DASAR DASAR
FILSAFAT
Oleh: Drs. Sudadi,
M. Hum.
PENDAHULUAN
Beberapa
puluh tahun silam pernah diadakan sidang UNESCO di Paris yang membicarakan
salah satunya untuk mencapai dan memelihara saling pengertian, penghargaan, dan
kerja sama antar sesama mansusia. Hal ini dapat disimpulkan, bahwa calon
sarjana filsafat, sangat perlu mendapatkan pendidikan filsafat. Dengan harapan
untuk memperoleh sifat-sifat pribadi berdasarkan kemampuan seorang ahli
filsafat, yakni dapat mengamalkan kemampuan yang dimilikinya. Seseorang yang
mampu berfilsafat setidak-tidaknya akan memiliki sifat pribadi, seperti:
a. Susila.
b. Demokrasi.
c. Berjiwa
nasional.
d. Jujur
sesuai dengan ajaran agamanya.
e. Memiliki
pandangan hidup, tujuan hidup, dan filsafat hidup.
Dengan demikian bagi orang yang telah
memperoleh pendidikan filsafat, maka akan memahami bahwa setiap manusia
mempuyai filsafatnya sendiri-sendiri, yakni seperti tentang kehidupannya, dan
mempunyai pandangan yang spesifik tentang dunia ini bagi masing-masing manusia.
Misalnya bagi seorang perwira, ia akan bersikap sesuai dengan tugas dan
fungsinya, begitu juga bagi seorang teknokrat, ia akan bersikap juga sesuai
dengan keahliannya sebagai ahli teknologi, dan lain sebagainya.
A. PENGANTAR
KEPADA FILSAFAT
1. Dua Kekuatan Yang
Mewarnai Dunia
Keadaan dunia yang begini ini ada dua
kekuatan yang mewarnainya. Kekuatan yang mewarnai itu yang pertama yakni agama,
dan yang kedua yakni filsafat. Manusia yang mewarnai dunia juga hanya dua,
yakni ahli agama (Nabi, Resi, ulama, dan para tokoh agama lainnya), dan ahli
filsafat (filosof). Apakah sains dan teknologi ikut juga mewarnai dunia ?
Tidak. Sains dan teknologi dalam garis besarnya adalah netral. Karena pakar
sains dan teknologi menggunakan sains dan teknologi untuk mewarnai dunia
dasarnya adalah pandangan hidupnya. Padahal pandangan hidup itu munculnya hanya
dari dua hal, yakni agama dan filsafat.
Kenyataan di atas dapat
dilihat, bahwa sejarah telah mempertontonkan adanya manusia yang berani mati
untuk dan karena agama yang dianutnya. Banyak orang mengorbankan harta,
pikiran, tenaga, atau nyawa sekalipun untuk dan karena kepercayaan yang
dianutnya. Malah ada orang yang dibakar hidup-hidup oleh orang yang merasa
agama/ kepercayaannya dilecehkan oleh orang tersebut. Orang dengan tekun
menabur bunga atau membakar dupa dan sebagainya untuk dan karena kepercayaan
terhadap agamanya. Demikian pada kenyataannya.
Selain kenyataan itu,
sejarah juga telah mencatat pula adanya orang kuat, yang kadang kadang juga
berani mati, karena meyakini sesuatu yang diperolehnya karena memikirkannya.
Yang ini adalah pemikir atau yang biasa disebut filosof. Sesuatu dipikirkan
sedalam-dalamnya, kemudian suatu ketika ia sampai pada kesimpulan yang
dianggapnya benar. Kemudian kebenarannya ini mempengaruhi tindakannya, sehingga
keyakinannya pada kesimpulannya itu lalu membentuk sikapnya. Contoh Socrates
sanggup mati dengan cara meminum racun, sebagai hukuman baginya karena
mempertahankan kebenaran filsafat yang dianggap benar.
Keyakinan terhadap
kebenaran filsafatnya itu menjadikan filosof merasa wajib menyebarkan
pendapatnya, sehingga pada orang yang mengikuti itu terbentuk pula sikap
mereka, tindakan mereka dibentuk oleh pandangan filsafat itu, jadi menjadi
pandangan hidup mereka. Maka dari itu mereka juga mewarnai dunia.
Kedua hal di atas, yakni
agama dan filsafat adalah dua kekuatan yang mewarnai dunia. Oleg sebab itu,
barang siapa hendak memahami dunia, ia harus memahami agama atau filsafat yang
mewarnai dunia itu. Dan dua kekuatan besar yang mewarnai dunia itu, orang harus
mempelajari kekuatan itu, yakni apa agama itu ? apa filsafat itu ?.
Tentang agama dalam hal
ini tidak akan dibahas secara panjang dan lebar, namun yang pasti bahwa agama
berdasarkan berbagai bacaan yang telah dibaca, tentang agama banyak sekali
definisinya. Dari sekian banyak definisi itu agaknya dapat dibagi menjadi dua
kelompok. Yang pertama, yakni definisi agama yang menekankan segi rasa iman
atau kepercayaan, yang kedua, yakni definisi agama yang menekankan segi agama
sebagai peraturan tentang cara hidup. Demikian tentang agama, sedangkan tentang
filsafat sudah barang tentu dibicarakan secara panjang lebar, karena dalam hal
ini adalah berupa materi kuliah tentang dasar-dasar filsafat.
2. Cara
Mempelajari Filsafat
Ada dua cara, yaitu:
a.Secara Historis – mempelajari sejarah perkemangannya, yaitu
sejak timbulnya filsafat sampai sekarang.
Mempelajari
filsafat dalam hal ini adalah mempelajari filsafat dari sejak lahirnya hingga
sekarang ini, yakni yang biasa disebut sejarah filsafat itu sendiri. Di samping
itu, pengertian filsafat itu sendiri berkembang dari masa ke masa. Untuk lebih
jelasnya bahwa pengertian filsafat berkembang dari masa ke masa adalah sebagai
berikut.
Mula
mula filsafat diartikan sebagai the love of wisdom atau love
for wisdom. Pada fase ini filsafat berarti sifat seseorang yang
berusaha menjadi orang yang bijak atau sifat orang yang ingin atau cinta pada
kebijaksanaan. Pada fase ini filsafat juga berarti sebagai kerja seseorang yang
berusaha menjadi orang yang bijak. Jadi, yang pertama filsafat sebagai sifat,
dan yang kedua filsafat sebagai kerja.
Masih
pada fase ini, yaitu pada Aristoteles, misalnya pengertian filsafat sangat
umum, luas sekali. Waktu itu segala usaha dalam mencari kebenaran dinamakan
filsafat, begitu pula hasil usaha tersebut. Dikatakan luas sekali karena semua
pengetahuan, termasuk special science, tercakup dalam
filsafat. Sebagai akibat dari pengertian menurut Aristoteles tidak dapat
dipahami oleh para penggemar filsafat pada zaman ini karena special
science telah memisahkan diri dari filsafat. Pada fase pertama ini
wisdom memang luas sekali artinya, sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopedia
of Philosophy (1967: 216) bahwa Homerus menyebut tukang kayu juga orang
yang bijak (Ahmad Tafsir, 2009: 12).
Perkembangan
selanjutnya memperlihatkan bahwa pengertian filsafat mulai menyempit, yakni
lebih menekankan pada latihan berpikir untuk memenuhi kesenangan intelektual (intellectual
curiosity). Definisi dari Bertrand Russel barang kali dapat digolongkan
ke sini tatkala ia mengatakan bahwa Philosophy is the attempt to answer ultimate
question critically. Pada fase ini jelas pengertian filsafat jauh lebih
sempit dari pada pengertian filsafat pada masa Aristoteles di atas. Tugas filsafat pada masa ini,
menurut definisi Bertrand Russel itu, ialah menjawab pertanyaan yang tinggi (ultimate),
yakni pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh sains. Definisi filsafat dari
William James berbeda dari definisi Bertrand Russel. William James mengatakan
bahwa filsafat ialah kumpulan pertanyaan yang belum pernah terjawab secara
memuaskan.
Dengan
demikian pengertian filsafat sering berbeda antara tokoh yang satu dengan tokoh
yang lain. Perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat, dan
terakhir ini dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan pandangan hidup yang
berbeda serta akibat perkembangan filsafat itu sendiri.
b.Secara Sistematis – mempelajari isinya, yaitu mempelajari bidang
bahasan, seperti cabang metafisika, epistemologi, logika, etika, dll. Pada
garis besarnya filsafat mempunyai tiga cabang besar, yakni dimensi
epistemologis (teori pengetahuan), dimensi ontologism (teori hakekat), dan
dimensi aksiologis (teori nilai).
Dimensi
epistemologis pada dasarnya membicarakan cara memperoleh pengetahuan. Dimensi
ontologism membahas semua objek, dan hasilnya ialah pengetahuan filsafat.
Yang ketiga, yakni dimensi aksiologis
adalah membicarakan guna pengetahuan tersebut di atas.
B. ARTI FILSAFAT
a. Arti secara etimologis.
Filsafat(Indonesia) = falsafah(Arab), philosophy
(Inggris), philosophia(Latin), philosophie (Jerman, Belanda,
Perancis). Semua istilah itu sumbernya = philosophia dari istilah
Yunani.
Istilah Yunani asal katanya philein
artinya mencintai,
Sedangkan kalau philos artinya teman.
Istilah sophos artinya “bijaksana”, sedangkan sophia artinya “kebijaksanaan”.
Jadi bila mengacu philein dan
sophos artinya mencintai hal2 yang bersifat bijaksana,
Namun bila mengacu pada kata philos dan sophia artinya teman kebijaksanaan.
b. Arti Filsafat Sebagai Suatu Sikap
Filsafat = suatu sikap terhadap
kehidupan dan alam semesta.
Bila orang sedang menghadapi problem yang berat, maka dalam
hatinya akan bertanya yang membutuhkan jawaban secara kefilsafatan.
Artinya membutuhkan jawaban yang
ditinjau secara tenang, luas, dan mendalam.
Misal filsafat prajurit, rawe2 rantas
malang2 putung
c. Arti Filsafat Sebagai Suatu Metode
Artinya bahwa filsafat sebagai cara
berpikir secara reflektif, radikal, dan suatu penyelidikan yang menggunakan
alasan serta berpikir secara hati hati dan teliti.
Jadi filsafat merupakan usaha untuk
memikirkan seluruh pengalaman manusia secara mendalam dan jelas.
Misalnya: Metode Kritis oleh Socrates
dan Plato.
d. Arti Filsafat Sebagai Sekelompok Teori atau Sistem Pemikiran
Teori atau sistem
pemikiran filsafati dimunculkan oleh masing-masing filsuf, seperti Sokrates,
Plato, Aristoteles dll. Adalah untuk menjawab masalah masalah, misalnya
tentang prinsip fundamental alam semesta, apa dan siapa manusia, serta masih
banyak masalah masalah yang harus dijawab oleh para filsuf yang lain.
Karena tanpa filsuf filsuf besar seperti disebutkan di atas, filsafat
tidak akan berkembang seperti sekarang ini. Perlu diingat bahwa besarnya
kadar subjektifitas seorang filsuf dalam manjawab permasalahan, membuat sulit untuk
menentukan teori atau sistem pemikiran mana yang harus diikuti dan yang baku.
e. Arti Filsafat sbg. analisis logis tentang bahasa & penjelasan makna
istilah
Para filsuf
memakai metode analisis untuk menjelaskan suatu istilah. Para filsuf
seperti G. E. Moore, Bentrand Russel, Ludwig Wittgenstein, dll. Mengatakan
bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan kekaburan dengan cara
menjelaskan istilah. Sebab menurutnya bahasa adalah laboratorium para filsuf.
Misal, kata “ada” ini tentang adanya Tuhan dan adanya Manusia berbeda.
Begitu juga ada dalam ruang waktu berbeda dengan ada secara transenden, dll.
ULASAN
Setelah
dicoba menjelaskan dari berbagai segi dan bermacam cara, dapat dimengerti bahwa
filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara berpikir logis, tentang
objek yang abstrak logis, kebenarannya hanya dipertanggung jawabkan secara
logis pula. Jika diringkaskan, maka dapat juga dikatakan bahwa filsafat adalah
pengetahuan yang logis yang tidak dapat dibuktikan secara empiris. Definisi ini
memang belum lengkap, belum mencakup seluruh konsep yang terkandung dalam
istilah filsafat, namun aganya telah mampu menunjukkan apa itu filsafat secara
garis besarnya. Untuk mengetahuan apakah diri pembaca (Anda) telah mengerti apa
filsafat, caranya mudah: yakni, Bacalah beberapa makalah, buku, atau apapun
namanya, setelah itu Anda akan dapat mengatakan, bahwa makalah ini atau buku
ini adalah makalah atau buku filsafat, atau malah mengatakan sebaliknya, yakni
bahwa makalah atau buku ini adalah makalah atau buku sains, bukan filsafat dan
buku bukan buku filsafat. Dengan demikian bila Anda telah mampu berbuat
demikian, maka yakinlah bahwa Anda telah memahami apa filsafat itu.
C. FILSAFAT
Apa yang mendorong timbulnya filsafat – Jawaban terhadap pertanyaan ini kiranya
akan membantu memahami apa filsafat itu sebenarnya. Dengan membaca ini mudah
mudahan pengertian filsafat akan terungkap sedikit demi sedikit.
Hata
dalam bukunya, Alam Pikiran Yunani (1966, 1:1-3), menulis sbb:
“Tiap bangsa betapapun biadabnya,
mempunyai dengeng takhayul (mitologi). Ada yang terjadi dari kisah perintang
hari, keluar dari mulud orang yang suka bercerita. Ada yang terjadi dari
muslihat menakut-nakuti anak supaya ia tidak nakal. Ada pula yang timbul dari
keajaiban alam yang menjadi pangkal heran dan takut. Dari itu orang mengira ala
mini penuh oleh makhul-makhluk gaib. Lama kelamaan timbul berbagai fantasi.
Dengan fantasi itu manusia dapat menyatu ruh dengan alam sekitarnya. Orang yang
membuat fantasi itu tidak ingin membuktikan kebenaran fantasinya, karena
kesenangan ruhnya terletak pada fantasi itu. Tetapi kemudian ada orang yang
ingin mengetahui lebih jauh. Di antaranya ada orang yang tidak percaya, ada
yang bersifat kritis, lama kelamaan timbul keinginan pada kebenaran.
Orang-orang Grik dahulunya banyak mempunyai dongeng dan takhayul. Tetapi yang
ajaib pada mereka ialah bahwa angan-angan yang indah itu menjadi dasar untuk
mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja. Tidak mengharapkan untung dari
situ. Berhadapan dengan alam yang indah dan luas, yang sangat bagus dan ajaib
pada malam hari, timbul di hati mereka keinginan hendak mengetahui rahasia alam
itu. Lalu timbul pertanyaan di dalam hati mereka, dari mana datangnya ala mini,
bagaimana terjadinya, bagaimana kemajuannya dank e mana sampainya. Demikianlah
selama berates tahun alam ini menjadi pertanyaan yang memikat perhatian
ahli-ahli piker Grik.”
Dari
kutipan di atas dapat diambil dua kesimpulan. Pertama, dongeng dan
takhayul dapat menimbulkan filsafat. Di antara orang-orang ada yang tidak
percaya begitu saja. Ia kritis, ingin mengetahui kebenaran dongeng itu. Dari
situ timbul filsafat. Kedua, keindahan alam besar,
terutama ketika malam hari, menimbulkan keinginan pada orang Grik untuk
mengetahui rahasia alam itu. Keinginan mengetahui rahasia alam, berupa
rumusan-rumusan pertanyaan, ini juga menimbulkan filsafat.
1. Latar belakang
timbulnya filsafat
a.Heran, kagum, dan takjub
terhadap alam semesta dan peristiwa peristiwanya.
Pertama tama bangsa Yunani
dalam menghadapi alam semesta beserta peristiwanya itu, yang muncul dari rasa
heran, kagum dan takjub adalah percaya adanya mitologi. Karena mitologi
mitologi itu merupakan percobaan untuk mengerti. Mite mite sudah memberi
jawaban atas kekaguman dan keheranan manusia pada waktu itu. Kemudian mereka
mulai mengadakan beberapa usaha, seperti mensistematiskan mite, menghubung
hubungkan antara mite mite, dll. Akirnya mereka mulai berpikir secara serius
dan muncullah filsafat.
b. Timbulnya kesusastraan Yunani.
Kesusastraan dimaksud bukanlah dalam arti
sempit, seperti puisi atau sebangsanya, melainkan dalam arti yang seluas
luasnya, sehingga dapat meliputi seperti, teka teki, dongeng, ceritera pendek,
syair, dll. Kemudian karya sastra seperti inilah yang mulai dipakai
sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani. Contoh, yaitu syair
syair dapat berperan sebagai pendidikan, hal ini bisa dibandingkan di
Jawa atau Bali seperti wayang dan semacamnya.
c. Pengaruh ilmu pengetahuan yang sudah terdapat di Timur Kuno.
Hal ini dipahami dari datangnya ilmu ukur dan
ilmu hitung yang sebagian besar datang dari Mesir. Ilmu ini di Mesir digunakan
untuk mengukur dan menghitung wilayahnya yang terkikis sungai Nil. Tetapi bagi
bangsa Yunani, ilmu pengetahuan itu tidak dijalankan dalam konteks praktis
saja. Mereka mulai mempelajarinya dengan tidak mencari untung (Inggris: disinterestedly)
saja, melainkan dipraktekan demi ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi
untung yang letaknya di luar ilmu pengetahuan.
2. Definisi Filsafat
Menurut Plato, bahwa filsafat
adalah ilmu pength. yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
Menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu pength. Yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya
ilmu-ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Menurut Descartes, bahwa filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan
manusia menjadi pokok penyelidikan.
Menurut Notonagoro, bahwa filsafat mengelola hal-hal yang menjadi objeknya dari sudut intinya
yang mutlak dan tindakan yang tidak berobah, yaitu disebut hakekat.
Menurut Everton, bahwa Philosophy is love of learning, Philosohy is an interpretation of
live, its value and meaning, Philosophy provides us with a rational view of the
world.
Jadi menurut penulis, filsafat adalah ilmu
yang menyelidiki segala sesuatu yang ada dengan mendalam sampai ke hakekatnya.
3. Ciri ciri Orang Berfilsafat
a. Universal, artinya dalam
berpikir tidak berkaitan dengan hal-hal khusus, melainkan berkaitan dengan
idea-idea besar, misal: bukan menanyakan berapa harta anda disedekahkan, namun
apa keadilan itu, dsb.
b. Spekulatif, artinya berpikir
yang melampaui batas batas bidang pengeth. Ilmiah, berpikir untuk menduga apa
yang akan terjadi, dan berpikir terkaan terkaan yang cerdik thdp hal hal di
luar pength, kematian, kebahagiaan sempurna, dll
c. Nilai nilai (Inggris: values), artinya berpikir tentang
keputusan penilaian, seperti nilai moral, nilai estetis, nilai sosial, nilai
religius, dll. Dalam hal ini nilai sifatnya abstrak yang melekat pada suatu
hal, sehingga dapat menimbulkan rasa senang atau puas terhadap halnya.
d. Kritis, artinya dalam
berpikir mengahadapi sesuatu hal tidak menerima begitu saja, namun memeriksa
dan menilai asumsi asumsinya, mengungkapkan arti, dan menentukan batas
penerapannya.
e. Sinoptik, artinya
meninjau hal yang menjadi objeknya secara menyeluruh, yaitu berusaha mengadakan
generalisasi, menganalisa, mensintesakan, dan mengadakan integrasinya. Jadi
mencakup setruktur kenyataan secara menyeluruh.
f. Radikal, kata ini berasal dari lata Yunani “radix” artinya akar. Jadi
berarti berpikir sampai ke akar akarnya, yaitu berpikir sampai ke hakikat,
esensi atau substansi yang dipikirkan.
g. Konseptual, artinya berpikir sampai ke hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman
tentang hal hal dan proses individual. Misal: berpikir tentang manusia tidak
secara khusus, melainkan manusia secara umum, seperti: apa hakekat manusia ?.
h. Koheren dan konsisten, arinya dalam berpikir sesuai dengan kaidah kaidah berpikir (logis),
dan tidak mengandung kontradiksi.
i. Sistematis, , artinya dalam berpikir merupakan kebulatan dari sejumlah unsur yang saling
berhubungan untuk mencapai suatu maksud dan tujuannya.
j. Komprehensif, artinya dalam berpikir mencakup secara menyeluruh, sehingga tidak ada
satupun yang tertinggal di luarnya.
k. Bebas, artinya bebas
dari prasangka prasangka sosial, historis, kultural, religius, dan lain
sebagainya.
l. Bertanggung jawab, artinya berpikir yang bertanggung jawab, misalnya: dalam berpikir ada
pertanggung jawaban terhadap hati nuraninya sendiri.
4. Pengertian Filsafat
Terkait dengan pengertian
filsafat, perlu ditegaskan di sini bahwa dalam garis besarnya filsafat minimal
mempunyai tiga dimensi besar, yakni:
1.
dimensi epistemologis
2.
dimensi ontologis
3.
dimensi aksiologis
Inilah keseluruhan filsafat
dalam garis besar yang ringkas. Untuk itu agar lebih jelas tentang kapling-kapling
filsafat dimaksud adalah sebagai berikut:
1.Dimensi
epistemologis, yakni dimensi yang membicarakan bagaimana cara memperoleh
pengetahuan. Runes (1971: 94) dalam kamusnya menjelaskan bahwa
epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin,
structure, methods and validity of knowledge. Itulah sebabnya sehingga
sering disebut dengan istilah filsafat pengetahuan, karena ia membicarakan hal
pengetahuan. Untuk hal ini ada beberapa aliran yang membicarakan, seperti:
Aliran empirisme, yakni kata
yang berasal dari kata Yunani empeirikos yang asal katanya adalah
empeiria, artinya pengalaman. Oleh sebab itu, menurut aliran ini bahwa manusia
memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. John Locke (1632-1704), bapak
aliran ini pada zaman Modern mengemukakan teori tabula rasa yang dalam
bahasa Indonesia adalah meja lilin. Maksudnya adalah bahwa manusia pada mulanya
kosong dari pengetahuan, kemudian pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu,
sehingga manusia memiliki pengetahuan.
Aliran Rasionalisme, yakni
aliran yang menyatakan bahwa “akal
adalah dasar kepastian pengetahuan”. Pengetahuan yang benar diperoleh dan
diukur dengan akal. Menurut aliran ini, bahwa manusia memperoleh pengetahuan
melalui kegiatan akal menangkap objek. Bapak aliran ini di zaman Modern adalah
Rene Descartes (1596-1650), ini benar. Akan tetapi sesungguhnya paham semacam
ini sudah ada jauh sebelum itu, yakni orang orang Yunani Kuno telah meyakini
juga bahwa akal adalah alat dalam memperoleh pengetahuan yang benar,
lebih-lebih pada Aristoteles yang teleh disebutkan di depan. Di samping kedua
aliran ini masih banyak aliran filsafat yang belum disebutkan di sini.
2.Dimensi
ontologis, hal ini setelah membenahi cara memperoleh pengetahuan, filsuf
mulai menghadapi objek-objeknya untuk memperoleh pengetahuan. Objek-objek itu
dipikirkan secara mendalam sampai pada hakikatnya. Inilah sebabnya bagian ini
dinamakan teori hakikat, yang biasa
disebut dengan istilah ontologi
(Ahmad Tafsir, 2009: 28). Bidang bahasan dalam dimensi ontologis ini sangat
luas, yakni segala yang ada, dan yang mungkin ada, yang boleh juga mencakup
pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat pengetahuan dan kakikat
nilai).
3.Dimensi
aksiologis, bahwa dalam dimensi ini seandainya ditanyakan kepada Socrates atau Nietzsche tentang apa guna filsafat, agaknya mereka akan menjawab
bahwa filsafat dapat menjadikan manusia menjadi manusia. Artinya, dengan
filsafat orang akan bisa menjadi orang bijaksana. Namun bila melihat rumusan
ini nampaknya terlalu umum, sehingga sulit dipahami. Untuk memahami kegunaan
filsafat di tingkat teknis operasionalnya, dapat dimulai dengan melihat
filsafat sebagai tiga hal, pertama filsafat sebagai kumpulan
teori, kedua filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy of life), dan ketiga filsafat sebagai metode
pemecahan masalah (Ahmad Tafsir, 2009: 42).
Filsfat sebagai kumpulan teori filsafat,
digunakan untuk memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Sedangkan filsafat
sebagai philosophy of life (pandangan hidup) ini sangat penting untuk
dipelajari, sebab dalam hal ini fungsinya mirip dengan agama (Ahmad Tafsir,
2009: 42). Dalam posisi ini filsafat dapat menjadi jalan kehidupan. Jika dalam
agama X dikatakan bahwa agama X itu
adalah jalan kehidupan, maka filsafat sebagai filsafat hidup demikian juga
halnya. Ia menjadi pedoman. Isinya berupa ajaran dan ajaran itu dilaksanakan
dalam kehidupan. Perbedaannya agama dengan filsafat adalah bila filsafat
dipandang sebagai teori, maka teori itu ada yang dipakai dan ada yang tidak dipakai,
ada yang diakui kebenarannya dan ada yang tidak diakui. Intinya bahwa filsafat
sebagai philosophy of life gunanya untuk petunjuk dalam menjalani
kehidupan, lebih singkat lagi: untuk dijadikan agama (Ahmad Tafsir, 2009: 43). Dan selanjutnya,
bahwa filsafat sebagai metodology dalam memecahkan masalah,
ada berbagai cara yang ditempuh orang bila hendak menyelesaikan sesuatu
masalah. Seperti memecahkan masalah dengan
cara sains, sehingga hal ini pusat perhatiannya pada fakta
empiric, namun ada juga yang menyelesaikan masalah dengan cara
filsafat, dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian singkat di atas, dapatlah
dikatakan bahwa dimensi aksiologis dari filsafat adalah berupa kegunaan
filsafat dan itu luas sekali. Di mana pun dan pada apa pun filsafat diterapkan
di situ filsafat memiliki kegunaan. Bila digunakan dalam pedidikan, maka akan
dapat dilihat bahwa filsafat berguna bagi pendidikan, bila digunakan dalam
bahasa, ia berguna bagi bahasa, dan bila digunakan dalam agama, maka filsafat
juga dapat dilihat bahwa filsafat berguna bagi agama, dan seterusnya. Inilah
pemehaman filsafat dalam dimensi aksiologis.
5. Objek Filsafat
Tujuan
filsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang
sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat.
Sistematika filsafat itu pada garis besarnya ada tiga dimensi besar filsafat,
yakni dimensi epistemologis, dimensi ontologism, dan dimensi aksiologis.
Isi
filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan oleh
filososf adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, jadi sangat luas
objeknya. Oleh sebab itu objek filsafat dapat dipahami sebagai berikut:
Objek filsafat
ada dua jenis, yaitu:
a.
Objek materiil.
Tentang objek materiil filsafat banyak
yang sama dengan objek materiil sains. Bedanya ialah dalam dua hal. Pertama,
bahwa sains menyelidiki objek materiil yang empiris, sedangkan filsafat
menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris, melainkan bagian
yang abstraknya. Kedua, objek materiil filsafat yang memang tidak dapat
diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir,, yaitu objek materiil yang
untuk selama lamanya tidak empiris. Jadi objek materiil filsafat tetap saja
lebih luas dari objek materiil sains.
b.
Objek formil.
Objek formil, yaitu sifat
penyelidikan. Objek formil filsafat adalah penyelidikan yang mendalam. Artinya,
ingin tahunya filsafat adalah ingin tahu bagian dalamnya. Kata mendalam,
artinya ingin tahu tentang objek yang tidak empiris.
6. Cara memahami objek
material filsafat.
Pemahaman pertama atas segala sesuatu ialah
pemahaman mengenai suatu yang identik. Artinya, bahwa “Sesuatu”
itu Sesuatu yang tertentu, dan bukannnya sesuatu yang lain. Yaitu: “Ini” adalah
Ini dan bukan Itu. Kelanjutannya berupa suatu konsep, bahwa A=A, A
bukan non A, segala sesuatu itu A atau non A. Contoh
kongkritnya ialah bahwa “Mangga” itu Mangga.
Jadi terdapat
suatu keteraturan, bahwa kalau kita menanam biji mangga, maka kita pada
suatu waktu akan memetik buah mangga. Mengapa ?. Karena segala sesuatu itu
identik dengan hakekatnya, jati dirinya. Segala sesuatu itu menjadi sesuatu di
dalam suatu kerangka himpunan hal hal, sedemikian rupa sehingga pemahaman
tentang sesuatu juga kita peroleh melalui vector, atau medan keberadaannya.
Suatu alat rumah tangga misalnya, yang kita kenal sebagai “Meja”, kita
takrifkan sebagai “Alat Rumah Tangga” yang isi pengertiannya plus terhadap
pengertian Alat Rumah Tangga, namun yang wilayah berlakunya pengertian “meja”
lebih sempit daripada wilayah yang dicakup oleh pengertian Alat Rumah Tangga.
Suatu Subjek yang didefinisi harus lebih sempit dari Predikatnya,
dan juga lebih kongkret. Rumusnya ialah : S < P. Lalu kalau kita
bertanya : Semua ini apa ?.
Sesuai dengan aturan di
atas, Sesuatu itu, yaitu Semua, yang harus merada pada sesuatu yang keluasannya
melebihi Sesuatu yang kita sifatnya sebagai Semua itu tadi. Kalau begitu,
maka Semua itu bukan Semua, sebab masih ada sesuatu yang mengatasi kesemuanya.
Baru membicarakan suatu hal yang kita sebut “Semua” saja, kita berhadapan
dengan sesuatu, yang mau tidak mau kita lalu .......(merenung) . Jadi yang namanya “semua” adalah disebut
“ada”. Artinya: ada dalam
realita (kenyataan), ada dalam pikiran, dan ada dalam kemungkinan.
Ada daapat
dibedakan menjadi dua yaitu:
a. ada umum
b. Ada khusus
7. sistematika Filsafat
Hasil berpikir tentang segala sesuatu
yang ada dan mungkin ada itu tadi telah banyak sekali terkumpul, di dalambuku
buku tebal dan tipis. Setelah disusun secara sistematis, ia dinamakan
sistematika filsafat, disebut juga struktur filsafat. Sebelum ini sudah
disebutkan bahwa dalam garis besarnya filsafat dibagi tiga cabang besar, yaitu:
teori pengetahuan atau pemikiran filosofis tentang pengetahuan, teori hakikat,
dan teori nilai, yaitu pemikiran filosofis tentang nilai. Berikut ini ketiga
cabang itu akan diuraikan lebih rinci lagi.
Karena objek penelitian filsafat luas
sekali (objek filsafat), dan sifat penelitiannya yang mendalam (objek forma),
hasil penelitian itu bertambah terus dan tidak ada yang dibuang, maka hasil
pemikiran yang terkumpul dalam sistematika filsafat menjadi banyak sekali.
Karena banyaknya, jangankan mempelajarinya, membaginya pun repot. Oleh karena
itu, tidak seorang pun yang berani mengaku ahli dalam filsafat; paling banter
ia mengaku ahli logika, atau ahli dalam filsafat hokum, atau ahli dalam
eksistensialisme saja. Di sini akan dicoba melihat cabang-cabang filsafat
sampai yang kecil-kecil supaya dapat dipahami kapling-kaplingnya.
Perlu diulang lagi bahwa dalam garis
besarnya filsafat mempunyai tiga cabang besar, yaitu: teori pengetahuan, teori
hakikat, dan teori nilai. Teori pengetahuan pada dasarnya membicarakan cara
memperoleh pengetahuan. Teori hakikat membahas semua objak, dan hasilnya ialah pengetahuan
filsafat. Yang ketiga, teori nilai atau disebut juga aksiologi,
membicarakan guna pengetahuan tadi. Kalau begitu ringkasannya ialah sebagai
berikut:
-teori pengetahuan membicarakan cara
memperoleh pengetahuan, disebut epistemology
-teori hakikat membicarakan pengetahuan
itu sendiri, disebut ontology
-teori nilai membicarakan guna
pengetahuan itu, disebut axiology (Ahmad Tafsir, 2009: 23).
Inilah keseluruhan filsafat dalam
garis besar yang ringkas, dan beriut bias dilihat sedikit lebih luas dan dalam.
8. Cabang cabang
filsafat
Bidang-bidang yang masuk dalam wilayah filsafat dan merupakan konsep-konsep
dasar filsafat meliputi:
1). Metafisika, yaitu suatu usaha untuk
sampai pada teori umum dalam rangka menerangkan dan melukiskan alam semesta
sebagai satu keseluruhan.
Hal ini metode
yang digunakan bukan metode empirik, tetapi deduktif, sehingga muncullah
pengertian metafisika sebagai berikut:
a. Metafisika adalah suatu usaha untuk
memperoleh suatu penjelasan yang benar tentang kenyataan.
b. Metafisika adalah studi tentang sifat
dasar kenyataan dalam aspeknya yang sangat umum sejauh hal itu dapat dicapai
manusia.
c. Metafisika adalah studi tentang
“kenyataan yang terdalam” dari semua hal.
d. Metafisika adalah suatu usaha
intelektual yang sungguh sungguh untuk melukiskan sifat sifat umum dari
kenyataan.
e. Metafisika adalah teori tentang sifat
dasar dan struktur dari kenyataan.
Metafisika sangat luas bahasannya, sehingga
metafisika dapat dibahas dalam tiga cabang, yaitu: ontologi, kosmologi, dan
antropologi metafisik.
a). Ontologi, adalah ilmu yang menyelidiki
sifat dasar dari objek-objek fisis, hal universal, dan abstrak.
Oleh sebab itu,
ontologi merupakan teori tentang prinsip-prinsip umum dari hal ada, atau
ontologi dapat dipandang sebagai teori mengenai yang ada.
b). Kosmologi adalah ilmu yang menyelidiki
tentang tata-tertib yang sangat fundamental dalam kenyataan.
c). Antropologi metafisik adalah ilmu yang
menyelidiki tentang manusia yang berkaitan dengan pertanyaan pertanyaan tentang
hakikat manusia dan pentingnya dalam alam semesta.
d). Epistemologi
Yaitu: cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan,
sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan
kesahihan pengetahuan. Sedangkan filsafat ilmu mempelajari tentang ciri ciri
pengetahuan ilmiah dan cara bagaimana mendapatkannya.
Oleh sebab itu mempelajari epistemologi dan filsafat ilmu diharapkan dapat
membedakan antara pengetahuan dan ilmu serta mengetahui dan menggunakan metode
yang tepat dalam memperoleh suatu ilmu
9. Aliran aliran
Filsafat.
Aliran-aliran filsafat dasarnya adalah: a. Persoalan tentang keberadaan (dimensi ontologis) b. Persoalan pengetahuan (dimensi epistemologis) c. Persoalan nilai-nilai (dimensi aksiologis).
Ad. a. Persoalan tentang keberadaan (dimensi ontologism), bahwa keberadaan dapat dilihat dari dua kategori, yaitu: (lihat bagan di
bawah ini).
Ada dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Kuantitas;
b. kualitas
ad. a.Kuantitas terdiri dari:
1). Monisme (satu) ; 2). Dualisme (dua) ; 3). Pluralisme
(banyak)
Ad.b.Kualitas terdiri dari:
Spiritualisme dan Meterialisme
Keterangan tentang keberadaan dipandang dari
segi kuantitas, yaitu:
1).Monisme,
Yaitu aliran yang
menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan fundamental di jagad raya ini dapat
berupa: Tuhan atau substansi lain, seperti jiwa, materi. Dll. yang tak dapat
diketahui.
Tokohnya,
seperti:
Thales (abad 6
Seb. M.) Mengatakan air sebagai substansinya,
Anaximandros
(abad 6 Seb. M) mengatakan bahwa Apeiron, yaitu sesuatu yang tak
terbatas sebagai substansinya,
Baruch Spinoza
(abad 17 M) berpendapat bahwa satu substansi itu adalah Tuhan yang dalam hal
ini Tuhan diidentikkan dengan alam (Yunani: Naturans naturata).
2).Dualisme
Yaitu: aliran
yang menganggap adanya dua substansi yang masing masing berdiri sendiri-sendiri.
Tokohnya, yaitu:
Plato (427-347
Seb. M). Yang membedakan adanya dua dunia, yaitu dunia indra (dunia
bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia idea).
Rene Descartes
(1596-1650), yang membedakan substansi pikiran dan substansi keluasan.
Immanuel Kant (1724-1804)
yang membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena)
3).Pluralisme, yaitu:
Aliran yang tidak
mengakui adanya satu substansi atau dua substansi, melainkan banyak substansi
sebagai kenyataan yang fundamental.
Tokohnya, yaitu:
Empedokles
(490-430 Seb. M), yang menyatakan bahwa hakekat kenyataan terdiri dari empat
unsur, ialah udara, api, air, dan tanah.
Anaxagoras, yang
menyatakan bahwa hakikat kenyatan terdiri dari unsur-unsur yang tak terhitung
jumlahnya, sebanyak jumlah sifat-sifat benda dan semuanya itu dikuasai oleh
suatu tenaga yang dinamakan “nous”.
Dikatakan olehnya
bahwa “nous” adalah suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai
bergerak dan mengatur, tapi tidak diatur.
Tokoh-tokoh
pendukungnya adalah filsuf Postmodern, seperti Mitchel Foucault, J.J. Derrida,
dan J.F. Lyotard (mereka sebagai tokoh yang memihak pada aliran pluraslisme)
Keterangan tentang keberadaan dipandang dari
segi kualitas/sifatnya, adalah:
Ad.
Spiritualisme,
Yaitu aliran yang
menyatakan bahwa kenyataan fundamental adalah jiwa (pneuma, nous, reason,
logos).
Jadi, yang
mendasari seluruh alam ini adalah jiwa, sehingga ini dilawankan dengan
materialisme.
Tokoh-tokohnya,
yaitu:
Plato (427-347
Seb. M), yaitu dengan ajarannya tentang idea (cita). Idea (cita) adalah
gambaran asli segala benda. Jadi semua benda yang ada di alam raya ini hanyalah
merupakan bayangan idea saja.
1).Materialisme, yaitu:
Aliran yang
menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata keculi materi.
Pikiran dan
kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi dan dapat dikembalikan pada
unsur-unsur fisik.
Jadi hal-hal yang
bersifat kerochanian, seperti pikiran, jiwa, keyakinan, rasa sedih, dll. Tidak
lain hanyalah ungkapan proses kebendaan.
Tokohnya, yaitu:
Demokritos
(460-370 Seb. M) yang mengatakan bahwa alam semesta ini tersusun dari atom-atom
kecil yang memiliki bentuk dan badan.
Atom-atom ini
sifatnya sama, dan bedanya hanya pada bentuk, besar, dan letaknya. Oleh sebab
itu jiwa pun terjadi dari atom-atom, hanya saja atom jiwa lebih kecil, bulat,
dan sangat halus, serta mudah bergerak.
Thomas Hobbes
(1588-1679), yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
merupakan gerak dari materi, termasuk juga pikiran, perasaan adalah gerak
materi belaka.
Jadi, segala
sesuatu terjadi dari benda-benda kecil, sehingga filsafat sama dengan ilmu yang
mempelajari benda-benda.
ad. b. Persoalan pengetahuan yang bertalian
dengan sumber-sumber pengetahuan (dimensi epistemologis), yaitu berupa:
Epistemologi membicarakan
sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperolehnya pengetahuan itu. Hal
ini dapat dilihat sebagai berikut:
1). Aliran rasionalisme
Yaitu, aliran
yang berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber pada akal (rasio).
Tokohnya, ialah:
Rene Desacartes
(1596-1650), mengatakan bahwa manusia sejak lahir telah memiliki idea bawaan
(innate ideas). Dan tokoh yang lain, yaitu: Spinoza, dan Leibniz.
Pada perkembangan
dewasa ini muncul aliran “Rasionalisme kritis” dengan tokohnya Karl R. Popper
(1902- )
2). Aliran empirisme,
Yaitu aliran yang
berpandangan bahwa semua pengetahuan diperoleh liwat indera.
Prosesnya: Indera
memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, kemudian kesan-kesan itu berkumpul
dalam diri manusia yang kemudian diolah menjadi pengalaman.
Tokohnya : John
Locke (1632-1704), Thomas Hobbes (1588-1679), David Hume (1711-1776)
John Locke
mengatakan, bahwa waktu lahir jiwa manusia adalah putih bersih (tabularasa),
tidak ada bekal dari siapa pun.
Akal/ rasio pasif
pada waktu pengetahuan didapatkan. Artinya, bahwa akal/ rasio tidak melahirkan
pengetahuan dari dirinya sendiri.
Jadi, semula akal
serupa dengan secarik kertas putih yang tanpa tulisan, yang siap menerima
sesuatu yang datang dari pengalaman.
John Locke tidak
membedakan antara pengetahuan iderawi dan pengetahuan akali.
Satu-satunya
obyek pengetahuan adalah idea-idea yang timbul karena empiri/ pengalaman
lahiriah (sensation) dan karena pengalaman/ empiri batiniah (reflection).
Kedua macam
pengalaman itu jalin menjalin, yaitu pengalaman lahiriah menghasilkan
gejala-gejala psikis yang harus ditanggapi oleh pengalaman batiniah.
Yang dibedakan
oleh John Locke adalah antara idea-idea tunggal (simple ideas)
dan idea-idea majemuk (complex ideas).
Idea tunggal
datang pada manusia langsung dari pengalaman, tanpa pengolahan logis, sedang
idea majemuk timbul dari gabungan idea-idea tunggal.
Jadi, jika
idea-idea secara teratur bersama menampilkan diri, maka idea-idea itu sebagai
satu hal yang sama, yang berdiri sendiri, yaitu yang disebut substansi.
3). Aliran Kritisisme,
Yaitu: aliran
yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal, baik dari dunia luar,
maupun dari jiwa atau pikiran manusia.
Prosesnya: akal
memperoleh pengetahuan dari empiri/ pengalaman, kemudian akal mengatur dan
mentertibkan dalam bentuk pengamatan, yakni dalam bentuk ruang dan waktu.
Tokohnya:
Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant
(1724-1804) seorang filsuf Jerman yang mencoba mengatasi pertikaian antara
rasionalisme dan empirisme.
Mulanya Kant
mengakui rasionalisme, kemudian empirisme datang mempengaruhinya. Waktu
menghadapi empirisme, Kant tidak begitu saja menerimanya, karena Kant tahu
bahwa empirisme membawa keraguan terhadap rasio.
Di satu pihak,
Kant mengakui kebenaran indra, dan di lain pihak, Kant mengakui pula bahwa
rasio mampu mencapai kebenaran.
Oleh sebab itu,
Kant mengkompromisasikan antara kedaulatan rasio dengan kedaulatan empiri/
pengalaman, yaitu:
Bagaimanapun,
fungsi rasio adalah yang pertama dan utama, namun rasio/ akal harus mengakui
persoalan-persoalan yang ada di luar jangkauannya.
Pada waktu rasio
tidak mampu meraih pengetahuan, maka di sinilah batas-batas di mana ketentuan
akal itu tidak berlaku lagi, dan sejak itulah fungsi pengalaman/ empiri tampil
sebagai suatu cara penyampaian pengetahuan.
Jadi, bagi Immanuel
Kant adalah dari satu pihak mempertahankan objektivitas, universalitas, dan
keniscayaan pengertian, namun dari lain pihak ia menerima bahwa pengertian
bertolak dari fenomin-fenomin, dan tidak dapat melebihi batas batasnya.
Oleh sebab itu,
filsafat Kant tekanannya terletak pada pengertian (kegiatan) pengertian dan
penilaian manusia, bukan menurut aspek psikologis seperti dalam
empirisme, melainkan sebagai analisa kritis.
4). Aliran Idealisme
Yaitu: aliran
yang berpandangan bahwa dari suatu dasar menelurkan kesimpulan dan kemudian
memberi keterangan tentang keseluruhan yang ada.
Artinya, bahwa
pengetahuan itu tidaklah lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedang
kenyataan yang diketahui manusia itu ada di luarnya.
Prosenya: Yang
ada adalah berupa idea itulah yang disebut aliran idealisme.
Tokohnya: Fichte
(1762-1814); Schelling (1775-1854); Hegel 1770-1831).
Fichte mengakui
dan memberikan prioritas yang tinggi kepada Aku, sehingga dikatakan bahwa Aku
adalah satu-satunya realitas.
Bedanya dengan
Schlling yang juga tokoh idealisme, yaitu bahwa Schelling mengakui obyek (bukan
Aku) itu sungguh sungguh ada.
Sehingga kalau
bagi Fichte, obyek itu muncul dari Aku, maka Schelling mengatakan Aku (subyek)
dari alam (bukan Aku) yang sungguh-sungguh ada.
Akan tetapi,
munculnya Aku dari alam adalah yang telah sadar.
Jadi, tampak ada
keserasian antara Fichte dan Schelling
Sedangkan bagi
Hegel yang juga tokoh idealisme, mengatakan:
Bahwa dibedakan
antara yang mutlak dan yang tidak mutlak.
Yang mutlak adalah
jiwa, namun jiwa itu menjelma pada alam, dan sadarlah akan dirinya.
Jiwa adalah idea,
yang artinya berpikir. Dan dalam diri manusia, idea itu sadar akan dirinya,
maka manusia itu merupakan bagian dari idea yang mutlak, yatu Tuhan.
5). Aliran Positivisme,
Yaitu: aliran
yang berpandangan bahwa kepercayaan kepercayaan yang dogmatis harus digantikan
dengan pengetahuan faktawi.
Artinya: bahwa
filsafat hendaknya dan semata-mata mengenai dan berpangkal pada
peristiwa-peristiwa positif, yaitu peristiwa-pristiwa yang dialami manusia.
Prosesnya: apapun
yang berada di luar pengalaman tidak perlu diperhatikan.
Tokohnya: August
Comte (1798-1857); Emile Durkheim (1858-1917); John Stuart Mill
(1806-1873).
Menurut Comte,
jiwa dan budi adalah basis dari teraturnya masyarakat. Oleh sebab itu, jiwa dan
budi haruslah mendapatkan pendidikan yang cukup dan matang. Sehingga menutut
Comte, bahwa sekarang saatnya hidup dengan mengabdi pada ilmu positif, seperti
matematika, fisika, biologi, ilmu kemasyarakatan, dll.
Hal ini seperti
dikatakan oleh Comte, bahwa pengetahuan manusia di dalamnya ditemukan tiga
tahap ilmu pengetahuan, yaitu:
1.Tahap ketika fenomena
dijelaskan secara teologis seperti dilakukan pada Abad Tengah.
2. Tahap ketika fenomena
dijelaskan secara metafisis seperti dilakukan pada periode Pencerahan.
3. Tahap ketika
eksplanasi ditempuh melalui observasi hubungan hubungan serta ilmu ilmu yang
mencapai konstruksi.
Jadi, Comte yakin
bahwa ilmu-ilmu yang positivistik telah bergerak dari status yang lebih bersifat
umum menuju tahap dan sifat yang lebih konkrit dan kompleks, seperti:
matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan sosiologi.
Comte mengatakan,
bahwa budi atau pemikiran manusia mengalami 3 tingkatan, yaitu:
Tingkat
teologis,
Tingkat
metafisis,
Tingkat
positif.
Pada tingkat
teologis, manusia mengarahkan jiwanya kepada hakekat “batiniah” segala sesuatu
dengan pengaruh dan sebab sebab yang melebihi kodrat, yaitu kepada “sebab
pertama” dan “tujuan terakhir”.
Pada tingkat
kedua, yaitu tingkat metafisika yang hanya perubahan saja dari teologis, karena
yang hendak diterangkan harus melalui abstraksi.
Sebab kekuatan
yang adikodrati hanya diganti dengan kekuatan yang abstrak, yang dipandang
sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.
Tingkat
ketiga, yaitu tingkat positif di mana manusia menganggap, bahwa tidak ada
gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak, baik pengetahuan
teologis, maupun pengetahuan metafisis.
Sebab tujuan
tertinggi adalah bilamana gejala gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah
satu fakta yang umum saja, misal: gaya berat. Jadi di sini hanya memperhatikan
yang sungguh sungguh dan sebab akibat yang sudah ditentukan.
Emile Durkheim
yang mengatakan bahwa positivisme sebagai asas sosiologis.
John Stuart Mill
menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusasteraan.
6). Aliran Evolusionisme,
Yaitu: aliran
yang berpandangan bahwa manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf hidup
yang paling rendah.
Prosesnya: yaitu
alam yang juga diatur oleh hukum hukum mekanik.
Berupa hukum survival
of the fittest dan hukum struggle for live.
Tokohnya: Charles
Darwin (1809-1882); Herbert Spencer (1820-1903).
Darwin
mengatakan, bahwa manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf hidup yang
paling rendah, yaitu alam, dan juga diatur oleh hukum-hukum mekanik Jadi, hukum survival of the fittest
dan hukum struggle for live dari tumbuh-tumbuhan dan hewan
berlaku pula bagi manusia.
Sedangkan bagi
Herbert Spencer, yang dapat dikenal adalah “yang menjadi”, bukannya “yang ada”.
Oleh sebab itu, proses dunia ini tiada lain merupakan berkumpulnya kembali
gerak dan bahan. Maka, evolusi adalah peralihan hubungan yang lebih erat
(integrasi) dalam bahan, yang dengan sendirinya disertai oleh perluasan gerak.
7). Aliran Eksistensialisme,
Yaitu: aliran
yang berpandangan untuk mengerti seluruh realitas.
Artinya, bahwa
manusia harus bertitik tolak pada manusia yang konkrit, yaitu manusia sebagai existensi;
dan sehubungan dengan titik tolak ini maka bagi manusia existensi itu
mendahului essensi.
Prosesnya, yaitu
memahami secara sadar, apakah sebenarnya mengetahui itu, maka harus mengetahui
manusia yang benar-benar ada.
Tokohnya: Martin
Heidegger (1889- ); Karl Jaspers (1883- ); Jean Paul Sartre (1905- ).
Ciri-ciri aliran
existensialisme adalah:
1. manusia
menyuguhkan dirinya (existere) dalam kesungguhannya.
2. manusia harus
berhubungan dengan dunia.
3. manusia
merupakan kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badannya
4. manusia
berhubungan dengan “yang ada”.
Hal di atas
seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, bahwa persoalan tentang “berada” hanya
dapat dijawab melalui ontologi.
Artinya: jika
persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan ini,
maka agar berhasil harus dipergunakan metode “fenomenologis”.
Jadi, yang
penting menemukan arti “berada” itu. Satu-satunya “berada” yang dapat
dimengerti sebagai “berada”, ialah “berada”-nya manusia.
Catatan: harus
dibedakan antara “berada” (Sein) dan “yang berada” (Seinde)
Ungkapan “yang
berada” (Seinde) hanya berlaku bagi benda-benda, yang bukan
manusia.
Jadi, benda-benda
itu hanya “vorhanden”, artinya: hanya terletak begitu saja di
depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu.
Keberadaan
manusia disebut “Dasein”, artinya: “berada di dalam dunia”.
Oleh karena
manusia “berada di dalam dunia”, maka manusia dapat memberi tempat kepada
benda-benda yang di sekitarnya.
Ad. 3. persoalan dalam dimensi aksiologis.
Seandainya ditanyakan kepada Socrates atai Nietzsche apa guna
filsafat, agaknya mereka akan menjawab bahwa filsafat dapat menjadi manusia
menjadi manusia. Dengan filsafat orang akan mungkin menjadi orang bijaksana.
Kegunaan filsafat dalam rumusan ini terlalu umum sehingga sulit dipahami.
Berikut ini dicoba dengan menampilkan beberapa aliran seperti:
1.Aliran Hedonisme, yaitu aliran yang
menganjurkan bahwa manusia untuk mencapai kebahagiaan yang didasarkan pada
kenikmakatn, dan kesenangan.Tokohnya: Epicurus (341-270 SM) yang menyatakan
bahwa kesenangan dan kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Epikuros mengatakan, bahwa manusia
harus mengikuti tatanan dunia, tidak perlu takut mati, harus menggunakan
kehendak yang bebas dan mencari kesenangan sebanyak mungkin. Namun, jika
terlalu banyak kesenangan itu akan membuat sengsara. Oleh karena itu, manusia
perlu membatasi diri dengan mengutamakan batin (Suparlan Suhartono, 2007: 102)
2.Aliran Pragmatisme, yaitu aliran
yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kosekuensi-konsekuensi yang menguntungkan.
Tokohnya, yakni John Dewey (th.
1859-1952) mengatakan, bahwa kebenaran adalah dimisalkan manusia sedang
tersesat di tengah hutan. Kepada diri sendiri manusia akan berkata dengan yakin
bahwa “jalan keluarnya adalah ke arah kiri”. Pernyataan ini akan berarti jika
manusia benar benar melangkah ke arah kiri. Selanjutnya, pernyataan ini benar
apabila arah kiri itu pada akhirnya mengakibatkan konsekuensi positif, yakni
benar-benar dapat membawa manusia tersebut keluar dari hutan itu.
Jadi, benar menurut pragmatisme bergantung
pada kondisi-kondisi yang berupa (manfaat), kemungkinan dapat dikerjakan
(workability), dan konsekuensi yang memuaskan (satisfactory
results) ((Suparlan Suhartono, 2007: 81)
10.Filsafat adalah Berpikir Ilmiah
Dalam
menghadapi berbagai masalah hidup di
dunia ini, manusia akan menampilkan berbagai alat untuk mengatasinya. Alat itu
adalah pikiran atau akal yang berfungsi di dalam pembahasannya secara filosofis
tentang masalah yang dihadapi. Pikiran yang bagaimanakah yang dapat masuk dalam
bidang filsafat itu ?. Jawabannya adalah pikiran yang senantiasa bersifat
ilmiah. Jadi, pikiran itu mempunyai kerangka berpikir ilmiah filsafat, karena
itu tidak semua berpikir itu bias diartikan berpikir filsafat. Berpikir ilmiah
filsafat mengandung khasiat-khasiat tertentu, yaitu: mengabstrakhir pokok
persoalan, bertanya terus sampai batas terakhir yang beralasan, dan berelasi
(bersistem).
a.
Mengabstrakhir pokok persoalan
Beraneka
macam persoalan yang dihadapi tidak begitu saja dapat diselesaikan. Pemilihan
salah satu pokok tertentu adalah harus. Dari pokok tertentu yang merupakan
kenyataan diusahakan dapat ditangkap dalam pikiran.
Kenyataan Abstraksi
A B
Mengabstrakhir
adalah membuang sifat sifat yang tampak satu persatu, sehingga tinggallah suatu
gambaran yang sifatnya universal. Aristoteles, pemikir besar Yunani Kuno,
mengatakan bahwa segala sesuatu mempunyai cara-cara berbeda, yang disebut
kategori. Sedangkan darinya (hal yang ada) itu mempunyai sepuluh kategori, yaitu:
substansi,
kualitas, kuantitas, relasi, waktu, tempat, keadaan, aksi, pasi, dan posisi.
Dengan cara menghilang satu persatu dari kategori-kategori itu, maka yang
tinggal hanyalah satu hal yaitu substansi. Mengabstraksikan sesuatu
hal, misalnya meja, adalah menangkap keseluruhan meja itu agar berada di dalam
angan-angan akal pikiran setelah melampaui proses penghilangan segala sifatnya
yang Nampak (Sembilan kategori) sehingga tinggal hanya satu hal yaitu
substansi.
b.
Bertanya terus menerus sampai batas terakhir
Yang
dimaksud bertanya terus menerus adalah bukan sekedar bertanya tanpa arah,
melainkan kontinuitas pertanyaan yang betul betul terarah kepada keselesaian
akan objek yang sedang dipikirkan. Itulah yang dimaksudkan dengan bertanya
terus menerus sampai pada batas terakhir, yang tentunya disebut juga pertanyaan
ilmiah filsafat. Pertanyaan itu berjumlah empat, berturut-turut adalah:
bagaimana, mengapa, ke mana, dan apa.
Pertanyaan
pertama, bagaimana:
Pertanyaan
ini memperoleh jawaban sistematis dari sifat objek yang diselidiki (pengetahuan
atau diskretif). Misalnya, sebuah meja
sebagai objek, maka diperoleh sifat kuat, warna, dan bentuknya. Muncullah
pertanyaan sifat sendiri itu apa ?. Prof. Notonegoro dalam Pancasila Secara Ilmiah Populer (1975)
mengatakan bahwa sifat adalah suatu hal yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi
adanya itu terletak pada barang yang lain dan menjadi satu dengan barang yang
lain itu, sehingga kemudian menjadi bagian darinya. Misalnya warna tertentu
pada sebuah meja, dulu merupakan hal tersendiri, dan sesudah diletakkan pada
sebuah meja maka kemudian menjadi satu dan merupakan sifat dari meja itu.
Selanjutnya
dikatakan bahwa sifat digolongkan dalam empat maca, yaitu:
(1). Sifat lahir, yaitu sifat yang berasal
dari luar, misalnya cat tertentu yang diletakkan dalam sebuah meja.
(2). Sifat batin, yaitu sifat bawaan, misalnya
meja tadi terbuat dari kayu jati. Kayu jati memang mempunyai sifat kuat dapat
mempengaruhi benda yang terbuat darinya berupa kekuatan pula.
(3). Sifat wujud, bentuk dan susunan dari
barang tersebut.
(4). Sifat kekuatan, tenaga agau gaya yang ada
pada barang tersebut.
Semua
golongan sifat tersebut bersama sama menyifatkan hal atau barangnya. Adapun
sifat-sifat yang telah menjadi sifat dari hal atau barang itu, disebut keadaan.
Pertanyaan kedua,
mengapa:
Pertanyaan
ini menghasilkan jawaban tentang sebab musabab dari hal atau sesuatu (objek),
yang disebut juga sebagai pengetahuan kausal. Sebab musabab (causal)
adalah hal yang menyebabbkan adanya objek secara mutlak. Lalu pengertian
“sebab” adalah suatu hal yang mempengaruhi perubahan dalam arti yang luas
terhadap suatu hal. Sedang akibat merupakan hasil dari sebab. Mengenai
sebab-akibat (causa) ini ada empat hal, yaitu:
(a). causa materialis, yaitu sebab yang
berupa bahan.
(b). causa formalis, yaitu sebab yang
berupa bentuk.
©. causa finalis, yaitu sebab yang
berupa tujuan.
(d). causa efisien, yaitu sebab yang
berupa karya.
Empat
sebab itu bila diperuntukkan pada contoh meja tadi bias dijabarkan: kayunya
adalah sebab bahan atau causa materialis. Tetapi yang
berubah bukan kayunya, melainkan
bentuknya, maka hal itu disebut sebab bentuk, causa formalis. Kayu
sebagai bahan tidak hanya dapat dibuat meja, melainkan bias dibuat macam-macam,
maka kayu yang dibuat meja adalah sebab tujuan atau causa finalis. Dari
ketiga sebab itu, belum bias menjadi wujud sebuah meja, apabila belum
dikerjakan menjadi meja. Setelah selesai menjadi meja, maka hal itu disebut
sebab karya atau causa efisien.
Pertanyaan ketiga,
ke mana:
Pertanyaan
ini mewujudkan jawaban yang merupakan norma-norma (pengetahuan normative).
Norma adalah peraturan peraturan atau hokum hokum yang dikenakan pada saat
penyelidikan dinyatakan selesai. Jika memakai contoh meja, maka dalam membuat
meja seharusnya selalu memakai norma norma pembuatan. Misalnya, tukang meja
harus membuat meja menurut praktis kegunaan, keindahan, nilai intrinsic atau
ekstrinsik, dan nilai kesesuaiannya, dengan pertimbangan pertimbangannya
sendiri, misalnya pemodalan, kreativitas, dsb.
Pertanyaan
keempat, apa:
Dari
pertanyaan ini diperlukan suatu jawaban yang berupa inti-isi mutlak dari
objeknya. Kembali meja menjadi contoh. Lalu apakah hakikat inti-isi mutlak dari
meja itu ? persoalan yang muncul di sini adalah hakikat itu sendiri. Hakikat
adalah unsure-unsur yang bersama sama menyusun segala sesuatu yang terpisah
dari hal hal lain dan membuatnya menjadi satu kesatuan, yaitu sebagai diri.
Dengan kata lain yang menjadikan sdanyasegala sesuatu itu dinamakan hakikat.
Hakikat yang demikian adalah hakikat dalam arti konkritnya. Yaitu hakikat
setiap hal tertentu yang maujud, setiap benda mati, setiap hewan, setiap
tumbuh-tumbuhan dan setiap manusia.
Selanjutnya,
ada hakikat yang berjenis lain yaitu hakikat pribadi. Hakikat pribadi adalah
unsure-unsur yang tetap, tidak berubah dan yang menyebabkan hal yang
bersangkutan itu tetap merupakan diri pribadinya. Misalnya, perbuatan yang
terjadi pada setiap manusia dari bayi sampai dewasa itu tidak mengubah
bentuknya sendiri (yakni bentuk manusia). Kemudian, dari unsure unsure yang
tetap itu, kalau diteliti ada yang sama sama
terdapat pada suatu yang berjenis tunggal. Misalnya, sama sama terdapat
pada manusia, hewan , tumbuh tumbuhan, dsb. Hakikat demikian disebut hakikat
jenis atau umum dan abstrak, karena meskipun terkandung di dalam halnya, akan
tetapi tidak maujud.
Jadi, hakikat jenis adalah unsure
unsure yang bersama sama dalam suatu kesatuan membentuk sesuatu yang berjenis
tunggal. Diambil contah manusia. Di dalam segala perubahan manusia, dari tidak
ada ke ada, dari kecil sampai besar, dll, menunjukkan adanya hakikat dalam
konkrit manusia. Sifat sifat yang tetap dimiliki oleh semua manusia merupakan
sifat mutlak sebagai manusia, sedangkan yang membedakannya dengan hewan, dll,
adalah hakikat yang abstrak atau hakikat jenis.
Begitu juga dengan setiap hal lainnya,
sperti binatang, tumbuh tumbuhhan, benda mati, dansetiap hal yang ada dalam
realitasnya ini adalah tentu memiliki tiga macam hakikat itu.
c.
beralasan.
Berpikir
ilmiah filsafat haruslah beralasan. Jika dijumpai suatu pertanyaan, apakah alas
an saudara tidak mau sekolah ?. jawabnya biasanya dimulai dengan kata “karena”.
Misalnya, karena sakit, atau yang lain. Jawaban pertama kiranya menyangkut soal
prinsip, sebab jika tidak sakit tentu ia akan pergi ke sekolah. Tetapi, jawaban
kedua menyangkut soal realisasi atau akibat dari tujuan, karena ia mempunyai
maksud kesengajaan tertentu, misalnya supaya gurunya diganti dan dengan
demikian tidak mengganggu belajarnya. Jadi masalah alas an kiranya selalu
dirangkaikan dengan soal tujuan. Jadi, alasan adalah suatu tanggung jawab atas
suatu tindakan tertentu. Kalau demikian, apakah tanggung jawab dari berpikir
ilmiah filsafat itu ?. jelas di sini tampak suatu tujuan dari berpikir ilmiah
filsafat, yaitu untuk memperoleh jawaban/ keterangan sedalam dalamnya dari
suatu objek. Keterangan yang demikian itu berhubungan dengan sudut pandangan.
d.
Harus Sistematis
Berfilsafat
bukanlah merenung tanpa isi atau melamun belaka dan juga bukan berpikir yang
bersifat kebetulan. Berfilsafat dengan berpikir ilmiah adalah mencoba menyusun
suatu system ilmu pengetahuan yang saling berhubungan, rasional, konseptual,
dan memenuhi syarat untuk memahami dunia tempat manusia hidupmaupun untuk
memahami dirinya sendiri. Pendek kata, berpikir ilmiah filsafat mengenai suatu
hal perlu disusun sebagai suatu system, yaitu bagian yang satu dengan bagian
yang lain saling berhubungan dan semua bagian merupakan kesatuan serta
kebulatan, tidak boleh dipisah pisahkan dan tidak boleh berdiri sendiri
sendiri.
11. Tujuan, Fungsi,
dan Guna Filsafat.
Jika dilihat, bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah deskripsi dan kontrol,
apabila seni tujuannya kreativitas, kesempurnaan, bentuk, keindahan, komunikasi
dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan
(Inggris: understanding and wisdom). Oleh sebab itu, filsafat
memberi hikmah pada manusia, sehingga filsafat memberi kepuasan pada keinginan manusia
akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran.
Jadi, bagi
manusia berfilsafat artinya mengatur hidupnya seinsaf-insafnya,
sesentral-sentralnya dengan perasaan tanggung jawab.
Henry Bergson
(1858-1941) berkata, bahwa berfilsafat itu ibarat berenang.
Jadi,
masing-masing orang mempunyai gayanya sendiri-sendiri.
Oleh sebab itu,
filsafat bukanlah barang hafalan, seperti 2x2=4 yang setiap orang mempunyai
pendapat sama.
Setiap masalah
filsafat dapat meluas menjadi pertanyaan akan sistem dan berakhir pada visi
ahli filsafat.
Dengan kata lain,
ciri dari filsafat pada akhirnya, ialah subyektif.
Hal di atas
seperti dikatakan oleh Louis O. Kattsoff dalam buku Elements of
Philosophy, yaitu: Bilamana anda mengaharapkan jawaban-jawaban yang
tingkat terakhir atas persoalan-persoalan anda, artinya jawaban-jawaban yang
oleh semua ahli filsafat saja akan dianggap merupakan kebenaran, maka anda akan
kecewa sekali.
D. PENUTUP
Kesimpulan tentang pengertian filsafat secara
umum
Dari uraian tentang filsafat di atas, dapat disimpulkan bahwa Filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara
mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada hakikatnya.
Tiga pemahaman, yakni:
a.
subjek .
b. aksidensia.
c.
hakekat
Aksidensia terdiri dari 9 hal, yang cirri-cirinya disebutkan oleh
Gazalba (1973:11: 145-6) sebagai berikut:
1. Kualitas/sifat, tentang bagaimana mutu sesuatu, seperti gagah, lemah, kuat, dll.
2. Kuantitas/ jumlah, pertanyaan mengenai jumlah, seperti satu, dua, banyak, dll.
3. Relasi/ hubungan, menunjuk suatu hubungan
dengan hal lain.
4. Aksi, menunjuk
pada perubahan pada suatu hal.
5. Pasivitas, menunjuk pada penerimaan perubahan atau
dipengaruni oleh hal lain.
6. Isi, menunjuk pada besar kecilnya sesuatu
7. Waktu, yang
menyatakan bilamana sesuatu itu berada.
8. Situasi, menerangkan bagaimana sesuatu itu pada
tempatnya.
9. Tempat, pengertian yang menjelaskan hal hal lain
yang mengerumuni benda itu.
DaftarPustaka
Ahmad Tafsir, 2009, Filsafat Umum, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Jakarta, PT. Grafindo Persada
Bebbington, David, 1979, Patterns in history, , England, Inter-Varsity Press
Caputo, John D. 1987, Radical Hermeneutics, Bloomington and Indianapolis, Indiana
University Press
Harun Hadiwijono, 1988, Sari Sejarah Fil safat Yunani,Yogyakarta, Penerbit Kanisius
Robert N. Beck, 1967, Perspectives in Social Philosophy, New York, Holt, Rinehart and
Winston, Inc.
Sullivan, John Edward, 1970, Prophets of the West, New York, Holt,
Rinehart and Winston, Inc
Suparlan Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat, Ruzz Media.Yogyakarta, ArFil.
Surajiyo, 2008, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta, PT. Bumi
Perkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar