FILSAFAT
TEKNOLOGI
Oleh: Drs.
Sudadi, M. Hum.
Pendahuluan
Beberapa puluh tahun silam pernah
diadakan sidang UNESCO di Paris yang membicarakan salah satunya untuk mencapai
dan memelihara saling pengertian, penghargaan, dan kerja sama antar sesama
mansusia. Hal ini dapat disimpulkan, bahwa calon sarjana filsafat, sangat perlu
mendapatkan pendidikan filsafat. Dengan harapan untuk memperoleh sifat-sifat
pribadi berdasarkan kemampuan seorang ahli filsafat, yakni dapat mengamalkan
kemampuan yang dimilikinya. Seseorang yang mampu berfilsafat setidak-tidaknya
akan memiliki sifat pribadi, seperti:
a.
Susila.
b.
Demokrasi.
c.
Berjiwa nasional.
d.
Jujur sesuai dengan ajaran agamanya.
e.
Memiliki pandangan hidup, tujuan hidup, dan
filsafat hidup.
Dengan
demikian bagi orang yang telah memperoleh pendidikan filsafat, maka akan
memahami bahwa setiap manusia mempuyai filsafatnya sendiri-sendiri, yakni
seperti tentang kehidupannya, dan mempunyai pandangan yang spesifik tentang
dunia ini bagi masing-masing manusia. Misalnya bagi seorang perwira, ia akan
bersikap sesuai dengan tugas dan fungsinya, begitu juga bagi seorang teknokrat,
ia akan bersikap juga sesuai dengan keahliannya sebagai ahli teknologi, dan
lain sebagainya.
Konon, orang yang menggunakan akal
secara serius adalah orang Yunani yang bernama Thales (tahun 624-546 SM).
Thales diberi gelar sebagai Bapak Filsafat, karena ia mengajukan pertanyaan
yang aneh, yaitu: “Apakah sebenarnya
bahan alam semesta ini ?”. Ia sendiri menjawab: “air”. Setelah itu silih
bergantilah filosof sezamannya dan sesudahnya mengajukan jawabannya. Semakin
lama persoalan yang dipikirkan oleh manusia semakin luas, dan semakin luas, dan
semakin luas pula pemecahannya.
Buah pikiran, yaitu hasil kerja
akal, yang mulai mengagetkan manusia awam, pertama kali dilntarkan oleh
Heraclitus (Heracleitus) yang hidup pada sekitar tahun 500-an SM, yaitu tatkala
ia berkata bahwa sesungguhnya yang sungguh sungguh ada, yang hakikat, ialah
gerak dan perubahan. Jadi, bila orang awam melihat sebuah patung dini hari yang
diam, sesungguhnya patung itu bergerak dan berubah terus; demikian kata
Heraclitus. Indera manusialah yang tertipu atau yang menipu. Kemudian filosof
lain, orang Yunani juga, berhasil menyusun argumentasi untuk membuktikan
sebaliknya yang hakikat, yang sungguh sungguh ada, ialah diam, tetap, tak
berubah, tak bergerak. Misal: kalau dilihat anak panah yang meluncur dari
busurnya, jadi bergerak, sesungguhnya anak panah itu dapat dibuktikan oleh
Parmenides adalah tidak bergerak alias diam.
Ceritera singkat di atas telah
memperlihatkan bahwa karya akal memang cukup hebat. Keadaan itu dibuat semakin
ramai oleh kemunculan orang yang bernama
Zeno, juga orang Yunani, yang lahir pada kira-kira tahun 490 SM. Kemunculannya
barangkali dapat dianggap menndai mulainya pemikiran Sofisme. Zeno berhasil
membuktikan bahwa ruang kosong itu tidak ada; pluralitas (jamak) itu juga tidak
ada. Jadi, semua yang mapan dalam pandangan orang awam ketika itu menjadi
goyah. Inilah salah satu karya akal yang hebat itu: kebimbangan.
Puncak kebingungan itu terlihat pada
tokoh sofisme terbesar, yaitu Protagoras.
Ia menyatakan bahwa manusia adalah ukuran segala-galanya. Nah, inilah dia rumus
utama relativisme. Kebenaran telah. Yang benar ialah yang benar
menurutku, menurutmu; kebenaran objektif tidak ada. Sialnya, pemikiran
relativisme ini berpengaruh pula pada keyakinan agama orang Athena ketika itu.
Apa jadinya ?. tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan,tentang
etika, metafisika, juga tentang agama. Sekali lagi, inilah hasil karya akal
yang hebat itu. Lantas akibatnya lebih jauh, yaitu orang Athena ketika itu,
terutama pemudanya, menjadi orang bingung tanpa pegangan: sendi sendi agama
telah digoyahkan, dasar dasar pengetahuan telah diguncangkan. Oleh siapa ? Oleh
pemikiran, ya oleh akal.
Menghadapi keadaan ini, muncul orang
Yunani juga, yang bernama Socrates. Nama ini mungkin sama
terkenalnya dengan nama Nabi tertentu.
Socrates hiduppada kira-kira tahun 470-399
SM. Socrates orang yang taat beragama, meyakini dasar dasar pengetahuan,
demikian menurut sejarah. Ia berpendapat bahwa yang benar secara objektif itu
ada, itu dapat dipegang. Kebenaran yang relative memang ada juga. Socrates berusaha mengajak pemuda
pemuda Athena untuk mempercayai adanya kebenaran yang objektif, yang dapat
dipegang. Socrates pun mengajak pemuda pemuda itu kembali meyakini agama
mereka. Socrates dengan menggunakan metode dialektika, dengan bercakap cakap ke
sana-kemari, berhasil membuktikan adanya kebenaran yang objketif. Itulah
esensi-esensi di dalam definisinya. Definisi atau pengertian umum merupakan
penemuan Socrates yang sangat urgen. Metode induksi mulai digunakannya, yaitu
dalam rangka mencari esensi-esensi tersebut. Yang relative memang ada, yaitu kebenaran-kebenaran
pada cirri cirri aksidensia. Pendek kata, bahwa Socrates berhasil menginsafkan
pemuda Athena ketika itu bahwa ada kebenaran yang umum dan dapat dipegang, dan
agama pun mesti dianut kembali. Akan tetapi hasil ini harus ditebusnya dengan hukuman
mati untuk dirinya dengan minum racun,
melaksanakan keputusan pengadilan Athena.
Usaha Socrates itu diteruskan oleh
Plato. Plato adalah teman dan juga murid Socrates. Dengan mengangkat esensi
pada pengertian umum Socrates menjadi idea, maka adanya kebenaran objektif,
semakin dikukuhkan. Sampai di sini “kegaduhan” pertama dalam sejarah penggunaan
akal dapat diredakan. Orang Athena mulaipercaya lagi pada adanya kebenaran yang
objektif, kebenaran yang dapat dipegang, dan mulai meyakini kembali agama mereka.
Relativisme mulai ditinggalkan. Yang relative memang ada, namun tidak seluruh
kebenaran bersifat relaif.
Setelah peristiwa tersebut di atas,
pemikiran manusia (filsafat) mulai memasuki babak baru, yaitu suatu periode
yang panjang sekali, kira-kira selama 1.500 tahun, dan periode inilah yang
sering/ biasa disebut Abad Pertengahan. Ini adalah sebuah sebutan yang amat
sederhana. Filsafat pada periode ini pada prinsipnya dipengaruhi oleh suatu
keyakinan, yaitu yang bertumpu pada agama Kristiani (Kristen/ Katulik).
Meskipun periode waktunya relative panjang, filsafat (di Barat) bisa dikatakan
tidak banyak menghasilkan penemuan, terutama bila dibandingkan dengan
rentangnya waktu, sebab pemikiran (filsafat) manusia bagaikan direm. Yang
mengremnya ialah orang-orang Kristiani atas nama agama Kristiani. Akal dikekang
oleh agama pada masa itu. Itulah sebabnya bahwa periode ini lalu disebut
periode Skolastik, dan filsafatnya
disebut dengan istilah “skolastisisme”. Periode ini seolah-olah merupakan
periode “balas dendam” terhadap merajalelanya/ liarnya akal pada periode
sebelumnya.
Pada bagian akhir periode ini,
seorang pemikir dengan penuh persiapan, dapat juga melepaskan diri dari periode
itu. Ia melesat lepas dari kungkungan dan kekagan itu, laksana anak panah lepas
dari busurnya. Ia meninggalkan zamannya. Dan orang dimaksud diberi gelar Bapak Filsafat Modern, ia adalah Rene Descartes yang hidup antara tahun
1596 s/d. tahun 1650 Masehi. Diperkirakan, bahwa Descartes pada masa
persiapannya, membaca juga buah pikiran orang orang Islam (Ahmad Tafsir, 2009:
3). Cirri utama pemikiran Descartes adalah melepaskan diri dari pengaruh agama,
dan menghidupkan kembali tradisi Yunani, yaitu: Rasionalisme, dan karena gerakannya tersebut, maka pada gerakan ini
sering disebut gerakan Reanissance (Ahmad Tafsir, 2009:
3).
Bila munculnya Socrates dapat dijadikan tonggak sebagai reaksi terhadap akal yang
hanya khusus mendominasi pemikiran tentang manusia, maka munculnya Rene
Descartes dapat dijadikan sebagai tonggak reaksi pemikiran yang mendominasi
suara hati (dalam hal ini berupa iman/ agama) terhadap jalan hidup manusia.
Jadi, tampak ada dua (2) tokoh besar yang muncul dari dua latar belakang yang
berbeda, yakni: yang satu muncul karena ulah/ polahnya akal, sedangkan yang
satu lagi karena ulah/ polahnya orang yang mengatasnamakan agama tertentu yang
sangat dipengaruhi oleh hati atau rasa. Oleh sebab itu, akibat penggunaan akal
yang keterlaluan besar pada zaman Yunani, orang pada waktu itu menjadi bingung;
begitu juga karena kekangan agama yang terlalu didominasi oleh hati pada Abad
Pertengahan, dan pemikiran direm. Sehingga keduanya merugikan manusia dan
kemanusiaan. Pada masa masa kritis seperti itu biasanya muncul Nabi disatu
pihak, atau Filosof dilain pihak. Kritis artinya masa masa yang amat menentukan
kelanjutan riwayat manusia.
Rene
Descartes yang hidup di tahun 1596 s/d. tahun 1650 M , ia meletakkan akal
(logos) sebagai basis filsafat, tepatnya adalah sebagai basis berfilsafat,
bukan agama atau yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah, yakni
ketika sejak saat ini pemikiran manusia melaju amat cepat, disbanding dari masa
masa sebelumnya, bahkan lebih cepat dari masa
Yunani.
Filsuf pasca Rene Descartes (1596-1650)
memberikan pengertian bahwa ciri-ciri eksistensi sejarah budaya manusia adalah
mencakup Seni, kepercayaan, filsafat, dan ilmu, yang setiap unsur itu saling
berinteraksi, sebagai berikut: a. interaksi kepercayaan dengan filsafat
menjadi teologi; b. interaksi kepercayaan dengan seni menjadi mitos; c.
interaksi filsafat dengan ilmu menjadi filsafat ilmu; d. interaksi seni dengan
ilmu menjadi teknologi; e. interaksi kepercayaan dengan ilmu menjadi psikologi
empiris; f. interaksi seni dengan filsafat menjadi kritik seni.
Kepercayaan, yakni bahwa manusia sebagai wujud
refleksi dalam dirinya menyadari akan keterbatasannya dalam menghadapi
kenyataan hidup. Meskipun demikian, melalui olah pikir, manusia meyakini adanya
kekuatan luar yang dapat merubah suatu keadaan. Kekuatan luar itu yang menjadi
tonggak kepercayaan
Filsafat adalah refleksi rasional atas keseluruhan
yang nyata untuk mencapai kebenaran hakiki dan memperoleh kebijaksanaan secara
khidmat. Oleh sebab itu, filsafat merupakan pengetahuan metodis, sistematis,
dan koheren tentang seluruh kenyataan yang ada.
Unsur Ilmu adalah olah pikir tertinggi manusia dalam
memecahkan suatu masalah melalui metode, pendekatan dan teknik tertentu. Jadi
ilmu adalah kumpulan teori teori yang sudah diuji coba menjelaskan tentang pola
pola yang teratur atau pun tidak teratur di antara fenomena yang dipelajari.
Unsur Seni, yakni bepa wujud dari kegiatan akal
manusia untuk menghasilkan sesuatu ciptaannya, seperti seni lukis, seni pahat,
nyanyian, dll.
Teologi berasal dari bahasa Yunani , yakni theologia
yang terdiri dari theos berarti tuhan, dan logos berarti penalaran. Oleh sebab
itu, maka teologi lalu berarti pengetahuan metodis, sistematis dan koheren
tentang totalitas kenyatan berdasarkan iman.
Sedangkan kata Iman artinya adalah totalitas sikap,
perilaku terhadap apa yang ditetapkan Tuhan, dan mengakui sebagai sumber aturan
hidup dalam alam semesta dan akhir kehidupan.
Pengertian Filsafat Ilmu: Philosophy
of science is the ethically and philosophically natutal analysis, descreption,
and clarifications of science. (filsafat
ilmu adalah analisis netral secara etis filsafati dalam penjelasan dan
klarifikasi klarifikasi ilmu pengetahuan) (May Brodbeck 1949)
Philosophy
of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries
to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (filsafat ilmu adalah pertanyaan pertanyaan dan
mengevaluasi metode metode pemikiran ilmiah serta mencoba menentukan nilai dan
makna sebagai upaya ilmiah secara keseluruhan) (Lewis white Beck 1952).
Mitos adalah cara pemikiran yang dilandasi sifat
keyakinan mistis atau kepercayaan dengan wujud simbol, nada, gerak dan tulisan,
akan tetapi esensi mitos sulit untuk diperiksa dan diprediksi.
Teknologi adalah barang buatan, penggunaan dan
pengetahuan alat, teknik, kerajinan, sistem atau metode dan manajemen.
Teknologi berasal dari bahasa Yunani Tehnoloogia,
yang terdiri dari kata techne, suatu seni, skill, atau kerajinan,
dan logia artinya studi
tentang sesuatu.
Kritik Seni merupakan suatu wilayah keilmuan dalam
bidang seni yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan kualitas seni
modern dan postmodern.
Psikologi
Empiris adalah
studi tentang jiwa (jiwa yang berarti nafas, roh, atau jiwa).
Pada awal pekembangannya , psikologi empiris masih
pada ranah pengkajian yang dilandasi oleh kepercayaan dan filsafat.
Keadaan
dunia yang begini ini ada dua kekuatan yang mewarnainya. Kekuatan yang mewarnai
itu yang pertama yakni agama, dan yang kedua yakni filsafat. Manusia yang
mewarnai dunia juga hanya dua, yakni ahli agama (Nabi, Resi, ulama, dan para
tokoh agama lainnya), dan ahli filsafat (filosof). Apakah sains dan teknologi
ikut juga mewarnai dunia ? Tidak. Sains dan teknologi dalam garis besarnya
adalah netral. Karena pakar sains dan teknologi menggunakan sains dan teknologi
untuk mewarnai dunia dasarnya adalah pandangan hidupnya. Padahal pandangan
hidup itu munculnya hanya dari dua hal, yakni agama dan filsafat (Ahmad
Tafsir, 2009: 7).
A. PENGANTAR
KEPADA FILSAFAT
1. Dua Kekuatan Yang Mewarnai Dunia
Keadaan
dunia yang begini ini ada dua kekuatan yang mewarnainya. Kekuatan yang mewarnai
itu yang pertama yakni agama, dan yang kedua yakni filsafat. Manusia yang
mewarnai dunia juga hanya dua, yakni ahli agama (Nabi, Resi, ulama, dan para
tokoh agama lainnya), dan ahli filsafat (filosof). Apakah sains dan teknologi
ikut juga mewarnai dunia ? Tidak. Sains dan teknologi dalam garis besarnya
adalah netral. Karena pakar sains dan teknologi menggunakan sains dan teknologi
untuk mewarnai dunia dasarnya adalah pandangan hidupnya. Padahal pandangan
hidup itu munculnya hanya dari dua hal, yakni agama dan filsafat.
Kenyataan di atas dapat
dilihat, bahwa sejarah telah mempertontonkan adanya manusia yang berani mati
untuk dan karena agama yang dianutnya. Banyak orang mengorbankan harta,
pikiran, tenaga, atau nyawa sekalipun untuk dan karena kepercayaan yang dianutnya.
Malah ada orang yang dibakar hidup-hidup oleh orang yang merasa agama/
kepercayaannya dilecehkan oleh orang tersebut. Orang dengan tekun menabur bunga
atau membakar dupa dan sebagainya untuk dan karena kepercayaan terhadap
agamanya. Demikian pada kenyataannya.
Selain kenyataan itu,
sejarah juga telah mencatat pula adanya orang kuat, yang kadang kadang juga
berani mati, karena meyakini sesuatu yang diperolehnya karena memikirkannya.
Yang ini adalah pemikir atau yang biasa disebut filosof. Sesuatu dipikirkan
sedalam-dalamnya, kemudian suatu ketika ia sampai pada kesimpulan yang
dianggapnya benar. Kemudian kebenarannya ini mempengaruhi tindakannya, sehingga
keyakinannya pada kesimpulannya itu lalu membentuk sikapnya. Contoh Socrates
sanggup mati dengan cara meminum racun, sebagai hukuman baginya karena
mempertahankan kebenaran filsafat yang dianggap benar.
Keyakinan terhadap
kebenaran filsafatnya itu menjadikan filosof merasa wajib menyebarkan
pendapatnya, sehingga pada orang yang mengikuti itu terbentuk pula sikap
mereka, tindakan mereka dibentuk oleh pandangan filsafat itu, jadi menjadi
pandangan hidup mereka. Maka dari itu mereka juga mewarnai dunia.
Kedua hal di atas, yakni
agama dan filsafat adalah dua kekuatan yang mewarnai dunia. Oleg sebab itu, barang
siapa hendak memahami dunia, ia harus memahami agama atau filsafat yang
mewarnai dunia itu. Dan dua kekuatan besar yang mewarnai dunia itu, orang harus
mempelajari kekuatan itu, yakni apa agama itu ? apa filsafat itu ?.
Tentang agama dalam hal
ini tidak akan dibahas secara panjang dan lebar, namun yang pasti bahwa agama
berdasarkan berbagai bacaan yang telah dibaca, tentang agama banyak sekali
definisinya. Dari sekian banyak definisi itu agaknya dapat dibagi menjadi dua
kelompok. Yang pertama, yakni definisi agama yang menekankan segi rasa iman
atau kepercayaan, yang kedua, yakni definisi agama yang menekankan segi agama
sebagai peraturan tentang cara hidup. Demikian tentang agama, sedangkan tentang
filsafat sudah barang tentu dibicarakan secara panjang lebar, karena dalam hal
ini adalah berupa materi kuliah tentang dasar-dasar filsafat.
2.Cara Mempelajari Filsafat
Ada dua cara, yaitu:
Ada dua cara, yaitu:
a.Secara Historis – mempelajari sejarah perkemangannya,
yaitu sejak timbulnya filsafat sampai sekarang.
Mempelajari filsafat dalam hal ini adalah mempelajari filsafat
dari sejak lahirnya hingga sekarang ini, yakni yang biasa disebut sejarah
filsafat itu sendiri. Di samping itu, pengertian filsafat itu sendiri
berkembang dari masa ke masa. Untuk lebih jelasnya bahwa pengertian filsafat
berkembang dari masa ke masa adalah sebagai berikut.
Mula mula filsafat diartikan sebagai
the love
of wisdom atau love for wisdom. Pada fase ini
filsafat berarti sifat seseorang yang berusaha menjadi orang yang bijak atau
sifat orang yang ingin atau cinta pada kebijaksanaan. Pada fase ini filsafat
juga berarti sebagai kerja seseorang yang berusaha menjadi orang yang bijak.
Jadi, yang pertama filsafat sebagai sifat, dan yang kedua filsafat sebagai
kerja.
Masih pada fase ini, yaitu pada Aristoteles,
misalnya pengertian filsafat sangat umum, luas sekali. Waktu itu segala usaha
dalam mencari kebenaran dinamakan filsafat, begitu pula hasil usaha tersebut.
Dikatakan luas sekali karena semua pengetahuan, termasuk special science, tercakup
dalam filsafat. Sebagai akibat dari pengertian menurut Aristoteles tidak dapat
dipahami oleh para penggemar filsafat pada zaman ini karena special
science telah memisahkan diri dari filsafat. Pada fase pertama ini
wisdom memang luas sekali artinya, sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopedia
of Philosophy (1967: 216) bahwa Homerus menyebut tukang kayu juga orang
yang bijak (Ahmad Tafsir, 2009: 12).
Perkembangan selanjutnya
memperlihatkan bahwa pengertian filsafat mulai menyempit, yakni lebih
menekankan pada latihan berpikir untuk memenuhi kesenangan intelektual (intellectual
curiosity). Definisi dari Bertrand Russel barang kali dapat digolongkan
ke sini tatkala ia mengatakan bahwa Philosophy is the attempt to answer ultimate
question critically. Pada fase ini jelas pengertian filsafat jauh lebih
sempit dari pada pengertian filsafat pada masa Aristoteles di atas. Tugas filsafat pada masa ini,
menurut definisi Bertrand Russel itu, ialah menjawab pertanyaan yang tinggi (ultimate),
yakni pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh sains. Definisi filsafat dari
William James berbeda dari definisi Bertrand Russel. William James mengatakan
bahwa filsafat ialah kumpulan pertanyaan yang belum pernah terjawab secara
memuaskan.
Dengan demikian pengertian filsafat
sering berbeda antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Perbedaan itu
disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat, dan terakhir ini dapat disebabkan
oleh pengaruh lingkungan dan pandangan hidup yang berbeda serta akibat
perkembangan filsafat itu sendiri.
b.Secara Sistematis
– mempelajari isinya, yaitu
mempelajari bidang bahasan, seperti cabang metafisika, epistemologi, logika,
etika, dll. Pada garis besarnya filsafat mempunyai tiga cabang besar, yakni
dimensi epistemologis (teori pengetahuan), dimensi ontologism (teori hakekat),
dan dimensi aksiologis (teori nilai).
Dimensi epistemologis pada dasarnya membicarakan cara memperoleh
pengetahuan. Dimensi ontologism membahas semua objek, dan hasilnya ialah
pengetahuan filsafat.
Yang ketiga,
yakni dimensi aksiologis adalah membicarakan guna pengetahuan tersebut di atas.
B. ARTI FILSAFAT
a. Arti secara
etimologis.
Filsafat(Indonesia)
= falsafah(Arab), philosophy (Inggris), philosophia(Latin), philosophie
(Jerman, Belanda, Perancis). Semua istilah itu sumbernya = philosophia
dari istilah Yunani.
Istilah Yunani
asal katanya philein artinya mencintai,
Sedangkan kalau philos artinya
teman.
Istilah sophos
artinya “bijaksana”, sedangkan sophia artinya “kebijaksanaan”.
Jadi bila mengacu
philein dan sophos artinya mencintai hal2 yang bersifat bijaksana,
Namun bila mengacu pada kata
philos dan sophia artinya teman
kebijaksanaan.
b. Arti Filsafat Sebagai Suatu Sikap
Filsafat = suatu
sikap terhadap kehidupan dan alam semesta.
Bila orang sedang menghadapi problem yang berat,
maka dalam hatinya akan bertanya yang membutuhkan jawaban secara kefilsafatan.
Artinya
membutuhkan jawaban yang ditinjau secara tenang, luas, dan mendalam.
Misal filsafat
prajurit, rawe2 rantas malang2 putung
c. Arti Filsafat Sebagai Suatu Metode
Artinya bahwa
filsafat sebagai cara berpikir secara reflektif, radikal, dan suatu
penyelidikan yang menggunakan alasan serta berpikir secara hati hati dan
teliti.
Jadi filsafat
merupakan usaha untuk memikirkan seluruh pengalaman manusia secara mendalam dan
jelas.
Misalnya: Metode
Kritis oleh Socrates dan Plato.
d. Arti Filsafat Sebagai Sekelompok Teori atau Sistem Pemikiran
Teori atau sistem pemikiran filsafati dimunculkan oleh masing-masing
filsuf, seperti Sokrates, Plato, Aristoteles dll. Adalah untuk menjawab
masalah masalah, misalnya tentang prinsip fundamental alam semesta, apa dan
siapa manusia, serta masih banyak masalah masalah yang harus dijawab oleh para
filsuf yang lain. Karena tanpa filsuf filsuf besar seperti disebutkan di
atas, filsafat tidak akan berkembang seperti sekarang ini. Perlu diingat
bahwa besarnya kadar subjektifitas seorang filsuf dalam manjawab permasalahan,
membuat sulit untuk menentukan teori atau sistem pemikiran mana yang harus
diikuti dan yang baku.
e. Arti Filsafat sbg. analisis logis tentang bahasa & penjelasan makna
istilah
Para filsuf memakai metode analisis untuk menjelaskan suatu istilah.
Para filsuf seperti G. E. Moore, Bentrand Russel, Ludwig Wittgenstein,
dll. Mengatakan bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan kekaburan
dengan cara menjelaskan istilah. Sebab menurutnya bahasa adalah laboratorium
para filsuf. Misal, kata “ada” ini tentang adanya Tuhan dan adanya
Manusia berbeda. Begitu juga ada dalam ruang waktu berbeda dengan ada secara
transenden, dll.
ULASAN
Setelah dicoba menjelaskan dari
berbagai segi dan bermacam cara, dapat dimengerti bahwa filsafat adalah
pengetahuan yang diperoleh dengan cara berpikir logis, tentang objek yang
abstrak logis, kebenarannya hanya dipertanggung jawabkan secara logis pula.
Jika diringkaskan, maka dapat juga dikatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan
yang logis yang tidak dapat dibuktikan secara empiris. Definisi ini memang
belum lengkap, belum mencakup seluruh konsep yang terkandung dalam istilah
filsafat, namun agaknya telah mampu menunjukkan apa itu filsafat secara garis
besarnya. Untuk mengetahuan apakah diri pembaca (Anda) telah mengerti apa
filsafat, caranya mudah: yakni, Bacalah beberapa makalah, buku, atau apapun
namanya, setelah itu Anda akan dapat mengatakan, bahwa makalah ini atau buku
ini adalah makalah atau buku filsafat, atau malah mengatakan sebaliknya, yakni
bahwa makalah atau buku ini adalah makalah atau buku sains, bukan filsafat dan
buku bukan buku filsafat. Dengan demikian bila Anda telah mampu berbuat
demikian, maka yakinlah bahwa Anda telah memahami apa filsafat itu.
C. FILSAFAT
Apa yang mendorong timbulnya filsafat – Jawaban terhadap pertanyaan ini
kiranya akan membantu memahami apa filsafat itu sebenarnya. Dengan membaca ini
mudah mudahan pengertian filsafat akan terungkap sedikit demi sedikit.
Hata dalam bukunya, Alam
Pikiran Yunani (1966, 1:1-3), menulis sbb:
“Tiap bangsa betapapun
biadabnya, mempunyai dongeng takhayul (mitologi). Ada yang terjadi dari kisah
perintang hari, keluar dari mulud orang yang suka bercerita. Ada yang terjadi
dari muslihat menakut-nakuti anak supaya ia tidak nakal. Ada pula yang timbul
dari keajaiban alam yang menjadi pangkal heran dan takut. Dari itu orang
mengira ala mini penuh oleh makhul-makhluk gaib. Lama kelamaan timbul berbagai
fantasi. Dengan fantasi itu manusia dapat menyatu ruh dengan alam sekitarnya.
Orang yang membuat fantasi itu tidak ingin membuktikan kebenaran fantasinya,
karena kesenangan ruhnya terletak pada fantasi itu. Tetapi kemudian ada orang
yang ingin mengetahui lebih jauh. Di antaranya ada orang yang tidak percaya,
ada yang bersifat kritis, lama kelamaan timbul keinginan pada kebenaran.
Orang-orang Grik dahulunya banyak mempunyai dongeng dan takhayul. Tetapi yang
ajaib pada mereka ialah bahwa angan-angan yang indah itu menjadi dasar untuk
mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja. Tidak mengharapkan untung dari
situ. Berhadapan dengan alam yang indah dan luas, yang sangat bagus dan ajaib
pada malam hari, timbul di hati mereka keinginan hendak mengetahui rahasia alam
itu. Lalu timbul pertanyaan di dalam hati mereka, dari mana datangnya ala mini,
bagaimana terjadinya, bagaimana kemajuannya dank e mana sampainya. Demikianlah
selama berates tahun alam ini menjadi pertanyaan yang memikat perhatian
ahli-ahli piker Grik.”
Dari kutipan di atas dapat diambil
dua kesimpulan. Pertama, dongeng dan takhayul dapat menimbulkan filsafat. Di
antara orang-orang ada yang tidak percaya begitu saja. Ia kritis, ingin
mengetahui kebenaran dongeng itu. Dari situ timbul filsafat. Kedua,
keindahan alam besar, terutama ketika malam hari, menimbulkan keinginan pada
orang Grik untuk mengetahui rahasia alam itu. Keinginan mengetahui rahasia
alam, berupa rumusan-rumusan pertanyaan, ini juga menimbulkan filsafat.
1. Latar
belakang timbulnya filsafat
a.Heran, kagum, dan takjub terhadap alam semesta dan peristiwa peristiwanya.
Pertama tama bangsa Yunani dalam menghadapi alam semesta beserta peristiwanya
itu, yang muncul dari rasa heran, kagum dan takjub adalah percaya adanya
mitologi. Karena mitologi mitologi itu merupakan percobaan untuk
mengerti. Mite mite sudah memberi jawaban atas kekaguman dan keheranan
manusia pada waktu itu. Kemudian mereka mulai mengadakan beberapa usaha,
seperti mensistematiskan mite, menghubung hubungkan antara mite mite, dll. Akirnya
mereka mulai berpikir secara serius dan muncullah filsafat.
b. Timbulnya kesusastraan Yunani.
Kesusastraan dimaksud bukanlah dalam arti
sempit, seperti puisi atau sebangsanya, melainkan dalam arti yang seluas
luasnya, sehingga dapat meliputi seperti, teka teki, dongeng, ceritera pendek,
syair, dll. Kemudian karya sastra seperti inilah yang mulai dipakai
sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani. Contoh, yaitu syair
syair dapat berperan sebagai pendidikan, hal ini bisa dibandingkan di
Jawa atau Bali seperti wayang dan semacamnya.
c. Pengaruh ilmu pengetahuan yang sudah terdapat di Timur Kuno.
Hal ini dipahami dari datangnya ilmu ukur dan
ilmu hitung yang sebagian besar datang dari Mesir. Ilmu ini di Mesir digunakan
untuk mengukur dan menghitung wilayahnya yang terkikis sungai Nil. Tetapi bagi
bangsa Yunani, ilmu pengetahuan itu tidak dijalankan dalam konteks praktis
saja. Mereka mulai mempelajarinya dengan tidak mencari untung (Inggris: disinterestedly)
saja, melainkan dipraktekan demi ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi
untung yang letaknya di luar ilmu pengetahuan.
2. Definisi
Filsafat
Menurut Plato, bahwa filsafat adalah ilmu pength. yang berminat mencapai kebenaran yang
asli.
Menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu pength. Yang meliputi
kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Menurut Descartes, bahwa filsafat adalah kumpulan segala
pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
Menurut Notonagoro, bahwa filsafat mengelola hal-hal yang
menjadi objeknya dari sudut intinya yang mutlak dan tindakan yang tidak
berobah, yaitu disebut hakekat.
Menurut Everton, bahwa Philosophy is love of learning,
Philosohy is an interpretation of live, its value and meaning, Philosophy
provides us with a rational view of the world.
Jadi menurut penulis, filsafat adalah
ilmu yang menyelidiki segala sesuatu yang ada dengan mendalam sampai ke
hakekatnya.
3. Ciri ciri
Orang Berfilsafat
a. Universal, artinya dalam berpikir tidak berkaitan dengan hal-hal khusus, melainkan
berkaitan dengan idea-idea besar, misal: bukan menanyakan berapa harta anda
disedekahkan, namun apa keadilan itu, dsb.
b. Spekulatif, artinya berpikir yang melampaui batas batas bidang pengeth. Ilmiah, berpikir
untuk menduga apa yang akan terjadi, dan berpikir terkaan terkaan yang cerdik
thdp hal hal di luar pength, kematian, kebahagiaan sempurna, dll
c. Nilai nilai (Inggris: values), artinya berpikir
tentang keputusan penilaian, seperti nilai moral, nilai estetis, nilai sosial,
nilai religius, dll. Dalam hal ini nilai sifatnya abstrak yang melekat pada
suatu hal, sehingga dapat menimbulkan rasa senang atau puas terhadap halnya.
d. Kritis, artinya dalam berpikir mengahadapi sesuatu hal tidak menerima begitu saja,
namun memeriksa dan menilai asumsi asumsinya, mengungkapkan arti, dan
menentukan batas penerapannya.
e. Sinoptik, artinya meninjau hal yang menjadi objeknya secara menyeluruh, yaitu
berusaha mengadakan generalisasi, menganalisa, mensintesakan, dan mengadakan
integrasinya. Jadi mencakup setruktur kenyataan secara menyeluruh.
f. Radikal, kata ini berasal dari lata Yunani “radix” artinya akar.
Jadi berarti berpikir sampai ke akar akarnya, yaitu berpikir sampai ke hakikat,
esensi atau substansi yang dipikirkan.
g. Konseptual, artinya berpikir sampai ke hasil generalisasi
dan abstraksi dari pengalaman tentang hal hal dan proses individual. Misal:
berpikir tentang manusia tidak secara khusus, melainkan manusia secara umum,
seperti: apa hakekat manusia ?.
h. Koheren dan konsisten, arinya dalam berpikir sesuai dengan
kaidah kaidah berpikir (logis), dan tidak mengandung kontradiksi.
i. Sistematis, , artinya dalam berpikir merupakan kebulatan
dari sejumlah unsur yang saling berhubungan untuk mencapai suatu maksud dan
tujuannya.
j. Komprehensif, artinya dalam berpikir mencakup secara
menyeluruh, sehingga tidak ada satupun yang tertinggal di luarnya.
k. Bebas, artinya bebas dari prasangka prasangka sosial, historis, kultural,
religius, dan lain sebagainya.
l. Bertanggung jawab, artinya berpikir yang bertanggung jawab,
misalnya: dalam berpikir ada pertanggung jawaban terhadap hati nuraninya
sendiri.
4. Objek Filsafat
Tujuan filsafat ialah menemukan
kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara
sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu pada
garis besarnya ada tiga dimensi besar filsafat, yakni dimensi epistemologis,
dimensi ontologism, dan dimensi aksiologis.
Isi filsafat ditentukan oleh objek
apa yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan oleh filososf adalah segala yang ada
dan yang mungkin ada, jadi sangat luas objeknya. Oleh sebab itu objek filsafat
dapat dipahami sebagai berikut:
Objek filsafat ada dua jenis, yaitu:
a. Objek materiil.
Tentang objek
materiil filsafat banyak yang sama dengan objek materiil sains. Bedanya ialah
dalam dua hal. Pertama, bahwa sains menyelidiki objek materiil yang empiris,
sedangkan filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang
empiris, melainkan bagian yang abstraknya. Kedua, objek materiil filsafat yang
memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir,, yaitu objek
materiil yang untuk selama lamanya tidak empiris. Jadi objek materiil filsafat
tetap saja lebih luas dari objek materiil sains.
b. Objek formil.
Objek formil,
yaitu sifat penyelidikan. Objek formil filsafat adalah penyelidikan yang
mendalam. Artinya, ingin tahunya filsafat adalah ingin tahu bagian dalamnya.
Kata mendalam, artinya ingin tahu tentang objek yang tidak empiris.
5. Cara memahami
objek material filsafat.
Pemahaman pertama atas segala sesuatu ialah
pemahaman mengenai suatu yang identik. Artinya, bahwa “Sesuatu” itu Sesuatu yang tertentu, dan bukannnya
sesuatu yang lain. Yaitu: “Ini” adalah Ini dan bukan Itu. Kelanjutannya
berupa suatu konsep, bahwa A=A, A bukan non A, segala
sesuatu itu A atau non A. Contoh kongkritnya ialah bahwa “Mangga”
itu Mangga.
Jadi terdapat suatu keteraturan, bahwa kalau kita menanam biji
mangga, maka kita pada suatu waktu akan memetik buah mangga. Mengapa ?. Karena
segala sesuatu itu identik dengan hakekatnya, jati dirinya. Segala sesuatu itu
menjadi sesuatu di dalam suatu kerangka himpunan hal hal, sedemikian rupa
sehingga pemahaman tentang sesuatu juga kita peroleh melalui vector, atau medan
keberadaannya. Suatu alat rumah tangga misalnya, yang kita kenal sebagai
“Meja”, kita takrifkan sebagai “Alat Rumah Tangga” yang isi pengertiannya plus
terhadap pengertian Alat Rumah Tangga, namun yang wilayah berlakunya pengertian
“meja” lebih sempit daripada wilayah yang dicakup oleh pengertian Alat Rumah
Tangga. Suatu Subjek yang didefinisi harus lebih sempit dari Predikatnya,
dan juga lebih kongkret. Rumusnya ialah : S > P. Lalu kalau kita
bertanya : Semua ini apa ?.
Sesuai dengan
aturan di atas, Sesuatu itu, yaitu Semua, yang harus merada pada sesuatu yang
keluasannya melebihi Sesuatu yang kita sifatnya sebagai Semua itu tadi.
Kalau begitu, maka Semua itu bukan Semua, sebab masih ada sesuatu yang
mengatasi kesemuanya. Baru membicarakan suatu hal yang kita sebut “Semua” saja,
kita berhadapan dengan sesuatu, yang mau tidak mau kita lalu .......(merenung) . Jadi yang namanya
“semua” adalah disebut “ada”. Artinya: ada
dalam realita (kenyataan), ada dalam pikiran, dan ada dalam kemungkinan.
Ada daapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. ada umum
b. Ada khusus
6. Sistematika Filsafat
Hasil berpikir tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada itu
tadi telah banyak sekali terkumpul, di dalambuku buku tebal dan tipis. Setelah
disusun secara sistematis, ia dinamakan sistematika filsafat, disebut juga
struktur filsafat. Sebelum ini sudah disebutkan bahwa dalam garis besarnya
filsafat dibagi tiga cabang besar, yaitu: teori pengetahuan atau pemikiran
filosofis tentang pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai, yaitu pemikiran
filosofis tentang nilai. Berikut ini ketiga cabang itu akan diuraikan lebih
rinci lagi.
Karena objek penelitian filsafat luas sekali (objek filsafat), dan
sifat penelitiannya yang mendalam (objek forma), hasil penelitian itu bertambah
terus dan tidak ada yang dibuang, maka hasil pemikiran yang terkumpul dalam
sistematika filsafat menjadi banyak sekali. Karena banyaknya, jangankan
mempelajarinya, membaginya pun repot. Oleh karena itu, tidak seorang pun yang
berani mengaku ahli dalam filsafat; paling banter ia mengaku ahli logika, atau
ahli dalam filsafat hokum, atau ahli dalam eksistensialisme saja. Di sini akan
dicoba melihat cabang-cabang filsafat sampai yang kecil-kecil supaya dapat
dipahami kapling-kaplingnya.
Perlu diulang lagi bahwa dalam garis besarnya filsafat mempunyai
tiga cabang besar, yaitu: teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai.
Teori pengetahuan pada dasarnya membicarakan cara memperoleh
pengetahuan. Teori hakikat membahas semua objak, dan hasilnya ialah pengetahuan
filsafat. Yang ketiga, teori nilai atau disebut juga aksiologi,
membicarakan guna pengetahuan tadi. Kalau begitu ringkasannya ialah sebagai
berikut:
-teori
pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan, disebut
epistemology
-teori hakikat
membicarakan pengetahuan itu sendiri, disebut ontology
-teori nilai
membicarakan guna pengetahuan itu, disebut axiology (Ahmad Tafsir, 2009:
23).
Inilah keseluruhan filsafat dalam garis besar yang ringkas, dan
beriut bias dilihat sedikit lebih luas dan dalam.
7. Cabang cabang
filsafat
Bidang-bidang yang masuk dalam wilayah
filsafat dan merupakan konsep-konsep dasar filsafat meliputi:
1). Metafisika, yaitu suatu
usaha untuk sampai pada teori umum dalam rangka menerangkan dan melukiskan alam
semesta sebagai satu keseluruhan.
Hal ini metode yang digunakan bukan metode empirik, tetapi deduktif,
sehingga muncullah pengertian metafisika sebagai berikut:
a. Metafisika adalah suatu usaha
untuk memperoleh suatu penjelasan yang benar tentang kenyataan.
b. Metafisika adalah studi
tentang sifat dasar kenyataan dalam aspeknya yang sangat umum sejauh hal itu
dapat dicapai manusia.
c. Metafisika adalah studi
tentang “kenyataan yang terdalam” dari semua hal.
d. Metafisika adalah suatu usaha
intelektual yang sungguh sungguh untuk melukiskan sifat sifat umum dari
kenyataan.
e. Metafisika adalah teori
tentang sifat dasar dan struktur dari kenyataan.
Metafisika sangat
luas bahasannya, sehingga metafisika dapat dibahas dalam tiga cabang, yaitu:
ontologi, kosmologi, dan antropologi metafisik.
a). Ontologi, adalah ilmu yang
menyelidiki sifat dasar dari objek-objek fisis, hal universal, dan abstrak.
Oleh sebab itu, ontologi merupakan teori tentang prinsip-prinsip umum dari
hal ada, atau ontologi dapat dipandang sebagai teori mengenai yang ada.
b). Kosmologi adalah ilmu yang
menyelidiki tentang tata-tertib yang sangat fundamental dalam kenyataan.
c). Antropologi metafisik adalah
ilmu yang menyelidiki tentang manusia yang berkaitan dengan pertanyaan
pertanyaan tentang hakikat manusia dan pentingnya dalam alam semesta.
d). Epistemologi
Yaitu: cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan,
sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan
kesahihan pengetahuan. Sedangkan filsafat ilmu mempelajari tentang ciri ciri
pengetahuan ilmiah dan cara bagaimana mendapatkannya.
Oleh sebab itu mempelajari epistemologi dan filsafat ilmu diharapkan dapat
membedakan antara pengetahuan dan ilmu serta mengetahui dan menggunakan metode
yang tepat dalam memperoleh suatu ilmu
8. Aliran aliran
Filsafat.
Aliran-aliran filsafat dasarnya adalah: a.
Persoalan tentang keberadaan (dimensi ontologis) b. Persoalan
pengetahuan (dimensi epistemologis) c. Persoalan
nilai-nilai (dimensi aksiologis).
Ad. a. Persoalan
tentang keberadaan (dimensi ontologism), bahwa keberadaan dapat dilihat dari dua
kategori, yaitu: (lihat bagan di bawah ini).
Ada dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Kuantitas;
b. kualitas
ad. a.Kuantitas terdiri dari: 1). Monisme (satu) ; 2). Dualisme (dua) ; 3). Pluralisme
(banyak)
Ad.b.Kualitas terdiri dari: Spiritualisme dan Meterialisme
Keterangan
tentang keberadaan dipandang dari segi kuantitas, yaitu:
1).Monisme,
Yaitu aliran yang menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan fundamental di
jagad raya ini dapat berupa: Tuhan atau substansi lain, seperti jiwa, materi.
Dll. yang tak dapat diketahui.
Tokohnya, seperti:
Thales (abad 6 Seb. M.) Mengatakan air sebagai substansinya,
Anaximandros (abad 6 Seb. M) mengatakan bahwa Apeiron, yaitu
sesuatu yang tak terbatas sebagai substansinya,
Baruch Spinoza (abad 17 M) berpendapat bahwa satu substansi itu adalah
Tuhan yang dalam hal ini Tuhan diidentikkan dengan alam (Yunani: Naturans
naturata).
2).Dualisme
Yaitu: aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing masing
berdiri sendiri-sendiri.
Tokohnya, yaitu:
Plato (427-347 Seb. M). Yang membedakan adanya dua dunia, yaitu dunia indra
(dunia bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia idea).
Rene Descartes (1596-1650), yang membedakan substansi pikiran dan substansi
keluasan.
Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala (fenomena)
dan dunia hakiki (noumena)
3).Pluralisme, yaitu:
Aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi,
melainkan banyak substansi sebagai kenyataan yang fundamental.
Tokohnya, yaitu:
Empedokles (490-430 Seb. M), yang menyatakan bahwa hakekat kenyataan
terdiri dari empat unsur, ialah udara, api, air, dan tanah.
Anaxagoras, yang menyatakan bahwa hakikat kenyatan terdiri dari unsur-unsur
yang tak terhitung jumlahnya, sebanyak jumlah sifat-sifat benda dan semuanya
itu dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan “nous”.
Dikatakan olehnya bahwa “nous” adalah suatu zat yang paling halus yang
memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur, tapi tidak diatur.
Tokoh-tokoh pendukungnya adalah filsuf Postmodern, seperti Mitchel
Foucault, J.J. Derrida, dan J.F. Lyotard (mereka sebagai tokoh yang memihak
pada aliran pluraslisme)
Keterangan
tentang keberadaan dipandang dari segi kualitas/sifatnya, adalah:
1). Spiritualisme,
Yaitu aliran yang menyatakan bahwa kenyataan fundamental adalah jiwa
(pneuma, nous, reason, logos).
Jadi, yang mendasari seluruh alam ini adalah jiwa, sehingga ini dilawankan
dengan materialisme.
Tokoh-tokohnya, yaitu:
Plato (427-347 Seb. M), yaitu dengan ajarannya tentang idea (cita). Idea
(cita) adalah gambaran asli segala benda. Jadi semua benda yang ada di alam
raya ini hanyalah merupakan bayangan idea saja.
2).Materialisme, yaitu:
Aliran yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata keculi materi.
Pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi dan dapat
dikembalikan pada unsur-unsur fisik.
Jadi hal-hal yang bersifat kerochanian, seperti pikiran, jiwa, keyakinan,
rasa sedih, dll. Tidak lain hanyalah ungkapan proses kebendaan.
Tokohnya, yaitu:
Demokritos (460-370 Seb. M) yang mengatakan bahwa alam semesta ini tersusun
dari atom-atom kecil yang memiliki bentuk dan badan.
Atom-atom ini sifatnya sama, dan bedanya hanya pada bentuk, besar, dan
letaknya. Oleh sebab itu jiwa pun terjadi dari atom-atom, hanya saja atom jiwa
lebih kecil, bulat, dan sangat halus, serta mudah bergerak.
Thomas Hobbes (1588-1679), yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang
terjadi di dunia ini merupakan gerak dari materi, termasuk juga pikiran,
perasaan adalah gerak materi belaka.
Jadi, segala sesuatu terjadi dari benda-benda kecil, sehingga filsafat sama
dengan ilmu yang mempelajari benda-benda.
ad. b. Persoalan
pengetahuan yang bertalian dengan sumber-sumber pengetahuan (dimensi
epistemologis), yaitu berupa:
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara
memperolehnya pengetahuan itu. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut:
1). Aliran
rasionalisme
Yaitu, aliran yang berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber pada akal
(rasio).
Tokohnya, ialah:
Rene Desacartes (1596-1650), mengatakan bahwa manusia sejak lahir telah
memiliki idea bawaan (innate ideas). Dan tokoh yang lain, yaitu: Spinoza, dan
Leibniz.
Pada perkembangan dewasa ini muncul aliran “Rasionalisme kritis” dengan
tokohnya Karl R. Popper (1902- )
2). Aliran
empirisme,
Yaitu aliran yang berpandangan bahwa semua pengetahuan diperoleh liwat
indera.
Prosesnya: Indera memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, kemudian
kesan-kesan itu berkumpul dalam diri manusia yang kemudian diolah menjadi
pengalaman.
Tokohnya : John Locke (1632-1704), Thomas Hobbes (1588-1679), David Hume
(1711-1776)
John Locke mengatakan, bahwa waktu lahir jiwa manusia adalah putih bersih (tabularasa),
tidak ada bekal dari siapa pun.
Akal/ rasio pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Artinya, bahwa akal/
rasio tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri.
Jadi, semula akal serupa dengan secarik kertas putih yang tanpa tulisan,
yang siap menerima sesuatu yang datang dari pengalaman.
John Locke tidak membedakan antara pengetahuan iderawi dan pengetahuan
akali.
Satu-satunya obyek pengetahuan adalah idea-idea yang timbul karena empiri/
pengalaman lahiriah (sensation) dan karena pengalaman/ empiri
batiniah (reflection).
Kedua macam pengalaman itu jalin menjalin, yaitu pengalaman lahiriah
menghasilkan gejala-gejala psikis yang harus ditanggapi oleh pengalaman
batiniah.
Yang dibedakan oleh John Locke adalah antara idea-idea tunggal (simple
ideas) dan idea-idea majemuk (complex ideas).
Idea tunggal datang pada manusia langsung dari pengalaman, tanpa pengolahan
logis, sedang idea majemuk timbul dari gabungan idea-idea tunggal.
Jadi, jika idea-idea secara teratur bersama menampilkan diri, maka
idea-idea itu sebagai satu hal yang sama, yang berdiri sendiri, yaitu yang
disebut substansi.
3). Aliran
Kritisisme,
Yaitu: aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal, baik
dari dunia luar, maupun dari jiwa atau pikiran manusia.
Prosesnya: akal memperoleh pengetahuan dari empiri/ pengalaman, kemudian
akal mengatur dan mentertibkan dalam bentuk pengamatan, yakni dalam bentuk
ruang dan waktu.
Tokohnya: Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant (1724-1804) seorang filsuf Jerman yang mencoba mengatasi
pertikaian antara rasionalisme dan empirisme.
Mulanya Kant mengakui rasionalisme, kemudian empirisme datang
mempengaruhinya. Waktu menghadapi empirisme, Kant tidak begitu saja menerimanya,
karena Kant tahu bahwa empirisme membawa keraguan terhadap rasio.
Di satu pihak, Kant mengakui kebenaran indra, dan di lain pihak, Kant
mengakui pula bahwa rasio mampu mencapai kebenaran.
Oleh sebab itu, Kant mengkompromisasikan antara kedaulatan rasio dengan
kedaulatan empiri/ pengalaman, yaitu:
Bagaimanapun, fungsi rasio adalah yang pertama dan utama, namun rasio/ akal
harus mengakui persoalan-persoalan yang ada di luar jangkauannya.
Pada waktu rasio tidak mampu meraih pengetahuan, maka di sinilah
batas-batas di mana ketentuan akal itu tidak berlaku lagi, dan sejak itulah
fungsi pengalaman/ empiri tampil sebagai suatu cara penyampaian pengetahuan.
Jadi, bagi Immanuel Kant adalah dari satu pihak mempertahankan
objektivitas, universalitas, dan keniscayaan pengertian, namun dari lain pihak
ia menerima bahwa pengertian bertolak dari fenomin-fenomin, dan tidak dapat
melebihi batas batasnya.
Oleh sebab itu, filsafat Kant tekanannya terletak pada pengertian
(kegiatan) pengertian dan penilaian manusia, bukan menurut aspek
psikologis seperti dalam empirisme, melainkan sebagai analisa kritis.
4). Aliran
Idealisme
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa dari suatu dasar menelurkan
kesimpulan dan kemudian memberi keterangan tentang keseluruhan yang ada.
Artinya, bahwa pengetahuan itu tidaklah lain daripada kejadian dalam jiwa
manusia, sedang kenyataan yang diketahui manusia itu ada di luarnya.
Prosenya: Yang ada adalah berupa idea itulah yang disebut aliran idealisme.
Tokohnya: Fichte (1762-1814); Schelling (1775-1854); Hegel 1770-1831).
Fichte mengakui dan memberikan prioritas yang tinggi kepada Aku, sehingga
dikatakan bahwa Aku adalah satu-satunya realitas.
Bedanya dengan Schlling yang juga tokoh idealisme, yaitu bahwa Schelling
mengakui obyek (bukan Aku) itu sungguh sungguh ada.
Sehingga kalau bagi Fichte, obyek itu muncul dari Aku, maka Schelling
mengatakan Aku (subyek) dari alam (bukan Aku) yang sungguh-sungguh ada.
Akan tetapi, munculnya Aku dari alam adalah yang telah sadar.
Jadi, tampak ada keserasian antara Fichte dan Schelling
Sedangkan bagi Hegel yang juga tokoh idealisme, mengatakan:
Bahwa dibedakan antara yang mutlak dan yang tidak mutlak.
Yang mutlak adalah jiwa, namun jiwa itu menjelma pada alam, dan sadarlah
akan dirinya.
Jiwa adalah idea, yang artinya berpikir. Dan dalam diri manusia, idea itu
sadar akan dirinya, maka manusia itu merupakan bagian dari idea yang mutlak,
yatu Tuhan.
5). Aliran
Positivisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa kepercayaan kepercayaan yang dogmatis
harus digantikan dengan pengetahuan faktawi.
Artinya: bahwa filsafat hendaknya dan semata-mata mengenai dan berpangkal
pada peristiwa-peristiwa positif, yaitu peristiwa-pristiwa yang dialami
manusia.
Prosesnya: apapun yang berada di luar pengalaman tidak perlu diperhatikan.
Tokohnya: August Comte (1798-1857); Emile Durkheim (1858-1917); John
Stuart Mill (1806-1873).
Menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis dari teraturnya masyarakat. Oleh
sebab itu, jiwa dan budi haruslah mendapatkan pendidikan yang cukup dan matang.
Sehingga menutut Comte, bahwa sekarang saatnya hidup dengan mengabdi pada ilmu
positif, seperti matematika, fisika, biologi, ilmu kemasyarakatan, dll.
Hal ini seperti dikatakan oleh Comte, bahwa pengetahuan manusia di dalamnya
ditemukan tiga tahap ilmu pengetahuan, yaitu:
1.Tahap ketika
fenomena dijelaskan secara teologis seperti dilakukan pada Abad Tengah.
2. Tahap ketika
fenomena dijelaskan secara metafisis seperti dilakukan pada periode Pencerahan.
3. Tahap ketika eksplanasi ditempuh melalui observasi hubungan hubungan
serta ilmu ilmu yang mencapai konstruksi.
Jadi, Comte yakin bahwa ilmu-ilmu yang positivistik telah bergerak dari
status yang lebih bersifat umum menuju tahap dan sifat yang lebih konkrit dan
kompleks, seperti: matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan
sosiologi.
Comte mengatakan, bahwa budi atau pemikiran manusia mengalami 3 tingkatan,
yaitu:
Tingkat teologis,
Tingkat metafisis,
Tingkat positif.
Pada tingkat teologis, manusia mengarahkan jiwanya kepada hakekat
“batiniah” segala sesuatu dengan pengaruh dan sebab sebab yang melebihi kodrat,
yaitu kepada “sebab pertama” dan “tujuan terakhir”.
Pada tingkat kedua, yaitu tingkat metafisika yang hanya perubahan saja dari
teologis, karena yang hendak diterangkan harus melalui abstraksi.
Sebab kekuatan yang adikodrati hanya diganti dengan kekuatan yang abstrak,
yang dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.
Tingkat ketiga, yaitu tingkat positif di mana manusia
menganggap, bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang
mutlak, baik pengetahuan teologis, maupun pengetahuan metafisis.
Sebab tujuan tertinggi adalah bilamana gejala gejala telah dapat disusun
dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja, misal: gaya berat. Jadi di sini
hanya memperhatikan yang sungguh sungguh dan sebab akibat yang sudah
ditentukan.
Emile Durkheim yang mengatakan bahwa positivisme sebagai asas sosiologis.
John Stuart Mill menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan
kesusasteraan.
6). Aliran
Evolusionisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa manusia adalah perkembangan tertinggi
dari taraf hidup yang paling rendah.
Prosesnya: yaitu alam yang juga diatur oleh hukum hukum mekanik.
Berupa hukum survival of the fittest dan hukum struggle
for live.
Tokohnya: Charles Darwin (1809-1882); Herbert Spencer (1820-1903).
Darwin mengatakan, bahwa manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf
hidup yang paling rendah, yaitu alam, dan juga diatur oleh hukum-hukum mekanik Jadi, hukum survival
of the fittest dan hukum struggle for live dari
tumbuh-tumbuhan dan hewan berlaku pula bagi manusia.
Sedangkan bagi Herbert Spencer, yang dapat dikenal adalah “yang menjadi”,
bukannya “yang ada”. Oleh sebab itu, proses dunia ini tiada lain merupakan
berkumpulnya kembali gerak dan bahan. Maka, evolusi adalah peralihan hubungan
yang lebih erat (integrasi) dalam bahan, yang dengan sendirinya disertai oleh
perluasan gerak.
7). Aliran
Eksistensialisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan untuk mengerti seluruh realitas.
Artinya, bahwa manusia harus bertitik tolak pada manusia yang konkrit,
yaitu manusia sebagai existensi; dan sehubungan dengan titik
tolak ini maka bagi manusia existensi itu mendahului essensi.
Prosesnya, yaitu memahami secara sadar, apakah sebenarnya mengetahui itu,
maka harus mengetahui manusia yang benar-benar ada.
Tokohnya: Martin Heidegger (1889- ); Karl Jaspers (1883- ); Jean Paul
Sartre (1905- ).
Ciri-ciri aliran existensialisme adalah:
1. manusia menyuguhkan dirinya (existere) dalam
kesungguhannya.
2. manusia harus berhubungan dengan dunia.
3. manusia merupakan kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan
badannya
4. manusia berhubungan dengan “yang ada”.
Hal di atas seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, bahwa persoalan
tentang “berada” hanya dapat dijawab melalui ontologi.
Artinya: jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya
dalam hubungan ini, maka agar berhasil harus dipergunakan metode “fenomenologis”.
Jadi, yang penting menemukan arti “berada” itu. Satu-satunya “berada” yang
dapat dimengerti sebagai “berada”, ialah “berada”-nya manusia.
Catatan: harus dibedakan antara “berada” (Sein) dan “yang
berada” (Seinde)
Ungkapan “yang berada” (Seinde) hanya berlaku bagi
benda-benda, yang bukan manusia.
Jadi, benda-benda itu hanya “vorhanden”, artinya: hanya
terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu.
Keberadaan manusia disebut “Dasein”, artinya: “berada di
dalam dunia”.
Oleh karena manusia “berada di dalam dunia”, maka manusia dapat memberi
tempat kepada benda-benda yang di sekitarnya.
Ad. 3. persoalan
dalam dimensi aksiologis.
Seandainya ditanyakan kepada Socrates
atai Nietzsche apa guna filsafat, agaknya mereka akan menjawab bahwa filsafat
dapat menjadi manusia menjadi manusia. Dengan filsafat orang akan mungkin
menjadi orang bijaksana. Kegunaan filsafat dalam rumusan ini terlalu umum
sehingga sulit dipahami. Berikut ini dicoba dengan menampilkan beberapa aliran
seperti:
a.Aliran Hedonisme, yaitu aliran
yang menganjurkan bahwa manusia untuk mencapai kebahagiaan yang didasarkan pada
kenikmakatn, dan kesenangan.Tokohnya: Epicurus (341-270 SM) yang menyatakan
bahwa kesenangan dan kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Epikuros mengatakan, bahwa
manusia harus mengikuti tatanan dunia, tidak perlu takut mati, harus
menggunakan kehendak yang bebas dan mencari kesenangan sebanyak mungkin. Namun,
jika terlalu banyak kesenangan itu akan membuat sengsara. Oleh karena itu,
manusia perlu membatasi diri dengan mengutamakan batin (Suparlan Suhartono,
2007: 102)
b.Aliran Pragmatisme, yaitu aliran yang
menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kosekuensi-konsekuensi yang menguntungkan.
Tokohnya,
yakni John Dewey (th. 1859-1952) mengatakan, bahwa kebenaran adalah
dimisalkan manusia sedang tersesat di tengah hutan. Kepada diri sendiri manusia
akan berkata dengan yakin bahwa “jalan keluarnya adalah ke arah kiri”.
Pernyataan ini akan berarti jika manusia benar benar melangkah ke arah kiri.
Selanjutnya, pernyataan ini benar apabila arah kiri itu pada akhirnya
mengakibatkan konsekuensi positif, yakni benar-benar dapat membawa manusia
tersebut keluar dari hutan itu.
Jadi, benar menurut
pragmatisme bergantung pada kondisi-kondisi yang berupa (manfaat),
kemungkinan dapat dikerjakan (workability), dan konsekuensi yang
memuaskan (satisfactory results) ((Suparlan Suhartono, 2007: 81)
9.Filsafat adalah Berpikir Ilmiah
Dalam menghadapi berbagai masalah hidup di dunia ini, manusia
akan menampilkan berbagai alat untuk mengatasinya. Alat itu adalah pikiran atau
akal yang berfungsi di dalam pembahasannya secara filosofis tentang masalah yang
dihadapi. Pikiran yang bagaimanakah yang dapat masuk dalam bidang filsafat itu
?. Jawabannya adalah pikiran yang senantiasa bersifat ilmiah. Jadi, pikiran itu
mempunyai kerangka berpikir ilmiah filsafat, karena itu tidak semua berpikir
itu bias diartikan berpikir filsafat. Berpikir ilmiah filsafat mengandung
khasiat-khasiat tertentu, yaitu: mengabstrakhir pokok persoalan, bertanya terus
sampai batas terakhir yang beralasan, dan berelasi (bersistem).
a.Mengabstrakhir pokok persoalan
Beraneka macam persoalan yang
dihadapi tidak begitu saja dapat diselesaikan. Pemilihan salah satu pokok
tertentu adalah harus. Dari pokok tertentu yang merupakan kenyataan diusahakan
dapat ditangkap dalam pikiran.
Kenyataan Abstraksi
A B
Mengabstrakhir adalah membuang sifat
sifat yang tampak satu persatu, sehingga tinggallah suatu gambaran yang
sifatnya universal. Aristoteles, pemikir besar Yunani Kuno, mengatakan bahwa
segala sesuatu mempunyai cara-cara berbeda, yang disebut kategori. Sedangkan
darinya (hal yang ada) itu mempunyai sepuluh kategori, yaitu: substansi,
kualitas, kuantitas, relasi, waktu, tempat, keadaan, aksi, pasi, dan posisi.
Dengan cara menghilang satu persatu dari kategori-kategori itu, maka yang
tinggal hanyalah satu hal yaitu substansi. Mengabstraksikan sesuatu
hal, misalnya meja, adalah menangkap keseluruhan meja itu agar berada di dalam
angan-angan akal pikiran setelah melampaui proses penghilangan segala sifatnya
yang Nampak (Sembilan kategori) sehingga tinggal hanya satu hal yaitu
substansi.
b.Bertanya terus menerus sampai batas
terakhir
Yang dimaksud bertanya terus menerus
adalah bukan sekedar bertanya tanpa arah, melainkan kontinuitas pertanyaan yang
betul betul terarah kepada keselesaian akan objek yang sedang dipikirkan.
Itulah yang dimaksudkan dengan bertanya terus menerus sampai pada batas
terakhir, yang tentunya disebut juga pertanyaan ilmiah filsafat. Pertanyaan itu
berjumlah empat, berturut-turut adalah: bagaimana, mengapa, ke mana, dan apa.
Pertanyaan pertama, bagaimana:
Pertanyaan ini memperoleh jawaban
sistematis dari sifat objek yang diselidiki (pengetahuan atau diskretif). Misalnya, sebuah meja sebagai objek, maka
diperoleh sifat kuat, warna, dan bentuknya. Muncullah pertanyaan sifat sendiri
itu apa ?. Prof. Notonegoro dalam Pancasila Secara Ilmiah Populer (1975)
mengatakan bahwa sifat adalah suatu hal yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi
adanya itu terletak pada barang yang lain dan menjadi satu dengan barang yang
lain itu, sehingga kemudian menjadi bagian darinya. Misalnya warna tertentu
pada sebuah meja, dulu merupakan hal tersendiri, dan sesudah diletakkan pada
sebuah meja maka kemudian menjadi satu dan merupakan sifat dari meja itu.
Selanjutnya dikatakan bahwa sifat
digolongkan dalam empat maca, yaitu:
(1). Sifat lahir,
yaitu sifat yang berasal dari luar, misalnya cat tertentu yang diletakkan dalam
sebuah meja.
(2). Sifat batin,
yaitu sifat bawaan, misalnya meja tadi terbuat dari kayu jati. Kayu jati memang
mempunyai sifat kuat dapat mempengaruhi benda yang terbuat darinya berupa
kekuatan pula.
(3). Sifat wujud,
bentuk dan susunan dari barang tersebut.
(4). Sifat
kekuatan, tenaga agau gaya yang ada pada barang tersebut.
Semua golongan sifat tersebut
bersama sama menyifatkan hal atau barangnya. Adapun sifat-sifat yang telah
menjadi sifat dari hal atau barang itu, disebut keadaan.
Pertanyaan kedua, mengapa:
Pertanyaan ini menghasilkan jawaban
tentang sebab musabab dari hal atau sesuatu (objek), yang disebut juga sebagai pengetahuan
kausal. Sebab musabab (causal) adalah hal yang menyebabbkan
adanya objek secara mutlak. Lalu pengertian “sebab” adalah suatu hal yang
mempengaruhi perubahan dalam arti yang luas terhadap suatu hal. Sedang akibat
merupakan hasil dari sebab. Mengenai sebab-akibat (causa) ini ada empat hal,
yaitu:
(a). causa
materialis, yaitu sebab yang berupa bahan.
(b). causa
formalis, yaitu sebab yang berupa bentuk.
©. causa
finalis, yaitu sebab yang berupa tujuan.
(d). causa
efisien, yaitu sebab yang berupa karya.
Empat sebab itu bila diperuntukkan
pada contoh meja tadi bias dijabarkan: kayunya adalah sebab bahan atau causa
materialis. Tetapi yang berubah bukan kayunya, melainkan bentuknya, maka hal itu disebut sebab bentuk,
causa
formalis. Kayu sebagai bahan tidak hanya dapat dibuat meja, melainkan
bias dibuat macam-macam, maka kayu yang dibuat meja adalah sebab tujuan atau causa
finalis. Dari ketiga sebab itu, belum bias menjadi wujud sebuah meja,
apabila belum dikerjakan menjadi meja. Setelah selesai menjadi meja, maka hal
itu disebut sebab karya atau causa efisien.
Pertanyaan ketiga, ke mana:
Pertanyaan ini mewujudkan jawaban
yang merupakan norma-norma (pengetahuan normative). Norma adalah peraturan
peraturan atau hokum hokum yang dikenakan pada saat penyelidikan dinyatakan
selesai. Jika memakai contoh meja, maka dalam membuat meja seharusnya selalu
memakai norma norma pembuatan. Misalnya, tukang meja harus membuat meja menurut
praktis kegunaan, keindahan, nilai intrinsic atau ekstrinsik, dan nilai
kesesuaiannya, dengan pertimbangan pertimbangannya sendiri, misalnya pemodalan,
kreativitas, dsb.
Pertanyaan keempat, apa:
Dari pertanyaan ini diperlukan suatu
jawaban yang berupa inti-isi mutlak dari objeknya. Kembali meja menjadi contoh.
Lalu apakah hakikat inti-isi mutlak dari meja itu ? persoalan yang muncul di
sini adalah hakikat itu sendiri. Hakikat adalah unsure-unsur yang bersama sama
menyusun segala sesuatu yang terpisah dari hal hal lain dan membuatnya menjadi
satu kesatuan, yaitu sebagai diri. Dengan kata lain yang menjadikan
sdanyasegala sesuatu itu dinamakan hakikat. Hakikat yang demikian adalah
hakikat dalam arti konkritnya. Yaitu hakikat setiap hal tertentu yang maujud,
setiap benda mati, setiap hewan, setiap tumbuh-tumbuhan dan setiap manusia.
Selanjutnya, ada hakikat yang
berjenis lain yaitu hakikat pribadi. Hakikat pribadi adalah unsure-unsur yang
tetap, tidak berubah dan yang menyebabkan hal yang bersangkutan itu tetap
merupakan diri pribadinya. Misalnya, perbuatan yang terjadi pada setiap manusia
dari bayi sampai dewasa itu tidak mengubah bentuknya sendiri (yakni bentuk
manusia). Kemudian, dari unsure unsure yang tetap itu, kalau diteliti ada yang
sama sama terdapat pada suatu yang
berjenis tunggal. Misalnya, sama sama terdapat pada manusia, hewan , tumbuh
tumbuhan, dsb. Hakikat demikian disebut hakikat jenis atau umum dan abstrak,
karena meskipun terkandung di dalam halnya, akan tetapi tidak maujud.
Jadi, hakikat jenis adalah unsure unsure yang bersama sama dalam
suatu kesatuan membentuk sesuatu yang berjenis tunggal. Diambil contah manusia.
Di dalam segala perubahan manusia, dari tidak ada ke ada, dari kecil sampai
besar, dll, menunjukkan adanya hakikat dalam konkrit manusia. Sifat sifat yang
tetap dimiliki oleh semua manusia merupakan sifat mutlak sebagai manusia,
sedangkan yang membedakannya dengan hewan, dll, adalah hakikat yang abstrak
atau hakikat jenis.
Begitu juga dengan setiap hal lainnya, sperti binatang, tumbuh
tumbuhhan, benda mati, dansetiap hal yang ada dalam realitasnya ini adalah tentu
memiliki tiga macam hakikat itu.
c.beralasan.
Berpikir ilmiah filsafat haruslah
beralasan. Jika dijumpai suatu pertanyaan, apakah alas an saudara tidak mau
sekolah ?. jawabnya biasanya dimulai dengan kata “karena”. Misalnya, karena
sakit, atau yang lain. Jawaban pertama kiranya menyangkut soal prinsip, sebab
jika tidak sakit tentu ia akan pergi ke sekolah. Tetapi, jawaban kedua
menyangkut soal realisasi atau akibat dari tujuan, karena ia mempunyai maksud
kesengajaan tertentu, misalnya supaya gurunya diganti dan dengan demikian tidak
mengganggu belajarnya. Jadi masalah alas an kiranya selalu dirangkaikan dengan
soal tujuan. Jadi, alasan adalah suatu tanggung jawab atas suatu tindakan
tertentu. Kalau demikian, apakah tanggung jawab dari berpikir ilmiah filsafat
itu ?. jelas di sini tampak suatu tujuan dari berpikir ilmiah filsafat, yaitu
untuk memperoleh jawaban/ keterangan sedalam dalamnya dari suatu objek.
Keterangan yang demikian itu berhubungan dengan sudut pandangan.
d.Harus Sistematis
Berfilsafat bukanlah merenung tanpa
isi atau melamun belaka dan juga bukan berpikir yang bersifat kebetulan.
Berfilsafat dengan berpikir ilmiah adalah mencoba menyusun suatu system ilmu
pengetahuan yang saling berhubungan, rasional, konseptual, dan memenuhi syarat
untuk memahami dunia tempat manusia hidupmaupun untuk memahami dirinya sendiri.
Pendek kata, berpikir ilmiah filsafat mengenai suatu hal perlu disusun sebagai
suatu system, yaitu bagian yang satu dengan bagian yang lain saling berhubungan
dan semua bagian merupakan kesatuan serta kebulatan, tidak boleh dipisah
pisahkan dan tidak boleh berdiri sendiri sendiri.
10. Persamaan dan Perbedaan antara
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Adapun Persamaan antara Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
adalah:
1).
Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya, menyelidiki objek
selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
2).
Kedua-duanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada
antara kejadian-kejadian yang dialami, serta menunjukkan sebab-sebabnya.
3).
Keduanya hendak memberikan sintesis, yakni suatu pandangan yang begandengan.
4).
Keduanya mempunyai metode dan system.
5).
Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya yang timbul
dari hasrat manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.
Sedangkan Perbedaannya antara
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan adalah:
1).
Objek material (lapangan) penyelidikan filsafat bersifat umum (universal),
yakni segala sesuatu yang ada, sedangkan objek material ilmu pengetahuan adalah
bersifat khusus dan empiris.
2).
Objek formal filsafat bersifat non fragmentaris, sebab mencari pengertian dari
segala sesuatu yang ada secara luar, mendalam, dan mendasar (sampai pada
hakekat). Sedang ilmu pengetahuan objek formalnya bersifat pragmentaris,
spesifik, dan intensif, juga bersifat teknis, artinya bahwa idea idea manusia
itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
3).
Filsafat dilaksanakan dalam suasana menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan
pengawasan. Sedangkan ilmu harus diadakan riset lewat pendekatan trial
and error. Oleh sebab itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis,
sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
4).
Filsafat dengan pertanyaan yang lebih jauh dan mendalam berdasar pengalaman
realitas sehari-hari. Sedangkan ilmu pengetahuan bersifat diskursif, yakni
menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
5).
Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan mendalam sampai
dasar yakni yang disebut hakekat. Sedangkan ilmu pengetahuan menunjukkan
sebab-sebab yang tidak begitu mendalam atau yang disebut yang sekundar (secondary
cause).
11. Tujuan Filsafat Ilmu Pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan tujuannya,
yakni:
a.
mendalami unsure-unsur pokok ilmu
pengetahuan, sehingga secara menyeluruh dapat dipahami sumber-sumber, hakikat,
dan tujuan ilmu pengetahuan.
b.
Memahami sejarah pertumbuhan,
perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga didapat gambaran tentang
proses ilmu kontemporer secara historis.
c.
Menjadi pedoman bagi para pendidik
dan anak didik dalam mendalami studi di perguruan tinggi, khususnya untuk
membedakan persoalan ilmiah dan non ilmiah.
d.
Mendorng para calon ilmuwan untuk konsentrasi
dalam mendalami ilmu pengetahuan dan mengembangkannya.
e.
Mempertegas bahwa dalam persoalan
sumber dan tujuan antara ilmu pengetahuan dan agama tidak ada pertentangan
(Amsal Bakhtiar, 2004: 20).
12.
Kajian Filsafati tentang Arah dan strategi perkembangan ilmu pengetahuan
Bukan hal yang ajaib bila berpendapat
bahwa ilmu pengetahuan yang sekarang dikenal orang berasal dari kebudayaan
Yunani Kuno. Ilmu pengetahuan dimulai dari filsafat, nyaris sebagai satu
satunya ilmu di masa itu untuk kemudian berangsur-angsur menelorkan percabangan
dan perantingan keilmuan lebih jauh. Meskipun demikian, jika sejarah ilmu itu
ditelusuri sesuai dengan akar katanya, maka akan diketahui bahwa ilmu sudah
tumbuh jauh sebelum para pemikir Yunani mengenalnya. Usaha mula mula di bidang
keilmuan yang tercatat dalam sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir, di mana
banjir sungai Nil yang terjadi tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem
almanak, geometri, dan kegiatan survey.
Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh
bangsa Babylonia dan Hindu yang memberikan sumbangan-sumbangan berharga
meskipun tidak seintensif kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu muncul bangsa
Yunani yang menitikberatkan pada pengorganisasian ilmu. Bangsa Yunani dapat dianggap sebagai
perintis dalam mendekati perkembangan ilmu secara sistematis. Sejalan dengan
hal di atas, maka arah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah sbb.:
1. Ilmu berkembang dari keadaan bersatu menuju keadaan
yang banyak atau terspesialisasi.
Dari aspek ini
dinyatakan, bahwa tidak ada ilmu pengetahuan pada umumnya, yang ada hanyalah
ilmu konkrit. Perkembangan seperti ini ternyata tidak dapat dielakkan, sehingga
ilmu dalam perkebangannya menuju ke arah spesialisasi. Spesialisasi
dimungkinkan oleh karena manusia dapat menelaah satu aspek saja pada satu soal,
terutama pada tahapan analisis.
2. Ilmu berkembang dari cara kerjanya yang rasional ke
arah rasional empiris dan rasional eksperimental. Aspek perkembangan ini
bersangkutan dengan metode ilmu dan metode merupakan komponen pokok dalam
segala aktivitas keilmuan.
Ditelusuri lebih
jauh, karakter ilmu mengalami perubahan, dari masa Purba yang hanya memiliki “a receptive and emperical mentality”
ke arah bangkitnya suatu “inquiring
mind”, dari kemampuan know-how
ke arah know-why. (inquire:
menyelidiki/ ingin tahu).
3. Ilmu berkembang dari sifatnya yang kualitatif ke arah
kuantitatif. Dari aspek ini perkembangan ilmu ditandai suatu pergeseran
pandangan tentang objek manakah yang bisa dan patut dikaji secara ilmiah.
Ilmu-ilmu positif misalnya, mulai menyangsikan realibilitas dan validitas
persoalan-persoalan metafisik, yang oleh para pengikut positivisme dianggap
sebagai “nonsense”.
4. Perkembangan ilmu terjadi pergeseran dari fungsi
memajukan masyarakat ke arah ideologi yang mendominasi masyarakat. Beberapa
tokoh yang mengkritik perkembangan ilmu yangdemikian itu, seperti Herbert
Marcuse dan Jurgen Habermas.
Strategi pengembangan ilmu pengetahuan
Strategi
pengembangan ilmu terdapat tiga macam pendapat, yaitu:
- Pendapat yang menyatakan bahwa ilmu dikembangkan dalam otonomi tertutup. Ilmu untuk ilmu, science for the sake of science only. Di sini pengeruh konteks dibatasi atau bahkan disingkirkan.
- Ilmu lebur di dalam konteks, tidak saja sekedar merefleksikannya tetapi memberi justifikasi bagi konteks.
3. Ilmu dan konteks dikembangkan dengan suasana saling
meresapi, agar timbul gagasan-gagasan baru yang relevan dan aktual, sejalan
dengan kenyataan yang tumbuh dan berkembang. Oleh sebab itu tidak dapat
dielakkan bahwa semakin terasa adanya urgensi untuk menjelaskan dan mengarahkan
perkembangan ilmu tidak hanya berhenti atas dasar context of justification, akan tetapi atas dasar context of discovery. Hal ini
disebabkan karena pada akhirnya ilmu pengetahuan dibutuhkan, dan pada gilirannya
dipergunakan sebagai instrumen bagi penyelesaian masalah masalah konkrit yang
dihadapi masyarakat.
Koento Wibisono
(1983) berpendapat bahwa strategi pengembangan ilmu
pengetahuan harus
berorientasi pada dimensi:
1. Dimensi
teleologis, artinya bahwa ilmu pengetahuan hanyalah sekedar sarana
yang dibutuhkan untuk mencapai suatu
teleos.
2. Dimensi etis, artinya bahwa
ilmu pengetahuan berkiblat pada manusia yang menduduki tempat sentral. Dimensi
etis menuntut pengembangan ilmu pengetahuan secara bertanggung jawab.
3. Dimensi
integratif, artinya bahwa pengembangan ilmu pengetahuan pada
akhirnya terarah pada peningkatan kualitas manusia yang sekaligus juga kualitas
struktur masyarakat.
13. Kedudukan filsafat ilmu pengetahuan dalam filsafat.
Tempat
kedudukan filsafat ilmu pengetahuan ditentukan oleh dua lapangan
penyelidikan Filsafat Ilmu pengetahuan, yakni:
Pertama, sifat
pengetahuan ilmiah. Di sini filsafat ilmu berkaitan dengan epistemologi, artinya: berfungsi
menyelidiki syarat-syarat pengetahuan manusia dan bentuk-bentuknya.
Kedua, berkaitan
dengan cara-cara mengusahakan dan mencapai pengetahuan ilmiah, artinya:
berkaitan dengan logika dan metodologi
14. Objek filsafat ilmu pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan mempunyai
objek yaitu: a. Objek
material, dan b. Objek formal.
Ad. a. Objek
material, yaitu objek yang dijadikan sasaran penyelidikan, oleh sebab ini
objek material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ad. b. Objek
formal, yaitu sudut pandang terhadap objek materialnya, sehingga objek
formalnya berupa hakekat ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu menaruh
perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan.
15.Ruang lingkup Filsafat Ilmu pengetahuan
Jadi, cakupan objek filsafat lebih luas
dibanding dengan ilmu, sebab ilmu hanya mencakup yang empiris saja, sedang
filsafat tidak hanya yang empiris saja. Secara historis ilmu adalah berasal
dari kajian filsafat, sebab awalnya filsafat yang melakukan pembahasan tentang
yang ada secara sistematis, rasional, logis dan empiris. Setelah berjalan,
terkait dengan yang empiris, maka semakin bercabang dan berkembang, sehingga
timbullah spesifakasi dan menampakkan kegunaan yang praktis. Inilah proses
terbentuknya ilmu secara berkesinambungan. Hal ini seperti diibaratkan oleh Will
Durant, bahwa filsafat bagaikan Marinir yang merebut pantai untuk
pendaratan pasukan Infantri. Pasukan Infantri adalah sebagai pengetahuan yang
di antaranya adalah ilmu, Sedangkan filsafat yang menyediakan tempat berpijak
bagi kegiatan keilmuan (Sumber buku Filsafat Ilmu oleh: Amsal Bakhtiar, 2008,
2). Setelah itu, ilmu berkembang sesuai dengan spesialisasi masing masing,
sehingga ilmulah secara praktis bagaikan membelah gunung, dan merambah hutan.
Sedangkan filsafat kembali ke laut lepas untuk berspekulasi dan melakukan eksplorasi
lebih jauh. Oleh sebab itu, filsafat sering disebut sebagai induk/ ibu ilmu
penetahuan. Hal ini bisa dimengerti, sebab dari filsafatlah, maka ilmu ilmu
modern dan kontemporer berkembang, sehingga manusia dapat menikmati ilmu dan
sekaligus buahnya, yaitu: teknologi.
16.Kajian Filsafati Dasar-dasar ilmu pengetahuan
Pengertian ilmu pengetahuan secara umum
adalah suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan pengetahuan (ilmiah) yang
ditujukan untuk memperoleh kebenaran (ilmiah) dan sedapat mungkin untuk
mencapai kebahagiaan umat manusia.
Jenis dari ilmu pengetuan adalah
sistemnya.Pembedanya adalah kumpulan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran dan
sedapat mungkin untuk kebahagiaan umat manusia.
Ilmu pengetahuan ditinjau dari unsur unsurnya, yaitu berupa:
a. Sistem
b. Pengetahuan (ilmiah)
c. Kebenaran
d. Kebahagiaan umat manusia
Jadi segi statika ilmu pengetahuan adalah:
Suatu sistem tertentu yang berupa pengetahuan (ilmiah).
Sedang segi dinamika ilmu pengetahuan adalah:
1. Suatu usaha
terus menerus untuk mencapai kebenaran ilmiah.
2. Kebahagiaan
umat manusia.
Jadi bila orang menggunakan istilah dasar dasar yang
statik dari ilmu pengetahuan, maka seakan akan orang terpaku perhatiannya pada
suatu kerangka dasar yang mau tidak mau harus dibuktikan dalam melakukan
kegiatan ilmiah.
Sedang istilah dasar dasar dinamik dari ilmu pengetahuan
adalah pedoman pedoman yang ada di depannya agar supaya orang tidak tersesat
dalam melakukan kegiatan ilmiah.
Sistem adalah suatu keadaan atau barang sesuatu tertentu
yang bagian bagiannya saling berhubungan secara fungsional dalam rangka
mencapai suatu tujuan tertentu.
Dasar dasar dinamik ilmu pengetahuan yang berupa:
Pedoman yang harus diikuti oleh seorang ilmuwan, dalam
usahanya untuk mencapai tujuan dari kegiatan ilmiah.
Tujuannya adalah kebenaran ilmiah yang sedapat mungkin
untuk mencapai kebahagiaan umat manusia.
Apakah yang dinamakan “kebenaran” ?.
Paham objektivisme mengatakan:
Kebenaran adalah keadaan yang menunjukkan kesesuaian
antara pikiran manusia tentang objeknya dengan keadaan yang senyatanya dari
objek tersebut.
Paham subjektivisme mengatakan bahwa kebenaran adalah:
Suatu proses yang menggambarkan bahwa dalam keadaan
terakhir yang menetukan kebenaran sesuatu pendapat adalah si subjek itu
sendiri.
Paham objektivisme juga disebut paham korespondensi
tentang kebenaran.
Sebab kebenaran adalah adanya kesesuaian antara pikiran
manusia tentang suatu objek tertentu dengan keadaan tertentu dari objek itu.
Jadi, yang menentukan benar atau tidaknya adalah objek
yang bersangkutan.
Sedang paham subjektivisme bahwa yang benar adalah:
Ditentukan oleh pendapat manusia atau subjek yang
bersangkutan.
Jadi paha subjektivisme dapat dibedakan menjadi dua(2),
yaitu:
- Paham konsistensi atau paham logik atau paham koherensi.
- Paham pragmatik.
Berikut adalah apa yang dinamakan “kebahagiaan” ?
Kebahagian di sini tentu terkati dengan tujuan akhir yang
hendak dicapai manusia di dunia ini.
Maka apakah mungkin manusia selama hidup di dunia ini
dapat mencapainya.
Pertanyaan dimaksud ada dua pendapat, yaitu:
- Manusia semasa hidup di dunia tidak akan dapat mencapai kebahagiaan.
- Manusia dalam hidup di dunia bila sungguh sungguh akan dapat mencapai kebahagiaan (dalam arti kesejahteraan rohani dan jasmani).
Jadi kebahagian yang merupakan paduan/ sintetik adalah
merupakan suatu suasana percampuran antara keadaan yang bersifat subjektif
dengan keadaan yang bersifat objektif yang menghasilkan suatu keharuan.
Hal ini disadari karena kebahagiaan adalah masalah
pribadi yang merupakan campuran tersebut di atas dan menimbulkan keharuan pada
masing masing pribadi.
17.Titik Pandang Filsafat Ilmu pengetahuan
Dasar memahami filsafat ilmu
adalah bila mengatahui empat titik
pandang (view points) dalam filsafat ilmu.
Empat titik pandang filsafat ilmu, yaitu:
a.Perumusan world-views yang
konsisten, misal: pada beberapa pengertian didasarkan atas teori teori ilmiah.
Jadi filsuf ilmu bertugas mengelaborasikan implikasi yang
lebih luas dari illmu.
b. Eksposisi dari presuppositions
dan predispositions para
ilmuwan. Misal: filsuf ilmu mengemukakan bahwa para ilmuwan menduga alam tidak
berubah-ubah, dan terdapat keteraturan di alam, sehingga gejala-gejala alam
mudah didapat oleh peneliti. Oleh sebab itu peneliti tidak menutup keinginan
keinginan deterministik.
c. Konsep-konsep dan teori-teori tentang ilmu dianalisis
dan diklasifikasikan.
Artinya memberikan kejelasan tentang makna dari berbagai
konsep, seperti gelombang, potensial, dll.
Oleh sebab itu ada dua kemungkinan, yaitu:
Pertama, apakah para
ilmuwan mengerti suatu konsep yang digunakannya, sehingga dalam hal ini tidak
memerlukan klasifikasi.
Kedua, para ilmuwan
tidak tahu makna konsep tersebut, sehingga mereka harus inquiry hubungan konsep itu dengan konsep-konsep lain.
Jadi, bila seorang ilmiawan melakukan inquiry, berarti ia sedang
mempraktekkan filsafat ilmu.
d.Filsafat ilmu
merupakan second-order criteriology.
Filsafat
Ilmu mempunyai beberapa criteria yang harus dipahami bagi para ahlinya.
artinya: bahwa filsuf ilmu menuntut jawaban jawaban atas
pertanyaan:
1). Karakteristik apa yang membedakan penyelidikan ilmiah
dengan tipe penyelidikan lain.
2). Prosedur yang bagaimana yang harus diikuti oleh para
ilmuwan dalam menyelidiki alam.
3). Kondisi yang bagaimana yang harus dicapai dalam
penyelidikan ilmiah agar jadi benar.
4). Status yang bagaimana dari prinsip-prinsip dan hukum
ilmiah.
Jadi pertanyaan itu ada perbedaan yang dapat dirumuskan
antara doing science dan thingking tentang ilmu.
D. PENGETAHUAN
1.
Pengertian Pengetahuan.
a.Dr. M.J.
Langeveld mengatakan
bahwa pengetahuan adalah kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang
diketahui.
b.James K.
Feibleman merumuskan
sbb.: Knowledge: relation between object and subject (pengetahuan: hubungan
antara objek dan subjek.
Ensiklopedia Indonesia memuat antara lain: epistemologi menyebutkan bahwa setiap pengetahuan
manusia adalah hasil dari berkontaknya dua hal, yaitu:
1). Benda (yang
diperiksa), diselidiki dan akhirnya diketahui (objek).
2). Manusia
yang melakukan pelbagai pemeriksaan dan penyelidikan dan akhirnya mengetahui benda/ hal itu.
2. pengetahuan
dibedakan sebagai berikut:
a. Pengetahuan biasa/ sehari
hari.
b. Pengetahuan ilmiah
c. Pengetahuan filosofis
d. Pengetahuan wahyu/ theologis
e. Pengetahuan intuisi
3.
Pengertian ilmu pengetahuan
a.
Ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu yang bahasa Inggrisnya: Science, (Jerman: Wissenschaft) dan (Belnada: Wetenschap).
b.
Secara etimologis, kata science
berasal dari kata Latin: scio, scire berarti “tahu”. Begitu juga kata
ilmu berasal dari kata Arab: alima yang juga berarti “tahu”.
Jadi secara etimologis bahwa ilmu dan science adalah pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri dan syarat
syarat khusus.
4.
Definisi tentang ilmu pengetahuan adalah:
a.Ralph
Ross mengatakan
bahwa: Science is empirical, rational, general, and cumulative; and it is all
four at one (ilmu ialah yang empiris, yang rasional, yang umum dan
bertimbun bersusun; dan keempat-empatnya serentak).
b.Karl
Pearson pengarang karya: Grammar of Science, merumuskan sbb: Science is the complete and consistent
description of the facts of experience in the simplest possible terms (Ilmu
pemgetahuan ialah lukisan atau keterangan yang lengkap dan konsisten tentang
fakta pengalaman dengan istilah yang sesederhana/ sesedikit mungkin).
Jadi, dengan bertolak dari definisi di atas, penulis menyimpulkan, bahwa ilmu pengetahuan adalah usaha
pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistema mengenai kenyataan, struktur,
pembagian, bagian bagian dan hukum hukum tentang hal yang diselidiki (alam,
agama, dan manusia) sejauh yang dapat dijangkau daya pikir yang dibantu indra
manusia, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset, dan eksperimental.
5. Ada beberapa langkah dalam
Ilmu pengetahuan, seperti:
1). Perumusan Masalah.
Yaitu, setiap penyeldikan ilmiah dimulai dengan masalah
yang dirumuskan secara tepat dan jelas dalam bentuk pertanyaan agar ilmuwan
mempunyai jalan untuk mengetahui fakta yang harus dikumpulkan.
2). Observasi.
Yaitu, Penyelidikan ilmiah dalam tahap ini mempunyai
corak empiris & induktif dan seluruh kegiatannya diarahkan pada pengumpulan
data dengan melalui pengamatan yang cermat.Hasil observasi ini kemudian
dituangkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan.
3). Pengamatan dan Klasifikasi Data.
Yaitu, Penyusunan fakta dalam kelompok, jenis, &
kelas tertentu berdasarkan sifat yang sama.
Jadi dengan klasifikasi ini maksudnya adalah
menganalisis, membandingkan & membeda-bedakan data yang relevan.
4). Perumusan Pengetahuan (Definisi).
Yaitu, ilmuwan mengadakan analisis & sintesis secara
induktif, kemudian diadakan generalisasi dan dituangkan dalam pertanyaan
universal, sehingga dari sinilah teori terbentuk.
5). Prediksi.
Yaitu, deduksi mulai memainkan peranan, sehingga dari
teori yang sudah terbentuk tadi, kemudian diturunkan hipotesis baru, dan
melalui deduksi pula mulai disusun implikasi logis agar dapat diadakan
ramalan-ramalan tentang gejala yang perlu diketahui.
Deduksi ini selalu dirumuskan dalam bentuk silogisme.
6). Verifikasi.
Yaitu, dilakukan pengujian kebenaran hipotesis.
Artinya, bahwa menguji kebenaran prediksi-prediksi tadi
melalui observasi terhadap fakta yang sebenarnya, sehingga keputusan terakhir
terletak pada fakta.
Oleh sebab itu, jika fakta tidak mendukung hipotesis,
maka hipotesis itu harus dibongkar dan diganti dengan hipotesis lain, dan
kegiatan ilmiah harus dimulai lagi dari permulaan.
Itu artinya, bahwa data empiris merupakan penentu bagi
benar tidaknya hipotesis.
Jadi, untuk langkah terakhir kegiatan ilmiah adalah
pengujian kebenaran ilmiah dan menguji konsekuensi-konsekuensi yang telah
dideduksi.
E. TUJUAN, FUNGSI, DAN GUNA FILSAFAT
Jika dilihat, bahwa tujuan ilmu pengetahuan
adalah deskripsi dan kontrol, apabila seni tujuannya kreativitas, kesempurnaan,
bentuk, keindahan, komunikasi dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah
pengertian dan kebijaksanaan (Inggris: understanding and wisdom).
Oleh sebab itu, filsafat memberi hikmah pada manusia, sehingga filsafat memberi
kepuasan pada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib,
akan kebenaran.
Jadi, bagi manusia berfilsafat artinya mengatur hidupnya seinsaf-insafnya,
sesentral-sentralnya dengan perasaan tanggung jawab.
Henry Bergson (1858-1941) berkata, bahwa berfilsafat itu ibarat berenang.
Jadi, masing-masing orang mempunyai gayanya sendiri-sendiri.
Oleh sebab itu, filsafat bukanlah barang hafalan, seperti 2x2=4 yang setiap
orang mempunyai pendapat sama.
Setiap masalah filsafat dapat meluas menjadi pertanyaan akan sistem dan
berakhir pada visi ahli filsafat.
Dengan kata lain, ciri dari filsafat pada akhirnya, ialah subyektif.
Hal di atas seperti dikatakan oleh Louis O. Kattsoff dalam buku Elements
of Philosophy, yaitu: Bilamana anda mengaharapkan jawaban-jawaban yang
tingkat terakhir atas persoalan-persoalan anda, artinya jawaban-jawaban yang oleh
semua ahli filsafat saja akan dianggap merupakan kebenaran, maka anda akan
kecewa sekali.
Fungsi Filsafat Ilmu adalah:
Confirmatory function, yakni: upaya mendiskripsikan relasi
normatif antara hipotesis dengan evidensi.
Explanation function, yakni: upaya menjelaskan berbagai
fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
Substansi filsafat ilmu:
Fakta atau kenyataan
Kebenaran
Konfirmasi
Logika inferensi
Filsafat Teknologi
Filsafat teknologi merupakan salah satu cabang filsafat yang lahir dari suatu
proses yang menjelajahi semua persoalan filsafat tentang teknologi hari ini dan
masa depan.
Ditinjau dari sudut praktis, bahwa Filsafat teknologi sebagai karya
evaluasi etis terhadap akibat teknologi pada kehidupan manusia.
Menurut Vries J. De. Marc (2005:2), bahwa filsafat teknologi adalah
mengkaji suatu fenomena peran teknologi yang terkait dengan kemanfaatan
manusia.
Jadi teknologi tidak hanya dilihat dari sudut pandang manfaat, tetapi
dampaknya terhadap konsep manusia tentang kebenaran, keindahan, dan kebudayaan.
Menurut Mitcham Carl (1980), bahwa filsafat teknologi dapat
ditelaah melalui dua pendekatan, yakni:
Pertama, terkait
teoritis tentang sifat dasar teknologi, inti kerja mesin, dan perbedaan antara
mesin dengan manusia. Semua ini tergolong persoalan epistemologi dan metafisik.
Kedua, terkait
praktis, etis, estetis, misalnya: keterasingan dalam masyarakat industri,
dampak senjata nuklir, pencemaran, teori dan praktek keinsinyuran.
Menurut Bunge Mario (1979), bahwa filsafat teknologi merupakan gabungan
dari lima cabang filsafat yang mencakup:
- Technoepistemology, yakni: telaah filsafati mengenai pengetahuan yang terkait dengan masalah teknis. Kajiannya adalah proses mengidentifikasi ilmu terapan dari pengetahuan ilmiah.
- Technometaphysics, yakni: telaah filsafati mengenai sifat dasar sistem barang buatan, mulai dari mesin sederhana sampai dengan sistem barang yang sangat rumit. Kajiannya adalah apakah persyaratan ontologis dari teknologi.
- Technoaxiology, yakni: telaah filsafati mengenai penilaian yang dilakukan oleh para ahli dalam pelaksanaan dari kegiatan teknologi. Kajiannya adalah nilai nilai yang yang diyakini kemanfaatannya, secara POLEKSOSBUD .
- Technoethics, yakni: telaah etika yang mengakji permasalahan terjadi pertikaian moral yang dihadapi oleh para ahli teknologi dan masyarakat umum dampaknya terhadap kehdupan manusia. Kajiannyq adalah bagaimana mencirikan barang teknologi yang baik/ buruk.
- Technopraxiology, yakni: telaah filsafati mengenai tindakan manusia yang dibimbing oleh teknologi. Kajiannya adalah bagaimana konsep tindakan rasional dapat diwujudkan secara pasti.
Perbedaan ilmu dengan teknologi
Aspek
|
Ilmu
|
teknologi
|
Tujuan
|
Mencari
pengetahuan
Memperoleh
pengertian
|
Menciptakan
barang
Mengusahakan
perubahan
|
Hasil
|
Karya tulis
ilmiah
|
Barang
teknologis
|
Lingkungan
|
Kebudayaan
umumnya
|
Kebudayaan
umumnya
|
Sumber
|
Khususnya
teknologi pengetahuan yang ada
|
Khususnya ilmu
berbagai sumber alam,
manusia dan
pengetahuan
|
Aktivitas
|
Penelitian
|
Pembikinan
sampai produksi
|
Control
|
Berdasarkan
umpan balik peralatan keilmuan
|
Berdasarkan
umpan balik pengetahuan ilmiah
|
Pokok-pokok
perbedaan ilmu dengan teknologi di luar kerangka sistem:
Aspek
|
Ilmu
|
Teknologi
|
Motivasi
|
Keinginan
Pengembangan
Pengetahuan
|
Pemanfaatan
Pengembangan
Produk baru
Penggunaan
|
Fokus
|
Pemahaman
Pengetahuan
dalam budi
|
Barang
teknologi
|
Ideal
|
Kebenaran
|
Efektivitas
tindakan
Efisiensi
|
Ciri
keluasaan
|
Supranasional
|
Terkait
keadaan setempat
|
Status
|
Penyebarluasan
secara terbuka
|
Pendaftaran
sebagai hak paten
|
Komunikasi
|
Publikasi karya
tulis
|
Pemberitahuan
iklan
|
F. SIFAT DASAR, DAMPAK, DAN ETIKA
TEKNOLOGI
Salah satu persoalan yang menjadi
pusat perhatian filsafat teknologi, adalah status dan karakter artefak sebagai
alat untuk mencapai tujuan yang dibuat manusia. Secara sederhana semua himpunan
benda buatan manusia, baik bersifat hasil sendiri maupun pabrikan terdapat
hasil sampingan yang disebut limbah.
Produk sampingan bisa bermanfaat,
bisa pula menjadi bencana tergantung pada tujuan dan fungsi dari niatan
pembuatan. Artefak teknis, pada dasarnya adalah untuk “melayani beberapa
tujuan”, digunakan atau bertindak sebagai komponen yang lebih besar.
Menurut pandangan Kroes dan Eijers
(2006), bahwa artefak teknis memiliki sifat ganda, yang harus diikat agar
memiliki fungsi yang tepat (Wowo Sunaryo Kuswana, 2013: 154). Pandangan yang
dikemukakan, menyangkut sifat dasar: Pertama, fungsi nilai berdasarkan struktur,
yang saling membatasi satu sama lain. Kedua, persoalan ikutan dari hasil
artefak yang bersifat merusak baik konteks fisik maupun psikologis, secara
mikro dan makrokosmos.
Gagasan fungsi sebagai rincian
artefak, sesunggahnya terpusat pada niatan manusia, selain sebagai konsep kunci
dalam pemahaman ilmu kognitif dan filsafat. Teknologi dalam kaitannya dengan
sifat dasar barang buatan, bagi sebagian para pemikir menimbulkan pertanyaan,
Apakah teknologi itu berkah, bencana, atau bebas nilai ?. Hal itu, manakala
terjadi pada kenyataan yang menimbulkan persoalan baru.
Seorang sosiolog Perancis, yakni
Jacque Ellul (1954), menerbitkan buku dengan judul La Technique: L’Enjeu du siècle
(Teknik: Taruhan abad ini). Buku ini menjadi sangat terkenal dan telah diterjemahkan
ke dalam berbagai bahasa. Intinya, adalah berpikir gerakan anti dampak negative
teknologi.Tokoh-toko gerakan anti dampat negative teknologi lainnya ialah Lewis
Mumford yang mengarang buku: Myth of the Machine (terdiri dari
dua bagian, yang terbit dalam tahun 1967 dan 1970), dan Rene Dubois yang mengarang buku: So
Human An Animal (1968).
Gerakan anti dampak negative
teknologi, pada intinya menentang kekejaman dari teknologi yang memiliki cirri cirri
berbahaya yang bersumber pada kepentingan dari suatu kelompok masyarakat
tertentu.
Berbagai kritik terhadap teknologi
itu tentu saja dibantah oleh para teknolog, seperti: Samuel Frorman (1976),
yang menulis buku: The Existential Pleasures of Engineering. Ia secara gigih
membantah tuduhan gerakan anti teknologi dengan menyatakan bahwa teknologi
bukan suatu barang yang mengendalikan orang, tidak ada kelompok elit teknokrat
yang menguasai masyarakat, dan tidak ada orang yang dipisahkan dari alam atau
dibuat terasing oleh industrialisasi. Sebagai jalan tengah, telah berkembang
etika teknologi yang berpijak pada konseptualisasi sebagai alat yang netral
dari kegiatan professional, aktifitas rasional dan pilihan kecocokan.
Perkembangan etika teknologi,
sebagai hasil refleksi dan memerlukan keterlibatan disiplin ilmu. Selain itu,
diperlukan pendekatan budaya dan politik untuk mereduksi dampak negative dari
teknologi.
Pendekatan budaya, teknologi sebuah
fenomena yang mempengaruhi persepsi tentang dunia, sedangkan secara politik
sebagai fenomena yang diperintah oleh kekuasaan antar manusia (Wowo Sunaryo Kuswana, 2013: 156). Inti
pendekatan budaya, teknologi dipandang sebagai pengaruh, bukan persepsi manusia
akan tetapi ide dan perilaku, serta tidak ada perbedaan mendasar antara manusia
dan bukan.
Pendekatan politik, dapat merujuk
pandangan Karl Marx yang berasumsi,
bahwa struktur bahan produksi berada di masyarakat dan teknologi merupakan
factor yang menentukan struktur ekonomi dan social masyarakat (Wowo Sunaryo Kuswana,
2013: 156).
Kedua aspek pada dasarnya sebagai
pencaharian pembenaran normative tentang teknologi, melalui etika pragmatis,
yakni kembali pada moral pada aspek hasil produksi dan ikutannya. Pada akhir
tahun 1980-an, muncul konsep etika engineering yang mengkaji
antara tindakan dan keputusan yang dibuat seseorang atau kolektif dalam profesi
rekayasa.
Pendekatan ini sebagai sesuatu
tindakan untuk memperbaiki, seperti hanlnya pengobatan pada suatu penyakit dan
merupakan suatu gerakan profesi. Meskipun sampai saat ini belum ada kesepakatan
tentang bagaimana profesi yang sebenarnya tentang etika ini, tetapi secara
konseptual didefinisikan, sebagai berikut:
-
Pengguna
pengetahuan dan ketrampilan khusus, memerlukan kajian pada periode yang
panjang.
-
Kelompok kerja
memiliki monopoli atas posisinya.
-
Penilaian kinerja
kompeten dengan dilakukan secara professional.
DaftarPustaka
Ahmad Tafsir, 2009, Filsafat
Umum, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat
Ilmu, Jakarta, PT. Grafindo Persada
Bebbington, David, 1979, Patterns
in history, , England, Inter-Varsity Press
Caputo, John D. 1987, Radical
Hermeneutics, Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press
Harun Hadiwijono, 1988, Sari
Sejarah Fil safat Yunani,Yogyakarta, Penerbit Kanisius
Robert N. Beck, 1967, Perspectives
in Social Philosophy, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Sullivan, John Edward, 1970, Prophets
of the West, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc
Suparlan Suhartono, 2007, Dasar-dasar
Filsafat, Ruzz Media.Yogyakarta, ArFil.
Surajiyo, 2008, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
di Indonesia, Jakarta, PT. Bumi Perkasa
Surajiyo, dkk., 2015, Dasar
dasar Logika, Jakarta, Penerbit Bumi Aksara
Wowo Sunaryo Kuswana, 2013, Filsafat
Pendidikan Teknologi, Vakasi dan Kejuruan, Bandung, Penerbit ALFABETA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar