Selasa, 14 November 2017

FILSAFAT TIMUR



FILSAFAT TIMUR (TIONGKOK)
Oleh : Drs. Sudadi, M.Hum.

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang Timbulnya Filsafat Tiongkok
Pada abad ke-20 s. M. di lembah sungai Kuning ada kerajaan. Rajanya bernama Chieh yang lalim dan bijak sana, memerintah pada jaman dinasti Hsia. Kemudian diserang oleh raja T’ang, dan menyerah pada raja T’ang. Ini terjadi pada kira-kira abad ke-18/ th. 1765 s. M. T’ang kemudian berkuasa lalu mendirikan dinasti baru, yaitu dinasti Shang. Dinasti Shang memerintah selama 13 generasi, yaitu sejak berdiri sampai diruntuhkan oleh dinasti Chou pada th. 1122 s. M. Sejak mulai memerintah, dinasti Chou mulai menguasai kerajaan dalam waktu relatif lama. Namun perlu diketahui, bahwa dalam keberhasilannya menguasai kerajaan dan dinastinya mulai kuat, pucuk pimpinan dinasti Chou, yaitu raja Wu Wang meninggal dunia. Sedangkan saat itu putra mahkotanya yang bernama Raja Chou masih kecil, namun tetap harus ada kebijaksanaan untuk kelanjutan dinastinya. Oleh sebab itu, adik raja Wu Wang yang bernama Pangeran Chou mengambil alih sebagai pucuk pimpinan dinasti Chou.Pangeran Chou dalam mengendalikan roda pemerintahan bersifat tegas, kejam dan sangat adil, sebab setelah meninggalnya raja Wu Wang, para warganya saling berperang untuk berebut kekuasaan, sehingga keadaan menjadi kacau dan tidak tentram.
Namun setelah keadaan yang kacau itu dapat diatasi, Pangeran Chou mulai bertindak lunak kembali. Pangeran Chou memang orang yang agung dan mulia, karena setelah beberapa tahun memerintah dengn baik dan bijaksana sehingga keadaan menjadi tenteram kembali, kemudian pemerintahannya dikembalikan kepada kemenakannya yang bernama Raja Chou.Raja Chou memerintah kerajaan yang wilayahnya sangat luas, oleh sebab itu dalam mengawasi daerahnya, maka dibaginya beberapa bagian yang masing masing bagian diserahkan kepada seseorang untuk mengawasinya dan mereka berkedudukan sebagai Wali Negeri.
            Pada awalnya para Wali Negeri itu patuh pada Raja Chou, namun dalam perkembangan selanjutnya, keadaan tidak menguntungkan bagi kerajaan yang besar itu. Para Wali Negeri yang semula mematuhi pemerintah pusat, akhirnya tidak menghiraukan lagi dan diperkuat oleh dukungan rakyatnya, bahkan pada tahun 770 s. M. Raja chou dikalahkan dan diusir dipaksa meninggalkan kerajaannya yang berada di lembah sungai Kuning itu. Kemudian Raja Chou mendirikan tempat tinggal sendiri di Lo Yang, yaitu daerah masih masuk wilayah Honan, letaknya tidak jauh dari sungai Kuning. Para Wali Negeri tersebut saling mendapat dukungan dari masing masing rakyatnya dan menjadi kuat sehingga saling ingin menguasai. Pada akhirnya timbullah peperangan di antara mereka.
Sebagai akibat peperangan itu, rakyatlah yang menderita. Bukan saja rakyat jelata, namun juga kaum ningrat/ bangsawan banyak yang kehilangan kedudukan dan kebangsawanannya. Keadaan tidak terjamin, ekonomi morat marit, dan hukum diinjak injak. Oleh sebab itu para ahli pikir Tiongkok ingin memperbaiki keadaan yang menyedihkan itu agar menjadi tentram, hukum dan moral dijunjung tinggi, agar rakyat tidak dihantui peperangan. Para ahli pikir itulah yang berjuang dengan hasil pemikirannya, sehingga rakyat tenang, dan inilah titik awal timbulnya filsafat Tiongkok.

2. Karakteristik Filsafat Tiongkok

a. Antroposentris atau humanistis.
Yaitu keinginan untuk menemukan sumber kriteria kebaikan, kebenaran, dan keindahan dalam diri manusia. Oleh karena itu merupakan keyakinan bahwa setiap manusia harus memilih untuk dirinya sendiri dalam kebaikan, kebenaran, dan keindahan seprti halnya tentang selera manusia. Jadi karakter yang humanistis ini artinya bahwa manusia adalah titik sentral dari segala galanya. Bertolak dari karakternya itu, maka para filsuf Tiongkok selalu berusaha mengemukakan konsep-konsepnya dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia, terutama kebutuhan akan kebahagiaan. Misalnya dianjurkan agar manusia selalu dapat mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan yang luhur dan memiliki sikap setia kawan antar sesama manusia.
b. Naturalistis.
Artinya bahwa manusia akibat pengaruh sifatnya yang humanistis, maka kehidupannya makin cenderung pada sikap kejiwaan yang jauh dari hal hal adikodrati. Oleh sebab itu manusia merasa puas bila sudah dapat menyelaraskan kehidupannya dengan alam semesta, sehingga akan selalu berusaha menyesuaikan diri dengan hukum hukum alam, seperti para petani, nelayan, petapa, dll. Jadi kehidupan saat ini nampaknya kelestarian alam semesta & lingkungannya menjadi tuntutan yang besar, agar manusia selalu merasa nyaman.
c. This worldly, yaitu kekinian.
Artinya, bahwa manusia dalam hidup saat ini merupakan suatu kebahagiaan tersendiri, sehingga perlu mendapat perhatian yang khusus. Oleh sebab itu filsafat Cina tidak menekankan kehidupan nanti (other worldly). Aspek positif dari this worldly, yaitu dapat mempengaruhi proses berpikir manusia untuk bertindak realistis dan memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien. Sedang aspek negatifnya, manusia cenderung materialistis yang kurang memperhatikan nilai spiritual.
d. Sifat toleran.
Artinya bahwa dalam filsafat Tiongkok ditekankan manusia harus saling menghormati dan memaklumi serta saling menghargai sesama manusia. Sifat ini dapat dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti menghargai antar sesama manusia.Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya aliran filsafat yang muncul, meskipun aliran aliran itu ada bedanya namun karena saling menghormati, maka berbagai aliran yang ada tetap eksis dan masing masing tetap berkembang sesuai dengan hakekat masing masing.
e. Demokratis.
Artinya bahwa filsafat Tiongkok dapat menempatkan harkat dan martabat manusia dalam kedudukan yang sama. Contohnya, Konfusius memberikan kesempatan pada murid-muridnya untuk penelitian dan percobaan mandiri. Di samping itu, ia juga mengajarkan bahwa seorang pendidik yang baik, tidak boleh mendektekan kebenaran pada muridnya, bahkan murid diberi kesempatan untuk berpikir mandiri dan mencari penemuan penemuan baru.Oleh sebab itu bila ada beda pendapat dengan yang diajarkan, murid boleh debat dan bila perlu dideskusikan. Jadi, dalam hal ini diperlukan kedewasaan dalam sikap maupun cara berpikir.
e. Pragmatis.
Artinya, bahwa filsafat Tiongkok mempunyai kecenderungan untuk mengukur segala sesuatu dengan nilai praktis. Hal ini ditemukan dalam filsafat Konfusius dan Mo Tzu yang berupa ajaran tentang perbaikan masyarakat dan negara. Sifat pragmatis membawa dua aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Aspek positifnya, akan menjadikan manusia hemat dan bertindak hati hati. Sedang aspek negatifnya, manusia hanya akan mau melakukan perbuatan bila tindakannya akan mendatangkan keuntungan khususnya bagi dirinya sendiri, dan ada kecenderungan untuk mengelak terhadap tugas atau kewajiban yang memerlukan pengorbanan terutama materi. Jadi, sifat pragmatis ini akan menjadi baik, bila selalu dikaitkan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
g. Keinginan untuk tahu segalanya.
Artinya bahwa filsafat Tiongkok tidak beda dengan filsafat pada umumnya yang selalu ingin tahu segala sesuatu. Hal ini dapat dilihat dalam filsafat Konfuisus yang selalu menekankan pada murid2nya agar selalu mencari hal yang baru, yang belum pernah diketahui, yaitu agar mendengar banyak tentang segala persoalan, dan tentang kebenaran harus dapat diterima oleh akal manusia. Jadi, Konfusius selalu menekankan pada kemampuan akal manusia. Karakteristik filsafat Tiongkok yang demikian ini merupakan langkah awal dalam mencapai kebahagiaan umat manusia. Hal ini hendaknya harus diikuti dengan tindakan tindakan berikutnya, seperti perluasan pengetahuan, ketulusan hati, penertiban batin, pengembangan hidup pribadi, pengaturan hidup keluarga, pengaturan hidup bermasyarakat, ketertiban bangsa, dan perdamaian dunia.
h. Filial piety dan loyalty.
Artinya bahwa filsafat Tiongkok mempunyai sifat berupa sikap hormat dan patuh kepada orang tua. Sifat ini juga merupakan kejiwaan bagi orang Cina. Hal ini dapat dilihat dalam ajarannya yang menyatakan kedurhakaan anak terhadap orang tuanya adalah tindakan yang amat tercela, demikian pula orang tua juga harus berlaku baik terhadap anaknya, kakak terhadap adiknya, istri terhadap suami, dan suami terhadap istrinya. Filial piety juga merupakan salah satu konsep etika yang dominan dalam filsafat Tiongkok, terutama dalam hubungan kekeluargaan. Konfusius mengatakan bahwa praktek filial piety perlu disertai dengan penuh penghayatan agar bermakna dan dapat memperluas budi pekerti manusia.  Jadi, filial piety memebrikan kejelasan bagi kesadaran untuk kemudian dijadikan jembatan yang menghubungkan antara prinsip prinsip ajaran filsafat khususnya moral dengan tindakan manusia sehari-hari.
i. Harmoni.
Artinya bahwa filsafat Tiongkok selalu menekankan unruk  menjaga keseimbangan terhadap segalanya agar dapat hidup bahagia. Sifat harmoni ditemukan dalam ajaran Yin-yang, yaitu berupa ajaran bahwa alam semesta pada dasarnya terdapat dua prinsip, yaitu prinsip negatif adalah yin, dan prinsip positif adalah yang. Keduanya merupakan dau hal yang berbeda satu dengan yang lain, namun tidak perlu dipertentangkan, karena antara satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Dalam sifat harmoni, juga diajarkan bahwa seluruh aspek kehidupan di alam semesta senantiasa berada dalam hukum keseimbangan. Jadi, hal yang sepintas tampak berbeda bahkan berlawanan, pada dasarnya saling melengkapi dalam keadaan yang seimbang. Oleh sebab itu, setiap individu diharapkan selalu menjaga keseimbangan, agar mendapatkan kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan manusia secara lahiriah, maka perlu diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan spiritual.

3. Perbedaan antara Filsafat Timur (Tiongkok) dan Filsafat Barat

Filsafat Timur (Tiongkok)
1. Etika merupakan pusatnya.
2. Tingkah laku dan sikap manusia terhadap dunia sekitar merupakan kesatuan yang selaras dan seimbang, sebagai mikro kosmos dan makro kosmos.
3. Manusia harus menyesuaikan diri dengan kodrat alam, sehingga harus harmoni hubungan manusia dengan dunia .

Filsafat Barat
1. Rasio merupakan pusatnya
2. Manusia menempatkan diri berhadapan dengan objek yang dipelajari, sehinga manusia berpikir dengan pertanyaan, seperti apa sebab terjadi peristiwa itu ?, Bagaimana peristiwa itu ?, Dari mana datangnya ?, dll.
3. Ontologi, yaitu ilmu tentang sebab sebab yang pertama menduduki tempat sentral.

B. Periodisasi Filsafat Timur (Tiongkok).

1). Jaman Kuno (600 – 200 S. M).
2). Jaman Pembauran (Th. 200 S. M – 1000 M.).
3). Jaman Neo Konfusianisme (Th. 1000 – 1900 M).
4). Jaman Modern (Th. 1900 – Sekarang).

Ad. 1). Jaman Kuno (Th. 600 – 200 S. M.)
Jaman ini ditandai dengan munculnya aliran-aliran klasik, seperti:
Aliran Konfusianisme,
yaitu aliran yang terdiri dari orang-orang terpelajar waktu itu, yang mempunyai keahlian di bidang kitab kitab klasik, sehingga ajarannya juga bersumber pada kitab kitab klasik itu, dan kitab kitabnya diklasifikasikan dalam bidang:
a. Bidang Metafisika
b. Bidang Etika.

Kitab-kitab klasik yang dianggap penting ada 5, dan disebut dengan nama Wu Ching Chiang, yaitu:
(1). Shu Ching berupa kitab Sejarah
(2). Shih Ching berupa kitab Syair
(3). I Ching berupa kitab perubahan
(4). Li Chi berupa kitab Adat
(5). Ch’un Ch’iu berupa catatan musim semi dan musim gugur.

Selain kitab kitab klasik disebutkan di atas, masih ada kitab klasik lain yang juga sebagai sumber Filsafat Tiongkok, seperti:
(1). Kitab Lun Yu, yaitu tentang Analects: Bunga Rampai Konfusius.
(2). Kitab Meng Tze, yaitu tentang Mensius.
(3). Kitab Ta Hsueh, yaitu tentang The Great Learning.
(4). Kitab Chung Yung, yaitu tentang The Doctrin of Mean.

a. Bidang Metafisika Dari Kitab Kitab Klasik yaitu:
Pada bidang Metafisika isinya adalah tentang:
(a). Tuhan
(b). Manusia.
ad. (a). Tuhan
Konsep tentang Tuhan, yaitu terdapat dalam The Analects lebih dikenal dengan istilah T’ien (Indonesia: Tuhan sebagai faktor spiritual utama dalam keagamaan). Dalam Ju Chiao konsep tentang T’ien perlu mendapat perhatian khusus. Namun perlu diketahui bahwa konsep T’ien dalam Ju Chiao tidak sama persis dengan idea dari agama atau kepercayaan, seperti Islam, Hindu, Budha, dll. Karena konsep tentang T’ien ada terkandung idea Universal, yaitu sebagai pencipta dan asal mula dari segala yang ada dan yang terjadi di dunia ini. .
Dalam ajaran T’ien Ming (Inggris: Madate of Heaven), dinyatakan bahwa T’ien memberikan kekuasaan suatu negara kepada orang yang dipilihnya, yaitu orang yang dianggap mampu untuk memimpin suatu negara. Oleh sebab itu mereka yang terpilih harus bertindak sesuai dengan kehendak T’ien, dan bila bertindak tidak sesuai dengan kehendak T’ien, maka T’ien akan segera mencabut mandate yang telah diberikan.
Konfusius salah satu tokoh aliran Konfusianisme mengatakan bahwa T’ien adalah penguasa personal, yang dapat memberikan tugas dan tanggung jawab kepada manusia. Jadi, apabila manusia mengalami sukses, maka itu sebenarnya telah diatur oleh T’ien. Namun bila manusia gagal dalam usahanya pun harus menyadari bahwa itu memang sudah diatur oleh T’ien. Dengan demikian pengarauh ajaran T’ien Ming sangat terasa, sehingga bila setiap ada pemerintahan baru yang berkuasa selalu mendasarkan diri pada ajaran T’ien Ming. Ajarannya tentang manusia, yaitu yang dalam aliran Konfusianisme, diajarkan oleh tokoh yang tidak asing lagi, seperti Mensius dan Hsun Tzu. Bagi Mensius, bahwa manusia pada intinya mempunyai dasar yang kodratnya baik sejak lahir. (akan dibicarakan sendiri di halaman lain). Sedangkan bagi Hsun Tzu mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki pembawaan yang jahat.
ad. (b) Manusia
            Pembicaraan tentang manusia dalam pemikiran Konfusianisme, dimulai dengan memeriksa dua fungsi utama akal budi manusia. Kedua fungsi itu adalah fungsi menilai dan memerintah. Dalam karya para filsuf Cina-Kuno, istilah akal budi (hsin) tidak mempunyai konotasi suatu entitas yang berbeda dari tubuh dan mempunyai status metafisik yang khusus. Akal budi dimengerti secara fungsional dengan mengacu pada tipe-tipe aktivitas tertentu, misalnya: menilai dan mengarahkan tindakan. Hal ini dianggap dikontrol oleh hati yang meskipun berbeda dari organ lain seperti mulut, mata, dan lain lain tidak memiliki status metafisik yang khusus. Organ mental (hsin chih kuan) merupakan pemberian yang sama dari langit. Dalam karya-karya Kuno terdapat istilah-istilah yang dikaitkan dengan aktivitas mental yang sekarang disebut jiwa: p’o (jiwa kesadaran), hun (jiwa spiritual), shen (jiwa). Semua istilah itu tidak menunjuk pada entitas budi yang mempunyai status metafisik khusus tetapi dikaitkan dengan istilah istilah seperti hsing (bentuk jasmani) dan ch’i (zat, materi) yang secara umum diterapkan pada tubuh fisik manusia. Setelah manusia mati, hun dan ch’i kembali ke tanah. Di sini jiwa tidak dimengerti sebagai suatu roh dalam mesin bagi badan (Herman Tjahja dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, 1993: 88).
            Di Cina Kuno, istilah hsin (akal budi) dipakai untuk menunjukkan banyak hal, seperti: maksud, perasaan, tempat keinginan, aktivitas kognitif dan aktivitas evaluative. Istilak akal budi dipakai untuk mengacu pada fungsi fungsi yang ditunjukkan dengan dua istilah i dan chih. Istilah i berarti pengertian yang membedakan apa yang baik dan pantas serta wajib sebagai tugas dalam situasi yang ada. Sedangkan chih atau pengetahuan moral adalah pengertian yang membedakan shih-fei-chih-hsin (benar dan salah-setuju atau tidak setuju). Sekali akal budi memutuskan bahwa sesuatu itu benar dan baik, akal budi tersebut memerintahkan untuk bertindak menurut keputusannya. Jadi akal budi menilai syarat-syarat suatu situasi dan memerintah untuk bertindak dengan baik. Kedua hal ini merupakan dua fungsi utama akal budi.

b. Bidang Etika dari Kitab Klasik
Ajaran tentang etika dalam aliran Konfusianisme, dapat dikelompokkan  menjadi dua (2), yaitu:
a). Ajaran tentang Etika Pribadi.
b). Ajaran tentang Etika Sosial.

Ad. a). Ajaran etika pribadi meliputi yaitu:
Ajaran yi (kelayakan), li (sopan santun), ch’i (kebijaksanaan), dan tao (jalan).
Ad. b). Ajaran tentang etika sosial tercermin yaitu:
Dalam ajaran tentang jen (perikemanusiaan), hsiao (bakti anak terhadap orang tua), dan wu lun (hubungan kemanusiaan). Konfusianisme dalam ajarannya tentang jen, mengatakan bahwa jen merupakan suatu proses dari perkembangan nilai nilai spiritual. Jadi jen menurutnya adalah merupakan rasa kemanusiaan pribadi yang dimiliki oleh setiap manusia. Dalam The Analects disebutkan bahwa jen merupakan karakteristik yang fundamental dari keteraturan segala sesuatu yang ada, yang akan tercermin dalam tingkah laku perbuatan manusia

Jen terdiri dari dua (2) unsur, sbb.:
 (1). Shu  Timbal-balik (Jawa: tepo sliro)  (reciprocity)
(2). Chung   Kesetiaan   Tanpa pamrih   (loyalty)
Jadi manusia melakukan perbuatan demi perbuatan itu sendiri. Atau perbuatan itu memang layak bagi yi (kelayakan). Yi adalah suatu keharusan yang ada dalam diri manusia untuk melakukan perbuatan tanpa ada syarat tertentu.Yi merupakan alat pengarah/ pedoman tindakan manusia yang berasal dari dalam diri manusia sendiri. Pelaksanaan jen akan dapat memperoleh manfaat bila didasarkan pada li (sopan-santun).
Li adalah faktor utama dalam pembentukan chun tzu (budi pekerti yang luhur). Manusia dengan melaksanakan li secara tertib, maka manusia akan menemukan sikap hidupnya.
Jadi pelakasanaan jen dan li merupakan manifestasi hidup manusia yang diajarkan dengan hsiao (filial piety)
Artinya, hormat dan patuh terhadap orang tua atau berbakti terhadap orang tua.
Ajaran jen dan li itu hanya dapat diamalkan dengan baik, bila memahami Tao, yaitu jalan yang harus ditempuh manusia karena sebagai kode etik individu.

Tokoh aliran Konfusianisme, yaitu:
1.Konfusius.

a. Riwayat hidupnya
Ia lahir 551 Seb. M. di bagian Propinsi Shantung. Sumber riwayat Konfusius adalah buku LUN-YU (artinya: pembicaraan-pembicaraan). Sumber ini ditulis oleh sejarawan Tiongkok bernama: Sse-ma Isy’ien, kira-kira tahun 375 Seb. M. Dan tentang tanggal kelahiran dan kematiannya tidak diketahui, hanya hidupnya dari tahun 551 s/d. 479 Seb. M. Konfusius adalah nama latin dari nama K’ung Fu Tse, dan biasa dipanggil dengan nama: guru K’ung.Konfusius nama kecilnya adalah Tsy’ dan setelah menginjak dewasa diberi nama: Tsyung-ni. Konfusius keturnan bangsawan tapi miskin, yang tinggal di negara Lu yang sekarang disebut Syantung. Ia ditinggal ayahnya ketika masih kecil. Dalam buku Lun-yu ditulis: “Ketika saya masih muda, saya hidup dalam keadaan yang sederhana, oleh karena itu saya banyak memperoleh kecakapan”. Ia menikah umur 19 tahun dan mempunyai dua orang anak laki-laki tapi tidak sepandai ayahnya. Pada waktu umur 22 tahun, Konfusius mendirikan sekolah, dan dalam relatif singkat lalu banyak muridnya. Pada umur 51 tahun, Konfusius diangkat menjadi Gubernur di kota Tsyung. Karena keberhasilan sebagai Gubernur, dalam waktu yang relatif singkat lalu diangkat jadi Menteri. Setelah jadi Menteri kemudian ia mengembara yang ditemani oleh 2 orang teman setianya, yaitu Yenhwei Tzekung dan Tzelu. Setelah mengembara kemudian kembali ke negara Lu, dan mendirikan sebuah mazab hingga meninggalnya. Pada waktu umur 22 tahun, Konfusius mendirikan sekolah, dan dalam relatif singkat lalu banyak muridnya. Pada umur 51 tahun, Konfusius diangkat menjadi Gubernur di kota Tsyung. Sebagai Gubernur, ia demikian banyak jasa-jasanya, hingga dalam waktu yang singkat ia dijadikan menteri Kehakiman. Tetapi ini hanya berlangsung selama 3 tahun, karena pangeran dari Tsj’I takut akan kekuasaan Lu yang berkat keunggulannya Menteri Kehakiman, sehingga selalu berupaya untuk menjatuhkannya. Upaya dari Pangeran Tsj’I ini antara lain dengan mempersembahkan 80 penari perempuan dan 120 kuda yang bagus bagus kepada Pangeran Lu. Oleh sebab itu, maka sebagai akibatnya, ialah bahwa Pangeran Lu tidak mau menerima orang di Istananya untuk beberapa waktu. Hal ini sangat mengecewakan Konfusius. Akhirnya Konfusius lalu meletakkan jabatannya dan meninggalkan daerah itu. Pada akhir abad ke 6 SM. Konfusius rupanya mulai bekerja pada seorang ketua salah satu Partai, yang dengan kerja kerasnya lalu ia menduduki jabatan Perdana Menteri.  Setelah jadi Perdana Menteri kemudian ia mengembara yang ditemani oleh 2 orang teman setianya, yaitu Yenhwei Tzekung dan Tzelu. Setelah mengembara kemudian kembali ke negara Lu, dan mendirikan sebuah mazab hingga meninggalnya pada usia 73 tahun pada usia 73 tahun.

b. Konfusius sebagai pembaharu sosial yang Konservatif.
Ia sebagai pembaharu sosial, bukan guru agama, tapi tentang agama dianggapnya perlu, meskipun ia tak pernah membicarakannya. Tzelu murid Konfusius pernah bertanya kepadanya tentang pemujaan roh-roh. Konfusius menjawab: “jikalau kamu belum dapat mengabdi kepada seseorang sebagai manusia, bagaimana kiranya kamu akan dapat mengabdinya sebagai roh”.
Tzelu bertanya lagi: “bolehkah kiranya bertanya tentang maut”.
Konfusius menjawab: “jikalau kamu belum mengenal tentang soal hidup, bagaimana kamu akan mengetahui tentang maut”.
Jadi bagi Konfusius yang penting rituil yang tidak saja penguasaan keagamaan, melainkan penghidupan sosial.
Konfusius menentang perubahan sosial yang hanya berubah tanpa pembaharuan, sebab yang dikehendaki adalah pembaharuan sosial. Hal ini tercermin, misalnya: tercermin dalam buku I Ching (tentang: the book of changes), dan The Book of Mencius. Oleh golongan Ridder Stand (Ksatria) termasuk Konfusius sendiri menganggap bahwa perubahan-perubahan itu adalah kemunduran. Karena menurut Konfusius, bahwa perubahan tanpa pembaharuan adalah suatu kemunduran. Baginya yang dimaksud pembaharuan, yaitu mengubah keadaan hingga batas-batas hak dan kewajiban perseorangan menjadi terang, dan status orang sesuai dengan yang telah dikodratkan oleh alam.
Konfusius hal di atas adalah: “membenarkan nama-nama”, Artinya, bahwa hendaknya ada persesuaian antara kedudukan dan sikap seseorang. Sehingga akan terkenal dengan ucapan Cina, yaitu: “Tsjuun tsjuun tsje’n tsje’n, fu fu, tze tze”.. Artinya: hendaknya raja tetap raja, hamba tetap hamba, ayah tetap ayah, dan anak tetap anak.
Jadi menurut Knonfusius, jika tiap-tiap nama sesuai dengan kenyataannya, maka lalu terjamin tentang “perbandingan yang seharusnya” antara atas dan bawah, lalu tentu ada pemerintahan yang baik.  “Perbandingan yang seharusnya” ini dinamakan “i”.
Meskipun yang biasanya “i” diartikan dengan “keadilan”, namun terjemahan itu tidak memuaskan dalam tulisan-tulisan berikutnya. Karena “i” dapat diganti dengan pengertian “keinsyafan akan kewajiban”. Jadi perkataan “i” berhubungan dengan “li” (sopan-santun).

c. Istilah i, li, dan te.
Kata-kata yang banyak dipakai oleh Konfusius adalah “te” (arti: kebajikan). Istilah “te” ini menurut Konfusius hanya dapat diperoleh secara turun-temurun, namun tidak secara otomatis, karena harus menepati upacara-upacara keagamaan pada waktu yang seharusnya. Jadi, “te” adalah sifat khusus seseorang dalam statusnya, yang ditentukan oleh “i”, dan ditunjukkan dengan bentuk “li”. Semula arti “te” hanya “kebajikan” pada umumnya, namun kemudian Konfusius memperluas artinya menjadi “membenarkan nama-nama”, hingga memungkinkan tiap orang melakukan “i” nya, dan mengindahkan “li” nya, untuk dapat melaksanakan tata-susila dan ketertiban alam. Oleh sebab itu Sang Raja hendaknya menjalankan “te” nya, supaya dapat memancarkan pengaruhnya, sehingga merubah keadaan. Kekuasaan raja berakar pada sifat mythisch magisch yang hanya dimilki oleh sang Raja dimaksud. Dengan demikian barang siapa memerintah berdasarkan kebajikan (te), maka dapat diibaratkan sebagai bintang kutub, yang tepat pada tempatnya dan bintang-bintang lain tunduk kepadanya. Sehingga dapat dianalogikan, bahwa “kebajikan raja sama dengan angin, kebajikan rakyat biasa sama dengan rumput. Oleh sebab itu, “rumput akan tunduk kalau angin menyentuhnya”. Jadi ‘te” oleh Konfuisus diartikan “kebajikan”, maksudnya adalah kesusilaan yang ditujukan kepada Raja, orang-orang bangsawan, dan kemudian kepada siapa saja.

d. Ajaran tentang “jen”.
Tze-kung bertanya pada Konfusius, yaitu “Apakah suatu perkataan yang dapat menuntun manusia di dalam penghidupan manusia seterusnya ?”. Konfusius menjawab, “Pertimbangkanlah selalu keadaan orang lain. Janganlah melakukan hal sesuatu terhadap orang lain, yang tidak kamu inginkan sendiri. Inilah jen”. Biasanya diterjemahkan dengan “ben volence”, “altruism”, “Leiber”, tetapi semuanya tidak tepat. Arti perkataan ini makin lama makin berubah. Kemudian perkataan “Jen” dapat ditambah arti. Sehingga “Jen” lalu berarti adalah “perikemanusiaan, kebaikan orang, humanitas”, dengan tidak meninggalkan etymologi perkataan itu sendiri, yang mengandung arti “manusia”, dan Mencius selalu menyebutnya bersama-sama dengan “I”, yang seakan-akan perkataan itu hamper merupakan sinonimnya. Sesungguhnya “Jen” itu adalah hal sesuatu yang dapat memperlengkapi “I”.
“I” terutama berhubungan dengan kewajiban bawahan terhadap atasan, dan “Jen” terutama berhubungan dengan tanggung jawab atasan terhadap bawahannya. Menurut Konfusius, bukan hal itu saja yang menjadi pegangan di dalam menentukan sikap seseorang. Pedomannya tetap: lahir, yaitu mengindahkan “li”. Konfusius berkata: “Janganlah menengok ke barang sesuatu bukan “li”, janganlah mendengarkan sesuatu yang bukan “li”, janganlah bergerak selain untuk “li”.

e. Ajaran tentang “Sjiau”.
Kata “sjiau” menurut para sosiolog Tiongkok, diartikan sebagai “pengluasan kekuasaan ayah”. Perkembangan selanjutnya, tidak saja hanya ayah, namun juga ibu, shingga seseorang harus memperlihatkan “sjiau” nya. Lambat-laun “sjiau” juga berarti “penghormatan kepada orang-orang tua dari jaman purbakala, tunduk kepada yang berkuasa, tunduk kepada golongan di bawah pimpinan orang yang lebih tua. Akhirnya, “sjiau” sebagai dasar sistem kekeluargaan di Tiongkok berupa pendidikan untuk tunduk kepada golongan terdahulu dan mengandung nilai etis yang tinggi, yaitu: perasaan terikat kepada orang-orang yang menurunkan. Ajaran tentang “Sjiau” ini oleh Konfusius tidak ditujukan pada rakyat jelata, melainkan kepada golongan yang memerintah. Jadi yang dibayangkan oleh Konfusius adalah sebagai sesuatu yang mendekati kesempurnaan ialah Raja, dan disebut “Tsuuntze”. Kata “Tsuuntze” oleh sosiolog Inggris James Legge diartikan sebagai “superiorman”, lebih tepat diterjemahkan “bangsawan sesungguhnya atau bangsawan”. Perkembangan selanjutnya Konfusius mengatakan bahwa istilah “Tsuuntze” lalu berubah arti menjadi: orang yang baik budinya, orang yang susila. Karena dari padanya memancarkan sinar semacam pengaruh yang dapat disamakan dengan Ruh Raja sendiri berupa: tauladan baik yang tidak dapat ditentang.

2.Tokoh Aliran Konfusianisme yang lain, misalnya: Mencius dan Sjuun-Tze

2. Mensius
a. Riwayat Hidupnya.
Mensius adalah murid dari Konfusius, dan masih keluarga bangsawan Dinasti Chou. Tanggal kelahiran dan kematiannya tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan hidup antara tahun 372 s/d tahun 289 Seb. Masehi di negara Lu dan tinggal berdekatan dengan Konfusius. Jiika dilihat masa hidupnya, maka ia sejaman dengan filsuf dari Yunani, seperti: Plato.
Meskipun Mensius lahir dari keluarga bangsawan, namun pada saat itu kurang begitu di hormati, karena saat itu di Tiongkok keluarga bangsawan sedang mengalami kemerosotan, sebagai akibat dari adanya peperangan yang terus menerus, sehingga timbul kekacauan di mana-mana. 0leh sebab itu, Mensius berusaha mengatasi kekacauan-kekacauan itu sebagai seorang filsuf, yaitu dengan idea-idea kefilsafatannya.  Mensius dalam mengajarkan idea-idea kefilsafatannya dengan jalan mengembara ke berbagai daerah/ negara, seperti: Liang, Chi, Chou, dan kadang kadang kembali ke Lu.Pada waktu Mensius mulai kegiatannya sebagai filsuf, sudah ada dua aliran yang kuat di samping aliran Konfusianisme.
Kedua aliran dimaksud adalah aliran yang didirikan oleh:
1). Yang Chu.
2). Mo Tzu.

Ad. 1). Aliran yang didirikan oleh Yang Chu mengajarkan, bahwa setiap orang harus hidup untuk dirinya sendiri, jangan memikirkan orang lain.
Ad. 2). Aliran yang didirikan oleh Mo Tzu mengajarkan, bahwa semua orang di dunia harus saling mengasihi.
Tetapi, meskipun sudah ada dua aliran yang besar dan kuat, Mensius tidak terpengaruh, sebab menurut Mensius kedua aliran tersebut terlalu ektrim dan mengabaikan kasih terhadap orang tua.
Mensius dengan ajaran kefilsafatannya, berusaha menjembatani pandangan paham Konfusianisme dengan pandangan paham Taoisme. Hal ini dapat dipahami, yaitu bahwa Mensius mengajarkan semedi yang juga menjadi ajaran pokok dari paham Taoisme.

b. Karya Mensius.
Karya Mensius ditulis dalam sebuah buku yang ditulis dia sendiri dan juga oleh murid muridnya. Buku dimaksud diberi judul “Mensius”, yang merupakan buku tebal terdiri dari tujuh (7) bagian, yang memuat 261 bab. Buku yang berjudul “Mensius”, memperlihatkan bahwa Mensius adalah: seorang filsuf, seorang psikolog, seorang politikus, dan seorang moralis. Mensius dikatakan sebagai seorang filsuf, sebab ajaran kefisafatannya tampak sifatnya yang idealistis, sehingga dapat diperbandingkan dengan ajaran Palto dari Yunani. Mensius dikatakan sebagai seorang psikolog, yaitu tampak bahwa ia mempunyai pandangan/ teori jiwa manusia, terutama tentang emosi. Mensius dikatakan sebagai seorang politikus, sebab ia mempunyai sistem tersendiri dalam mengatur kehidupan masyarakat, dan sistemnya itu pandangannya konkrit untuk menyelenggarakan kehidupan negara. Mensius dikatakan sebagai seorang moralis, tampak dalam usahanya agar keadaan di Tiongkok aman, damai, dan rakyat hidup tenang tanpa gelisah karena ada peperangan

c. Metode Ajaran Mensius
Metode yang dipakainya berbeda dengan metode mengajar yang digunakan oleh Konfusius.  Sebab Konfusius memakai metode diskusi yang menghidupkan sistem tanya jawab, sehingga metode Konfusius lalu diberi nama dengan istilah: “intellectual democracy”. Mensius dalam mengembangkan ide kefilsafatannya pada para muridnya memakai sistem indoktrinasi yang ketat. Artinya, bahwa para murid harus menerima yang diajarkan oleh Mensius. Oleh sebab itu metode mengajar Mensius disebut dengan istilah: “Intellectual authority”.Tetapi Mensius ada ketidak konsekwennannya, yaitu:  Pada waktu tertentu Mensius mengajarkan hal berbeda dengan yang pernah ia ajarkan, sehingga muridnya mengkritik, namun jawab Mensius, yaitu: “itu kan jaman dahulu, jaman sekarang lain”. Sikap Mensius yang autoriter itu memang dapat dimengerti, sebab waktu Mensius mulai mengembangkan ajarannya itu sudah banyak pesaingnya, sehingga ia segan mengaku salah demi gengsinya.  Mensius kecuali mempunyai metode mengajar yang berbeda dengan tokoh lain, ia juga selalu mendasarkan diri pada ucapan-ucapan kaisar purbakala. Kaisar purbakala yang ucapannya selalu dipakai oleh Mensius, yaitu:
1). Kaisar Yao
2). Kaisar Shun
Lain halnya dengan Konfusius yang dalam memecahkan persoalan memakai penyelidikan yang kritis. Oleh sebab itu metode mengajar yang digunakan oleh Mensius lebih mudah dibanding dengan cara mengajar secara diskusi dan penyelidikan dengan kritis.

d. Pokok-pokok Ajaran Mensius
Pokok-pokok ajaran Mensius ditulis bersama murid-muridnya dalam sebiah buku berudul: “Mensius”. Ajarannya bersifat idealistis, artinya bahwa ia ingin mewujudkan cita-cita dan ingin merealisir tujuannya dengan konsepsi pemikiran yang jelas. Gagasan-gagasan Mensius tampaknya memang cukup relevant dengan kondisi masyarakat waktuitu, dan mengandung nilai-nilai positif yang mereka perlukan. Oleh sebab itu ajaran-ajaran Mensius mendapat tempat tersendiri dalam pemikiran kefilsafatn Tiongkok. Konsep pemikiran Mensius, juga merupakan penegsan dari konsep pemikiran filosofis aliran sebelumnya.  Hal itu bisa dilihat, bila Konfusius tidak menegaskan bahwa sifat dasar itu baik atau jahat, sebaliknya Mensius dengan tegas mengatakan bahwa sifat dasar manusia adalah baik. Jadi, prinsip konsepsi filosofis dari Mensius mempunyai pandangan bahwa setiap manusia yang ada di dunia mempunyai sifat dasar yang baik. Dengan landasan prinsip ajarannya itu, Mensius ingin mengembangkan ajaran etikanya, supaya kebaikan-kebaikan itu hidup di dalam masyarakat. Oleh sebab itulah Mensius lalu mendapat julukan sebagai seorang “moralis”.  Ia juga mengatakan bahwa setiap orang dapat mengembangkan dan mengarahkan sifat dasarnya. Sifat dasar itu jangan dibiarkan berkembang tanpa suatu pemikiran yang terarah. Sebab bila dibiarkan, sifat dasar yang baik iti akan mudah berjalan ke hal yang baik atau hal yang jahat. Hal ini dapat diibaratkan dengan air yang mengalir ke bawah atau ke atas.

e. Ajaran tentang sifat dasar manusia
Sifat dasar manusia yang baik, dapat diamati bahwa secara realitas, semua manusia tidak tega melihat penderitaan orang lain. Karena hal seperti itulah Mensius mulai berpikir lebih dalam sampai ke dasar perasaan jiwa manusia, sehingga ia berpandangan bahwa sifat dasar manusia adalah baik. Mensius berkata bahwa setiap manusia mempunyai perasaan sama, yaitu kesamaan perasaan dalam realitas kehidupan dan perasaan itu menghasilkan kebajikan. Perasaan perasaan yang dapat menimbulkan suatu kebajikan yang dimiliki manusia, yaitu:
a. Perasaan tidak tega melihat penderitaan orang lain, dan perasaan ini disebut perasaan mengasihani. Perasaan mengasihani merupakan suatu permulaan dari cinta (jen).
b. Perasaan malu dan tidak suka, perasaan malu dan tidak suka merupakan permulaan dari kebenaran (i).
c. Setiap manusia juga memiliki perasaan rendah hati dan ramah. Perasaan redah hati dan ramah merupakan permulaan dari sopan santun (li).
d. Setiap manusia memiliki  perasaan menolak dan menerima. Perasaan menolak dan menerima merupakan permulaan dari kebijaksanaan (Chih)
Dengan demikian, setiap manusia mempunyai perasaan perasaan dasar dalam jiwanya yang secara potensial dapat menghasilkan kebajikan. Kebajikan-kebajikan itu konkritnya akan menghasilkan perbuatan-perbuatan yang dinilai oleh manusia sebagai perbuatan baik.  Selama manusia mempunyai perasaan perasaan yang dapat menghasilkan kebajikan, biarkanlah perasaan perasaan itu berkembang. Jadi, perasaan perasaan yang dapat menimbulkan kebajikan kebajikan tiu, oleh Mensius disebut dengan istilah:
a. Jen artinya cinta.
b. I artinya kebenaran
c. Li artinta sopan santun
d. Chih artinya kebijaksanaan
Olleh karena kebajikan adalah hal yang baik, dan kebajikan terkandung dalam diri manusia, maka Mensius mengatakan bahwa sifat dasar manusia adalah “baik” Ilustrasi sebagai bukti bahwa sifat dasar manusia adalah baik, Mensius mengatakan, yaitu:
Bila seorang dewasa tiba-tiba melihat anak kecil menyeberang jalan raya yang ramai, maka mereka merasa ngeri, dan segera menolong untuk menyelamatkan dari bahaya, dan mereka tidak akan melihat anak siapa dan apakah ada imbalan atau tidak, meraka tidak memperhitungkan hal itu. Yang penting anak tersebut selamat dari maut. Jadi, mereka berbuat bukan karena imbalan atau pujian orang lain, melainkan berbuat agar tidak terjadi maut dan menyehkan. Itulah sebagai bukti bahwa sifat dasar manusia pada dasarnya baik .
Selanjutnya Mensius berkata, bahwa manusia dalam mengembangkan potensi potensi dasar yang dapat melahirkan kebajikan itu berbeda-beda. Ada orang yang potensi dasarnya berkembang dua kali atau lebih dari orang lain, ada pula yang sampai tak terhingga, ada pula yang potensi dasarnya itu berkembang sangat sedikit. Tetapi yang jelas tak seorang pun yang dapat mencapai kesempurnaannya, sebab di dunia ini ada keterbatasan bagi manusia. Yang penting setiap manusia harus mengembangkan potensi potensi dasar yang dapat melahirkan kebjikan itu semaksimal mungkin, kata Mensius.  
Berikut, Mensius berkata, bahwa bila dikemudian hari ada manusia yang sifat dasarnya menjadi jahat, Kata Mensius, karena oleh pendidikan dan pengaruh lingkungan yang tidak baik. Missalnya, seorang anak yang tadinya mempunyai sifat dasar baik, namun dibesarkan di kalangan penjahat dan pencuri, maka akhirnya anak itu juga akan memiliki sifat jahat. Sebagai contoh konkrit, Mensius menggunakan benih gandum, semua sama baiknya, kemudian ditaburkan. Dalam penaburan benih gandum itu, ada yang jatuh di tempat subur, ada yang di tanah tandus, dan ada di atas batu.  
Jadi, bila ada seseorang yang tidak baik, maka ketidak baikannya itu bukan dikarenakan sifat dasarnya. Keburukan orang itu, karena perasaan perasaan yang dapat menimbulkan empat kebajikan tersebut di atas, tidak dikembangkan, bahkan ditekan dan dimusnahkan.
Berikut ada percakapan antara Mensius dan Kao Tzu yang mengarah pada kesimpulan penapat tentang sifat dasar manusia.
Adapun percakapannya adalah sebagai berikut:
Kao Tzu said, “Man’s nature is like whirling water, If a breach in the pool is made to the east it will flow to the east. If a breach is made to the west it will flow to the west. Man’s nature is indifferent to good and evil, just as water is indifferent to east and west”.
Mencius said, “Water indeed, is indifferent to the east and west, but is it indifferent to high and low ? Man’s nature is naturally good just as water naturelly flows downward. There is no man without this good nature: neither is there water that does not flow downward. Now you can strike water and cause it to splash up ward over your forehead, and by damming and leadng it, you can force it uphill. Is this the nature of water ? It is the forced circumstance that makes it do so. Man can be made to do evil, for this nature can be treated in the same way” (Chan Wing-Tsit, 1969” 52).
Dari pembicaraan Mensius dan Kao Tzu itu dapat disimpulkan, sbb. :
a). Menurut Mensius, bahwa sifat dasar manusia adalah baik, seperti air yang secara alamiah mengalir ke bagian yang lebih rendah. Sedang kejahatannya karena pengaruh yang menyalahi sifat dasar tersebut, seperti air yang dibuat bendungan atau ditepuk sehingga mengenai dahi.
b). Menurut Kao Tzu, bahwa sifat dasar manusia akan dapat menjadi baik atau jahat, seperti air yang dapat dialirkan ke Timur atau ke Barat
Menurut Mensius tentang pendapatnya bahwa sifat dasar manusia adalah baik, akhirnya dapat menyimpulkan, yaitu:
1). Bahwa ia (manusia) memilki “suatu pengetahuan pembawaan” (the innate knowledge) akan hal-hal yang baik dan “kepandaian pembawaan” (innate ability) untuk mengerjakan yang baik.
2). Bahwa jika seorang “mengembangkan pikirannya untuk sesuatu yang paling baik”, ia (manusia) dapat “melayani sorga” (serve Heaven) dan “memenuhi nasibnya” (fulfill his destiny).
3). Bahwa kejahatan manusia itu tidak dilahirkan dari dalam, namun disebabkan kegagalan-kegagalan dan ketidak mampuannya sendiri dalam menghindari pengaruh dari luar yang jahat.
4). Bahwa usaha yang sungguh-sungguh harus dibuat untuk mendapatkan kodrat asli manusia itu sendiri.
5). Bahwa belajar itu tidak lain adalah untuk mencari pikiran yang hilang.

3.Sjuun-Tze
3.1.Riwayat Hidupnya
            Orang yang melanjutkan pekerjaan Konfusius, selain Mensius adalah Sjuun-Tze. Sjuun-Tze nama sebenarnya adalah Sjuun Kw’ang, namun kebanyakan orang mengenalnya adalah sebagai Sjuun Tsj’ing, dan sangat dikenal dengan nama “Menteri Sjuun”.
            Orang tidak begitu banyak tahu tentang riwayat hidupnya, sebab ia sejak masa mudanya tinggal di Ibukota dari Tsj’I, yaitu suatu pusat intelektual yang dianggap penting pada waktu itu. Sjuun-Tze lama tinggal di Negara yang paling ujung selatan di Tiongkok waktu itu, yaitu kota Tsj’u yang dekat dengan kota Yang-tse-kiang. Di kota ini Sjuun-Tze menjadi Gubernur dari sebuah kota, dan mengumpulkan murid-murid. Sjuun-Tze hidup antara tahun 300 Sebelum Masehi s/d tahun 235 sebelum Masehi.
3.2.Pendidikan
            Meskipun Sjuun-Tze adalah seorang yang konservatif dan berkeyakinan akan nilai tinggi daripada “li”, yaitu yang menurut keagamaan harus dilakukan, Sjuun-Tze dapat mengerti cara orang berpikir pada waktu itu. Namun, Sjuun-Tze tidak mau membenarkannya, malahan Sjuun-Tze menentangnya. Bagi Sjuun-Tze bahwa dunia adalah tetap statis. Peraturan-peraturan dan hal hal lain yang sekali sudah ditetapkan oleh para orang tua yang bijaksana pada zaman zaman dahulu, tetap masih baik utnuk waktu sekarang. Menurut Sjuun-Tze, bahwa “li” adalah satu satunya pedoman yang baik untuk menentukan sikap seseorang, karena dapat member pendidikan dan mengajar seseorang untuk mengawasi diri sendiri. Oleh karena itu, andaikata dibiarkan begitu saja, ia tidak akan menjadi manusia yang berarti. Sebab, di sini Sjuun-Tze menentang sekuat kuatnya pendapat Mensius yang dianggapnya sama sekali tidak benar, yatu yang menurut Mensius bahwa manusia itu dasarnya baik.
            Menurut Sjuun-Tze, bahwa manusia dasarnya adalah buruk, dan sifat sifat yang baik baru diperoleh manusia sesudah manusia mempelajarinya. Andaikata tidak ada sifat sifat itu, tidak mungkin ada suatu masyarakat manusia. Namun perlu diingat, bahwa Sjuun-Tze bagaimana pun juga bukan pesimis, namun sebaliknya, bahwa Sjuun-Tze percaya bila seseorang dapat mencapai kesempurnaan diri. Hal ini semua tergantung pada latihan-latihannya sehari-hari, seperti diumpamakan sebagai gunung yang dibuat dari timbunan butir-butir pasir. Demikian juga, seseorang dapat menjadi seorang tukang kayu yang pandai, karena pengalamannya sehari demi sehari. Jadi, pendidikan adalah penting sekali. Dengan demikian, berkat dorongan dari Sjuun-Tze ini, maka salah satu hal di dalam ajaran Konfusius yang lalu merupakan sendi yang kuat, ialah diletakkannya titik berat pada pendidikan. Sedangkan bagi Mensius yang percaya akan adanya dasar manusia yang baik, hal tentang pendidikan sudah tentu tidak mempunyai arti yang begitu urgen.
            Sjuun-Tze yakin, bahwa kesempurnaan kesusilaan seseorang terletak pada kaki-tanggannya sendiri. Meskipun manusia mempunyai kegemaran istimewa terhadap hal ihwal yang diharuskan oleh agama untuk dikerjakan, seorang Sjuun-Tze juga tidak menaruh perhatian banyak terhadap agamanya sendiri, bahkan Sjuun-Tze menyangkal adanya pelbagai roh-roh. Upacara upacara keagamaan oleh Sjuun-Tze diberi dasar yang rasional, artinya: upacara itu adalah suci dan baik pula menggambarkan perasaan perasaan manusia yang sebenarnya.
            Sjuun-Tze, mengatakan bahwa kepercayaan akan kesempurnaan manusia sama sekali tidak berarti, Sjuun-Tze percaya akan adanya kemajuan. Sebaliknya, Sjuun-Tze mengatakan, bahwa manusia yang sempurna, tidak akan berbuat lain daripada memperbaiki hamon (Indonesia: zaman), yang dulu sudah pernah ada, tetapi telah dipecah pecah oleh nafsu manusia. Jadi, bagi Sjuun-Tze, adalah tidak lain daripada “membenarkan nama-nama”.
3.3.Nama dan Kenyataan
            Pengertian “membenarkan nama nama”, pada zaman Sjuun-Tze menyebabkan timbulnya pandangan pandangan teoritis tentang sampai di mana orang dapat mengenal hubungan antara “nama” dan “kenyataan”. Sjuun-Tze mengetahuinya, tetapi ia menganggapnya sebagai suatu bahaya, karena kecerdikan berkata yang dialectis dapat menyamarkan perbatasan antara nyata dan tidak nyata.
            Bagi Sjuun-Tze, pengetahuan intelektual tanpa maksud yang susila, tidak mempunyai nilai. Kata Sjuun-Tze, hanya manusia yang susila mengerti maksud membenarkan “nama” dan “mebedakan antara baik dan buruk”. Nafsu yang menghalang halangi pengetahuan susila janganlan di buang (sebagai yang dikehendaki oleh kaum Tao-is) kata Sjuun-Tze, tetapi hendaklah dikuasai. Sjuun-Tze mengatakan, bahwa membuang nafsu adalah tidak mungkin, namun memenuhi semua nafsu sepuas puasnya juga tidak mungkin. Sjuun-Tze mempergunakan suatu terminology, yang berasal dari kaum Tao-is. Neraca, kata Sjuun-Tze, yang harus dipakai untuk menilai nafsu manusia adalah “Tao”= “jalan”. Tetapi Sjuun-Tze menentang pendapat kaum Tao-is, karena jalan menurut Tao-is tidak memperdulikan kesusilaan, sebaliknya, kata Sjuun-Tze, bahwa “jalan” itu adalah susila itu sendiri. Jadi, kata Sjuun-Tze, bahwa jalan yang benar adalah jalan yang mungkin ditempuh setiap orang untuk memilih tindakan yang sesuai dengan lingkungannya. Jadi, hakikinya, kata Sjuun-Tze, bahwa semua barang yang ada itu susila, dan hanya orang yang susilalah, sebagai orang “keramat”, dapat mengetahui sebenarnya tentang hal itu.
Sesudah mengetahui, tingkatan selanjutnya adalah mengerti. Hal ini kata Sjuun-Tze, mempunyai persamaan dengan pandangan mistik kaum Tao-is. Semua perbedaan perbedaan yang ada musnah di dalam kesatuan yang besar: yaitu, “di antara 10.000 hal hal yang tidak ada satupun yang tidak dilihat olehnya……tidak ada satupun yang tempatnya tidak dikenal olehnya: seperti, duduk di rumahnya ia melihat seluruh dunia hidup pada waktu sekarang, ia menceriterakan tentang waktu yang sudah lama lampau; dengan jalan menyelami tata tertib dan kekacauan, ia mengerti hokum hukumnya karena mengetahui tentang susunan langit dan bumi 10.000 hal hal itu dikemudikan olehnya”.
Tetapi penglihatan yang demikian tadi tidak dapat diperoleh dengan mengembalikan dirinya ke kesederhanaan, sebagai yang diselami kalau manusia kembali kea lam. Sebaliknya, manusia memperoleh itu sesudah manusia terus menerus berusaha untuk yang susila. Hubungan anata pengetahuan intelek dan kesempurnaan kesusilaan, yang oleh Sjuun-Tze selalu didengung-dengungkan, menyebabkan orang dengan sungguh sungguh memperdalam ajaran Konfusius. Ini tidak untuk member kepuasan kepada kehausan orang akan pengetahuan, namun untuk memperoleh bayangan dari apa yang dinamakan “cita-cita kesusilaan, summum bonum”.
                                                                                                                                                       
C. Penutup

            Selama alam dirasa sebagai sesuatu yang berbeda dari manusia, sebagai hal yang melulu brutal, alam demikian bukan alam dalam pandangan Jen. Alam justru menjadi bagian dari ada manusia bila dikenal sebagai apa adanya. Manusia dalam alam dan alam ada dalam manusia. Di sini dinyatakan bahwa bukan hanya saling ambil bagian di dalamnya tetapi adalah kesamaan dan sekaligus perbedaan dengan alam. Kesamaan itu dasariah tetapi perbedaannya pun juga dasariah. Saya adalah kamu tetapi saya pun adalah saya sendiri. Saya yang terlepas dari kesatuan dengan alam itu bukan saya. Saya justru adalah saya karena kesatuan itu.
            Menurut Mensius, bahwa sifat dasar manusia adalah baik, seperti air yang secara alamiah mengalir ke bagian yang lebih rendah. Sedang kejahatannya karena pengaruh yang menyalahi sifat dasar tersebut, seperti air yang dibuat bendungan atau ditepuk sehingga mengenai dahi.
            Menurut Sjuun-Tze, bahwa manusia dasarnya adalah buruk, dan sifat sifat yang baik baru diperoleh manusia sesudah manusia mempelajarinya. Andaikata tidak ada sifat sifat itu, tidak mungkin ada suatu masyarakat manusia.

Daftar Pustaka
Ann Wanf Seng, 2007. Rahasia Bisnis Orang Cina. Jakarta: Diterjemahkan dari Rahasia Bisnis Orang Cina . Profesional Publising Sdn. Bhn.
Bagus Takwin, 2003. Filsafat Timur Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikran Timur. Yojyakarta: Jalasutra IKAPI.
Chi-Ping Yu, Filial Piety and Chinese Pastoral Care. Asia Journal of Theology IV:1 Apri1 1990, pp. 316-328.
De Barry, Theodore Wm., 1989, The Message of The Mind in Neo Confucianism. Columbia University Press. New York.
Eber, Irene (Ed), 1986, Confucianism. The Dynamics of Tradition. Macmillan Publishing Company. New York
Green, Ronald, M., 1988, Religion and Moral Reason. New Method For Comparative Study. Oxford University Press. New York.
Lasiyo, 1988, ‘Etika Menurut Ajaran Confucius.’ Basis. XXXVII, Juli, pp
249-255.
Legge, James 1861, The Chinese Classics .Vol 1, Oxford University Press. Oxford.
Lu, Martin, 1983, Confucianism Its Relevance To Modern Society. Federal Publications (S) Pte Ltd.
Singapore.
MATAKIN, 1984, “Tata Agama Dan Tata Lasksana Upacara Agama Khonghucu’, Sen Genta Suci Konfusiani. SAK TH XXVIII No-S Sala.
Rangkuti R.E., 1981, Kumpulan Lagu-lagu Daerah. Sinai Pengetahuan. Jakarta.
Smith, Huston, 1989, The Religions of Man. Harper & Row Publishers. New York.
Tim Redaksi Driyarkara, 1993, Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, Jakarta, penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wen, Kwei Liao, 1933, The Individual and the Community. Kegan Paul. London.