalah membuang sifat sifat yang tampak satu persatu, sehingga tinggallah suatu gambaran yang sifatnya universal. Aristoteles, pemikir besar Yunani Kuno, mengatakan bahwa segala sesuatu mempunyai cara-cara berbeda, yang disebut kategori. Sedangkan darinya (hal yang ada) itu mempunyai sepuluh kategori, yaitu: substansi, kualitas, kuantitas, relasi, waktu, tempat, keadaan, aksi, pasi, dan posisi. Dengan cara menghilang satu persatu dari kategori-kategori itu, maka yang tinggal hanyalah satu hal yaitu substansi. Mengabstraksikan sesuatu hal, misalnya meja, adalah menangkap keseluruhan meja itu agar berada di dalam angan-angan akal pikiran setelah melampaui proses penghilangan segala sifatnya yang Nampak (Sembilan kategori) sehingga tinggal hanya satu hal yaitu substansi.

b.Bertanya terus menerus sampai batas terakhir
            Yang dimaksud bertanya terus menerus adalah bukan sekedar bertanya tanpa arah, melainkan kontinuitas pertanyaan yang betul betul terarah kepada keselesaian akan objek yang sedang dipikirkan. Itulah yang dimaksudkan dengan bertanya terus menerus sampai pada batas terakhir, yang tentunya disebut juga pertanyaan ilmiah filsafat. Pertanyaan itu berjumlah empat, berturut-turut adalah: bagaimana, mengapa, ke mana, dan apa.

Pertanyaan pertama, bagaimana:
            Pertanyaan ini memperoleh jawaban sistematis dari sifat objek yang diselidiki (pengetahuan atau diskretif).  Misalnya, sebuah meja sebagai objek, maka diperoleh sifat kuat, warna, dan bentuknya. Muncullah pertanyaan sifat sendiri itu apa ?. Prof. Notonegoro dalam Pancasila Secara Ilmiah Populer (1975) mengatakan bahwa sifat adalah suatu hal yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi adanya itu terletak pada barang yang lain dan menjadi satu dengan barang yang lain itu, sehingga kemudian menjadi bagian darinya. Misalnya warna tertentu pada sebuah meja, dulu merupakan hal tersendiri, dan sesudah diletakkan pada sebuah meja maka kemudian menjadi satu dan merupakan sifat dari meja itu.
            Selanjutnya dikatakan bahwa sifat digolongkan dalam empat maca, yaitu:
(1). Sifat lahir, yaitu sifat yang berasal dari luar, misalnya cat tertentu yang diletakkan dalam sebuah meja.
(2). Sifat batin, yaitu sifat bawaan, misalnya meja tadi terbuat dari kayu jati. Kayu jati memang mempunyai sifat kuat dapat mempengaruhi benda yang terbuat darinya berupa kekuatan pula.
(3). Sifat wujud, bentuk dan susunan dari barang tersebut.
(4). Sifat kekuatan, tenaga agau gaya yang ada pada barang tersebut.
            Semua golongan sifat tersebut bersama sama menyifatkan hal atau barangnya. Adapun sifat-sifat yang telah menjadi sifat dari hal atau barang itu, disebut keadaan.

Pertanyaan kedua, mengapa:
            Pertanyaan ini menghasilkan jawaban tentang sebab musabab dari hal atau sesuatu (objek), yang disebut juga sebagai pengetahuan kausal. Sebab musabab (causal) adalah hal yang menyebabbkan adanya objek secara mutlak. Lalu pengertian “sebab” adalah suatu hal yang mempengaruhi perubahan dalam arti yang luas terhadap suatu hal. Sedang akibat merupakan hasil dari sebab. Mengenai sebab-akibat (causa) ini ada empat hal, yaitu:
(a). causa materialis, yaitu sebab yang berupa bahan.
(b). causa formalis, yaitu sebab yang berupa bentuk.
©. causa finalis, yaitu sebab yang berupa tujuan.
(d). causa efisien, yaitu sebab yang berupa karya.
            Empat sebab itu bila diperuntukkan pada contoh meja tadi bias dijabarkan: kayunya adalah sebab bahan atau causa materialis. Tetapi yang berubah bukan kayunya, melainkan  bentuknya, maka hal itu disebut sebab bentuk, causa formalis. Kayu sebagai bahan tidak hanya dapat dibuat meja, melainkan bias dibuat macam-macam, maka kayu yang dibuat meja adalah sebab tujuan atau causa finalis. Dari ketiga sebab itu, belum bias menjadi wujud sebuah meja, apabila belum dikerjakan menjadi meja. Setelah selesai menjadi meja, maka hal itu disebut sebab karya atau causa efisien.

Pertanyaan ketiga, ke mana:
            Pertanyaan ini mewujudkan jawaban yang merupakan norma-norma (pengetahuan normative). Norma adalah peraturan peraturan atau hokum hokum yang dikenakan pada saat penyelidikan dinyatakan selesai. Jika memakai contoh meja, maka dalam membuat meja seharusnya selalu memakai norma norma pembuatan. Misalnya, tukang meja harus membuat meja menurut praktis kegunaan, keindahan, nilai intrinsic atau ekstrinsik, dan nilai kesesuaiannya, dengan pertimbangan pertimbangannya sendiri, misalnya pemodalan, kreativitas, dsb.

Pertanyaan keempat, apa:
            Dari pertanyaan ini diperlukan suatu jawaban yang berupa inti-isi mutlak dari objeknya. Kembali meja menjadi contoh. Lalu apakah hakikat inti-isi mutlak dari meja itu ? persoalan yang muncul di sini adalah hakikat itu sendiri. Hakikat adalah unsure-unsur yang bersama sama menyusun segala sesuatu yang terpisah dari hal hal lain dan membuatnya menjadi satu kesatuan, yaitu sebagai diri. Dengan kata lain yang menjadikan sdanyasegala sesuatu itu dinamakan hakikat. Hakikat yang demikian adalah hakikat dalam arti konkritnya. Yaitu hakikat setiap hal tertentu yang maujud, setiap benda mati, setiap hewan, setiap tumbuh-tumbuhan dan setiap manusia.
            Selanjutnya, ada hakikat yang berjenis lain yaitu hakikat pribadi. Hakikat pribadi adalah unsure-unsur yang tetap, tidak berubah dan yang menyebabkan hal yang bersangkutan itu tetap merupakan diri pribadinya. Misalnya, perbuatan yang terjadi pada setiap manusia dari bayi sampai dewasa itu tidak mengubah bentuknya sendiri (yakni bentuk manusia). Kemudian, dari unsure unsure yang tetap itu, kalau diteliti ada yang sama sama  terdapat pada suatu yang berjenis tunggal. Misalnya, sama sama terdapat pada manusia, hewan , tumbuh tumbuhan, dsb. Hakikat demikian disebut hakikat jenis atau umum dan abstrak, karena meskipun terkandung di dalam halnya, akan tetapi tidak maujud.
Jadi, hakikat jenis adalah unsure unsure yang bersama sama dalam suatu kesatuan membentuk sesuatu yang berjenis tunggal. Diambil contah manusia. Di dalam segala perubahan manusia, dari tidak ada ke ada, dari kecil sampai besar, dll, menunjukkan adanya hakikat dalam konkrit manusia. Sifat sifat yang tetap dimiliki oleh semua manusia merupakan sifat mutlak sebagai manusia, sedangkan yang membedakannya dengan hewan, dll, adalah hakikat yang abstrak atau hakikat jenis.
Begitu juga dengan setiap hal lainnya, sperti binatang, tumbuh tumbuhhan, benda mati, dansetiap hal yang ada dalam realitasnya ini adalah tentu memiliki tiga macam hakikat itu.

c.beralasan.
            Berpikir ilmiah filsafat haruslah beralasan. Jika dijumpai suatu pertanyaan, apakah alas an saudara tidak mau sekolah ?. jawabnya biasanya dimulai dengan kata “karena”. Misalnya, karena sakit, atau yang lain. Jawaban pertama kiranya menyangkut soal prinsip, sebab jika tidak sakit tentu ia akan pergi ke sekolah. Tetapi, jawaban kedua menyangkut soal realisasi atau akibat dari tujuan, karena ia mempunyai maksud kesengajaan tertentu, misalnya supaya gurunya diganti dan dengan demikian tidak mengganggu belajarnya. Jadi masalah alas an kiranya selalu dirangkaikan dengan soal tujuan. Jadi, alasan adalah suatu tanggung jawab atas suatu tindakan tertentu. Kalau demikian, apakah tanggung jawab dari berpikir ilmiah filsafat itu ?. jelas di sini tampak suatu tujuan dari berpikir ilmiah filsafat, yaitu untuk memperoleh jawaban/ keterangan sedalam dalamnya dari suatu objek. Keterangan yang demikian itu berhubungan dengan sudut pandangan.

d.Harus Sistematis
            Berfilsafat bukanlah merenung tanpa isi atau melamun belaka dan juga bukan berpikir yang bersifat kebetulan. Berfilsafat dengan berpikir ilmiah adalah mencoba menyusun suatu system ilmu pengetahuan yang saling berhubungan, rasional, konseptual, dan memenuhi syarat untuk memahami dunia tempat manusia hidupmaupun untuk memahami dirinya sendiri. Pendek kata, berpikir ilmiah filsafat mengenai suatu hal perlu disusun sebagai suatu system, yaitu bagian yang satu dengan bagian yang lain saling berhubungan dan semua bagian merupakan kesatuan serta kebulatan, tidak boleh dipisah pisahkan dan tidak boleh berdiri sendiri sendiri.

10. Persamaan dan Perbedaan antara Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Adapun Persamaan antara Filsafat dan Ilmu Pengetahuan adalah:
1). Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya, menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
2). Kedua-duanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang dialami, serta menunjukkan sebab-sebabnya.
3). Keduanya hendak memberikan sintesis, yakni suatu pandangan yang begandengan.
4). Keduanya mempunyai metode dan system.
5). Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya yang timbul dari hasrat manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.
            Sedangkan Perbedaannya antara Filsafat dan Ilmu Pengetahuan adalah:
1). Objek material (lapangan) penyelidikan filsafat bersifat umum (universal), yakni segala sesuatu yang ada, sedangkan objek material ilmu pengetahuan adalah bersifat khusus dan empiris.
2). Objek formal filsafat bersifat non fragmentaris, sebab mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada secara luar, mendalam, dan mendasar (sampai pada hakekat). Sedang ilmu pengetahuan objek formalnya bersifat pragmentaris, spesifik, dan intensif, juga bersifat teknis, artinya bahwa idea idea manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
3). Filsafat dilaksanakan dalam suasana menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan. Sedangkan ilmu harus diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh sebab itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
4). Filsafat dengan pertanyaan yang lebih jauh dan mendalam berdasar pengalaman realitas sehari-hari. Sedangkan ilmu pengetahuan bersifat diskursif, yakni menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
5). Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan mendalam sampai dasar yakni yang disebut hakekat. Sedangkan ilmu pengetahuan menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam atau yang disebut yang sekundar (secondary cause).

11. Tujuan Filsafat Ilmu Pengetahuan
            Filsafat ilmu pengetahuan tujuannya, yakni:
a.       mendalami unsure-unsur pokok ilmu pengetahuan, sehingga secara menyeluruh dapat dipahami sumber-sumber, hakikat, dan tujuan ilmu pengetahuan.
b.      Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga didapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis.
c.       Menjadi pedoman bagi para pendidik dan anak didik dalam mendalami studi di perguruan tinggi, khususnya untuk membedakan persoalan ilmiah dan non ilmiah.
d.      Mendorng para calon ilmuwan untuk konsentrasi dalam mendalami ilmu pengetahuan dan mengembangkannya.
e.       Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu pengetahuan dan agama tidak ada pertentangan (Amsal Bakhtiar, 2004: 20).

12. Kajian Filsafati tentang Arah dan strategi perkembangan ilmu pengetahuan
Bukan hal yang ajaib bila berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang sekarang dikenal orang berasal dari kebudayaan Yunani Kuno. Ilmu pengetahuan dimulai dari filsafat, nyaris sebagai satu satunya ilmu di masa itu untuk kemudian berangsur-angsur menelorkan percabangan dan perantingan keilmuan lebih jauh. Meskipun demikian, jika sejarah ilmu itu ditelusuri sesuai dengan akar katanya, maka akan diketahui bahwa ilmu sudah tumbuh jauh sebelum para pemikir Yunani mengenalnya. Usaha mula mula di bidang keilmuan yang tercatat dalam sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir, di mana banjir sungai Nil yang terjadi tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri, dan kegiatan survey.
Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa Babylonia dan Hindu yang memberikan sumbangan-sumbangan berharga meskipun tidak seintensif kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu muncul bangsa Yunani yang menitikberatkan pada pengorganisasian ilmu. Bangsa Yunani dapat dianggap sebagai perintis dalam mendekati perkembangan ilmu secara sistematis. Sejalan dengan hal di atas, maka arah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah sbb.:
1. Ilmu berkembang dari keadaan bersatu menuju keadaan yang banyak atau terspesialisasi.
 Dari aspek ini dinyatakan, bahwa tidak ada ilmu pengetahuan pada umumnya, yang ada hanyalah ilmu konkrit. Perkembangan seperti ini ternyata tidak dapat dielakkan, sehingga ilmu dalam perkebangannya menuju ke arah spesialisasi. Spesialisasi dimungkinkan oleh karena manusia dapat menelaah satu aspek saja pada satu soal, terutama pada tahapan analisis.
2. Ilmu berkembang dari cara kerjanya yang rasional ke arah rasional empiris dan rasional eksperimental. Aspek perkembangan ini bersangkutan dengan metode ilmu dan metode merupakan komponen pokok dalam segala aktivitas keilmuan.
 Ditelusuri lebih jauh, karakter ilmu mengalami perubahan, dari masa Purba yang hanya memiliki “a receptive and emperical mentality” ke arah bangkitnya suatu “inquiring mind”, dari kemampuan know-how ke arah know-why. (inquire: menyelidiki/ ingin tahu).
3. Ilmu berkembang dari sifatnya yang kualitatif ke arah kuantitatif. Dari aspek ini perkembangan ilmu ditandai suatu pergeseran pandangan tentang objek manakah yang bisa dan patut dikaji secara ilmiah. Ilmu-ilmu positif misalnya, mulai menyangsikan realibilitas dan validitas persoalan-persoalan metafisik, yang oleh para pengikut positivisme dianggap sebagai “nonsense”.
4. Perkembangan ilmu terjadi pergeseran dari fungsi memajukan masyarakat ke arah ideologi yang mendominasi masyarakat. Beberapa tokoh yang mengkritik perkembangan ilmu yangdemikian itu, seperti Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas.
Strategi pengembangan ilmu pengetahuan
            Strategi pengembangan ilmu terdapat tiga macam pendapat, yaitu:
    1. Pendapat yang menyatakan bahwa ilmu dikembangkan dalam otonomi tertutup. Ilmu untuk ilmu, science for the sake of science only. Di sini pengeruh konteks dibatasi atau bahkan disingkirkan.
    2. Ilmu lebur di dalam konteks, tidak saja sekedar merefleksikannya tetapi memberi justifikasi bagi konteks.
3. Ilmu dan konteks dikembangkan dengan suasana saling meresapi, agar timbul gagasan-gagasan baru yang relevan dan aktual, sejalan dengan kenyataan yang tumbuh dan berkembang. Oleh sebab itu tidak dapat dielakkan bahwa semakin terasa adanya urgensi untuk menjelaskan dan mengarahkan perkembangan ilmu tidak hanya berhenti atas dasar context of justification, akan tetapi atas dasar context of discovery. Hal ini disebabkan karena pada akhirnya ilmu pengetahuan dibutuhkan, dan pada gilirannya dipergunakan sebagai instrumen bagi penyelesaian masalah masalah konkrit yang dihadapi masyarakat.
Koento Wibisono (1983) berpendapat bahwa strategi pengembangan ilmu pengetahuan harus berorientasi pada dimensi:
1. Dimensi teleologis, artinya bahwa ilmu pengetahuan hanyalah sekedar sarana yang dibutuhkan untuk mencapai  suatu teleos.
2. Dimensi etis, artinya bahwa ilmu pengetahuan berkiblat pada manusia yang menduduki tempat sentral. Dimensi etis menuntut pengembangan ilmu pengetahuan secara bertanggung jawab.
3. Dimensi integratif, artinya bahwa pengembangan ilmu pengetahuan pada akhirnya terarah pada peningkatan kualitas manusia yang sekaligus juga kualitas struktur masyarakat.

13. Kedudukan filsafat ilmu pengetahuan dalam filsafat.
Tempat kedudukan filsafat ilmu pengetahuan ditentukan oleh dua lapangan penyelidikan Filsafat Ilmu pengetahuan, yakni:
Pertama, sifat pengetahuan ilmiah. Di sini filsafat ilmu berkaitan  dengan epistemologi, artinya: berfungsi menyelidiki syarat-syarat pengetahuan manusia dan bentuk-bentuknya.
Kedua, berkaitan dengan cara-cara mengusahakan dan mencapai pengetahuan ilmiah, artinya: berkaitan dengan logika dan metodologi

14. Objek filsafat ilmu pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan mempunyai objek yaitu: a. Objek material, dan b. Objek formal.
Ad. a. Objek material, yaitu objek yang dijadikan sasaran penyelidikan, oleh sebab ini objek material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ad. b. Objek formal, yaitu sudut pandang terhadap objek materialnya, sehingga objek formalnya berupa hakekat ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan.

15.Ruang lingkup Filsafat Ilmu pengetahuan
Jadi, cakupan objek filsafat lebih luas dibanding dengan ilmu, sebab ilmu hanya mencakup yang empiris saja, sedang filsafat tidak hanya yang empiris saja. Secara historis ilmu adalah berasal dari kajian filsafat, sebab awalnya filsafat yang melakukan pembahasan tentang yang ada secara sistematis, rasional, logis dan empiris. Setelah berjalan, terkait dengan yang empiris, maka semakin bercabang dan berkembang, sehingga timbullah spesifakasi dan menampakkan kegunaan yang praktis. Inilah proses terbentuknya ilmu secara berkesinambungan. Hal ini seperti diibaratkan oleh Will Durant, bahwa filsafat bagaikan Marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan Infantri. Pasukan Infantri adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu, Sedangkan filsafat yang menyediakan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan (Sumber buku Filsafat Ilmu oleh: Amsal Bakhtiar, 2008, 2). Setelah itu, ilmu berkembang sesuai dengan spesialisasi masing masing, sehingga ilmulah secara praktis bagaikan membelah gunung, dan merambah hutan. Sedangkan filsafat kembali ke laut lepas untuk berspekulasi dan melakukan eksplorasi lebih jauh. Oleh sebab itu, filsafat sering disebut sebagai induk/ ibu ilmu penetahuan. Hal ini bisa dimengerti, sebab dari filsafatlah, maka ilmu ilmu modern dan kontemporer berkembang, sehingga manusia dapat menikmati ilmu dan sekaligus buahnya, yaitu: teknologi.

16.Kajian Filsafati Dasar-dasar ilmu pengetahuan
Pengertian ilmu pengetahuan secara umum adalah suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan pengetahuan (ilmiah) yang ditujukan untuk memperoleh kebenaran (ilmiah) dan sedapat mungkin untuk mencapai kebahagiaan umat manusia.
Jenis dari ilmu pengetuan adalah sistemnya.Pembedanya adalah kumpulan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran dan sedapat mungkin untuk kebahagiaan umat manusia.
Ilmu pengetahuan ditinjau dari unsur unsurnya, yaitu berupa:
a. Sistem
b. Pengetahuan (ilmiah)
c. Kebenaran
d. Kebahagiaan umat manusia
Jadi segi statika ilmu pengetahuan adalah:
Suatu sistem tertentu yang berupa pengetahuan (ilmiah).
Sedang segi dinamika ilmu pengetahuan adalah:
1. Suatu usaha terus menerus untuk mencapai kebenaran ilmiah.
2. Kebahagiaan umat manusia.
Jadi bila orang menggunakan istilah dasar dasar yang statik dari ilmu pengetahuan, maka seakan akan orang terpaku perhatiannya pada suatu kerangka dasar yang mau tidak mau harus dibuktikan dalam melakukan kegiatan ilmiah.
Sedang istilah dasar dasar dinamik dari ilmu pengetahuan adalah pedoman pedoman yang ada di depannya agar supaya orang tidak tersesat dalam melakukan kegiatan ilmiah.
Sistem adalah suatu keadaan atau barang sesuatu tertentu yang bagian bagiannya saling berhubungan secara fungsional dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Dasar dasar dinamik ilmu pengetahuan yang berupa:
Pedoman yang harus diikuti oleh seorang ilmuwan, dalam usahanya untuk mencapai tujuan dari kegiatan ilmiah.
Tujuannya adalah kebenaran ilmiah yang sedapat mungkin untuk mencapai kebahagiaan umat manusia.
Apakah yang dinamakan “kebenaran” ?.
Paham objektivisme mengatakan:
Kebenaran adalah keadaan yang menunjukkan kesesuaian antara pikiran manusia tentang objeknya dengan keadaan yang senyatanya dari objek tersebut.
Paham subjektivisme mengatakan bahwa kebenaran adalah:
Suatu proses yang menggambarkan bahwa dalam keadaan terakhir yang menetukan kebenaran sesuatu pendapat adalah si subjek itu sendiri.
Paham objektivisme juga disebut paham korespondensi tentang kebenaran.
Sebab kebenaran adalah adanya kesesuaian antara pikiran manusia tentang suatu objek tertentu dengan keadaan tertentu dari objek itu.
Jadi, yang menentukan benar atau tidaknya adalah objek yang bersangkutan.
Sedang paham subjektivisme bahwa yang benar adalah:
Ditentukan oleh pendapat manusia atau subjek yang bersangkutan.
Jadi paha subjektivisme dapat dibedakan menjadi dua(2), yaitu:
  1. Paham konsistensi atau paham logik atau paham koherensi.
  2. Paham pragmatik.
Berikut adalah apa yang dinamakan “kebahagiaan” ?
Kebahagian di sini tentu terkati dengan tujuan akhir yang hendak dicapai manusia di dunia ini.
Maka apakah mungkin manusia selama hidup di dunia ini dapat mencapainya.
Pertanyaan dimaksud ada dua pendapat, yaitu:
  1. Manusia semasa hidup di dunia tidak akan dapat mencapai kebahagiaan.
  2. Manusia dalam hidup di dunia bila sungguh sungguh akan dapat mencapai kebahagiaan (dalam arti kesejahteraan rohani dan jasmani).
Jadi kebahagian yang merupakan paduan/ sintetik adalah merupakan suatu suasana percampuran antara keadaan yang bersifat subjektif dengan keadaan yang bersifat objektif yang menghasilkan suatu keharuan.
Hal ini disadari karena kebahagiaan adalah masalah pribadi yang merupakan campuran tersebut di atas dan menimbulkan keharuan pada masing masing pribadi.

17.Titik Pandang Filsafat Ilmu pengetahuan
Dasar memahami filsafat ilmu adalah  bila mengatahui empat titik pandang (view points) dalam filsafat ilmu.
Empat titik pandang filsafat ilmu, yaitu:
a.Perumusan world-views yang konsisten, misal: pada beberapa pengertian didasarkan atas teori teori ilmiah.
Jadi filsuf ilmu bertugas mengelaborasikan implikasi yang lebih luas dari illmu.
b. Eksposisi dari presuppositions dan predispositions para ilmuwan. Misal: filsuf ilmu mengemukakan bahwa para ilmuwan menduga alam tidak berubah-ubah, dan terdapat keteraturan di alam, sehingga gejala-gejala alam mudah didapat oleh peneliti. Oleh sebab itu peneliti tidak menutup keinginan keinginan deterministik.
c. Konsep-konsep dan teori-teori tentang ilmu dianalisis dan diklasifikasikan.
Artinya memberikan kejelasan tentang makna dari berbagai konsep, seperti gelombang, potensial, dll.
Oleh sebab itu ada dua kemungkinan, yaitu:
Pertama, apakah para ilmuwan mengerti suatu konsep yang digunakannya, sehingga dalam hal ini tidak memerlukan klasifikasi.
Kedua, para ilmuwan tidak tahu makna konsep tersebut, sehingga mereka harus inquiry hubungan konsep itu dengan konsep-konsep lain.
Jadi, bila seorang ilmiawan melakukan inquiry, berarti ia sedang mempraktekkan filsafat ilmu.
d.Filsafat ilmu merupakan second-order criteriology.
Filsafat Ilmu mempunyai beberapa criteria yang harus dipahami bagi  para ahlinya.
artinya: bahwa filsuf ilmu menuntut jawaban jawaban atas pertanyaan:
1). Karakteristik apa yang membedakan penyelidikan ilmiah dengan tipe penyelidikan lain.
2). Prosedur yang bagaimana yang harus diikuti oleh para ilmuwan dalam menyelidiki alam.
3). Kondisi yang bagaimana yang harus dicapai dalam penyelidikan ilmiah agar jadi benar.
4). Status yang bagaimana dari prinsip-prinsip dan hukum ilmiah.
Jadi pertanyaan itu ada perbedaan yang dapat dirumuskan antara doing science dan thingking tentang ilmu.

D. PENGETAHUAN
1. Pengertian Pengetahuan.
a.Dr. M.J. Langeveld mengatakan bahwa pengetahuan adalah kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui.
b.James K. Feibleman merumuskan sbb.: Knowledge: relation between object and subject (pengetahuan: hubungan antara objek dan subjek.
Ensiklopedia Indonesia memuat antara lain: epistemologi menyebutkan bahwa setiap pengetahuan manusia adalah hasil dari berkontaknya dua hal, yaitu:
1). Benda (yang diperiksa), diselidiki dan akhirnya diketahui (objek).
2). Manusia yang melakukan pelbagai pemeriksaan dan penyelidikan dan            akhirnya mengetahui benda/ hal itu.

2. pengetahuan dibedakan sebagai berikut:
a. Pengetahuan biasa/ sehari hari.
b. Pengetahuan ilmiah
c. Pengetahuan filosofis
d. Pengetahuan wahyu/ theologis
e. Pengetahuan intuisi

3. Pengertian ilmu pengetahuan
a. Ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu yang bahasa Inggrisnya: Science, (Jerman: Wissenschaft) dan (Belnada: Wetenschap).
b. Secara etimologis, kata science berasal dari kata Latin: scio, scire berarti “tahu”. Begitu juga kata ilmu berasal dari kata Arab: alima yang juga berarti “tahu”.
Jadi secara etimologis bahwa ilmu dan science adalah pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri dan syarat syarat khusus.

4. Definisi tentang ilmu pengetahuan adalah:
a.Ralph Ross mengatakan bahwa: Science is empirical, rational, general, and cumulative; and it is all four at one (ilmu ialah yang empiris, yang rasional, yang umum dan bertimbun bersusun; dan keempat-empatnya serentak).
b.Karl Pearson pengarang karya: Grammar of Science, merumuskan sbb: Science is the complete and consistent description of the facts of experience in the simplest possible terms (Ilmu pemgetahuan ialah lukisan atau keterangan yang lengkap dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sesederhana/ sesedikit mungkin).
Jadi, dengan bertolak dari definisi di atas,  penulis menyimpulkan, bahwa ilmu pengetahuan adalah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistema mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian bagian dan hukum hukum tentang hal yang diselidiki (alam, agama, dan manusia) sejauh yang dapat dijangkau daya pikir yang dibantu indra manusia, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset, dan eksperimental.

5.  Ada beberapa langkah dalam Ilmu pengetahuan, seperti:
1). Perumusan Masalah.
Yaitu, setiap penyeldikan ilmiah dimulai dengan masalah yang dirumuskan secara tepat dan jelas dalam bentuk pertanyaan agar ilmuwan mempunyai jalan untuk mengetahui fakta yang harus dikumpulkan.
2). Observasi.
Yaitu, Penyelidikan ilmiah dalam tahap ini mempunyai corak empiris & induktif dan seluruh kegiatannya diarahkan pada pengumpulan data dengan melalui pengamatan yang cermat.Hasil observasi ini kemudian dituangkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan.
3). Pengamatan dan Klasifikasi Data.
Yaitu, Penyusunan fakta dalam kelompok, jenis, & kelas tertentu berdasarkan sifat yang sama.
Jadi dengan klasifikasi ini maksudnya adalah menganalisis, membandingkan & membeda-bedakan data yang relevan.
4). Perumusan Pengetahuan (Definisi).
Yaitu, ilmuwan mengadakan analisis & sintesis secara induktif, kemudian diadakan generalisasi dan dituangkan dalam pertanyaan universal, sehingga dari sinilah teori terbentuk.
5). Prediksi.
Yaitu, deduksi mulai memainkan peranan, sehingga dari teori yang sudah terbentuk tadi, kemudian diturunkan hipotesis baru, dan melalui deduksi pula mulai disusun implikasi logis agar dapat diadakan ramalan-ramalan tentang gejala yang perlu diketahui.
Deduksi ini selalu dirumuskan dalam bentuk silogisme.
6). Verifikasi.
Yaitu, dilakukan pengujian kebenaran hipotesis.
Artinya, bahwa menguji kebenaran prediksi-prediksi tadi melalui observasi terhadap fakta yang sebenarnya, sehingga keputusan terakhir terletak pada fakta.
Oleh sebab itu, jika fakta tidak mendukung hipotesis, maka hipotesis itu harus dibongkar dan diganti dengan hipotesis lain, dan kegiatan ilmiah harus dimulai lagi dari permulaan.
Itu artinya, bahwa data empiris merupakan penentu bagi benar tidaknya hipotesis.
Jadi, untuk langkah terakhir kegiatan ilmiah adalah pengujian kebenaran ilmiah dan menguji konsekuensi-konsekuensi yang telah dideduksi.

E. TUJUAN, FUNGSI, DAN GUNA FILSAFAT
Jika dilihat, bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah deskripsi dan kontrol, apabila seni tujuannya kreativitas, kesempurnaan, bentuk, keindahan, komunikasi dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (Inggris: understanding and wisdom). Oleh sebab itu, filsafat memberi hikmah pada manusia, sehingga filsafat memberi kepuasan pada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran.
Jadi, bagi manusia berfilsafat artinya mengatur hidupnya seinsaf-insafnya, sesentral-sentralnya dengan perasaan tanggung jawab.
Henry Bergson (1858-1941) berkata, bahwa berfilsafat itu ibarat berenang.
Jadi, masing-masing orang mempunyai gayanya sendiri-sendiri.
Oleh sebab itu, filsafat bukanlah barang hafalan, seperti 2x2=4 yang setiap orang mempunyai pendapat sama.
Setiap masalah filsafat dapat meluas menjadi pertanyaan akan sistem dan berakhir pada visi ahli filsafat.
Dengan kata lain, ciri dari filsafat pada akhirnya, ialah subyektif.
Hal di atas seperti dikatakan oleh Louis O. Kattsoff dalam buku Elements of Philosophy, yaitu: Bilamana anda mengaharapkan jawaban-jawaban yang tingkat terakhir atas persoalan-persoalan anda, artinya jawaban-jawaban yang oleh semua ahli filsafat saja akan dianggap merupakan kebenaran, maka anda akan kecewa sekali.
Fungsi Filsafat Ilmu adalah:
Confirmatory function, yakni: upaya mendiskripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi.
Explanation function, yakni: upaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
Substansi filsafat ilmu:
Fakta atau kenyataan
Kebenaran
Konfirmasi
Logika inferensi
Filsafat Teknologi
Filsafat teknologi merupakan salah satu cabang filsafat yang lahir dari suatu proses yang menjelajahi semua persoalan filsafat tentang teknologi hari ini dan masa depan.
Ditinjau dari sudut praktis, bahwa Filsafat teknologi sebagai karya evaluasi etis terhadap akibat teknologi pada kehidupan manusia.
Menurut Vries J. De. Marc (2005:2), bahwa filsafat teknologi adalah mengkaji suatu fenomena peran teknologi yang terkait dengan kemanfaatan manusia.
Jadi teknologi tidak hanya dilihat dari sudut pandang manfaat, tetapi dampaknya terhadap konsep manusia tentang kebenaran, keindahan, dan kebudayaan.
Menurut Mitcham Carl (1980), bahwa filsafat teknologi dapat ditelaah melalui dua pendekatan, yakni:
Pertama, terkait teoritis tentang sifat dasar teknologi, inti kerja mesin, dan perbedaan antara mesin dengan manusia. Semua ini tergolong persoalan epistemologi dan metafisik.
Kedua, terkait praktis, etis, estetis, misalnya: keterasingan dalam masyarakat industri, dampak senjata nuklir, pencemaran, teori dan praktek keinsinyuran.
Menurut Bunge Mario (1979), bahwa filsafat teknologi merupakan gabungan dari lima cabang filsafat yang mencakup:
  1. Technoepistemology, yakni: telaah filsafati mengenai pengetahuan yang terkait dengan masalah teknis. Kajiannya adalah proses mengidentifikasi ilmu terapan dari pengetahuan ilmiah.
  2. Technometaphysics, yakni: telaah filsafati mengenai sifat dasar sistem barang buatan, mulai dari mesin sederhana sampai dengan sistem barang yang sangat rumit. Kajiannya adalah  apakah persyaratan ontologis dari teknologi.
  3. Technoaxiology, yakni: telaah filsafati mengenai penilaian yang dilakukan oleh para ahli dalam pelaksanaan dari kegiatan teknologi. Kajiannya adalah nilai nilai yang yang diyakini kemanfaatannya, secara POLEKSOSBUD .
  4. Technoethics, yakni: telaah etika yang mengakji permasalahan terjadi pertikaian moral yang dihadapi oleh para ahli teknologi dan masyarakat umum dampaknya terhadap kehdupan manusia. Kajiannyq adalah  bagaimana mencirikan barang teknologi yang baik/ buruk.
  5. Technopraxiology, yakni: telaah filsafati mengenai tindakan manusia yang dibimbing oleh teknologi. Kajiannya adalah bagaimana konsep tindakan rasional dapat diwujudkan secara pasti.














Perbedaan ilmu dengan teknologi
Aspek
Ilmu
teknologi
Tujuan
Mencari pengetahuan
Memperoleh pengertian
Menciptakan barang
Mengusahakan perubahan
Hasil
Karya tulis ilmiah
Barang teknologis
Lingkungan
Kebudayaan umumnya
Kebudayaan umumnya
Sumber
Khususnya teknologi pengetahuan yang ada
Khususnya ilmu berbagai sumber alam,
manusia dan pengetahuan
Aktivitas
Penelitian
Pembikinan sampai produksi
Control
Berdasarkan umpan balik peralatan keilmuan
Berdasarkan umpan balik pengetahuan ilmiah













Pokok-pokok perbedaan ilmu dengan teknologi di luar kerangka sistem:
Aspek
Ilmu
Teknologi
Motivasi
Keinginan
Pengembangan
Pengetahuan
Pemanfaatan
Pengembangan
Produk baru
Penggunaan
Fokus
Pemahaman
Pengetahuan dalam budi
Barang teknologi
Ideal
Kebenaran
Efektivitas tindakan
Efisiensi
Ciri keluasaan
Supranasional
Terkait keadaan setempat
Status
Penyebarluasan secara terbuka
Pendaftaran sebagai hak paten
Komunikasi
Publikasi karya tulis
Pemberitahuan iklan

F. SIFAT DASAR, DAMPAK, DAN ETIKA TEKNOLOGI
            Salah satu persoalan yang menjadi pusat perhatian filsafat teknologi, adalah status dan karakter artefak sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dibuat manusia. Secara sederhana semua himpunan benda buatan manusia, baik bersifat hasil sendiri maupun pabrikan terdapat hasil sampingan yang disebut limbah.
            Produk sampingan bisa bermanfaat, bisa pula menjadi bencana tergantung pada tujuan dan fungsi dari niatan pembuatan. Artefak teknis, pada dasarnya adalah untuk “melayani beberapa tujuan”, digunakan atau bertindak sebagai komponen yang lebih besar.
            Menurut pandangan Kroes dan Eijers (2006), bahwa artefak teknis memiliki sifat ganda, yang harus diikat agar memiliki fungsi yang tepat (Wowo Sunaryo Kuswana, 2013: 154). Pandangan yang dikemukakan, menyangkut sifat dasar: Pertama, fungsi nilai berdasarkan struktur, yang saling membatasi satu sama lain. Kedua, persoalan ikutan dari hasil artefak yang bersifat merusak baik konteks fisik maupun psikologis, secara mikro dan makrokosmos.
            Gagasan fungsi sebagai rincian artefak, sesunggahnya terpusat pada niatan manusia, selain sebagai konsep kunci dalam pemahaman ilmu kognitif dan filsafat. Teknologi dalam kaitannya dengan sifat dasar barang buatan, bagi sebagian para pemikir menimbulkan pertanyaan, Apakah teknologi itu berkah, bencana, atau bebas nilai ?. Hal itu, manakala terjadi pada kenyataan yang menimbulkan persoalan baru.
            Seorang sosiolog Perancis, yakni Jacque Ellul (1954), menerbitkan buku dengan judul La Technique: L’Enjeu du siècle (Teknik: Taruhan abad ini). Buku ini menjadi sangat terkenal dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Intinya, adalah berpikir gerakan anti dampak negative teknologi.Tokoh-toko gerakan anti dampat negative teknologi lainnya ialah Lewis Mumford yang mengarang buku: Myth of the Machine (terdiri dari dua bagian, yang terbit dalam tahun 1967 dan 1970),  dan Rene Dubois yang mengarang buku: So Human An Animal (1968).
            Gerakan anti dampak negative teknologi, pada intinya menentang kekejaman dari teknologi yang memiliki cirri cirri berbahaya yang bersumber pada kepentingan dari suatu kelompok masyarakat tertentu.
            Berbagai kritik terhadap teknologi itu tentu saja dibantah oleh para teknolog, seperti: Samuel Frorman (1976), yang menulis buku: The Existential Pleasures of Engineering. Ia secara gigih membantah tuduhan gerakan anti teknologi dengan menyatakan bahwa teknologi bukan suatu barang yang mengendalikan orang, tidak ada kelompok elit teknokrat yang menguasai masyarakat, dan tidak ada orang yang dipisahkan dari alam atau dibuat terasing oleh industrialisasi. Sebagai jalan tengah, telah berkembang etika teknologi yang berpijak pada konseptualisasi sebagai alat yang netral dari kegiatan professional, aktifitas rasional dan pilihan kecocokan.
            Perkembangan etika teknologi, sebagai hasil refleksi dan memerlukan keterlibatan disiplin ilmu. Selain itu, diperlukan pendekatan budaya dan politik untuk mereduksi dampak negative dari teknologi.
            Pendekatan budaya, teknologi sebuah fenomena yang mempengaruhi persepsi tentang dunia, sedangkan secara politik sebagai fenomena yang diperintah oleh kekuasaan antar manusia  (Wowo Sunaryo Kuswana, 2013: 156). Inti pendekatan budaya, teknologi dipandang sebagai pengaruh, bukan persepsi manusia akan tetapi ide dan perilaku, serta tidak ada perbedaan mendasar antara manusia dan bukan.
            Pendekatan politik, dapat merujuk pandangan Karl Marx  yang berasumsi, bahwa struktur bahan produksi berada di masyarakat dan teknologi merupakan factor yang menentukan struktur ekonomi dan social masyarakat (Wowo Sunaryo Kuswana, 2013: 156).
            Kedua aspek pada dasarnya sebagai pencaharian pembenaran normative tentang teknologi, melalui etika pragmatis, yakni kembali pada moral pada aspek hasil produksi dan ikutannya. Pada akhir tahun 1980-an, muncul konsep etika engineering yang mengkaji antara tindakan dan keputusan yang dibuat seseorang atau kolektif dalam profesi rekayasa.
            Pendekatan ini sebagai sesuatu tindakan untuk memperbaiki, seperti hanlnya pengobatan pada suatu penyakit dan merupakan suatu gerakan profesi. Meskipun sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang bagaimana profesi yang sebenarnya tentang etika ini, tetapi secara konseptual didefinisikan, sebagai berikut:
-          Pengguna pengetahuan dan ketrampilan khusus, memerlukan kajian pada periode yang panjang.
-          Kelompok kerja memiliki monopoli atas posisinya.
-          Penilaian kinerja kompeten dengan dilakukan secara professional.






DaftarPustaka

Ahmad Tafsir, 2009, Filsafat Umum, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Jakarta, PT. Grafindo Persada
Bebbington, David, 1979, Patterns in history, , England, Inter-Varsity Press
Caputo, John D. 1987, Radical Hermeneutics, Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press
Harun Hadiwijono, 1988, Sari Sejarah Fil safat Yunani,Yogyakarta, Penerbit Kanisius
Robert N. Beck, 1967, Perspectives in Social Philosophy, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Sullivan, John Edward, 1970, Prophets of the West, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc
Suparlan Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat, Ruzz Media.Yogyakarta, ArFil.
Surajiyo, 2008, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta, PT. Bumi Perkasa
Surajiyo, dkk., 2015, Dasar dasar Logika, Jakarta, Penerbit Bumi Aksara
Wowo Sunaryo Kuswana, 2013, Filsafat Pendidikan Teknologi, Vakasi dan Kejuruan, Bandung, Penerbit ALFABETA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar