Senin, 21 September 2015

FILSAFAT BARAT



.FILSAFAT  BARAT
(Edisi Revisi)
Oleh : Drs. Sudadi,M Hum.

KATA PENGANTAR

            Penulis bukan seorang filsuf, melainkan pecinta filsafat dan kebetulan saja sebagai pengajar filsafat. Oleh sebab itu dirasa tidak ada maksud apapun dengan pembuatannya ini, kecuali hanya dimaksudkan, apabila mungkin bisa membantu siapa saja yang sedang dan ingin belajar filsafat terutama filsafat Barat. Meskipun tentang hal ini telah ditulis oleh banyak orang yang dimungkinkan lebih ahli dan lebih mendalami dalam bidang ini. Disinilah keberanian penulis walaupun bukan seorang filsuf, namun karena dirasa sangat diperlukan khususnya dalam kegiatannya sebagai pengajar filsafat.
            Berbekal lebih dari dua dasa warsa pengalaman penulis bergumul dengan problem problem, seperti bagaimana mengajar filsafat (filsafat Barat) kepada mahasiswa, agar supaya mereka mencintai dan memahami “filsafat Barat”. Itulah sebabnya tulisan ini diusahakan uraiannya sejelas dan sesederhana mungkin, meskipun ini belum tentu memuaskan bagi yang sedang menggeluti ilmu semacam ini. Mungkin juga karya ini masih banyak kekurangannya, atau mungkin bisa menjadi pendorong orang lain yang lebih ahli tentang filsafat, sehingga bisa menambah dalam berfilsafat secara mandiri.
            Uraian dalam tulisan ini membicarakan filsafat yang disiapkan untuk para penggemar belajar filsafat. Pada bagian ini diperkenalkan lebih dulu tentang latar belakang apa yang mendorong timbulnya filsafat, yang dilanjutkan melihat hasil pemikiran para filsuf dari jaman Yunani Kuno hingga pemikiran Postmodern di Barat. Konon, orang yang mula mula sekali menggunakan akal secara serius adalah orang Yunani, maka dimulailah dari para filsuf Yunani Kuno. Ceritera singkat di atas, telah memperlihatkan bahwa karya akal memang cukup hebat, sehingga keadaan dibuat semakin ramai oleh kemunculan para filsuf yang terus berkembang hingga masa kini.
            Suatu pandangan dunia dan umumnya suatu pandangan teoritis tidak pernah melayang layang di udara. Setiap pemikiran teoritis mempunyai hubungan erat dengan lingkungan di mana pemikiran itu dijalankan. Itu benar juga bagi permulaan pemikir teoritis, yaitu filsafat .Barat. Kritik dan saran yang sifatnya menyempurnakan akan penulis terima dengan terbuka, dengan harapan agar membantu para pecinta terutama mahasiswa yang sedang dan ingin belajar filsafat (filsafat Barat). 


BAB. I
FILSAFAT SEBAGAI CIPTAAN YUNANI
1. 1. Pendahuluan
            Telah disadari bersama bahwa pemikiran umat manusia terus berkembang dari sejak keberadaan manusia di muka bumi ini, sejajar dengan perkembangan kesadaran manusia tentang diri dan lingkungannya. Hal ini didorong pula oleh perkembangan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang multi canggih dan modern, yang juga memberikan berbagai dampak dalam kehidupan umat manusia. Oleh sebab itu perlu adanya pengkajian kembali tentang hasil-hasil pemikiran para ahli filsafat terdahulu untuk kemudian dimanfaatkan dalam kehidupan saat ini yang penuh dengan perubahan  sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.
            Filsafat dan ilmu pengetahuan merupakan suatu pasangan yang tampak kurang seimbang. Filsafat merumuskan pertanyaan, ilmu pengetahuan memberi jawaban. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat, filsafat kelihatannya tidak pernah maju. Supaya jangan ada salah faham, dengan segera harus ditambah di sini bahwa bagi seorang Yunani filsafat tidak merupakan suatu ilmu pengetahuan di samping ilmu-ilmu pengetahuan lain, melainkan meliputi segala pengetahuan ilmiah. Tanah Yunani adalah tempat persemaian di mana pemikiran ilmiah mulai tumbuh. Kiranya sudah jelas bahwa lahirnya filsafat dan ilmu pengetahuan di Yunani tidak dapat dimengerti tanpa sekedar mengetahui sedikit kebudayaan Yunani. Oleh sebab itu dalam awal penulisan ini pertama-tama akan dijelaskan karakteristik pemikiran Yunani.
1. 2. Mencari Kebijaksanaan.
Nama “filsafat” dan “filsuf” berasal dari kata-kata Yunani philosophia dan philosophos. Menurut bentuk kata, seorang philo-sophos adalah seorang “pecinta kebijaksanaan”. Ada tradisi kuno yang mengatakan bahwa nama “filsuf” (philosophos) untuk pertama kalinya dalam sejarah dipergunakan oleh Pythagoras (abad ke-6 s.M). Tetapi kesaksian sejarah tentang kehidupan dan aktivitas  Pythagoras demikian tercampur dengan legenda legenda sehingga kebanyakan kali kebenaran tidak dapat dibedakan dengan reka-rekaan saja (Bertens, 1987: 13).  Demikian halnya juga dengan hikayat yang mengisahkan bahwa nama “filsuf” ditemukan oleh Pythagoras. Yang pasti ialah bahwa dalam kalangan Sokrates dan Plato (abad ke-5 s.M) nama “filsafat” dan “filsuf” sudah lazim dipakai. Contohnya dalam dialog Plato yang berjudul Phaidros, julukan seseorang dengan dipanggil “orang bijaksana ‘ terlalu sangat agung untuk memanggil seorang manusia dan akan lebih cocok bila panggilan itu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seseorang akan lebih baik apabila dipanggil dengan julukan philosophos yaitu seorang pecinta kebijaksanaan. Julukan ini akan lebih relevan dengan panggilan bagi makhlukNya sebagai makhluk insani.
1. 3. Latar Belakang Lahirnya Filsafat (Filsafat Barat).
            Bukan saja nama filsafat berasal dari bahasa Yunani, melainkan juga isi konsep yang ditunjukkan dengan nama ini merupakan suatu penemuan Yunani yang khas. Pada abad ke-6 sebelum Masehi telah terjadi berbagai peristiwa menakjubkan dan ajaib di Yunani, yang dalam istilah kerennya adalah “the Greek miracle” (bahasa Inggris). Timbulnya filsafat di Yunani pada saat itu memang biasa dikatakan sebagai suatu peristiwa ajaib, sebab tidak mungkin memberi alasan alasan yang akan menerangkan kejadian itu secara memuaskan. Namun demikian ada beberapa factor yang sudah mendahului dan seakan akan mempersiapkan lahirnya filsafat di Yunani. Adapun factor factor sebagai penyebab lahirnya filsafat adalah sebagai berikut:
            Pertama, adalah bahwa bangsa Yunani seperti juga bangsa bangsa sekitarnya, terdapat adanya mitologi yang kaya dan luas. Mitologi itulah yang merupakan percobaan untuk mengerti. Mite-mite sudah memberi jawaban atas petanyaan pertanyaan yang timbuh dalam hati manusia. Misalnya, dari manakah dunia ini ?, dari manakah peristiwa peristiwa yang terjadi di dalam alam ini?, apa sebab terjadi pelangi ? dan lain sebagainya. Melalui mite-mite, manusia mencari keterangan tentang asal usul alam semesta dan tentang kejadian kejadian yang berlangsung di dalamnya. Mite macam pertama yang mencari keterangan tentang asal usul alam semesta, lalu disebut dengan istilah mite kosmogonis, sedangkan mite jenis kedua yang mencari keterangan tentang asal usul serta sifat kejadian kejadian dalam alam semesta disebut mite kosmologis.
            Bagi bangsa Yunani, bahwa dengan mengadakan beberapa usaha untuk menyusun mite-mite yang diceriterakan oleh rakyat supaya menjadi sistematis. Dengan demikian, maka usaha mensistematiskan mite-mite itu telah tampak sifat rasionalnya . Karena dengan mencari dan mensistematiskan itu, mereka sudah menyatakan keinginan untuk mengerti hubungan mite-mite satu sama lain dan menyingkirkan mite yang tidak dapat dicocokkan dengan mite lain. Di sini mereka sudah tampak mulai berpikir secara rasional.
            Kedua, adalah adanya kesusasteraan Yunani, di sini tampak sebagai persiapan yang mempengaruhi timbulnya filsafat, asal saja dipakainya kata itu dalam arti seluas luasnya, sehingga meliputi juga teka-teki, dongeng-dongeng, dan lain seagainya. Misal karya puisi Homeros yang terdiri dari dua puisi, yaitu Ilias dan Odyssea yang dibuat pada tahun 850 s.M. dan puisi itu mempunyai kedudukan istimewa dalam kesusastraan pada waktu itu. Syair-syair dalam puisi tersebut lama digunakan, karena dapat dipakai sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani. Apabila dilihat peranan syair-syair puisi buatan Homeros dalam kebudayaan Yunani kuno, dapat dibandingkan dengan peranan wayang  dalam kebudayaan Jawa pada jaman dahulu. Oleh sebab itu puisi buatan Homeros sangat digemari oleh rakyat Yunani untuk mengisi waktu terluang dan juga mempunyai nilai edukatif. Bahkan para filsuf Yunani pun sering kali menyebut nama Homeros, missal Xenophanes, Plato, dan Aristoteles yang menyebut-nyebutnya.
            Ketiga, adalah adanya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang pada waktu itu sudah muncul di Timur Kuno. Ilmu pengetahuan yang muncul di Timur Kuno itu adalah ilmu ukur dan ilmu hitung dari Mesir. Oleh sebab itu, bangsa Yunani pun merasa berhutang budi kepada bangsa lain, karena menerima beberapa unsure ilmu pengetahuan dari mereka. Namun andil dari bangsa bangsa lain dalam perkembangan ilmu pengetahuan Yunani juga tidak dapat dilebih-lebihkan, karena bangsa Yunani telah mengolah unsur-unsur ilmu pengetahuan tersebut yang tidak diduga-duga oleh bangsa Mesir dan Babylonia. Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut oleh bangsa Yunani dijadikan suatu corak yang sungguh-sungguh ilmiah. Hal ini dapat dilihat seperti diceriterakan oleh seorang sejarawan Yunani yang hidup sekitar abad ke-5 s. M, yaitu Herodotos yang menceriterakan, bahwa ilmu ukur dan ilmu hitung yang berkembang di Mesir itu, karena di Mesir setiap tahun dirasakan keperluanya, yaitu untuk mengukur kembali tanah-tanah setelah terjadi banjir setiap tahun di sungai Nil. Namun pada orang Yunani ilmu ukur yang disebut “geometria” (artinya: pengukuran tanah) tidak dijalankanya dalam suatu konteks praktis seperti yang dipakai bangsa Mesir, melainkan mulai mempelajari ilmu pengetahuan tersebut dengan tidak mencari untung (Inggris: disinterestedly). Di negeri Yunani ilmu pasti, astronomi, dan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi keuntungan yang letaknya di luar ilmu pengetahuan itu. 
1. 4.  Pergumulan antara Mythos dengan Logos
            Di atas telah disebutkan bahwa mitologi merupakan salah satu factor yang mendahului dan mempersiapkan ke arah timbulnya filsafat. Kenyataan memang benar bahwa para filsuf pertama, menerima objek penyelidikannya dari mitologi, yaitu alam semesta dan kejadian-kejadian setiap yang orang dapat menyaksikan di dalamya. Mitologi Yunani meskipun menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang alam semesta itu, tetapi jawaban jawaban demikian diberikan justru masih dalam bentuk mite yang meloloskan diri dari tiap-tiap control pihak rasio. Dan baru pada sekitar abad ke-6 s. M, orang-orang mulai berkembang sikapnya yang sama sekali berlainan dengan kepercayaannya akan mitologi. Sejak saat itu orang mulai mencari jawaban-jawaban yang rasional terhadap problem problem yang timbul dari alam semesta, karena itu logos (akal budi, rasio) mulai mengganti kedudukan mythos, sehingga dapat dikatakan lahirlah filsafat. Sebagai catatan bahwa dalam bahasa Yunani, logos mempunyai arti lebih luas dari kata rasio. Logos dapat berarti sabda maupun juga rasio, namun bila diversuskan dengan mythos, maka logos harus diterjemahkan dengan kata “rasio”.
            Filsafat meskipun lahir pada saat rasio mengalahkan mythos, namun bukan berarti bahwa seluruh mitologi dtinggalkan secara sporadis. Proses rasio menggantikan mythos itu berlangsung secara berangsur-angsur. Jadi seluruh filsafat Yunani merupakan suatu pergumulan yang panjang antara mythos dan logos, oleh karena itu tidak sulit untuk menunjukkan pengaruh mitologi atas para filsuf yang pertama atau filsuf pra Socrates. Meskipun demikian, pada abad ke-6 s. M di negeri Yunani terjadilah peristiwa-peristiwa yang sama sekali baru yaitu, bahwa para filsuf pertama memandang dunia dengan cara yang belum pernah dipraktekkan oleh orang lain. Mereka tidak mencari lagi keterangan tentang alam semesta seperti dalam peristiwa-peristiwa mitis yang pada mulanya harus dipercaya saja, melainkan bahwa mereka mulai berpikir sendiri. Jika terjadi peristiwa peristiwa alam yang dapat diamati secara umum, mereka mulai mencari keterangan yang memungkinkan untuk dimengerti peristiwa-peristiwa itu. Tidak pelak lagi bahwa keterangan-keterangan semacam itu bagi orang jaman sekarang seringkali agak naïf kedengarannya, namun yang sangat penting adalah cara rasional dan logis yang mereka gunakan untuk mendekati problem-problem yang ditemui  dalam alam semesta. Contoh sederhana yaitu, adanya peristiwa pelangi di ufuk baik di bagian Barat maupun bagian Timur. Bagi masyarakat Yunani  yang tradisional atau yang kuno, menganggap bahwa pelangi adalah seorang bidadari sebagai pesuruh para dewa turun tangga menuju bumi. Hal ini ditanggapi bila membaca dan  memahami puisi-puisi Homeros, dan Xenophanes salah seorang filsuf pertama mengatakan bahwa pelangi merupakan suatu awan. Satu abad kemudian Anaxagoras mengatakan bahwa pelangi disebabkan oleh pantulan matahari dalam awan. Oleh karena dengan pendekatan demikian itu, yaitu secara rasional dan dapat dikontrol oleh siapa saja, maka terbukalah kemungkinan untuk memperdebatkan hasil-hasilnya secara leluasa dan untuk umum. Satu jawaban akan menampilkan pertanyaan pertanyaan lain dan kritik atas satu keterangan akan menuntut timbulnya keterangan lain, sehingga dalam suasana rasional maka terciptalah saasana perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan secara ilmiah akan dapat dimungkinkan.
            Jika dikatakan filsafat lahir karena logos telah mengalahkan mythos, maka sekali lagi harus ditekankan bahwa kata “filsafat” di sini meliputi baik filsafat maupun ilmu pengetahuan, dan kedua-duanya harus dibedakan dengan terminologi modern tentang filsafat dan ilmu pengetahuan. Bagi orang Yunani pada waktu itu, filsafat merupakan suatu pandangan rasional tentang segala-galanya. Baru kemudian berangsur-angsur dalam sejarah kebudayaan, ilmu-ilmu pengetahuan satu demi satu melepaskan diri dari filsafat, agar memperoleh otonominya demi ilmu itu sendiri. Jadi jika dirunut secara dalam dan jauh ke belakang, para filsuf dikemudian hari seperti Descartes, Immanuel Kant, Hegel, Husserl, dan para ilmuwan seperti Newton, Planck, dan Einstein, serta Colombos, dan masih banyak lagi, mereka mempunyai leluhur yang sama di negeri Yunani. Oleh sebab itu bangsa Yunani mendapat kehormatan yang tidak kecil, karena merekalah yang menelorkan cara berpikir ilmiah. Seperti kata J. Burnet: “it is an adequate description of science to say that it is thinking about the world in the Greek way”. Jadi merekalah sebagai pendasar-pendasar pertama kultur Barat, bahkan kultur sedunia, sebab cara pendekatan ilmiah semakin menjadi unsur hakiki dan merangkum semua kebudayaan diseantero jagad raya. 
1. 5. Karakteristik Bangsa Yunani
Karakteristik bangsa Yunani memperlihatkan banyak bedanya dengan bangsa bangsa lain di muka bumi ini, antara lain dapat dilihat dari berbagai segi agar memudahkan untuk memahaminya. Adapun beberapa segi dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Ditinjau dari segi geografis
            Negeri Yunani yang masuk daratan Eropa, permukaan wilayahnya melingkupi pesisir di Asia Kecil sampai dengan pulau Sisilia serta Italia Selatan, bahkan mencapai Kyrene di daratan Afrika. Oleh sebab itu, bangsa Yunani dapat dikatakan bangsa yang menduduki wilayah yang jauh lebih luas bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini. Dari segi prestasi di bidang ilmu pengetahuan pun, nampak lebih besar di jaman post modern ini.
            Bagi bangsa Yunani, luasnya wilayah yang ditempati ini, karena mereka berpindah-pindah di daratan Eropa sampai ke tanah asing. Perpindahan mereka disebabkan adanya penyerbuan-penyerbuan dari suku Doria ke dalam daratan Yunani, dan peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1100 s/d. 1000 s. M, di samping alasan alasan ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 750 s/d. 500 s. M (Bertens, 1987: 18). Begitu juga tentang daratan Yunani yang sebagian besar terdiri dari pegunungan pegunungan yang gundul dan gersang, sehingga sangat kurang penghasilannya, menyebabkan bangsa Yunani banyak menjadi pelaut yang handal, dan mereka lalu banyak merantau ke daerah asing, ditambah dengan banyaknya jumlah penduduk Yunani pada waktu itu. Pendek kata, bahwa alasan alasan itulah yang membentuk sebagian karakteristik bangsa Yunani yang pandai berlayar, suka merantau dan berpikiran brelian.

b. Ditinjau dari segi social dan polotik.
            Bangsa Yunani sadar akan bedanya dengan bangsa-bangsa lain, sehingga mereka mempertentangkan antara Yunani dengan barbaros atau yang biasa disebut dengan “Barbar”. Kata barbaros bagi bangsa Yunani tidak berarti menghina, karena bagi mereka bangsa Mesir dan Babylonia pun terhitung kaum barbar. Oleh sebab itu, bangsa Yunani mengatakan bahwa kata “barbaros” lebih kurang sinonimnya adalah “asing” (Bertens, 1987: 19). Maka dari itu, seorang barbaros adalah seorang asing yang tidak berbicara dengan memakai bahasa Yunani, melainkan hanya mengeluarkan suara yang bagi telinga bangsa Yunani terdengar dengan kata-kata “bar, bar” saja. Namun sebagai penentu sebenarnya bukan karena mempertentangkan antara Yunani dan asing saja, melainkan bahwa orang Yunani adalah merdeka atau bebas, sedangkan orang barbar dianggapnya adalah budak saja.
            Anggapan bahwa orang Yunani merdeka dan orang barbar sebagai budak saja, memunculkan dua anggapan yaitu, anggapan secara negative dan anggapan secara positive.
            Adapun anggapan secara negative yaitu, bahwa orang Yunani tidak hidup dalam suatu kerajaan yang diperintah oleh Sang Raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.  Kerajaan dimaksud adalah kerajaan kerajaan di Timur Kuno yaitu kerajaan yang mempunyai tanda despotisme, dalam arti bahwa kekuasaan raja mempunyai hukum-hukum yang menjamin keadilan. Oleh sebab itu Raja berkuasa semaunya sendiri dengan anggapan bahwa dirinya bersifat ilahi. Bangsa barbar dianggap sebagai bawahan saja dan bukan warga Negara yang sejati, artinya bahwa bangsa barbar tidak lain hanyalah dianggap budak saja.
            Anggapan secara positif yaitu, bahwa orang Yunani memang berbeda dengan bangsa asing, karena orang Yunani hidup dalam polis. Kata “polis” merupakan asal-usul untuk kata kata Indonesia, seperti “politik”, “politikus”, dan juga “polisi”, serta masih banyak kata kata lagi di Indonesia yang memang sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa bahasa modern untuk istilah polis itu sendiri. Pada waktu itu suatu polis adalah suatu negara kecil atau suatu Negara kota, namun serentak juga bahwa kata polis menunjuk kepada rakyat yang hidup dalam Negara kota itu.
Polis timbul akibat dari suatu bentuk kemasyarakatan baru antara abad ke-8 dan ke-7 s. M,dan cepat sekali berkembang, sehingga tidak mengambil waktu yang lama, negeri Yunani terdiri dari ratusan Negara kota semacam itu yaitu yang disebut Negara polis. Sebenarnya permukaan tanah wilayahnya tidak begitu besar, karena satu polis hanya melingkupi satu atau dua kota saja, dan mungkin hanya beberapa desa saja. Seperti dikatakan Plato, bahwa satu polis yang ideal sebaiknya tidak melebihi dari jumlah 5.000 warga Negara. Dan dalam kenyataannya memang banyak polis yang kurang dari jumlah itu, hanya ada sebagian kecil saja yang jumlah warga negaranya 20.000 warga Negara (Bertens, 1987: 20).
Pengorganisasian polis tidak selalu sama, namun meskipun ada cukup banyak perbedaan antara satu dengan yang lain, di seluruh dunia Yunani selalu polis yang merupakan pusat segala keaktifan, misalnya dalam bidang ekonomi, social, politik, dan religius. Ciri-ciri polis yaitu mempunyai tanda tanda otonomi, swasembada, dan merdeka.
Adapun istilah otonomi artinya adalah mempunyai hukum (Yunani: nomos) sendiri. Dengan demikian bila seseorang memberi hokum kepada suatu polis tertentu, maka akan dianggap juga sebagai pendiri polis tersebut. Bagi orang Yunani, akan merasa bangga apabila diperintah menurut hokum, dan mereka membenci segala kesewenang wenangan dan bertindak tidak menurut hokum.
Sedangkan istilah Swasembada ( Yunani: autarkeia) terutama di bidang ekonomi, yaitu bahwa mereka tidak tergantung pada negara lain, meskipun mereka tidak terlalu berhasil dalam realitasnya, namun tetap merupakan suatu ideal yang hakiki bagi polis Yunani.
Dan istilah merdeka terutama di bidang politik adalah berarti sebagai cara memerintah. Dalam hal ini yang merupakan lembaga lemmbaga penting antara lain sidang umum (Yunani: eklesia), dewan harian (Yunani: bule), dan badan badan pengadilan (Yunani: dikasteria). Warga Negara polis dalam sidang umum berhak mengambil bagian, dan bila sidang umum ini mempunyai peran dominant, maka cara pemerintahan yang demikian ini boleh disebut demokrasi. Pada abad ke-5 dan ke-4 s. M Athena dapat mencapai puncaknya dengan bentuk pemerintahan seperti itu. Akan tetapi apabila dewan harian yang memainkan peran dominant di suatu polis, maka cara pemerintahan seperti ini adalah oligarki atau aristokrasi. Dan sepanjang sejarah, suatu polis sudah biasa terjadi bila pemerintahannya jatuh di tangan satu orang saja, sehingga bagi orang Yunani pemerintahan seperti ini disebutnya tyrannos (Inggris: tyrant). Dan bagi bangsa Yunani, tyrannos sebagai penguasa juga tergantung pada hokum, sehingga mereka tidak dapat bertindak sembarangan. Oleh sebab itu perbedaan dengan kerajaan kerajaan Timur tetap ada. Dan satu catatan lagi, bahwa pemerintahan seorang tyrannos biasanya tidak tahan lama.
c. Ditinjau dari segi cultural
            Bangsa Yunani konon sebagai pencipta filsafat (filsafat Barat) dan ilmu pengetahuan, juga mempunyai hasil karya berupa seni yang dikagumi di seantero pelosok dunia dan tetap jadi kenangan. Mestinya dalam hal ini bukan saatnya untuk bicara masalah kesenian Yunani, tetapi satu aspek yang saling berkaitan antara kesenian dengan rasionalitas adalah ciptaan ciptaan artistic  Yunaninya. Ciptaan artistic Yunani yang menampakkan suasana rasionalitas adalah tampak dalam tanda tanda keseimbangan dan keselarasan yang tidak ada tolok ukurnya dengan norma norma seni. Oleh sebab itu, karya seni Yunani bisa dibilang sempurna, artinya tidak ada sedikitpun yang dapat ditambah maupun dikurangi tanpa mengambil secara keseluruhan. Jadi apabila dikatakan benar dan baik untuk seni rupa maka dapat pula untuk kesusastraan.  Hal senada seperti dikatakan oleh seorang ahli kesusastraan Yunani sebagai berikut: “It has been said that a Gothic cathedral is never finished, and conversely Shakespeare has often been cut – but who could add anything to a Greek temple that would not be an obvious excrescence, or cut a scene from a Greek play without making it unintelligible ?”.
            Secara cultural, struktur bahasa Yunani juga tampak adanya rasionalitas tertentu, seperti dalam mengekspresikan pikiran pikiran dengan seksama dan jelas,serta dalam mengungkap pikiran-pikiran abstrak. Hal ini ditandai dengan adanya kata sandang dapat mensubstantifkan kata sifat dan kata kerja. Dengan demikian bangsa Yunani dapat berbicara tentang “yang baik” (Yunani: to agathon), “hal mengenal” (Yunani: to noein), dan “yang ada” (Yunani: to on) (Bertens, 1987: 23).

1. 6. Corak Filsafat Bangsa Yunani
            Jika dilihat kebelakang corak filsafat bangsa Yunani, maka sudah barang tentu bukan melihat keruntuhan Yunani yang telah lama ditinggalkan. Di sini yang akan ditinjau dan dipahami serta yang dihadapi adalah unsur-unsur yang sebagian besar menjadi fondasi bangunan untuk kultur modern. Contohnya adalah jika dirunut jalan pikiran yang logis, maka mau tak mau adalah meneruskan tradisi yang diwarisi dari orang Yunani. Bertolak dari itu, apabila diamati secara seksama, maka betapa banyak kategori pikiran yang dipakainya sekarang. Oleh sebab itu dengan tidak disadarinya bahwa perkembangan sekarang ini berasal dari kebudayaan Yunani atau setidak tidaknya orang Yunani memberikan landasannya.
            Untuk seorang filsuf atau ahli di bidang filsafat, sudah tentu banyak alasan untuk menaruh perhatian kepada filsafat Yunani. Ditinjau secara kronologis adanya filsafat (filsafat Barat) seluruhnya, maka era filsafat purba jaman Yunani mempunyai kedudukan istimewa, sebab di Yunani ditemui munculnya filsafat itu sendiri. Jadi mempelajari filsafat Yunani artinya menyaksikan kelahiran filsafat itu sendiri, sehingga tidak ada pemahaman filsafat yang lebih ideal kecuali studi tentang pertumbuhan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Hal ini pernah dikatakan oleh Alfred Whitehead seorang filsuf modern mengenai Plato sebagai berikut: “All Western philosophy is but a series of footnes to Plato”. Bila dilihat secara harafiah tampaknya kata kata ini sangat melebih lebihkan pada diri Plato, namun sebenarnya tidak, sebab pada Plato dan umumnya dalam seluruh filsafat Yunani tetap berjumpa dengan problem problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai masa kini.  Tema-tema filsafat Yunani, seperti “ada”, “menjadi”, “substansi”, “ruang”, “waktu”, “kebenaran”, “jiwa”, “pengenalan”, dan “Tuhan” merupakan tema-tema pula bagi filsafat secara umum.Begitu pula para filsuf Yunani satu kali untuk selamanya menjuruskan pemikiran filsafat selanjutnya, sehingga filsafat sekarang masih tetap bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan yang untuk pertama kalinya dikemukakan dalam kalangan mereka.
            Bicara tentang filsafat ciptaan Yunani tampaknya tidak boleh menghindar bahwa sebenarnya mengalami banyak kesulitan. Banyak orang mengatakan bahwa pembicaraan periode filsafat purba Yunani ini adalah “The early Greek period is more a field for fancy than for fact”. Jadi kesulitan kesulitannya berasal dari keadaan sumber, karena pikiran dari para filsufnya di mana disimpan untuk bisa ditemukan dan dipelajarinya. Di samping itu, ada juga beberapa filsuf Yunani yang tidak pernah menulis satu barispun, misalnya Thales, Pythagoras, dan Sokrates. Sehingga untuk mengetahui jalan pikiran mereka terpaksa harus percaya dari kesaksian orang lain yang berbicara tentang ajaran mereka, seperti percaya pada tulisan dan pembicaraan para murid ataupun teman sejawatnya. Selain itu, ada filsuf filsuf yang meskipun menulis satu karangan atau lebih, namun tulisan itu sudah hilang entah di mana, sehingga harus merasa puas dengan beberapa fragmen yang telah dikutip oleh para pengarang lain dengan kesaksian isi ajaran mereka. Disinilah problem muncul, yaitu kesaksian bagaimana yang harus dipercaya tentang pikiran filsuf dimaksud. Problem tentang sumber atau refrensi terutama muncul apabila yang dibicarakan adalah para filsuf yang mendahului Sokrates dan karenanya filsufnya pun lalu dijuluki “filsuf filsuf pra-Sokratik”. Meskipun banyak ditemui banyak kesulitan, namun masih bisa dibilang beruntung, karena mendapati sumber sumber yang jauh lebih memuaskan untuk ketiga karya filsuf Yunani yang dibilang besar, yaitu Plato, Aristoteles, dan Plotinus.

BAB. II
FILSAFAT PRA -SOKRATES
2. 1. Pendahuluan

Filsafat yang berasal dari kata Yunani, yaitu philosophia yang merupakan kata berangkai dari kata philein yang berarti mencintai,dan sophia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian kata philosophia berarti cinta akan kebijaksanaan (Inggris: love of wisdom, Belanda: wijsbegeerte, Arab: muhibbu al-hikmah) (Hasyimsysh Nasution, 1999: 1). Sedangkan orang yang berfilsafat adalah orang yang melakukan filsafat disebut “filsuf” atau “filosof”, artinya pecinta kebijaksanaan. Filsuf Heraklaitos (540-480 SM) sudah memakai kata filsafat untuk menerangkan hanya Tuhan yang mengetahui hikmah dan pemilik hikmah, manusia harus puas dengan tugasnya pencari dan pencinta hikmah.
            Pembentukan  kata filsafat menjadi kata Indonesia diambil dari kata Barat fil dan safat dari kata Arab, sehingga terjadilah gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat. Kata sophia dipindahkan oleh orang Arab ke dalam bahasa mereka dengan kata hikmah.
            Kebijaksanaan atau pengetahuan sejati itu tidak mungkin didapati oleh satu orang. Sejarah mencatat bahwa setelah timbulnya seorang filsuf, muncul kemudian filsuf lain yang mengoreksi penemuan yang pertama dan mangajukan gagasan-gagasan yang memperbaharui gagasan yang pertama, demikianlah seterusnya sepanjang kehidupan manusia berlangsung. Hal ini dimungkinkan keinginan tahu manusia yang besar sebagai refleksi dari potensi kemanusiaan yang dimilikinya yang dianugerahkan dari Tuhan Yang Maha Esa, yaitu akal, intuisi, alat deria, dan kekuatan fisik. Adapun penemuan penemuan dimaksud mencakup seluruh pertanyaan-pertanyaan hidup mengenai arti, isi, dan makna dari segala sesuatu yang dilihat dan dialami manusia. Jadi, secara sederhana dapat dikatakan, filsafat adalah hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal.
            Cakupan filsafat pra-Sokrates adalah segala aspek ilmu-ilmu yang terdapat dalam khasanah pemikiran jaman pra-Sokrates, yang meliputi  bukan saja diperbincangkan oleh para filsuf dalam wilayah kekuasaan jaman pra-Sokrates, namun lebih luas sehingga mencakup berbagai aspek kehidupan di jamannya. Oleh sebab itu filsafat pra-Sokrates diberikan batasan sebagai pemikiran yang lahir dalam dunia jaman pra-Sokrates untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi berbagai peristiwa alam yang terjadi pada waktu itu.
2. 2. . Filsafat Hasil Pikiran Para Filsuf Miletos
Asia Kecil di bagian pesisir Barat daratan Yunani diduduki oleh orang Ionia, sehingga daerahnya pun lalu dinamakan daerah Ionia. Diperkirakan mereka mulai menduduki daerah itu sekitar abad ke-11 s. M, karena mereka diserang dan diusir oleh suku Doria.  Daerah Ionia merupakan daerah di daratan Yunani yang bisa dibilang mencapai kemajuan besar, baik di bidang  ekonomi maupun di bidang cultural terutama idea-idea mereka. Pada sekitar tahun 850 s. M hidup seorang penyair terkenal di Ionia dengan kotanya dinamakan Miletos, yaitu Homeros, setelahnya juga hidup di sana adalah ketiga filsuf pertama, yaitu Thales, Anaximandros, dan Anaximenes. Karena pikiran pikirannya dicetuskan di kota Miletos, maka ketiga filsuf tersebut lalu dijuluki filsuf Miletos.
Pada awal abad ke-6 s. M di Miletos bukan merupakan kebetulan untuk tempat lahir filsafat (Filsafat Barat) yang pertama, sehingga kota Miletos menjadi kota terpenting di antara dua belas kota yang ada di Ionia. Kota miletos tempatnya memang strategis, karena letaknya di bagian selatan pesisir Asia Kecil dan mempunyai pelabuhan, sehingga mempermudah untuk berkomunikasi dengan daerah lain. Eleh sebab itu Miletos menjadi titik pertemuan untuk banyak kebudayaan dan untuk tempat saling memberi informasi ataupun tukar informasi antara orang orang yang berasal dari pelbagai negeri. Juga Hekataios seorang ahli ilmu bumi hidup di kota ini kira-kira pada waktu yang bersamaan. 
            Miletos sebagai kota tempat lahirnya filsafat (filsafat Barat), konon ceritanya juga tempat lahirnya tujuh orang bijaksana. Ketujuh orang bijaksana dimaksud memang tidak banyak yang diketahui siapa saja namanya, meskipun waktunya diketahui yaitu kira kira abad ke-6 s. M. Dalam berita berita yang didengar banyak orang pada waktu itu, namun tentang nama namanya pun berganti ganti dan berbeda beda. Meskipun banyak orang mengatakan berbeda beda, tetapi nama Thales dari Miletos tetap disebut sebut, sehingga ia tetap diingat sebagai salah satu dari ketujuh orang bijaksana dimaksud. Hanya saja tentang Thales banyak dongeng yang beredar dan kurang dapat dipercaya. Tentang fakta dan data Thales semasa hidupnya, dapat diketahui dari tokoh sejarawan Herodotos yang hidup kira kira abad ke-5 s. M, namun Thales tidak disebutnya dengan nama “filsuf” dan tidak menceritakannya bahwa ia sebagai filsuf . Baru kemudian Aristoteles seorang filsuf yang hidup sekitar abad ke-4 s. M mengatakan secara tegas dan mengenakan gelar kepada Thales “filsuf yang pertama”.
            Pribadi Thales khususnya tentang tanggal lahir dan tanggal kematiannya tidak diketahui, begitu juga para filsuf sejamannya. Untuk mengetahui perkiraan tahun kelahiran Thales yaitu, bahwa ia berjasa besar dengan satu kali keberhasilannya meramalkan  gerhana matahari. Dan para ahli astronomi modern mengatakan bahwa gerhana matahari peristiwanya terjadi pada tanggal 28 Mei 585 sebelum Masehi. Hal ini bukan berarti bahwa Thales meramalkannya tepat pada hari dan tanggal itu, melainkan ia meramalkannya satu tahun sebelumnya, yaitu dengan mengatakan “satu tahun kemudian gerhana matahari akan terjadi”. Kenyataan ini dimungkinkan karena Thales mempunyai pengalaman pengalaman tentang ilmu astronomi dari Babylonia. Oleh sebab itu diperkirakan bahwa Thales hidup disekitar abad ke-6 s. M.
            Thales juga dipastikan pernah berkunjung ke negeri Mesir, yaitu dengan bukti bahwa ia memasukkan ilmu ukur dari negeri Mesir ke negeri Yunani. Diceriterakan pula bahwa Thales berhasil mengukur jarak yang tidak diketahui, misalnya tingginya piramide dan  jauhnya kapal di laut. Hal ini karena Thales mempunyai pengalaman ilmu ukur atau yang disebut geometri yang biasa digunakan di Mesir untuk mengukur tanah yang terkikis akibat banjir sungai Nil. Berita lain lagi bahwa Thales mengemukakan suatu teori mengenai banjir tahunan sungai Nil di Mesir. Thales berpendapat bahwa naiknya air sungai Nil karena angin berkala tertentu, sehingga ini memberi contoh bagus mengenai suasana ilmiah yang mulai berkembang, dan bertetangan dengan keterangan keterangan mitologis. Hal ini juga menambah bukti bahwa Thales memang pernah berkunjung ke negeri Mesir.
            Satu hal yang perlu diingat, bila Thales tidak pernah menulis pikiran pikirannya atau tentang karyanya pun hampir tidak ada kesaksiannya. Oleh sebab itu, satu satunya sumber yang bisa dipercaya yaitu dari karya Aristoteles, meskipun ia memperoleh informasi hanya tradisi lisan saja. Salah satu contoh yaitu dalam traktat Aristoteles tentang “metafisika” yang mengatakan bahwa “Thales termasuk filsuf yang mencari arkhe (asas atau prinsip) alam semesta”, dan Thales adalah yang pertama di antara sesama filsuf se angkatannya. Thales mengatakan bahwa asas atau prinsip pertama alam semesta adalah air, dan semuanya berasal dari air yang akan kembali lagi menjadi air. Alasannya yaitu, karena air mempunyai pelbagai bentuk, seperti cair, padat, dan uap. Dugaan seperti itu juga karena menurut Thales bahwa bahan makanan semua makhluk memuat zat lembab, demikian juga dengan benih dari semua mkhluk hidup. Selain hal itu, menurut kesaksian Aristoteles, bila Thales juga mengatakan bahwa bumi terletak di atas air, hal ini perlu dimengerti karena semuanya berasal dari air, sehingga bumi dipandangnya sebagai bahan yang satu kali keluar dari laut dan sekarang terapung apung di atasnya.
            Aristoteles dalam traktatnya tentang psikologi memberitahukan pula bahwa menurut Thales “kesemuanya penuh dengan allah allah”. Aristoteles memperkirakan bila yang dimaksud perkataan Thales itu bahwa jagad raya itu berjiwa. Jika hal itu memang benar, maka yang dikatakan oleh Thales itu tentu mengandung arti bahwa magnit mempunyai jiwa, sehingga mampu menggerakkan besi. Pendapat Thales bahwa jagad raya berjiwa, sering kali lalu disebut “teori mengenai materi yang hidup” (Yunani: hylezoisme)
            Inilah perkenalan pertama dengan pemikiran filosofis dari fisuf pertama, meskipun tampaknya agak mengecewakan, karena belum secara eksplisit tentang pandangannya. Namun yang terpenting di sini dapat disaksikan percobaan pertama meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana dalam menghadapi alam jagat raya secara rasional. Dan inilah yang muncul kali pertama pikiran bahwa alam semesta secara fundamental bersifat satu, sehingga bisa diterangkan dengan menunjuk satu prinsip saja, yaitu air.
            Pendapat lain tentang prinsip pertama atau dalam istilah Yunani adalah arkhe alam semesta, dikemukakan oleh seorang filsuf lain, yaitu Anaximandros. Anaximandros sebenarnya murid Thales, maka hidupnya pun antara tahun 610 s/d. 540 s. M. Menurut tradisi Yunani, Anaximandros mempunyai jasa dalam bidang astronomi dan bidang georafi, dengan bukti bahwa ia yang telah membuat peta bumi yang pertama di Yunani. Ia juga yang memimpin ekspedisi dari Miletos menuju Apollonia di pantai Laut Hitam, dan mendirikan kota perantauan di sana. Di Miletos pun ia dihormati, yaitu didirikannya patung Anaximandros di kota itu.
            Anaximandros dalam mencari prinsip pertama atau juga bisa disebut prinsip terakhir dari alam semesta tidak mengambil salah satu anasir yang bisa diamati dengan pancaindra seperti pendapat Thales. Pemikiran Anaximandros lebih mendalam, sebab menurutnya adalah berupa hal “yang tidak terbatas”, yang dalam bahasa Yunani disebut to apeiron (dari kata peras artinya batas). Apeiron itu bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan, dan meliputi segala-galanya.
            Menurut kesaksian Aristoteles, mengapa Anaximandros menunjuk apeiron sebagai prinsip yang fundamental, karena apabila seandainya prinsip itu  hanya salah satu anasir seperti pendapat gurunya yaitu Thales, yang mengatakan air itu meresapi segala galanya dan iar itu tak terhingga, namun bila demikian maka tidak ada tempat lagi untuk anasir yang berlawanan dengannya. Sebab air sebagai anasir basah akan mengeksklusifkan api yang merupakan anasir kering. Inilah alasan Anaximandros, sehingga ia tidak puas hanya dengan menunjuk salah satu anasir saja sebagai prinsip fundamental dari alam semesta. Anaximandros mencari sesuatu yang lebih mendalam dan yang tidak bisa diamati oleh pancaindera.
            Anaximandros mengatakan bahwa dunia timbul dari yang tak terbatas karena suatu penceraian (Yunani: ekkrisis). Prosesnya yaitu dilepaskan dari apeiron itu unsur unsur yang berlawanan (Yunani: ta enantia) berupa unsure panas dan unsure dingin, unsure kering dan unsure basah. Unsur-unsur itu selalu berparang antara yang satu dengan yang lain. Misalnya musim panas selalu mengalahkan musim dingin dan dsebaliknya, tapi bilamana satu unsure menjadi dominant, maka karena keadaan ini dirasakan tidak adil (adikia), maka keseimbangan neraca harus dipulihkan kembali. Jadi sebenarnya ada satu hokum yang menguasai unsure unsure dunia, dan hokum itu disebut keadilan (Yunani: dike). Perceraian tadi mengakibatkan adanya putting beliung yang memisahkan yang dingin dari yang panas, sedang yang panas kemudian membalut yang dingin. Gerak putting beliung yang demikian itu mengakibatkan terjadinya suatu bola raksasa, dengan yang dingin berada di tengah-tengah yang panas. Oleh karena panas, maka air lepas dari tanah dan menjadi kabut. Dan akhirnya udara menekan bola sedemikian rupa hingga meletus menjadi sejumlah lingkaran yang berpusat satu. Setiap lingkaran terdiri dari api yang dibalut oleh udara, dan tiap lingkaran memiliki satu lobang, sehingga menjadikan api di dalamnya tampak sebagai bintang-bintang, bulan, dan matahari. Anaximandros mengatakan bahwa bumi berbentuk selinder, yang terletak persis di pusat jagat raya(Harun Hadiwijono, 1988: 17). Jadi bumi bukan di atas air seperti pendapat Thales.
            Filsuf lain yang mencari prinsip fundamental atau yang disebut arkhe dari alam semesta adalah Anaximenes. Tentang tanggal kelahiran Anaximenes tidak diketahui secara pasti, namun yang jelas bahwa ia lebih muda dari Anaximandros. Anaximenes tidak menerima pandangan dari Anaximandros, karena menurutnya bagaimana mungkin hal yang tak terbatas (to apeiron) dapat menjadi asas yang pertama seluruh alam semesta dengan segala isinya.
            Anaximenes mengatakan bahwa prinsip pertama yang merupakan asal usul alam semesta beserta isinya adalah udara. Hal ini dengan dasar bahwa seperti jiwa menjamin kesatuan tubuh makluk hidup, terutama manusia, demikian pula udara melingkupi segala galanya. Jiwa sendiri menurut Anaximenes juga udara yang dipupuk dengan bernafas. Dan Anaximeneslah seorang filsuf pertama yang mengemukakan persamaan antara manusia dengan alam semesta, yang dalam istilah modern disebut sebagai mikrokosmos dan makrokosmos. Tema ini yang sering muncul kembali dalam sejarah filsafat Yunani, yang dengan menyebutkan tubuh adalah mikrokosmos (dunia kecil) yang seakan akan mencerminkan jagat raya yang merupakan makrokosmos (dunia besar). Tetapi perlu digaris bawahi bahwa Anaximenes sendiri belum mempergunakan istilah itu ( Bertens, 1987: 31).
            Anaximenes berpendapat bila udara melahirkan semua benda dalam alam semesta, karena suatu proses pemadatan dan pengenceran (Inggris: condensation dan rarefaction). Adapun prosesnya, yaitu jika udara semakin bertambah kepadatannya, maka muncullah berturut-turut angin, air, tanah, dan terakir batu. Tetapi sebaliknya, jika udara itu menjadi semakin lebih encer, maka yang timbul ialah api. Demikianlah dari udara atau hawa terjadi anasir anasir yang membentuk jagat raya dengan segala isinya (Harun Hadiwijono, 1988: 18).
            Ajaran filsuf filsuf dari Ionia yang pertama bisa disebut “filsafat alam”, karena perhatian mereka selalu dipusatkan pada alam. Alam senantiasa dalam keadaan perubahan, seperti malam mengganti siang, bulan terang mengganti bulan gelap, laut pasang kemudian surut, musim panas dilanjutkan musim dingin, dan lain sebagainya. Kemudian, bagaimanakah dapat dimengerti perubahan perubahan yang terjadi pada alam itu ?. Apakah kiranya di bawah atau di belakang perubhan perubahan itu terdapat sesuatu yang tetap ?, itulah persoalan yang timbul bagi para filsuf yang pertama. Oleh sebab itu apabila Plato dan Aristoteles mengatakan bahwa filsafat timbul atas dasar rasa heran, adalah sangat tepat. Hal ini boleh ditambah yaitu bahwa rasa heran itu sebenarnya juga merupakan latar belakang mite mite kosmogonis dan mite mite kosmologis, namun filsuf filsuf dari Miletos untuk kali pertamanya memberi jawaban secara rasional atas problematic yang disodorkan oleh alam semesta. Hal inilah yang menjadi preatasi luar biasa hebatnya bagi filsuf Miletos, meskipun banyak unsure dari pemikiran mereka yang kedengarannya naïf bagi telinga orang masa kontemporer ini.
            Hasil pemikiran para filsuf pertama kiranya dapat disimpulkan dalam tiga ucapan yaitu:
Pertama, Alam semesta merupakan keseluruhan yang bersatu, akibatnya maka harus diterangkan dengan menggunakan satu prinsip saja, meskipun dalam memilih satu prinsip zat asali itu antara filsuf yang satu dengan filsuf lain berbeda dalam mengartikan kesatuan dunia.
Kedua, Alam semesta dikuasai oleh suatu hokum. Oleh sebab itu, kejadian kejadian dalam alam semesta tidak merupakan kebetulan, melainkan ada semacam keharusan di belakang kejadian kejadiannya.
Ketiga, Sebagai akibatnya, maka alam semesta merupakan kosmos. Kata kosmos adalah istilah dari Yunani, maka boleh diterjemahkan  sebagai “dunia”, namun akan lebih tepat lagi apabila diterjemahkan “dunia yang teratur”. Jadi bagi orang Yunani, kosmos bertentangan dengan khaos artinya dunia dalam keadaan kacau balau (Bertens, 1987: 33).
2.3. Pythagoras dan Tarekat Pythagorean
            Pada tahun 494 s. M. di kota Miletos terjadi peristiwa penyerangan oleh bangsa Parsi, dan pada saat itu musnahlah kota Miletos. Oleh sebab itu dalam sejarah para filsuf selanjutnya nama kota Miletos hampir tidak kedengaran lagi, namun pemikiran filosofis dari salah satu kota di Yunani itu tidak musnah, dan berkembang terus di daerah daerah Yunani lainnya.
            Filsuf dari daerah wilayah Ionia berikutnya adalah Pyrhagoras. Ia lahir di pulau Samos yang termasuk Ionia, namun tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Pada tahun 530 s. M. ia pindah ke kota Kroton di Italia Selatan. Dan menurut kesaksian Aristoxenes salah seorang murid Aristoteles, kepindahan Pythagores karena tidak setuju dengan pemerintahan Tyrannos Polykrates, dan ia menetap di kota itu selama 20 tahun. Pada akhir hidupnya Pythagoras bersama beberapa pengikutnya pindah ke kota Metapontion sampai dengan meninggalnya.
            Para pengikut dan yang melanjutkan ajaran dari Pythagoras, kemudian disebutnya dengan aliran Pythagorean. Sedangkan ajaran Pythagoras yang bersifat religius, bukan politik, sebagaimana pernah diperkirakan disebutnya Tarekat, sehingga para pengikutnya pun disebutnya “Tarekat Pythagorean”. Mereka menghormati Dewa Apollo, dan Pythagoras dijunjung tinggi dikalangan mereka. Kewajibannya tampak antara lain dengan semboyan yang lazim pada kaum Pythagorean, yaitu “autos epha”, artinya ia sendiri (Pythagoras) telah mengatakan begitu.
            Semasa hidupnya Pythagoras tidak pernah menulis apapun, sebab ajarannya diberikan secara lisan dan sembunyi sembunyi. Baru kira kira pertengahan abad ke-5 s. M. terdengar pemberitaan tentang ajarannya. Ajaran Pythagoras ada dua hal yang pengaruhnya sangat besar hingga masa kini yaitu: Pertama, berupa ajaran tentang kepercayaan bahwa jiwa tidak dapat mati. Kedua, ajaran tentang usaha mempelajari ilmu pasti.
            Ajarannya tentang jiwa yang tidak dapat mati, ia katakana bahwa karena hukumanlah maka jiwa dibelenggu di dalam tubuh manusia, sehingga setelah manusia mati, jiwanya akan mendapat kebahagiaan. Tetapi barang siapa tidak mencucikan diri atau pencuciannya kurang, jiwanya akan pindah ke kehidupan lain, sesuai dengan keadaannya. Perpindahan jiwa yang belum bersih itu dapat ke binatang, tumbuh tumbuhan, atau ke tubuh manusia lagi. Sebagai bukti perpindahan jiwa, yaitu dalam empat baris sajaknya diceriterakan bahwa satu kali Pythagoras mendengar seekor anjing mendengking karena dipukul, dan ia meminta pukulan itu dihentikan, sebab katanya dalam dengkingannya ia mengenal lagi suara seorang sahabat yang telah meninggal. Adapun penyucian diri itu dilakukan dengan menghindari makanan yang jadi pantangan, seperti daging dan kacang-kacangan (Harun Hadiwijono, 1988: 20). Mentaati peraturan tersebut adalah unsure penting dalam kehidupan kaum Pythagorean, dan mereka juga mempraktekan filsafat sebagai jalan menuju ke penyucian.
            Pythagoras dalam pandangan tentang dunia atau alam semesta diawali dari penemuannya di bidang musik sebagai batu sendinya. Maksudnya ialah penemuan tentang interval interval yang utama dari tangga nada dapat diekspresikan dengan perbandingan antara bilangan bilangan. Misalnya oktaf sesuai dengan perbandingan 1 : 2, kuint sesuai dengan perbandingan 2 : 3, dan kuart sesuai dengan perbandingan 3 : 4. Penemuannya ini dihasilkan dengan membagi tali “monochord” (alat musik yang mempunyai satu tali saja), lalu membandingkan ukuran bagian bagian tali dengan nada yang dikeluarkan. Anehnya bahwa yang memainkan peranan dalam perbandingan perbandingan ini adalah keempat bilangan yang pertama dan mereka bersama sama menghasilkan bilangan10. Kaum Pythagorean menyebutnya bahwa bilangan 10 ini adalah tetraktys. Balingan ini dapat dilukiskan sebagai segitiga, sebagaimana nyata dengan gambar di bawah ini.
Gambar:



 
Kaum Pythagorean menganggap bahwa bilangan ini adalah keramat, dan konon meraka bersumpah demi tetraktys ini. Penemuan Pythagoras ini mempunyai konsekuensi besar,  karena dengan penemuan ini untuk kali pertama dinyatakan bahwa  suatu gejala fisis, yakni nada nada  dikuasai oleh hokum matematis. Artinya, bahwa kenyataan atau realitas dapat dicocokan dengan kategori kategori matematis dari rasio manusia. Contohnya, yaitu ilmu pengetahuan Modern seperti dari Galilei yang mengatakan bahwa alam ditulis dalam bahasa Matematika. Adapun dalam matematika yang ditulis adalah bilangan bilangan. Oleh sebab itu Pythagoras menganggap penting sekali ajaran tentang bilangan, dalam arti bilangan dalam bentuk asli. Oleh sebab itu, ajaran tentang bilangan adalah batu sendi seluruh pandangan hidup Pythagoras. Jadi menurut kesaksian tradisi, Pythagoras berpendapat bahwa segala-galanya adalah bilangan. Kesimpulannya ini ditarik dari kenyataan bahwa nada-nada musik dapat dijabarkan ke perbandingan antara bilangan bilangan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan mengapa hal yang sama tidak berlaku pula untuk segala galanya yang ada. Jadi, apabila segala galanya adalah bilangan, maka akan berarti bahwa unsure unsure atau prinsip prinsip bilangan merupakan juga unsure unsure yang terdapat dalam sesuatu.
            Adapun unsure unsure atau prinsip prinsip bilangan ialah genap dan ganjil, terbatas dan tak terbatas. Oktaf merupakan harmoni yang dihasilkan dengan menggabungkan hal hal yang berlawanan, yaitu bilangan 1 (bilangan ganjil) dan bilangan 2 (bilangan genap). Begitu pula seluruh dunia merupakan suatu harmoni yang memperdamaikan hal hal yang berlawanan. Itulah sebabnya kaum Pythagorean mengambil alih ajaran Anaximandros bahwa kosmos seluruhnya terdiri dari hal hal yang berlawan lawanan. Menurut kesaksian Aristoteles, kaum Pythagorean telah mengajarkan bahwa ada sepuluh prinsip  sedemikian yang disusun dalam dua lajur, yaitu:
Terbatas : tak terbatas
Ganjil : genap
Satu : banyak
Kanan : kiri
Laki-laki : perempuan
Diam : gerak
Lurus : bengkok
Terang : gelap
Baik : buruk
Bujur sangkar : empat persegi panjang
            Salah seorang Pythagorean lainnya menafsirkan ajaran bahwa segala galanya adalah bilangan, dengan mengenakan bilangan kepada segala sesuatu. Demikianlah tentang hal ini terdapat juga kesaksian pada Aristoteles bahwa perkawinan digabungkan dengan bilangan 3; saat yang serasi (Yunani: kairos) digabungkan dengan bilangan 7. Sepekulasi spekulasi tentang bilangan akan dilanjutkan lagi dalam filsafat di kemudian hari, terutama dalam platonisme dan neoplatonisme (Bertens, 1987: 37).
            Teori mazhab Pythagorean tentang susunan kosmos tentu mengherankan, sebab untuk kali pertamanya dinyatakan bahwa bukan bumi yang merupakan pusat jagat raya. Mazhab Pythagorean berpendapat bahwa pusat jagat raya adalah api. Dengan demikian api itu berturut turut dikelilingi oleh kontra bumi (Yunani: antichton), bumi, bulan matahari, dan kelima planit (Merkurius, Venus, Mars, Yupiter, Saturnus), serta akhirnya langit dengan bintang bintang tetap pada posisinya. Jadi sepuluh badan jagat raya beredar sekeliling api sentral sebagai suatu tetraktys raksasa. Bila tidak dilihat api dan kontra bumi, karena permukaan bumi tempat manusia hidup tetap berpaling dari api dan kontra bumi, sebagaimana halnya bagian bulan yang tidak berhadapan dengan manusia yang tetap berpaling dari bumi. Jadi dalam revolusinya sekitar api sentral, bumi juga mengadakan rotasi sekeliling sumbunya sendiri. Matahari dan bulan memantulkan api sentral. Gerhana akan terjadi bilamana bumi dan kontra bumi menggelapkan api sentral. Para pemikir Yunani berikutnya berpandangan bahwa api sentral dari mazhab Pythagorean akan disamakan dengan matahari, sehingga dalam bidang kosmologi mereka menganut pendirian helio sentries. Demikianlah Herakleides dan Heraklea (abad Ke-4 s. M) nurid Plato, dan terutama Aristarkhos dari Samos (abad ke-3 s. M). Namun perlu diingat bahwa pendirian di atas mudah dilupakan, karena ada pendirian yang muncul yaitu pendirian geo sentries dari Aristoteles dalam waktu lama banyak dianut orang. Dan kemudian baru setelah kemunculannya Kopernikus (tahun 1473 – 1543), teori helio sentries ditemukan lagi, dan ia sendiri tidak mengingkari bahwa kerena telah mengenal pendapat mazhab Pythagorean.
2, 4. Filsafat Menjadi dan Mazhab Elea
2. 4. 1. Filsafat Menjadi
            Filsafat dalam hal ini adalah berkaitan dengan hal hal yang selalu berubah tanpa henti hentinya, dengan pendek kata bahwa segala sesuatu itu terus berubah, sehinga hanya perubahanlah yang tetap. Pemikiran tentang filsafat menjadi ini dikemukakan oleh seorang filsuf yang lahir pada kira kira tahun 500 s. M. di Efesus, Yunani, yaitu Herakleitos. Ia mengatakan bahwa tiap tiap benda terdiri dari hal hal yang saling berlawanan dan hal hal yang berlawanan itu tetap mempunyai kesatuan. Pendek kata dikatakan bahwa yang satu adalah banyak dan yang banyak adalah satu. Jika dilihat demikian, filsuf sebelumnya, yaitu Anaximandros juga telah mengatakan bahwa semuanya terdiri dari hal hal yang berlawanan. Tetapi Anaximandros mengatakan bahwa pertentangan itu merupakan ketidak adilan, misalnya musim panas akan mengalahkan musim dingin dan sebaliknya. Sedangkan bagi Herakleitos, bahwa panas mempunyai arti yang spesifik, sebab ada nusim dingin juga dan sebaliknya Contoh lain, yaitu siang seakan akan “menjadi” siang, sebab juga ada malam. Begitu juga tentang kesehatan dihargai, karena juga ada penyakit(Bertens, 1987: 43). Oleh sebab itu, Herakleitos mengatakan bahwa “perang adalah bapak segala galanya” (perang dalam arti pertentangan), dan juga “pertentangan adalah keadilan”, dan kata kata terakhir ini bisa dilihat sebagai kritik atas pendapat Anaximandros.
            Pendapat Herakleitos tersebut jika dirumuskan dalam terminology modern, maka dapat dikatakan bahwa semuanya merupakan sintesa dari hal hal yang beroposisi. Artinya semua yang ada mempunyai struktur yang berdasar atas ketegangan antara hal hal yang berlawanan. Hal ini Herakleitos menganalogikan dengan sebuah busur atau dengan alat musik, yang apabila talinya diregangkan antara dua pihak yang bertentangan, namun busur tetap busur dan alat musik adalah alat musik, justru karena ketegangan itu.
            Jika melihat kembali para filsuf pertama dari Miletos, dimana mereka mencari yang tetap di belakang perubahan perubahan dalam alam semesta ini, maka bagi Herakleitos tidak setuju dengan mereka. Sebab menurut Herakleitos, bahwa tidak ada sesuatu pun yang tetap atau mantap. Tegasnya Herakleitos mengatakan, “Yang sama adalah hidup dan mati, tidur dan jaga, muda dan tua, dan sebagainya, karena yang pertama sesudah perubahan merupakan yang kedua, dan yang kedua sesudah perubahan merupakan yang pertama”. Dalam kesempatan lain pun Herakleitos mengatakan “kita ada dan kita tidak ada”. Pada bentuk paradoks ini artinya bahwa perubahan merupakan satu satunya kemantapan, seperti pernah dikatakan “It rests by changing”. Jadi menurut Herakleitos jika disimpulkan, maka tidak ada sesuatu pun yang betul betul ada, semuanya menjadi.
            Menurut Herakleitos tentang perubahan yang tanpa henti hentinya itu dianalogikan dalam dua cara, yaitu:
  1. Ia mengatakan bahwa seluruh kenyataan bagaikan arus air sungai yang mengalir.
  2. Ia mengatakan bahwa seluruh kenyataan adalah api.
Ad. 1. Arus air sungai mengalir seperti dikatakan Herakleitos, bahwa engkau tidak dapat turun dua kali ke dalam sungai yang sama, karena air sungai mengalir terus, sehingga air sungai senantiasa dibaharui terus. Orang yang turun untuk kedua kali, tidak turun dalam sungai yang sama seperti semula. Jadi, segalanya mengalir bagaikan suatu sungai, yang dinyatakan oleh Herakleitos, yaitu “panta rhei kai uden menei”.
Ad. 2. Api menurut pendapat Herakleitos adalah bukan merupakan suatu anasir yang dapat menerangkan kemantapan di belakang perubahan perubahan dalam alam semesta, melinkan api merupakan lambing perubahan itu sendiri. Hal ini dimaksudkan oleh Herakleitos, yaitu bahwa api senantiasa memakan bahan bakar yang baru, dan bahan bakar itu senantiasa berubah menjadi abu dan asap, namun api itu tetap api yang sama. Jadi, menurut Herakleitos bahwa api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan, yaitu ada suatu pertukaran semua benda ditukar dengan api dan api ditukar dengan semua benda, contoh konkrit barang ditukar dengan emas dan emas ditukar dengan barang.
2. 4. 2. Mazhab Elea
            Maksud dari mazhab Elea adalah hasil pemikiran para filsuf atau ahli pikir yang lahir dari kota Elea di Italia Selatan kira kira sekitar tahu 515 s. M. atau kira kira pada awal abad ke-6 s. M. Filsuf ini antara lain Parmenides dan muridnya Zeno serta masih banyak filsuf lain, seperti Empedokles.
            Jalan pikiran tokoh dari mazhab Elea khususnya Parmenides, merupakan kebalikan dari pikiran Herakleitos. Jika Herakleitos mengatakan bahwa realitas seluruhnya  adalah gerak dan perubahan, maka bagi Parmenides bahwa gerak dan perubahan itu tidak mungkin. Parmenides mengatakan ahwa realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah.
            Menurut Parmenides, bahwa seluruh jalan kebenaran bersandar pada satu keyakinan, yaitu “yang ada itu ada” dan “yang tidak itu ada tidak ada”. Dengan demikian, bila orang mengatakan bahwa “yang ada itu tidak ada” atau “yang ada serentak ada dan serentak juga tidak ada”, itu sama sama mustahil. Karena yang tidak ada justru tidak ada, yang tidak ada tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibicarakan. Jadi, “yang ada” itu ada, dan “yang tidak ada” itu tidak ada, sehinga antara dua pernyataan ini tidak terdapat jalan tengah. Karena “yang ada” itu ada, akibatnya tidak pernah mungkin menjadi ‘yang tidak ada”, dan karena “yang tidak ada” itu tidak ada, akibatnya tidak pernah mungkin menjadi “yang ada”. Pendek kata, bahwa “yang ada” itu ada, dan itulah satu satunya realitas kebenaran, sedangkan “yang tidak ada” tidak mungkin merupakan objek bagi pemikiran manusia sebab tidak dapat dibicarakan tentangnya.
            Pemikiran Parmenides yang telah diuraikan diatas, sudah barang tentu mempunyai konsekuensi monsekuensi, seperti:
  1. “Yang ada” adalah satu dan tidak terbagi, sehingga pluralitas (kejamakan) tidak mungkin, karena tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan “yang ada”.
  2. “Yang ada” tidak dijadikan dan tidak akan dimusnahkan, artinya “yang ada” bersifat kekal dan tak terubahkan. Karena, bila ada perubahan, itu berarti bahwa “yang ada” menjadi “yang tidak ada” dan menjadi “yang ada” lagi, hal itu tidak mungkin. Jadi, perubahan tidak mungkin.
  3. “Yang ada” itu sempurna, artinya tidak ada sesuatu yang dapat ditambah dan tidak ada sesuatu yang dapat diambil darinya. Tapi Parmenides sendiri tidak pernah mengatakan sempurna tentang hal ini, namun maksudnya begitu. Jadi, bila dikatakan bahwa “yang ada” itu lengkap, maksudnya bagaikan bola yang jarak jaraknya dari pusat bola ke permukaan semua sama. Pendek kata, “yang ada” itu bulat penuh sehinga mengisi semua tempat.
  4. Karena “yang ada” mengisi segala tempat, oleh sebab itu tidak ada ruang kosong. Jadi, jika menerima ruang kosong, maka berrati menerima juga bahwa di luar “yang ada” itu masih sesuatu yang lain. Dengan demikian, gerak tidak mungkin, karena bila terjadi sesuatu benda bergerak, maka benda itu menduduki tempat yang tadinya kosong. Pendek kata, bila menerima adany gerak dengan sendirinya berarti menerima adanya ruang kosong.
      Pemikir dari mazhab Elea yang lain adalah Zeno yang hidup sekitar tahun 490 salah seorang murid Parmanides. Zeno sebenarnya banyak mengarang buku, namun buku bukunya telah hilang. Kata Plato, bahwa buku karangan Zeno yang terkenal ditulis pada waktu ia masih muda dan isi dari buku bukunya adalah membela gurunya Parmenides.
            Menrurut ucapan Aristoteles, bahwa Zenolah orang yang menemukan dialektika. Istilah dialektika memang mempunyai pelbagai arti sampai saat ini. Tentang dialektika, Aristoteles mengartikannya sebagai suatu cabang logika yang mempelajari perihal argumentasi yang bertitik tolak dari suatu hipotesa atau pengandaian. Dan memang itulah cara yang dipakai dalam argumentasi Zeno. Zeno memulai dengan mengemukakan suatu hipotesa, yaitu salah satu anggapan yang dianut oleh orang orang lawan Parmenides. Kemudian Zeno menunjukkan bahwa dari hipotesa itu harus ditarik kesimpulan kesimpulan yang mustahil. Namun demikian, ternyata hipotesa semula tidsak benar, maka berarti bahwa kebalikannya harus dianggap benar.  Jadi, dengan memakai metode seperti ini, Zeno membuktikan bahwa  tentang adanya ruang kosong, pluralitas, dan gerak adalah sama sama mustahil.
            Berikut adalah argumentasi argumentasi Zeno yang merupakan pemantapan dan pembuktian pemikiran gurunya.
  1. Argumentasi melawan ruang kosong, yaitu bahwa andaikan saja ruang kosong itu ada, maka sudah tentu bahwa ruang itu mempunyai tempat dalam ruang lain, yang harus ditempatkan dalam ruang lain lagi dan seterusnya sampai tak terhingga. Hal itu tentu mustahil. Oleh sebab itu, mesti disimpulkan bahwa ruang kosong itu tidak ada (artinya sama dengan pendapat Parmenides, bahwa “yang ada” tidak ditempatkan dalam sesuatu yang lain.
  2. Argumentasi melawan pluralitas, yaitu bila suatu potongan garis terdiri dari titik titik (jadi, jika adanya pluralitas diterima), maka sudah tentu garis garis itu dapat dibagi bagi. Oleh sebab itu setiap bagian sekurang kurangnya mempunyai dua titik, yaitu titik pangkal dan titik akhir, maka pembagian dapat diteruskan sampai tak terhingga. Jadi, potonan garis itu terdiri dari titik titik yang jumlahnya tak terhingga. Dengan demikian, titik titik ini mempunyai panjang tertentu atau tidak. Jika titik titik mempunyai panjang tertentu, maka harus disimpulkan bahwa potongan garis itu tak terhingga panjangnya. Tetapi bila titik titik tidak mempunyai panjang tertentu, maka harus disimpulkan bahwa potongan garis itu tak terhingga pendeknya, dengan kata lain, sama dengan nol. Jadi, pendek kata bahwa kedua kesimpulan itu sama mustahilnya, karena ternyata suatu suatu potongan garis mempunyai panjang yang tak terhingga. Sebagai akhir kata, bahwa hipotesa semula tidak dapat diterima, yaitu bahwa suatu potongan garis terdiri dari titik titik. Pendek kata, bahwa pluralitas tidak mungkin.
  3. Argumentasi melawan gerak, dalam hal ini Zeno jalan pikirannya sama dengan argumentasi argumentasi yang telah dikatakan di atas. Ia mulai dengan pengandaian bahwa gerak memang ada, sebagaimana disaksikan oleh pancaindera. Dari pengandaian itu ia menarik pengandaian yang mustahil. Oleh sebab itu, pengandaian semula idak dapat dipertahankan dan kesaksian pancaindera tidak boleh dipertahankan. Dari pemikirannya ini kemudian Zeno memberi empat argument, yaitu: 
  1. Pelari dalam stadion, dalam pembuktian ini Zeno mengatakan bahwa bila seorang pelari ingin mencapai finis, maka terlebih dahulu harus menjalani separuh dari jarak stadion, kemudian setengah sisanya dan seterusnya sampai tak terhingga. Jadi, oleh karena pelari harus menempuh bagian bagian yang jumlahnya tak terhingga, maka ia tidak pernah akan sampai pada finis.
  2. Akhiles dan kura kura, dalam hal ini Zeno menceriterakan bahwa Akhiles si jago lari dalam mitologi Yunani, tidak dapat melewati kura kura yang lambat jalannya, meskipun Akhiles cepat larinya. Oleh karena kura kura berangkat sebelum Akhiles, maka semestinya Akhiles lebih dahulu harus mencapai ttik dimana kura kura berada sesaat ia berangkat sebab larinya lebih cepat. Akan tetapi setibanya di situ, kura kura sudah lebih jauh lagi dan seterusnya. Jadi, meskipun jarak antara Akhiles dan kura kura selalu berkurang, namun tidak pernah habis.
  3. Anak panah, dalam hal ini Zeno mengatakan bahwa anak panah setelah dipanahkan dari busurnya, anak panah dimaksud tidak pernah begerak, namun diam. Hal ini bisa dipahami karena pada tiap tiap saat anak panah berada pada tempat tertentu, yang persis sama dengan panjang anak panah, maka naka panah selalu berada antara kedua ujungnya dan oleh sebab itu senantiasa dalam keadaan diam. Pada saat berikutnya anak panah berada lebih jauh, namun di situ juga anak panah tidak pernah bergerak, melainkan diam. Jadi, gerak semu itu sebetulnya suatu seri perhentian perhentian saja.
  4. Tiga deretan yang berjalan, dalam pembuktian ini Zeno mengatakan, yaitu coba mengandaikan tiga deretan titik titik, semua titik berdampingan yang satu dengan yang lain, sehingga tidak ada lowongan di antaranya (lihat gambar 1). Deretan A tidak bergerak. Deretan B dan deretan C bergerak dalam jurusan berlawanan, namun dengan kecepatan yang sama sedemikian rupa sehingga pada suatu saat atau bagian waktu dijalani satu titik ataubagian ruang. Suatu saat sesudah gerak mulai, baik B1 maupun C1 telah menjalani satu titik dan masing masing berdiri terhadap A4 dan A3 (lihat gambar 2). Jadi, B1 dan C1 sudah saling berlalu. Oleh sebab itu lebih dahulu mesti terdapat suatu saat lain. Dengan demikian akan didapat suatu saat baru yang lamanya adalah setengah dari saat yang tersebut tadi. Akan tetapi menurut pengandaian semuala, situasi yang dilukiskan oleh gambar 2 terjadi sesudah saat pertama gerak itu. Jadi, harus disimpulkan: setengah sama dengan satu. Atau dengan pendek kata: sebelum saat pertama masih ada saat lain; saat pertama itu bukanlah saat yang pertama.
            Pengikut Elea yang lain adalah Melissos, ia seorang pemikir yang membela ajaran Parmenides dengan argument argumen yang pada pokoknya mengikuti jalan pikiran Parmenides. Melissos mengemukakan bahwa “yang ada” itu satu, sehingga bila ditunjukkan “yang ada” sering kali lalu disebutkannya “yang satu”.
            Akan tetapi ada suatu hal yang menyimpang dari ajaran Parmenides, yaitu Melissos mengatakan bahwa “yang ada” itu tidak terhingga baik menurut waktu maupun menurut ruang. Di depan sudah disebutkan bahwa menurut Parmenides “yang ada” itu bersifat kekal. Hal tersebut sama saja dengan mengatakan bahwa “yang ada” harus dianggap tak terhingga menurut ruang dan waktu. Namun Parmenides berpendapat, bahwa “yang ada” itu terbatas menurut ruang, sebab ia menyatakan bahwa sudah dilihat  dan dianggap “yang ada” sebagai suatu bola bulat, artinya bahwa ia menganggap “yang ada” terbatas menurut ruang. Oleh sebab itu, maka hal itulah yang ditolak oleh Melissos. Di sini yang menarik dari Melissos yaitu argument yang dipakainya mendukung pendirian Parmenides, namun ia lebih konsekuen bila disbanding dengan Parmenides. Argumen Melissos yang dikatakan konsekuen, yaitu seandainya “yang ada” itu terbatas dalam ruang, maka harus dikatakan bahwa di luar “yang ada” terdapat “yang tidak ada”. Hal ini berarti bahwa “yang tidak ada” itu ada. Pendek kata, bahwa tidak dapat dibayangkan bila “yang ada” itu terbatas tanpa meletakkannya dalam ruang kosong. Jadi, dengan alasan alasan itulah maka lalu disimpulkan bahwa “yang ada” itu tak terhingga baik dalam ruang maupun waktu.

BAB.  III
FILSAFAT  KAUM SOFIS DAN JAMAN  SOKRATES
3. 1. Pendahuluan
            Pada pembahasan dalam Bab. III ini akan dipelajari filsafat Yunani, terutama pemikiran yang berkembang di jaman filsafat Sokrates. Jika dilihat dari inti pemikiran jaman ini, tampak bahwa pemikiran Sokrates ini kurang bersahabat dengan pemikiran yang berkembang pada kaum Sofis. Hal ini dapat dipahami dari filsafat Sokrates yang sangat nampak sekali, yaitu sebagai reaksi serta kritik atas kaum Sofis. Meskipun demikian, tidak ada buruknya juga jika dibicarakan keduanya, yaitu baik pemikiran kaum Sofis maupun filsafat Sokrates yang merupakan sentrum bahasan ini. Hal ini bukan saja karena keduanya berkembang dalam jaman yang sama, melainkan karena keduanya membaharui filsafat denga metode yang sama. Hal ini ada seorang filsuf dan juga sebabagai sastrawan dari Roma, yaitu Cicero mengatakan bahwa Sokrates telah memindahkan filsafat dari langit ke bumi. Artinya bahwa filsafat pra-Sokrates telah memandang alam semesta dengan berbagai cara yang tampak masih nun jauh di sana, sedangkan Sokrates mencari objek penyelidikan dan pemikirannya di bumi ini, yaitu manusia itu sendiri. Hal yang sama juga bagi kaum Sofis, mereka pun memusatkan seluruh perhatiannya pada manusia.
            Ketika filsafat pra-Sokrates dipelajari, sudah kesekian kalinya ditemuai berbagai permasalahan yang terkait dengan manusia, namun hanya sepintas lalu. Oleh sebab itu, dalam pembicaraan dan pemikiran pada bahasan ini, manusia menjadi objek pertama dan utama untuk penyelidikan secara filosofis. Jadi, dengan pendek kata bahwa pemikiran secara filsafati pada kesempatan ini manusia menjadi objeknya.
3. 2. Filsafat Kaum Sofis
            Filsafat kaum Sofis lebih akrab dengan sebutan aliran Sofistik, meskipun ini bukan merupakan suatu mazhab, seperti bila dibandingkan dengan mazhab Elea. Dan akan lebih tepat jika istilah Sofistik itu dipandang sebagai suatu gerakan dalam bidang intelektual yang diakibatkan dari beberapa factor, seperti perkembangan di bidang politik dan ekonomi Athena, serta kebutuhan akan pendidikan yang dirasakan di seluruh Hellas pada waktu itu, dan juga dalam pergaulan mereka di Yunani merasa berbeda dengan kebudayaan lain selain kaum Sofis.
            Nama “Sofis” nampaknya belum digunakan sebelum abad ke- 5 s. M, dan artinya semula adalah “seorang bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”, namun juga kadang kadang ada yang mengartikan sebagai “sarjana” atau “cendekiawan”. Seorang pengarang Yunani bernama Androtion pada abad ke-4 s. M mempergunakan istilah “Sofis” untuk menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari abad ke-6 s. M (telah dijelaskan modul sebelumnya) dan Sokrates. Sedangkan Lysias seorang ahli pidato Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 s. M. mengenakan istilah “Sofis” pada diri Plato, namun dalam abad ke-4 s. M dan selanjutnya istilah “philosophos” menjadi istilah yang sudah lazim dipakai dalam arti “sarjana” atau “cendekiawan”, sedangkan istilah “Sofis” khusus dipakai untuk sebutan guru guru yang berkeliling dari kota ke kota yang berperan penting dalam masyarakat Yunani.
            Nama istilah “Sofis” dikemudian hari lama kelamaan menjadi tidak harum, seperti terlihat dalam bahasa bahasa modern, misalnya dalam bahasa Inggris yang berbunyi “sophist” adalah untuk menunjukkan seseorang yang menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi argumentasi yang tidak sah. Cara berargumentasi yang dibuat dengan maksud seperti itu dalam bahasa Inggris disebut “sophism” atau “sophistery”. Hal ini terutama dipakai oleh Sokrates, Plato, dan Aristoteles untuk mengkritik atas kaum Sofis, sehinga mengakibatkan nama “Sofis” menjadi berbau kurang baik. Salah satu tuduhan dari mereka, yaitu bahwa para Sofis meminta uang sebagai imbalan yang diajarkan oleh para Sofis. Hal ini seperti diceriterakan oleh Plato dalam dialog yang berjudul “Protagoras”, ia mengatakan bahwa para Sofis merupakan “pemilik warung yang menjual barang rohani”, dan Aristoteles juga mengarang buku yang berjudul  Sophistikoi elenchoi” artinya cara cara berargumentasi kaum Sofis yang maksudnya cara berargumentasi yang tidak sah. Demikianlah sehingga kaum Sofis menjadi kurang baik di mata masyarakat Yunani pada waktu itu.
            Ajaran kaum Sofis antara lain disampaikan oleh Protagoras yang lahir kira kira tahun 485 s. M. di kota Abdera, dalam bukunya berjudul “kebenaran” (Yunani: Aletheia). Dalam buku ini Protagoras mengatakan bahwa manusia adalah ukuran untuk segala galanya, yaitu untuk hal hal yang ada sehingga mereka ada, dan untuk hal hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada. Oleh sebab itu pendirian ini boleh disebut relativisme, artinya bahwa kebenaran itu dianggap hanya tergantung pada manusia. Jadi, manusialah yang menentukan benar tidaknya, bahkan ada tidaknya. Namun yang jadi persoalan, yaitu istilah “manusia” itu. Yang dimaksudkan oleh Protagoras apakah manusia perorangan ataukah manusia sebagai umat manusia ?. Maka dari itu, apakah kebenaran tergantung pada anda dan pada saya, sehingga manusia mempunyai kebenaran sendiri sendiri ?, ataukah kebenaran tergantung siapa saja dalam arti semua mengakui, sehingga kebenaran itu semua mengakui ?. Akan tetapi seperti ditemukan dalam kesaksian Plato bahwa Protagoras mengartikan manusia adalah sebagai manusia perorangan. Hal ini bisa dipahami dengan melihat contoh yang diberikan oleh Protagoras, yaitu angin yang sama dirasakan panas oleh satu orang (tapi orang sehat) dan dirasa dingin oleh orang lain (oarng dalam keadaan sakit demam). Dengan demikian mereka keduanya adalah benar, maka alasan bahwa bagi Protagoras yang dimaksud manusia adalah manusia perorangan. Jadi, kebenaran seluruhnya harus dianggap relative terhadap manusia bersangkutan. Semua pendapat sama benar, biarpun sama sekali bertentangan satu sama lain. Inilah salah satu ajaran dari kaum Sofis yang beranggapan tentang relativitas di alam semesta ini.
            Ajaran kaum Sofis yang lain yaitu diajarkan oleh Gorgias yang lahir kira kira tahun 483 s. M. di kota Liontinoi di Sisilia yang awalnya murid Empedokles namun kemudian dipengaruhi oleh dialektikanya Zeno. Gorgias berpendirian, yaitu
    1. Tidak ada sesuatu apapun.
    2. Seandainya sesuatu ada, maka itu tidak dapat dikenal.
    3. Seandainya sesuatu dapat dikenal, maka pengetahuan itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain.
Ketiga pendirian ini didukung oleh banyak argument, sehingga Gorgias bukan seorang penganut skeptisisme (anggapan bahwa kebenaran tidak dapat diketahui), melainkan memihak kepada nihilisme (anggapan bahwa tidak ada sesuatu pun atau bahwa tidak ada sesuatu pun yang bernilai).
            Gorgias setelah mengarang karya tentang nihilisme di atas, kemudian berbalik dari filsafat, dan selanjutnya mulai mencurahkan perhatiannya kepada ilmu retorika (Indoneis: seni berpidato). Gorgias menganggap bahwa retorika sebagai seni untuk meyakinkan (Inggris: the art of persuasion). Oleh sebab itu menurutnya, bahwa orang tidak cukup mengemukakan alasan alasan yang diarahkan kepada akal budi, melainkan perasaan juga harus disentuh. Jadi, Gorgias menciptakan gaya bahasa yang mempraktekan prinsip ini dalam retorikanya.
            Pengikut kaum Sofis berikutnya, yaitu Hippias yang hidupnya sebaya dengan Sokrates, berasal dari kota Elis. Ia mencurahkan perhatiannya pada pertanyaan, yaitu apakah tingkah laku manusia dan susunan masyarakat harus berdasarkan nomos (Indonesia: adat kebiasaan, undang undang) atau harus berdasarkan physis (Indonesia: kodrat). Akan tetapi Hippias justru memberi jawaban yang berbeda dari kebanyakan rekan kaum Sofis. Ia beranggapan bahwa kodrat manusia merupakan dasar bagi tingkah laku manusia dan susunan masyarakat. Ia punya argument begitu, karena menurutnya bahwa undang undang yang merupakan norma terakhir untuk menentukan yang baik dan yang jahat. Apalagi menurut Hippias bahwa undang undang sering memperkosa kodrat manusia. Misalnya, undang undang menggolongkan manusia sebagai penguasa atau bawahan, dan sebagai orang bebas atau budak. Padahal manusia secara kodratnya adalah sama derajatnya dan bebas. Dengan demikian pada diri Hippias tampaklah suatu kosmopolitisme dan universalisme yang menandai banyak Sofis. Di samping itu masih banyak pandangan pandangan hidup kaum Sofis yang aneh aneh, seperti pandangan hidup yang pesimistis dari pemikir dari pulau Keos yang hidupnya juga sebaya dengan Sokrates, yaitu Prodikos. Kemudian Kritias yang lebih muda dari Sokrates berasal dari Athena yang pandangannya bersifat agamis, ia beranggapan bahwa agama ditemukan oleh penguasa penguasa Negara yang licik. Menurutnya bila kebanyakan pelanggaran diadili menurut hokum, namun ada pelanggaran yang dilakukan sembunyi sembunyi sehingga tidak diketahui oleh umum, maka penguasa penguasa menemukan dewa dewa supaya orang percaya bahwa mereka akan membalas juga pelaggaran yang sembunyi sembunyi itu.
            Melihat ajaran kaum Sofis yang beraneka ragam di atas, ternyata banyak juga pengaruhnya terhadap pemikiran pemikiran berikutnya. Pengaruhnya itu dapat dikategorikan menjadi pengaruh negative dan pengaruh positif.
            Pengaruh negative, yaitu tampak bahwa gerakan Sofis melihat bila orang telah jemu dengan sekian banyak pendirian yang dikemukakan oleh pemikir pra-sokratik, maka para Sofis mulai bereaksi sebagai skeptisisme. Artinya, kebenaran mulai diragukan  dan dasar ilmu pengetahuan sendiri digoncangkan (Oleh: Protagoras dan Gorgias). Jadi, di sisni nampak sekali bahwa Sofistik mepunyai pengaruh negative atas budaya Yunani. Pengaruh negative lainnya, yaitu banyak nilai tradisional dalam bidang keagamaan dan moralitas mulai dirobohkan, sehingga peranan Polis sebagai kesatuan social politik mulai merosot, sebagai akibat dari pendainya memainkan peran berpidato (retorika) dan kemahiran berbahasa.
            Pengaruh positif dari aliran Sofistik, yaitu berupa suatu revolusi intelektual  di Yunani yang luar biasa. Hal ini bisa dilihat, yaitu berupa ciptaan gaya bahasa yang baru untuk prosa Yunani khususnya. Pengaruh positif lainnya, yaitu dengan mulainya manusia sebagai objek pemikiran filosofisnya. Dan jasa yang sangat besar bagi Sofistik adalah karena mereka justru mempersiapkan kelahiran fiilsafat baru. Dan Sokrates, Plato, serta Aristoteleslah akan merealisasikan filsafat baru yang dipersiapkan oleh para Sofistik.
3. 3. Filsafat Jaman Sokrates
            Disebut filsafat jaman Sokrates, sebab hasil pemikiran di sini diawali cara berfilsafatnya seorang filsuf yang tidak asing lagi bagi telinga setiap orang yang sedang dan akan belajar filsafat. Seorang filsuf dimaksud adalah Sokrates, meskipun tak seorang pun tahu persis bilamana ia dilahirkan. Untuk dapat dipercaya kesaksiannya adalah bahwa Sokrates pada tahun 399 s. M. dijatuhi hukuman mati dengan harus minum racun di depan para muridnya. Pada waktu itu diceriterakan bahwa Sokrates berumur 70 tahun, oleh sebab itu ia diperkirakan lahir kira kira tahun 470 s. M. (Harun Hadiwijono, 1988: 35.
            Jika melihat lahir dan perkembangannya filsafat khususnya filsafat Barat, maka tidak ada filsuf yang sangat ramai dibicarakan kecuali Sokrates. Tentang diri Sokrates memang tampak ada dua pandangan yang sangat ekstrim tentang dirinya, yaitu disatu pihak bahwa Sokrates dianggap sebagai filsuf terbesar yang pernah hidup dibumi ini, sedangkan di lain pihak ada yang menganggap bahwa Sokrates bukan seorang filsuf. Dari kedua pandangan yang ekstrim itu memang menimbulkan problem juga pada para pemikir berikutnya. Problem dimaksud antara lain karena Sokrates sendiri tidak pernah menuliskan hasil pemikirannya, sehingga tidak bisa dipelajari pemikiran yang berupa buah pena Sokrates sendiri, dan hanya diperoleh dari murid atau sumber lain yang menceriterakan tentang diri Sokrates. Ditambah lagi bahwa banyak sumber lain yang tidak menggambarkan Sokrates dan keaktifannya dalam bidang filsafat. Dengan demikian Sokrates yang histories tidak dapat dikenal, namun ada sejarawan sejarawan lain yang bersikap lebih optimistis tentang eksistensi Sokrates sebagai seorang filsuf yang besar.
            Sumber untuk mempercayai bahwa Sokrates memang pernah ada di bumi ini, dirasa cukup dengan kesaksian dari empat orang sebagai sumber, karena empat orang ini memang memainkan peran besar dan penting dalam menginterpretasi kehidupan maupun ajaran Sokrates. Adapun keempat sumber dimaksud adalah :
  1. Aristopanes yang seorang comedian ternama di Athena, yang hidupnya sejaman dengan Sokrates. Komedi dari Aristopanes sangat lucu membicarakan peristiwa peristiwa actual, tokoh tokoh dan pikirannya yang lazim pada para penonton yang di sini Sokrates disebut sebutnya. Ada satu komedi yang berjudul Awan awan, dipentaskan pertama kalinya pata tahun 423 s. M. dimana Sokrates sebagai pelaku utamanya.
  2. Xenophon yang lahir tahun 430 s. M. di Athena dari keluarga bangsawan pada waktu itu. Ia adalah pengikut Sokrates, meskipun tidak ingat berapa lama menjadi pengikutnya. Xenophon meninggalkan beberapa karya tulis, yang diantaranya adalah berjudul Memorabilia yaitu berupa kenang kenangan akan Sokrates terutama tulisan kecil tentang Sokrates.
  3. Plato yang lahir pada tahun 427 di Athena, ia sangat mengenal akan Sokrates sejak masih kecil sampai kematian Sokrates pada tahun399 s. M. Plato banyak menulis tentang dialog dialog, dan ada satu dialog, yaitu berjudul Nomoi, di sini ditulis bahwa Sokrates bercakap cakap dengan sahabat sahabatnya. Disamping itu, karya Plato sebagian besar berisi tentang Sokrates sebagai pelaku utama dalam dialognya.
  4. Aristoteles, yang lahir 15 tahun setelah kematian Sokrates, namun meskipun lahirnya setelah Sokrates, ia adalah murid Plato sehingga ia tahu banyak tentang kehidupan dan ajaran Sokrates.
Jika dilihat dari empat sumber seperti disebutkan di atas untuk meyakini bahwa Sokrates memang pernah hidup di muka bumi ini, maka sudah semestinya bila orang satu dengan lainnya berbeda dalam melihat sumber mana yang dianggap sangat penting untuk menentukan riwayat hidup dan ajaran Sokrates. Ada ahli yang mementingkan Xenophon, ada yang mementingkan Plato, dan ada pula yang mementingkan Aristoteles, tapi yang jelas untuk Aristophanes tidak begitu dipentingkan khususnya tentang komedi komedinya, karena tidak dapat untuk menentukan ajaran Sokrates. Walaupun demikian karya karya Aristophanes ada juga gunanya dalam menentukan Sokrates pernah ada, karena dalam komedi komedinya disimpulkan bahwa Sokrates adalah tokoh terkenal di Athena sekitar tahun 420 s. M.
            Sokrates tidak beda dengan kaum Sofis, karena ia juga memberi pelajaran kepada rakyat. Di samping itu Sokrates juga mengarahkan perhatiannya kepada manusia seperti ajaran kaum Sofis. Perbedaan Sokrates dengan kaum Sofis adalah bila kaum Sofis mengajar rakyat karena agar mengikutinya dan untuk mencari uang, serta memberikan keyakinan tentang relatifisme, sedangkan Sokrates tidaklah demikian. Sokrates mengajar rakyat tidak memungut uang kepada mereka, namun mengajar untuk mendorong orang supaya supaya mengetahui dan menyadari sendiri, sebab Sokrates yakin bahwa ada kebenaran yang objektif.
            Kaum Sofis juga mengajar kepada rakyat tentang pendidikan seni berpidato, yaitu yang disebut dengan istilah retorika, sehingga menjadi banyak orang sombong. Oleh sebab itu, Sokrates dengan cara menggelikan mengajukan pertenyaan pertanyaan kepada rakyat murid kaum Sofis yang merasa pandai. Akhirnya jawaban jawaban mereka saling bertentangan, sehingga banyak ditertawakan pendengarnya. Metode Sokrates yang membuat jawaban orang menjadi bingung dan bertentangan itu disebutnya metode ironi (Yunani: eironeia). Segi positif dari metode ironi ini adalah terletak pada usahanya untuk mengupas kebenaran dari kulit “pengetahuan semu” orang orang itu.
            Sokrates dalam mengajar menggunakan cara dialektika (Yunani: dialegesthai artinya bercakap cakap), yaitu cara mengajar dengan mementingkan peran dialog. Namun dialog cara mengajar Sokrates adalah bukan sembarang dialog, melainkan dialog yang dibandingkan dengan ibunya sebagai seorang bidan yang menolong kelahiran bayi, yaitu Sokrates ingin melahirkan “pengertian yang benar”, sehingga lalu olehnya disebut dengan metode seni kebidanan yang dalam bahasa Yunani adalah maieutike tekhne. Jadi Sokrates bukan bertindak sebagai bidan yang menolong melahirkan bayi, melainkan ia membidani jiwa jiwa. Artinya bahwa Sokrates tidak menyampaikan pengetahuan, namun dengan pertanyaan pertanyaan ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain, dan juga ia menguji nilai nilai pikiran yang sudah dilahirkan.
            Cara bekerja Sokrates seperti disebutkan di atas, artinya ia telah menemukan cara berpikir induksi, yaitu menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal khusus. Misalnya, banyak orang yang menganggap dirinya ahli (ahli tukang sepatu, ahli tukang kayu, ahli tukang batu, dll) sebagai keutamaannya. Lain lain orang yang ahli seperti tukang tukang tadi menganggap keutamaannya berbeda beda sesuai ahli mereka. Untuk mengetahui apakah “keutamaan” pada umumnya, maka semua keutamaan yang bermacam macam itu harus disingkatkan, tinggallah keutamaan yang sifatnya umum. Jadi dengan induksi sekaligus juga ditemukan yang disebut definisi umum. Tentang definisi umum pada waktu itu belum dikenal, maka Sokrates adalah sebagai penemunya.
            Sokrates meskipun tidak meninggalkan tulisan tulisan dalam ajaran filsafatnya, namun berdasarkan kesaksian dari para murid dan orang terpercaya di atas, akhirnya juga dapat disimpulkan ajarannya sebagai berikut:
Bahwa jiwa manusia bukanlah nafasnya semata mata, namun asas hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa menurutnya adalah inti sari manusia, dan hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab.
            Oleh karena jiwa adalah inti sari manusia, maka manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya (Yunani: eudaimonia = memiliki daimon atau jiwa yang baik), lebih dari kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah, misalnya: kesehatan, kekayaan dll. Jadi, manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin. Oleh sebab itu, bila manusia hanya hidup saja, sudah tentu hal itu belum ada artinya, maka orang harus hidup yang baik supaya mencapai kebahagiaan. Kemudian, bagaimana orang dapat mencapai kebahagiaan ?.
            Sokrates mengatakan bahwa alat untuk mencapai kebahagiaan (Yunani: eudemonia) adalah kebajikan atau keutamaan (Yunani: arête). Akan tetapi kebajikan atau keutamaan yang dimaksudkan oleh Sokrates adalah bukan diartikan secara moral, namun olehnya diartikan lebih luas dari itu. Misalnya, kebajikan seorang tukang kayu adalah kebajikan atau keutamaan yang menjadikan tukang kayu itu menjadi tukang kayu yang baik, karena tahu pekerjaannya dengan baik, dan mempunyai keahlian di bidang itu. Demikian halnya dengan kebajikan atau keutamaan bagi seorang ahli yang lain. Jika dilihat dari hal itu, maka nampak bahwa pendirian yang terkenal dari Sokrates yaitu “keutamaan adalah pengetahuan”. Oleh karena itu keutamaan di bidang hidup baik tentu menjadikan orang dapat hidup baik, dan hidup baik berarti mempraktekkan pengetahuannya tentang hidup baik itu. Jadi, menurut Sokrates bahwa baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan kemauan manusia.
            Bertolak dari pandangannya di atas, maka menurut Sokrates adalah tidak mungkin orang dengan sengaja melakukan hal yang salah. Bilamana orang berbuat salah, hal itu disebabkan karena ia tidak berpengetahuan, sehingga ia keliru.
            Oleh karena kebajikan atau keutamaan adalah pengetauan tentang yang baik, padahal yang baik adalah hanya satu, maka kebajikan atau keutamaan hanya ada satu saja, dan sifatnya menyeluruh. Jadi, bila memiliki kebajikan yang satu itu berarti memiliki segala kebajikan. Misalnya, orang yang berani, sudah barang tentu juga adil dan menaruh belas kasihan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, bila tidak demikian, maka itu berarti bukan kebajikan yang sejati. Dengan demikian, jika memiliki arête, memiliki kebajikan atau keutamaan, berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia (Harun Hadiwijono, 1988: 37). 
3. 4. Filsafat Hasil Pemikiran Murid Sokrates dan Sesudahnya
            Pemuda bernama Plato yang lahir sekitar tahun 427 s. M. mempunyai maksud berbalik dari kesusasteraan, yaitu dengan mencurahkan tenaganya kepada filsafat. Hal ini dikisahkan bahwa setelah Plato berkenalan dengan Sokrates, ia lalu membakar karya karya yang telah ditulisnya. Oleh sebab itu pertemuan Plato dengan Sokrates merupakan peristiwa penentu dalam kehidupan Plato. Bagi Plato, bahwa Sokrates adalah “orang yang paling baik, bijaksana, dan paling jujur”. Juga bagi Plato, Sokrates adalah “manusia yang paling adil dari seluruh jamannya” Dalam karya-karyanya, Sokrates diberi tempat yang paling sentral. Dan yang paling mengesankan Plato, yaitu ketika peristiwa Sokrates didalam hukuman dan eksekusi hukuman matinya.
            Semua karya yang ditulis Plato merupakan dialog dialog, kecuali surat-surat dan Apologia. Palto adalah filsuf pertama dalam sejarah filsafat yang memilih dialog untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya. Sehingga Plato tidak memberi kuliah kuliah sistematis, tetapi menyelenggarakan diskusi diskusi yang sebagian dipimpin sendiri oleh Plato.
            Ajaran tentang Idea-idea merupakan inti dan dasar seluruh filsafat Plato. Dalam bahasa Modern kata “idea/ ide” berarti suatu gagasan atau tanggapan yang hanya terdapat dalam pemikiran saja. Oleh sebab itu, bagi orang modern bahwa idea merupakan sesuatu yang bersifat subjektif belaka. Lain halnya dengan Plato, karena baginya bahwa Idea merupakan sesuatu yang objektif. Artinya, ada Idea-idea yang telepas dari subjek yang berpikir. Bagi Plato, idea idea tidak diciptakan oleh pemikiran manusia. Idea idea tidak tergantung pada pemikiran; sebaliknya, justru pemikiran yang tergantung pada Idea-idea. Jadi, justru karena ada Idea-idea yang berdiri sendiri sendiri, pemikiran manusia dimungkinkan. Pemikiran itu tidak lain daripada menaruh perhatian kepada Idea-idea itu.
            Cara lain untuk mengerti lebih baik asal usul ajaran Plato mengenai Idea-idea ialah ilmu pasti. Ilmu pasti berbicara mengenai garis, segitiga dan lingkaran pada umumnya. Tidak mungkin bahwa ilmu pasti berbicara tentang sesuatu yang tidak ada. Jadi, mesti terdapat  suatu Idea “segitiga”. Segitiga atau garis yang tergambar pada papan tulis hanya merupakan tiruan tak sempurna saja dari Idea “segitiga atau garis”.
            Yang berlaku bagi segitiga tadi dapat dikatakan pula mengenai banyak hal lain lagi.  Seperti, ada yang disebut “bagus”, kain bagus, patung bagus, rumah bagus, dan lainsebagainya. Selain itu masih banyak sebutan lagi, misalnya merah, mahal, dan lain lian. Nah Idea yang bagus merupakan “yang bagus” sendiri, secara sempurna, tidak tercampur dengan sesuatu yang lain. Plato menyebutnya dengan kata kata Yunani idea serta eidos dan juga dengan kata morphe yang berarti “bentuk”.
            Bertolak dari ajaran di atas, menurut Plato bahwa realitas seluruhnya seakan akan terdiri dari dua “dunia”. Satu “dunia” mencakup benda benda jasmani yang disajikan kepada pancaindera. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan. Misalnya, bunga yang ini bagus, tapi esok harinya sudah jelek, dan lain lain. Di samping “dunia” inderawi itu terdapat suatu “dunia” lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri dari “Idea-idea”. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Jadi semua Idea bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya ada satu Idea “yang Bagus”. Demikian halnya juga dengan idea-idea lain. Dan tiap tiap Idea bersifat sama sekali sempurna. Jadi, Idea merupakan model atau contoh (Yunani: paradeigma) bagi benda benda kongkrit. Benda benda kongkrit itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut.
            Teori tentang Idea-idea dari Plato, ternyata dapat mendamaikan ajaran Herakleitos dengan ajaran Parmenides. Manurut Herakleitos bahwa semuanya senantiasa berada dalam perubahan; tidak ada sesuatu pun yang tetap dan mantap. Kata Plato, bahwa pendapat Herakleitos itu memang benar, tetapi hanya berlaku bagi dunia inderawi saja. Namun demikian, pendapat Parmenides benar juga kata Plato, tetapi hanya berlaku bagi Idea-idea saja. Dalam dunia ideal ini tidak ada perubahan, karena Idea-idea bersifat abadi. Dan Idea-idea ini merupakan pondamen bagi pengenalan yang sejati.
            Plato menciptakan suatu ajaran tentang jiwa yang berhubungan erat dengan pendiriannya mengenai Idea-idea. Bagi Plato, antara tubuh dan jiwa tidak merupakan kesatuan. Tubuh adalah kubur bagi jiwa, dan jiwa berada dalam tubuh bagaikan dalam penjara, kata Plato. Dalam karyanya yang disebut “Phaidon”, Plato mengatakan bahwa “filsafat adalah latihan untuk mati”, dan ini adalah dapat dimengerti tentang pendapatnya dalam rangka dualisme. Jadi, semestinya para filsuf sudah menjadi siap untuk melepaskan diri dari kebutuhan kebutuhan badani sama sekali pada saat kematian.
            Murid Plato yang tidak kalah terkenalnya adalah Aristotelas yang lahir pada tahun 384 s. M. Aristoteles belajar dalam academia Plato di Athena dan tinggal di sana sampai Plato meninggal dunia. Aristoteles mengkritik sangat tajam atas pendapat Plato tentang ajaran Idea-idea. Aristoteles berpendapat bahwa yang ada ialah manusia ini dan manusia itu. Jadi manusia konkrit saja. Sebab Idea “manusia” tidak terdapat dalam kenyataan. Hal yang sama juga berlaku untuk Idea “segitiga” dan semua Idea lain.
            Aristoteles memang setuju anggapan Plato bahwa ilmu pengetahuan berbicara tentang yang umum dan tetap. Ilmu pasti tidak berbicara tentang segitiga ini atau itu, namun tentang segitiga pada umumnya. Salah satu alasan Plato menerima Idea-idea ialah untuk menjamin kemungkinan adanya ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu muncullah pertanyaan: jika tidak ada Idea-idea, bagaimana mungkin adanya ilmu pengetahuan ?. Maka Aristoteles menjawab, yaitu memang ada sesuatu yang umum dan tetap, tetapi bukan dalam suatu dunia ideal melainkan dalam benda benda jasmani sendiri. Untuk memahami hal itu maka harus disinggung pendapat Aristotels yang lazim disebut “teori bentuk-materi”. Aristoteles menegaskan bahwa setiap benda jasmani terdiri dari dua hal, yaitu bentuk dan materi. Misalnya, sebuah patung yang terdiri dari bahan tertentu dan bentuk tertentu.
            Materi menurut Aristoteles adalah prinsip yang sama sekali tidak ditentukan, yang sama sekali “terbuka”. Materi adalah kemungkinan belaka untuk menerima suatu bentuk. Itulah sebabnya Aristoteles menyebutnya: materi pertama (Yunani: hyle prote). Dengan kata “pertama” dimaksudkan bahwa materi sama sekali tidak ditentukan. Namun pada kenyataannya materi pertama selalu mempunyai salah satu bentuk. Bentuk (Yunani: morphe) ialah prinsip yang menentukan. Jadi, kiranya jelas bahwa bagi Aristoteles ilmu pengetahuan dimungkinkan atas dasar bentuk yang terdapat dalam setiap benda konkrit (Bertens, 1988: 15, Yogyakarta, Penerbit Kanisius).
            Teori Aristoteles yang disebutkan di atas, di kemudian hari biasa dinamakan teori “hilemorfisme” (Asal bahasa Yunani: hyle dan morphe). Teori hilemorfisme menjadi dasar juga untuk pandangan Aristoteles tentang manusia. Bertentangan dengan Plato, karena Aristoteles sangat menekankan kesatuan manusia. Manusia merupakan satu substansi yang terdiri dari bentuk dan materi Bentuk itu ialah jiwa. Karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, secara konsekuensi Aristoteles harus mengatakan bahwa pada saat manusia mati, maka jiwanya akan hancur juga (Harun Hadiwijono, 1988: 50, Yogyakarta, Penerbit Kanisius).
            Inti sari ajaran Aristoteles tentang fisika dan metafisika terdapat dalam ajarannya mengenai dinamis (potensi) dan energia (aksi). Ajarannya ini dimaksudkan guna memecahkan masalah perubahan atau gerak dan yang tetap tidak berubah. Para filsuf Elea, seperti Parmenides dan Zeno berpendapat bahwa gerak dan perubahan adalah khayalan. Namun Aristoteles menentang pendapat itu. Menurut Aristoteles, bahwa “yang ada” dalam arti yang mutlak adalah yang teleh terwujud, sedangkan “yang tidak ada” hanya dapat menjadi “yang ada” secara mutlak, atau menjadi “yang ada” secara terwujud, jikalau melalui sesuatu. Di antara “yang tidak ada” dan “yang ada” secara mutlak itu terdapat “ada yang nyata nyata mungkin”, atau “yang ada” sebagai kemungkinan, sebagai bakat, sebagai potensi, sebagai dinamis. “Yang ada” sebagai potensi ini pada dirinya bukanlah sesuatu, sekalipun dapat menjadi sesuatu. “Yang ada” sebagai potensi ini senantiasa cenderung menjadi “yang ada secara terwujud”, sehingga “yang ada” sebagai potensi dapat dipandang sebagai perealisasian dari “yang ada” secara terwujud. Jadi, secara hakiki keduanya harus dibedakan, akan tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan.
            Perubahan dan gerak dalam arti yang lebih luas mencakup hal “menjadi” dan “binasa” serta segala perubahan lainnya, baik di bidang bilangan maupun di bidang mutu dan di bidang ruang. Tiap gerak sebenarnya mewujudkan suatu perubahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa yang secara terwujud. Jadi setiap gerak mewujudkan suatu perpindahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa yang secara terwujud. Dan semua gerak itu tentu ada gerak yang sempurna. Gerak yang sempurna itulah yang disebut penggerak pertama. Penggerak pertama ini adalah Tuhan. Ialah yang menyebabkan gerak abadi, yang sendiri tidak digerakkan, karena bebas dari materi. Tuhan adalah Actus Purus, Aktus murni (Harum Hadiwijono, 1988: 49, Yogyakarta, Penerbit Kanisius).
            Ajaran Aristoteles tentang manusia melalui dua tahap. Dalam tahap pertama, ia masih dipengaruhi oleh Plato, sehingga masih mengajarkan dualisme antara tubuh dan jiwa, serta mengajarkan praeksistensi jiwa. Akan tetapi kemudian ia meninggalkan dualisme dengan menjembatani jurang yang ada di antara tubuh dan jiwa.  Keduanya dipandang sebagai dua aspek dari satu substansi, yang saling berhubungan dan yang nisbahnya sama seperti nisbah antara materi dan bentuk, atau antara potensi dan aktus. Jikalau tubuh adalah materi, maka jiwa adalah bentuknya, jikalau tubuh adalah potensi, maka jiwa adalah aktusnya Jadi, jiwa adalah aktus pertama yang paling asasi, yang menyebabkan tubuh menjadi tubuh yang hidup. Jiwa adalah asas hidup dalam arti yang seluas luasnya, yang menjadi asas segala arah hidup yang menggerakkan tubuh, yang memimpin segala perbuatan menuju kepada tujuannya.
            Puncak pemikiran Yunani Kuno ajaran yang disebut “Neoplatonisme”. Sebagaimana namanya bahwa aliran ini sudah bermaksud menghidupkan kembali filsafat Plato. Namun hal itu bukan berarti bahwa para pengikutnya tidak dipengaruhi oleh filsuf-filsuf lain, seperti Aristoteles. Sebenarnya ajaran neoplatonisme merupakan semacam sintesa dari semua aliran filsafat sampai saat itu, namun Plato diberi tempat istimewa.
            Filsuf yang menciptakan sintesa itu adalah Plotinos yang lahir di Mesir tahun 203 dan meninggal dunia kira kira tahun 270 ssd. M. Filsafat Plotinos berkisar pada Tuhan, sebab Tuhan disebutnya dengan nama “yang Satu”. Plotinos mengatakan bahwa semuanya berasal dari “yang Satu” dan akan kembali ke “yang Satu”. Oleh sebab itu dalam relitas seluruhnya terdapat gerakan dua arah, yaitu dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas. Gerakan dimaksud, yaitu:
a. Dari atas ke bawah.
            Plotinos sangat mementingkan kesatuan semua makhluk yang ada, bersama sama merupakan keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat “yang Satu” (Yunani: to Hen), yaitu: Allah/ Tuhan. Setiap taraf dalam hirarki berasal dari taraf lebih tinggi yang paling berdekatan dengannya. Taraf satu berasal dari taraf lain melalui jalan pengeluaran atau “emanasi” (Inggris: emanation). Istilah “emanasi” mau ditunjukkan bahwa pengeluaran itu berlangsung secara mutlak perlu, seperti air sungai mutlak perlu memancar dari sumbernya. Taraf lebih tinggi tidak bebas dalam mengeluarkan taraf berikutnya. Namun dalam proses pengeluaran ini taraf lebih tinggi tidak berubah dan kesempurnaannya tidak hilang sedikitpun. Adapun proses pengeluaran dilukiskan oleh Plotinus, sbb.:
Dar ‘yang Satu”  dikeluarkan Akal Budi (nus). Akal Budi sama dengan Idea ideanya Plato yang dianggap Plotinos sebagai suatu intelek yang memikirkan dirinya sendiri. Jadi Akal Budi sudak tidak satu lagi, karena di sini terdapat dualitas: pemikiran dan apa yang dipikirkan. Dari Akal Budi itu berasallah Jiwa Dunia (psyche). Akhirnya dari Jiwa Dunia dikeluarkan materi (hyle) yang bersama dengan Jiwa Dunia merupakan jagat raya. Selaku taraf yang paling rendah dalam seluruh hirarki, materi adalah makhluk yang paling kurang kesempurnaannya dan sumber segala kejahatan.
b. Dari bawah ke atas.
            Setiap taraf hirarki mempunyai tujuan untuk kembali kepada taraf lebih tinggi yang paling dekat dank arena itu secara tak langsung menuju ke Allah/ Tuhan. Sebab hanya manusia mempunyai hubungan dengan semua taraf hirarki, dialah yang dapat melaksanakan pengembalian kepada Allah/ Tuhan. Hal itu dapat dicapai melalui tiga langkah, yaitu:
- Langkah pertama adalah penyucian, ialah manusia melepaskan diri dari materi dengan laku tapa.
- Langkah kedua adalah penerangan, dimana ia diterangi dengan pengetahuan tentang Idea-idea Akal Budi.
- Akhirnya langkah ketiga adalah penyatuan dengan Tuhan yang melebihi segala pengetahuan.
- Langkah terakhir ini ditunjukkan oleh Plotinos dengan nama “ekstasis” (Inggris: ecstasy). Hal ini murid Plotinos yang bernama Porphyrios menceriterakan bahwa selama 6 tahun mengikuti gurunya, ia pernah melihat Plotinos mengalami ekstasis sebanyak 4 kali.

BAB. IV
ZAMAN PERTENGAHAN
4. 1. Pendahuluan
            Abad Pertengahan  di Eropa adalah zaman keemasan  bagi kekristenan. Abad Pertengahan selalu dibahas sebagai zaman yang spesifik, karena dalam abad-abad itu perkembangan alam pikiran Eropa sangat terkendali oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama. Filsafat zaman Pertengahan biasanya dipandang  terlampau seragam, dan lebih dari itu dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran sebenarnya.
            Perkembangan pemikiran kefilsafatan terutama filsafat Barat, bila hendak dipahami, maka pendapat semacam di sebutkan di atas tadi hendaknya ditinjau kembali. Apa yang terungkap pada masa Renaissana dan pada filsafat Barat abad ke-17, tidak mungkin dipahami, manakala diabaikan permainan  pendahuluan tentang  hal-hal yang tersebut yang terjadi pada abad Pertengahan (Delfgaauw, 1992: 63).
            Para filsuf Yunani yang sangat berpengaruh pada abad Pertengahan adalah Plato dan Aristoteles. Hal ini bisa dipahami, bahwa pengaruh Plato yaitu pada pemikiran Agustinus, sedangkan pengaruh Aristoteles adalah pada pemikiran Thomas Aquinas.
4.2.Hasil Pemikiran Zaman Pertengahan
Permulaan Abad Pertengahan barangkali dapat dimulai sejak Plotinus. Pada Plotinus (lahir tahun 204 M), pengaruh agama Kristen kelihatannya sudah besar; filsafatnya berwatak spiritual. Kemudian beberapa tokoh utama Abad Pertengahan mulai bermunculan, seperti Augustinus, Thomas Aquinas yang terkenal dengan lima dalil tentang adanya Tuhan, Anselmus yang mengeluarkan istilah credo ut intelligam, yakni yang dianggap ciri utama filsafat Abad Pertengahan, dan lain sebagainya.
            Filsafat Agustinus yang diperkirakan antara tahun 354 s/d. Tahun 430 adalah filsafat di mana keadaan dan situasi ikut berpartisipasi, sehinga merupakan bentuk Platonisme yang sangat spesifik. Dengan pengetahuannya mengenai kebenaran-kebanaran abadi yang disertakan sejak lahir dalam ingatan dan yang menjadi sadar karena manusia mengetahui sesuatu, manusia ikut berpartisipasi dalam idea-idea tentang Tuhan, yang mendahului ciptaan dunia. Ciptaan merupakan keadaan yang ikut ambil bagian dalam idea-idea Tuhan, tetapi manusia adalah ciptaan yang unik, dan manusia bukan yang ambil bagian yang pasif saja, melainkan diwujudkan secara aktif dalam suatu pengetahuan yang penuh kasih (Delfgaauw, 1992: 58).
            Oleh sebab itu, manusia melalui penciptaan dapat mendaki sampai pada pengakuan yang penuh kasih akan Tuhan. Dalam arti tertentu keadaan ikut berpartisipasi  ini terjadi dengan mengetahui sesuatu, namun semua perbuatan mengetahui dibimbing oleh kasih. Demikianlah menurut Agustinus bahwa berpikir dan mengasihi berhubungan secara selaras dan tak terceraikan. Tuhan adalah ada sebagai ada, yang bersifat pribagi dan sebagai pribadi menciptakan seluruh jagad raya secara bebas, dan tidak dengan jelas emanasio yang niscaya terjadi, seperti dikatakan oleh Plotinos.
            Pemikiran filsafat Aristoteles direnungkan secara mendalam oleh Thomas Aquinas (tahun 1125-1274), tanpa ragu-ragu ia mengambil pemikiran filsafat Aristoteles sebagai dasar dalam berfikir secara kefilsafatannya. Namun demikian pemikiran filsafat Thomas Aquinas tidak semata-mata merupakan pengulangan dari filsafat Aristoteles. Ia membuang hal-hal yang tidak pas dengan ajaran Kristiani dan menambahkan hal-hal baru, sehingga filsafatnya melahirkan suatu aliran yang bercorak Thomasisme.
            Thomas Aquinas tentang pandangan terjadinya alam semesta menganut teori penciptaan, artinya bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Dengan tindakan mencipta, Tuhan menghasilkan ciptaan dari ketiadaan. Tuhan mencipta dari ketiadaan pada awal mulanya tidak terdapat dualisme antara Tuhan (kebaikan) dengan materia (keburukan). Karena segala sesuatu timbul oleh penciptaan dari Tuhan, maka segala sesuatu juga ambil bagian dalam kebaikan Tuhan; artinya bahwa alam material mempunyai bentuk kebaikan sendiri. Selanjutnya bahwa penciptaan itu bukan merupakan tindakan pada suatu saat tertentu, yang sesudah itu ciptaan tersebut untuk seterusnya dibiarkan mengadu nasibnya. Mencipta berarti secara terus menerus menghasilkan serta memelihara ciptaan  (Delfgaauw, 1992: 86-87).
Tuhan mencipta alam semesta serta wktu adalah dari keabadian, dan gagasan penciptaan tidak bertentangan dengan alam abadi. Kitab suci mengajarkan bahwa alam semesta berawal mula atau ada awal dan ada akhir, namun bagi filsafat tidak membuktikan hal itu, seperti halnya filsafat juga tidak dapat membuktikan bahwa alam semesta tanpa awal dan tanpa akhir.

BAB. V
FILSAFAT BARAT JAMAN MODERN
5. 1. Pendahuluan
            Filsafat dan ilmu pengetahuan merupakan suatu pasangan yang tampaknya kurang seimbang. Hal ini dapat dilihat antara lain karena filsafat merumuskan pertanyaan, sedangkan ilmu pengetahuan memberi jawaban. Ilmu pengetahuan berkembang pesat, filsafat kelihatannya tidak pernah maju. Namun di lain pihak, sejarah suatu ilmu tertentu  kurang dipentingkan bagi umat manusia sekarang, karena jawaban-jawaban dari dahulu sering kali sudah dikoreksi, sedangkan pertanyaan-pertanyaan dari sejarah filsafat masih tetap actual bagi manusia masa kini.
            Pendapat-pendapat masa lampau tentang “pertanyaan-pertanyaan terakhir”, pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengethauan, tidak lebih jelek atau lebih baik daripada pendapat-pendapat yang dikemukakan sekarang. Sejarah filsafat seakan-akan merupakan suatu diskusi kontinyu mengenai pertanyaan-pertanyaan manusia, dan dalam hal ini rentetan pendapat dari semua jaman dan sudut dunia sama berharga.
            Sejarah filsafat mirip suatu museum yang memuat koleksi raksasa dari pendapat pendapat pemikir-pemikir besar mengenai misteri hidup. Koleksi ini bertambah terus menerus. Dalam koleksi ini dibedakan tiga tradisi besar, yaitu filsafat India, filsafat Cina, dan filsafat Barat. Khusus dalam rencana pembicaraan ini adalah filsafat Barat yang mempunyai tiga jaman yang menonjol dan tiga periode keemasan, yaitu filsafat kosmosentris dari jaman Yunani, filsafat teosentris dari abad pertengahan, dan filsafat antroposentris dari jaman modern dan kontemporer. Pada bahasan ini hanya akan berbicara tentang jaman ketiga, yaitu pereode yang dimulai dari filsafat hasil pemikiran Rene Descartes (1596-1650) yang mendapat julukan Bapak filsafat modern, yang berlangsung sampai masa kini dan tetap jadi pembicaraan.
            Berbicara tentang filsafat modern, amat luas menghadapi pertanyaan, oleh sebab itu, maka “mana yang harus dimuat, mana tidak”: what to leave out and what to put in, that’s the problem. Pembicaraan pada masalah ini banyak hal yang tidak dimuat, sehingga nanti akan nampak sebagai ihtisar yang sederhana. Ihtisar dimaksud adalah ihtisar tentang filsafat modern dari filsafat abad ketujuh belas, filsafat abad kedelapan belas, dan filsafat abad kesembilan belas. Filsafat pada abad-abad itu sudah dianggap “klasik”. Di sinilah nanti beberapa pokok pemikirannya tentang filsafat modern yang dapat dilihat dalam uraian berikut ini.
5. 2.  Filsafat Abad Modern.
            Peralihan dari abad pertengahan ke abad Modern ditandai oleh suatu era yang disebut dengan ”Renaissans”. Era Renaissans adalah suatu zaman yang sangat menaruh perhatian dalam bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi (Lucas, 1960: 3). Pada jaman ini berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad Pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat (Patterson, 1971: 2).
            Zaman Renaissans terkenal dengan jaman kelahiran kembali kebasan manusia dalam berpikir. Renaissans adalah zaman atau gerakan yang didukung oleh cita-cita lahirnya kembali manusia yang bebas. Manusia bebas yang dimaksudkan dan didambakan adalah manusia bebas seperti yang ada dalam zaman Yunani Kuno. Pada zaman Renaissans ini manusia Barat mulai berpikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini telah ”mengungkung” kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan.
            Filsafat Barat Modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan ”Renaissans” itu di dalamnya mengandung dua hal yang sangat penting, yaitu:
Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan Gereja.
Kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan (Russell, 1957: 511).
Pengaruh dari gerakan Renaissans iu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan Barat modern berkembang dengan pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma Gereja. Terbebasnya manusia  Barat dari otoritas Gereja merupakan dampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sebab pada zaman Renaissans, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi didasarkan pada otoritas dogma-dogma Gereja, melainkan didasarkan atas kesesuaiannya dengan akal. Sejak jaman Renaissans, kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan, dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap, namun dapat berubah dan diferivikasi sepanjang waktu.
            Dengan demikian filsafat Barat Modern memiliki corak yang berbeda dengan periode filsafat Abad Pertengahan. Perbedaan itu terletak terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada Zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman Modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri. Kekuatan yang mengikat itu ialah agama dengan Gerejanya, serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
            Para filsuf Modern pertama-tama menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau dogma-dogma Gereja, juga tidak berasal dari kekuasaan feodal, melainkan dari diri manusia sendiri (Nico Syukur Diester, 1992: 55). Sebagai ahli waris zaman Renaissans, filsafat Modern itu bercorak  ”antroposentris”, artinya manusia menjadi pusat perhatian penyelidikan filsafati. Semua filsuf pada zaman Modern menyelidiki segi-segi subjek manusiawi; ”aku” sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat kehendak, dan pusat perasaan (Hammersma, 1983: 3-4).
            Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman Modern, khususnya dalam abad ke-17, adalah persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologi ini, maka dalam filsafat abad ke-17 muncullah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat dimaksud adalah aliran rasionalisme dan aliran empirisme.
            Mengawali filsafat Modern dengan kemunculannya aliran rasionalisme yang tokoh utamanya adalah Rene Descartes, maka setidak-tidaknya harus dipahami bagaimana filsafat Rene Descartes. Dari sinilah tonggak awal pemikiran filsafat Modern dimulai. Dengan ketidak puasannya Rene Descartes (1596-1650) terhadap filsafat pada zaman Renaissans, yang dianggapnya kurang sistematis dan kurang metode, maka diperbaharuilah filsafat, yaitu dengan “kesangsian metodis”. Menurut Rene Descartes, segala sesuatu hal disangsikannya, supaya tinggal diterima hal yang betul-betul pasti, sehingga dapat terjadi suatu system filsafat seperti suatu system ilmu pasti: yaitu suatu system berdasarkan aksioma-aksioma, dan tersusun menurut langkah-langkah logis, yaitu:
            Pertama, ia mengawalinya dengan ucapan “kalau saya sangsi akan segala sesuatu, tinggal satu hal yang tidak dapat disangkal, yaitu kesangsian itu sendiri”.  Sebenarnya pikiran ini tidak baru, namun yang baru pada Descartes, yaitu bahwa subjek yang sedang berpikir menjadi titik pangkal untuk filsafatnya. Kata Descartes, kalau saya ragu-ragu akan segala sesuatu, saya masih berpikir, dan kalau saya berpikir, saya ada. Jadi kalau saya berpikir maka saya ada, istilah Yunani: Cogito ergo sum (Harry Hamersma, 1992: 8).
            Kedua, Descartes dalam berpikir berpangkal pada dirinya sendiri. Artinya, bahwa ia mengambil manusia yang sebagai subjek berpikir sekaligus dijadikan sebagai titik tolak berpikirnya. Hal inilah yang sama sekali baru, karena sebeleum Descartes, kebenaran selalu berdasarkan kekuasaan di luar manusia, misalnya kekuasaan kitab suci, tradisi, Negara, dan lain sebagainya. Tetapi bagi Descartes, bahwa manusia sendiri menjadi kekuasaan yang “membawa”, dan “memikul” kenyataan. Manusia yang berpikir merupakan pusat dunianya, dan berkat idea inilah sehingga ia dijuluki sebagai ”Bapak filsafat modern”.
            Ketiga, bahwa Desacartes mengatakan bila dirinya telah mempunyai kepastian tentang idea. Hal ini tampak dengan ucapannya “saya berpikir, maka saya ada”, karena menurutnya idea “jelasdan tegas”, dan semua hal yang dimilikinya merupakan idea-idea yang jelas dan tegas atau yang dilihatnya (Prancis: clare et distincte) itu pasti. Akal budi, ratio, mencapai kepastian ini tanpa pertolongan apa pun. Oleh karena itu, Descartes nampaklah bahwa dirinya sebagai seorang “rasionalis” sejati.
            Keempat, Descartes menyatakan bahwa ideanya tentang yang “jelas dan tegas”, di dalamnya memuat tiga substansi yaitu, substansi Allah, pemikiran (cogitatio), dan keluasan (extensio). Substansi pemikiran merupakan bidang psikologi atau bidang jiwa, sedangkan keluasan adalah bidang ilmu alam atau bidang materi. Dalam manusia kedua bidang yaitu pemikiran dan keluasan merupakan kesatuan, namun menurut Descartes tentang kesatuan ini agak aneh. Maksudnya yaitu, bawa pemikiran yang berupa kejiwaan dan keluasan yang berupa badani atau materi  adalah merupakan dua kenyataan terpisah, yang saling mempengaruhi melaui kelenjar kecil di bawah otak. Oleh sebab itu, seorang filsuf Inggris, Ryle, mengatakan bahwa dalam pikiran Descartes, manusia itu bagaikan “suatu hantu dalam sebuah mesin” (Harry Hamersma, 1992: 9).
            Berdasar dari pemikiran Descartes seperti itu, ternyata pengaruhnya tidak hanya bidang filsafat, melainkan juga ilmu pasti, ilmu alam, dan kedokteran, sehingga tampak jelas, bahwa dia telah memberi epistemology yang sama sekali baru, dan filsafat telah dibuatnya sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Sikap rasionalis ini pun juga ditemukan pada Spinoza dan Leibniz.
            Filsafat modern tidak saja ditemukan pada Descartes, meskipun dia telah mencari dasar untuk semua kepastian,  dan dia mendapat dasar ini dalam penglihatan “saya berpikir, maka saya ada”. Ternyata penglihatan Descartes tentang “saya berpikir, maka saya ada” menjadi titik pangkal aliran rasionalisme, meskipun di Inggris dalam waktu yang sama juga timbul aliran lain, yaitu aliran empirisme.
            Aliran empirisme dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679) dan aliran ini sangat penting bagi John Loke (1632-1704) sebagai seorang tokoh aliran empirisme Hal ini dapat dimengerti karena rasionalisme menekankan peranan “rasio”, akal budi, maka empirisme menekankan peranan “pengalaman inderawi” (Yunani: emperia).
            Bagi penganut empirisme, bahwa sumber pengetahuan yang memadai itu ialah pengalaman. Pengalaman yang dimaksudkan di sini ialah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman. Oleh sebab itu para penganut aliran empirisme berkeyakinan bahwa manusia tidak mempunyai idea-idea bawaan yang dalam bahasa Yunani disebut ”Innate ideas”. Bagi mereka manusia itu ibarat kertas putih yang belum ditulisi, dan baru terisi melalui pengalaman-pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah.
            Aliran empirisme pertama kali berkembang di Inggris pada abad ke-15 dengan Francis Bacon sebagai pelopornya. Bacon memperkenalkan metode eksperimen dalam penyelidikan atau penelitian. Menurut Francis Bacon, bahwa manusia melalui pengalamannya dapat mengetahui benda-benda dan hukum-hukum relasi antara benda-benda. Kemudian ajaran ini dilanjutkan oleh Thomas Hobbes, ia juga meyakini bahwa pengenalan atau pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman. Berbeda dari pendahulunya, John Locke lebih terdorong untuk mengemukakan tentang asal mula gagasan manusia, kemudian menentukan fakta, menguji kepastian pengetahuan dan memeriksa batas-batas pengetahuan manusia. Menurut Locke, tidak ada perbedaan antara pengetahuan dari akal budi dan pengetahuan dari pancaindera. Semua pengetahuan berasal atau dari pengalaman lahiriah (dari sense atau external sensation).  Atau dari pengalaman batin (internal sense atau reflexion). Yang lahiriah memberi informasi tentang dunia di luar manusia, yang batin tentang dunia di dalam manusia, yakni jiwa. Pengalaman lahiriah, sensation, itu tersusun dari sifat-sifat seperti ”keluasan”, ”bentuk”, ”jumlah” dan ”gerak”. Pengalaman batin, reflexion, terjadi kalau kesadaran melihat keaktifannya sendiri. Dengan cara ini terjadi ”ingat”, ”memperbandingkan”, ”menghendaki”, dan seterusnya. Pikiran John Locke tidak hanya penting untuk epistemologi dan psikologi, melainkan juga untuk politik. Dari John Locke berasal ide tentang pembagian kekuasaan politik atas tiga unsur. Pembagian ini setelah disempurnakan oleh filsuf Perancis Montesquieu, menjadi fondamen politik untuk banyak sekali demokrasi modern. Menurut John Locke, kekuasaan politik harus dibagi antara pemerintah (kekuasaan eksekutif), parlemen (kekuasaan yang menetapkan Undang Undang), dan rakyat (kekuasaan federatif) yang memutuskan tentang hal-hal yang sangat penting, seperti perang dan damai. Unsur ketiga ini, dalam pikiran politik Montesquieu diganti dengan kekuasaan kehakiman. Secara hal ini tersusunlah trias politica, suatu keseimbangan kekuasaan yang telah membuktikan efektivitasnya: pemerintah – parlemen – kehakiman. Hanya kalau tiga bidang ini sama sekali terpisah, demokrasi betul-betul terjamin sehingga baik diktatur maupun anarki dapat dihindarkan. Ide-ide politik John Locke secara langsung dipraktekkan dalam Glorious Revolution di Inggris, dan dalam kemerdekaan Amerika Serikat (Harry Hamesma, 1992: 19).
Paham empirisme ini kemudian dikembangkan oleh David Hume (tahun 1611-1776), ia menegaskan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman, dan ia sangat menentang kaum rasionalisme yang berlandaskan pada prinsip apriori, yang bertitik tolak dari idea-idea bawaan. David Hume mengajarkan bahwa manusia  tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan ialah pengamatan, melalui pengamatan ini manusia memperoleh dua hal, yaitu kesan-kesan (impresion) dan pengertian-pengertian (ideas) (Harun Hadiwijono, 1985: 52). Kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik lahiriah maupun batiniah. Sedangkan pengertian-pengertian merupakan gambaran tentang pengamatan yang redup, kabur atau samar-samar yang diperoleh dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima melalui pengamatan langsung.
            Di abad filsafat Modern, kemunculan aliran-aliran bukan saja hanya aliran rasionalisme dan aliran empirisme, melainkan banyak aliran lain, seperti aliran Kritisisme, aliran Idealisme, aliran Positivisme, dan lain sebagainya, yang kemudian dilanjutkannya dengan filsafat abad kesembilan belas.
            Dari sudut historis secara umum, ciri-ciri khas abad kesembilan belas adalah ”ekspansi” dan ”desintegrasi”. Ekspansi memperlihatkan diri dalam macam macam perkembangan spektakuler, seperti dalam jumlah penduduk, dalam kemajuan teknis dan ilmiah, dan dalam politik imperialistis. Desintegrasi kelihatan di hampir semua bidang kehidupan manusia. Manusia abad kesembilan belas makin sendirian. Banyak struktur sosial dan religius hilang. Sejajar dengan proses individualisasi politik, yaitu dalam bentuk nasionalisme yang berlebih-lebihan. Juga dalam dunia ilmu pengetahuan kelihatan suatu proses disintegrasi. Peranan bahasa Latin sebagai bahasa internasional untuk semua ilmu, dalam abad kesembilan belas semakin kecil, sehingga hanya masih dapat dibaca buku-buku ilmiah yang diterbitkan dalam bahasa-bahasa yang kebetulan dikuasai.
            Desintegrasi ini juga dicerminkan dalam filsafat abad kesembilan belas. Peta filsafati abad ini penuh kekacauan. Ada beberapa ”jalan raya” atas peta ini, seperti positivisme, materialisme, eksistensialisme, evolusionisme, dan pragmatisme. Tetapi tidak mudah untuk melihat semua aliran ini dalam satu perspektif besar. Mungkin terdapat hanya dua ciri umum di bawah semua perbedaan pendapat filsafat abad kesembilan belas. Yang pertama, yakni bahwa hampir semua aliran merupakan suatu ”reaksi”, sedang yang kedua, ialah bahwa manusia sekarang lebih diselidiki sebagai pusat ”kehendak” dan ”tindakan” daripada sebagai pusat intelek dan pemikiran. Contoh: seperti positivisme merupakan suatu reaksi terhadap spekulasi teologis dan metafisis filsafat Hegel, demikian materialisme merupakan suatu reaksi terhadap idealisme Hegel, dan eksistensialisme suatu reaksi terhadap esensialisme Hegel. Juga pragmatisme merupakan suatu reaksi terhadap suatu sikap teoritis. Reaksi-reaksi ini merupakan hampir setiap kali sekaligus suatu peralihan perhatian dari rasio dan empiri ke kehendak. Dalam filsafat setelah Hegel, peranan kehendak sebagai motor tindakan di mana-mana lebih ditekankan daripada peranan rasio sebagai subyek pemikiran.

BAB. VI
FILSAFAT ABAD KONTEMPORER/ POSTMODERNISME
6. 1. Pendahuluan
            Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam akhir abad ke-20, dan memasuki awal abad ke-21 ini adalah pemikiran tentang bahasa. Sebagian besar pemikir akhir abad ke-20 pernah menulis tentang bahasa (Bertens, 1987: 17). Ungkapan filsafat yang membingungkan. Tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan-pernyataan tentang sesuatu yang khusus, sebagaimana yang diperbuat oleh para filsuf sebelumnya, melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidak pahaman terhadap bahasa logika (Charlesworth, 1959: 2).
            Russell dan Wittgenstein melangkah lebih jauh ke dalam metode analisa bahasa ini sebagai sikap atau keyakinan ontologis memilih alternatif terbaik bagi aktivitas berfilsafat. Menurut Wittgenstein, bahwa apa yang dihasilkan oleh sebuah karya filsafat bukan hanya sederetan ungkapan filsafati, melainkan upaya membuat ungkapan-ungkapan itu menjadi jelas. Tujuan filsafat adalah penjelasan logis terhadap pemikiran-pemikiran . Filsafat bukanlah doktrin, melainkan aktivitas. Sebuah karya filsafat pada hakekatnya terdiri atas penjelasan (elucidations) (Wittgenstein, 1963: 49).
            Dengan demikian jelaslah apa yang diperbuat oleh para filsuf analitik ini tidak lain sebagai reaksi atau respons terhadap aktivitas filsafat yang dilakukan oleh para penganut aliran filsafat idealisme. Sebab aliran filsafat idealisme lebih menekankan pada upaya mengintrodusir ungkapan-ungkapan filsafati. Padahal ungkapan-ungkapan filsafati yang diintrodusir oleh penganut idealisme itu menurut filsuf analitik, kebanyakan bermakna ganda, kabur dan tidak terpahami oleh akal sehat. Hal-hal semacam itulah yang perlu diatasi dengan analisa bahasa.
6. 2. Filsafat Abad Kontemporer/ Filsafat Postmodernisme
            Perkembangan filsafat akhir abad ke-20 dan memasuki awal abad ke-21, juga ditandai oleh munculnya berbagai aliran filsafat, dan kebanyakan dari aliran filsafat itu merupakan kelanjutan dari aliran aliran filsafat yang telah berkembang pada abad Modern, seperti neo-kantianisme, neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme, dan lain sebagainya. Namun demikian ada juga aliran filsafat yang baru dengan ciri dan corak yang lain sama sekali, seperti fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme, dan yang paling mutakhir adalah aliran Postmodernisme. Oleh karena banyaknya keterbatasan, maka dalam hal ini hanya dibicarakan beberapa aliran dan tokoh yang banyak pengaruhnya pada akhir abad ke-20 ini.
            Tokoh utama fenomenologi, yaitu Edmund Husserl (Tahun 1859-1938) yang sekaligus juga pendirinya, ia banyak mempengaruhi pemikiran filsafat abad ke-20 ini secara amat spektakuler. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (Yunani: phainomenon). Dengan demikian fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari apa yang menampakkan diri atau fenomenon (Bertens,  1987: 100). Fenomenon bagi Husserl adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, sehingga realitas itu sendiri yang tampak bagi subjek. Husserl dengan pandangannya tentang fenomenon ini, mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat. Karena sejak Descartes, bahwa kesadaran selalu dimengerti sebagai kesadaran tertutup atau cogito tertutup, artinya bahwa kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan jalan itu mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah pada realitas. Jadi, ”kesadaran bersifat intensional” sebetulnya sama artinya dengan mengatakan realitas menampakkan diri.
            Eksistensialisme dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat erat dan menunjukkan pemberontakan tambahan terhadap metode-metode dan pandangan pandangan filsafat Barat. Istilah eksistensialisme tidak menunjukkan suatu sistem filsafat secara khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara para pengikut aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini yang tampak pada para penganutnya. Titus dkk. (1984: 382) tentang aliran Eksistensialisme mengidentifikasi ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
  1. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat Modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
  2. Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
  3. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri Modern dan teknologi, serta gerakan masa. Oleh sebab itu masyarakat industri cenderung untuk seseorang kepada mesin.
  4. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fisis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan dalam kolektif atau massa.
  5. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
  6. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Salah seorang tokoh eksistensialisme yang populer adaah Jean Paul Sartre (Tahun 1905-1980), ia membedakan rasio dialektis dengan rasio analitis. Rasio analitis dijalankan dalam ilmu pengetahuan. Rasio dialektis harus digunakan, jika berpikir tentang manusia, sejarah dan kehidupan sosial. Rasio terakhir ini bersifat dialektis, karena terdapat identitas dialektis antara Ada dan pengetahuan. Rasio ini dialektis, karena objek yang diselidikinya bersifat dialektis, dan juga karena ditentukan oleh tempatnya dalam sejarah (Bertens, 1987: 111).
            Aliran filsafat eksistensialisme yang menjadi mode berfilsafat pada pertengahan abad ke-20 mendapat reaksi dari aliran strukturalisme. Jika aliran eksistensialisme menekankan pada peranan individu, maka aliran strukturalisme justru melihat manusia ”terkungkung” dalam berbagai struktur dalam kehidupannya. Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat.
Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip lingustik yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Ilmu-ilmu kemanusiaan di sini dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminologi Dilthey disebut ”Geisteswissenschaften” yang dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam atau ”Naturwissenschaften”.
Kedua, struturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahamimasalah yang muncul dalam sejarah filsafat.  Metodologi struktural di sini dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusastraan dan dalam pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia (Kurzwell, 1980: vi-x).
            Para strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistik dalam berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia dari sudut pandangan yang subjektif. Para penganut aliran strukturalisme ini memilki corak yang beragam, namun demikian mereka memiliki kesamaan, yaitu: penolakan terhadap prioritas kesadaran. Bagi mereka manusia tidak lagi merupakan titik pusat yang otonom, manusia tidak lagi menciptakan sistem, melinkan takluk pada sistem.
            Tokoh berpengaruh dalam aliran filsafat strukturalisme, yaitu Michel Foucault (Tahun 1926-1984). Kesudahan ”manusia” sudah dekat, itulah pendirian Foucault yang sudah terkenal tentang ”kematian” manusia. Maksud Foucault bukannya bahwa nanti tidak ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep “manusia” sebagai suatu kategori istimewa dalam pikiran manusia (Bertens, 1987: 217). Manusia akan kehilangan tempatnya yang sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam kultur seluruhnya.
            Di abad ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praksis cukup besar, yaitu aliran filsafat Pragmatisme. Pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang menjadi terkenal selama satu abad terakhir. Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran (Titus, dkk, 1984: 340). Kelompok pragmatis bersikap kritis terhadap sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti bentuk-bentuk aliran materialisme, idealisme, dan realisme. Mereka mengatakan bahwa pada masa lalu filsafat telah keliru karena mencari hal-hal mutlak, yang ultimate, esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang tetap dan sistem kelompok empiris, dunia yang berubah serta problema-problemanya, dan alam sebagai sesuatu dan manusia tidak dapat melangkah keluar daripadanya.
            Salah satu tokoh Pragmatisme adalah William James (Tahun 1842-1910), berpandangan bahwa pikirannya sendiri sebagai kelanjutan empirisme Inggris, namun empirismenya bukan merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasar atas fakta lepas sebagai hasil pengamatan. James membedakan dua macam bentuk pengetahuan, yaitu:
Pertama, pengetahuan yang langsung diperoleh dengan jalan pengamatan.
Kedua, merupakan pengetahuan tidak langsung yang diperoleh dengan melalui pengertian (Delfgaauw, 1988: 62).
Kebenaran itu suatu proses, suatu idea dapat menjadi benar apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa sebagai akibat atau buah dari idea itu. Oleh karena kebenaran itu hanya satu yang potensial, baru setelah verifikasi praktis (berdasarkan hasil/ buah pikiran), maka kebenaran potensial menjadi real.
            Postmodernisme sebagai trend dari suatu pemikiran yang sangat populer pada penghujung abad ke-20 ini merambah ke berbagai bidang dan disiplin filsafat serta ilmu pengetahuan. Istilah ”Postmodern” telah digunakan dalam demikian banyak bidang dengan meriah dan hiruk-pikkuk. Kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi kepadanya mengandung resiko dicap sebagai ikut mengabadikan mode intelektual yang dangkal dan kosong.
            Pada awalnya Postmodernisme lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan Modernisme. Filsafat dalam Modernisme memang berpusat pada Epistemologi yang bersabda pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang satu sama lain terpisah dan tak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat adalah mencari fondasi segala pengetahuan (Fondasionalisme), dan tugas pokok subjek adalah merepresentasikan kenyataan objektif (Representasionalisme). Dengan demikian klaim-klaim dari kaum Posmodernis tentang ”berakhirnya Modernisme” biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan Modern tentang ”subjek” dan ”dunia objektif” tadi (Bambang Sugiharto, 1996: 33).
            Wacana Postmodern menjadi populer setelah Francois Lyotard (Tahun 1924- ) menerbitkan bukunya ”The Postmodern Condition: A Report on Knowldge” (Tahun 1979). Modernitas menurut Lyotard ditandai oleh kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat Modern, mirip dengan mitos-mitos yang mendasari masyarakat primitive dulu. Seperti halnya dengan mitos dalam masyarakat primitive, kisah-kisah besar pun melegitimasi institusi-institusi serta praktek-praktek social politik, system hokum serta moral, dan seluruh cara berpikir. Namun berbeda dengan mitos-mitos, kisah-kisah besar itu tidak mencari legitimasi dalam suatu peristiwa yang terjadi pada awal mula (seperti penciptaan oleh dewa-dewa) melainkan dalam suatu masa depan, dalam suatu idea yang harus diwujudkan (Bertens, 1987: 348). Salah satu contoh kisah besar yang berusaha mewujudkan idea seperti itu adalah emansipasi progresif dan rasio serta kebebasan dalam liberalisme politik.
6.3.Perkembangan Postmodernisme
            Filsafat postmodernisme, merupakan suatu gerakan yang sedang berproses sebagai konsekuensi dari suatu pemikiran manusia baru. Suatu fenomena dari budaya secara umum, memiliki tampilan tersendiri baik ditinjau dari metodologi, konvensi, gaya dan toleransi, keragaman dan orientasi perubahan.
            Filsafat postmodernisme mempunyai karakteristik yang ingin menunjukkan tidak mewakili satu titik pandang dan satu sama lain bisa kontradiktif, atau bisa searah. Secara garis besar, ada yang bersifat ”konservatif” dan ”progresif”, ada pula yang bersifat ”perlawanan” dan ”reaksi” (Wowo Sunaryo Kuswana, 2013: 60). Perdebatan anatara para pemikir postmodern terus berlangsung untuk menunjukkan sebagai pemikir sejati pada zamannya.
            Postmodernisme adalah kecenderungan dalam budaya kontemporer ditandai oleh penolakan terhadap kebenaran objektif dan narasi budaya global atau meta-naratif. Hal ini menekankan peran bahasa hubungan kekuasaan dan motivasi, khususnya serangan itu penggunaan klasifikasi tajam seperti jantan dan betina, lurus versus gay, putih versus hitam, dan imperial versus kolonial. Postmodernisme telah mempengaruhi bidang budaya, termasuk kritik sastra, sosiologi, linguistik, arsitektur, seni visual, dan musik. Pikiran modernis adalah keberangkatan yang disengaja dari pendekatan modernis yang sebelumnya dominan. Istilan ”posmodernisme” istilah berasal dari kritik atas mentalitas ”modernis” sebagai bentuk karya ilmiah objektivitas dan kemajuan yang terkait dengan pencerahan.
            Gerakan gerakan ini, modernisme dan posmodernisme, dipahami sebagai proyek budaya atau sebagai kumpulan perspektif. ”Postmodernisme” digunakan dalam teori kritis untuk merujuk kepada titik tolak untuk karya sastra, drama, arsitektur, bioskop, jurnalisme, dan desain, serta dalam pemasaran dan bisnis dan dalam penafsiran hukum, budaya, dan agama di akhir abad 20 dan awal abad 21.
            Postmodernisme merupakan gerakan akademik, yang dapat dipahami sebagai reaksi terhadap modernisme dalam humaniora. Modernisme ini terutama berkaitan dengan prinsip seperti identitas, persatuan, otoritas, dan kepastian, sedangkan postmodernisme sering dikaitkan dengan perbedaan, pluralitas, tekstualitas, dan skeptisisme.
            Kritikus sastra Fredric Jameson (dalam Wowo Sunaryo Kuswana, 2013: 61) menjelaskan bahwa postmodernisme sebagai ”logika budaya dominan kapitalisme akhir”. Yang dimaksud  ”kapitalisme akhir” adalah mengacu pada fase kapitalisme setelah Perang Dunia II, seperti yang dijelaskan oleh ekonom Ernest Mandel, istilah ini mengacu pada periode yang sama terkadang disebut dengan ”globalisasi”, ”kapitalisme multinasional”, atau ”kapitalisme konsumen”. Dalam karya ini yang dipelajari postmodern adalah konteks estetika, politik, filsafat, dan ekonomi.
            Postmodernnisme pertama kali dipergunakan pada sekitar tahun 1870-an di beberapa negara, seperti digunakan oleh John Watkins Chapman seorang pelukis yang mendeklarasikan tentang ”Lukisan Gaya Postmodern”, sebagai bentuk untuk melampaui ketenarannya lukisan yang beraliran impresionalisme Perancis (Wowo Sunaryo Kuswana, 2013: 61)
            Pengaruh terhadap para pemikir yang terkait dengan Postmodernisme adalah kritik Heidegger tentang subjek-objek atau divisi pengetahuan akal implisit dalam rasionalisme, empirisme dan metodologi naturalisme, penolakan tentang gagasan bahwa fakta-fakta yang ada di luar atau terpisah dari proses berpikir dan berbicara, terkait dengan pengakuan bahwa kemungkinan wacana filosofis dan ilmiah yang dibungkus dalam praktik-praktik dan harapan masyarakat. Konsep-konsep dan dasar konstruksi adalah ekspresi dari sebuah latihan, sejarah peninggalan bukan derivasi sederhana eksternal, kondisi apriori independen dari pikiran dan pengalaman sejarah perubahan.
            Beberapa pemikir yang berorientasi dan beraviliasi pada pemikiran postmodernisme, antara lain:
            Jacques Derrida (th. 1930-2004), yakni dengan pemikirannya bahwa ia berpikir untuk kembali memeriksa dasar-dasar tulisan dan konsekuensi terhadap filsafat pada umumnya; ia berusaha untuk merusak bahasa ”kehadiran” atau metafisika dalam teknik analis yang semula sebagai titik tolak dari pengertian Heidegger tentang ”dstruktion”, kemudian dikenal sebagai dekonstruksi (Wowo Sunaryo Kuswana, 2013: 64). Derrida menggunakannya seperti Heidegger, yakni sebagai reverensi untuk pengertian filsafat Yunani dikaitkan dengan skeptis dan presocratics, seperti epoche dan eporia untuk mengartikulasikan gagasan tentang kebulatan implisit antara premis dan kesimpulan, asal-ususl dan manifestasi, tetapi secara analog dalam hal-hal tertentu untuk disajikan ulang membaca tokoh-tokoh filsafat radikal, seperti Plato, Aristoteles, dan Rene Desacartes sebagai diri mereka sendiri yang diinformasikan seperti pengertian ”destabilisasi” (Wowo Sunaryo Kuswana, 2013: 65).
            Michel Foucault (th. 1926-1984), ia yang menerapkan konsep-konsep seperti ”rezim diskursif” atau kembali dipanggil orang orang filsuf yang lebih tua, seperti ”episteme” dan ”genealogi” dalam rangka untuk menjelaskan hubungan antara makna, kekuasaan dan perilaku sosial dalam tatanan sosial. Secara kontradiksi langsung terhadap apa yang telah ditandai  sebagai perspektif modernisme pada epistemologi, Foucault menegaskan bahwa penilaian rasional, praktik sosial dan ”biopower” apa yang ia sebut tidak hanya dipisahkan tetapi co-determinan. Menurut Foucault penolakannya terhadap apa yang dianggap konsep pencerahan yang diturunkan dari kebebasan, pembebasan, penentuan nasib sendiri dan sifat manusia. Sebaliknya, Foucault berfokus pada cara yang seperti konstruksi dapat memupuk hegemoni kekerasan, budaya dan pengucilan. Sejalan dengan penolakannya seperti ”positif ajaran humanisme era pencerahan, ia aktif dalam gerakan anti psychiatry, mengingat banyak psikiatri dilembagakan dan khususnya konsep Freud represi pusat untuk psikoanalisis.
            Michel Foucault dikenal karena aforisme kontroversial, seperti ”bahasa adalah penindasan”, yang berarti bahwa fungsi bahasa sedemikian rupa untuk membuat kecenderungan masuk akal, palsu atau diam yang mungkin mengancam atau merusak distribusi daya dukungan konvensi suatu masyarakat, bahkan ketika distribusi tersebut dimaksudkan untuk merayakan kelompok minoritas pembebasan dan ekspresi atau nilai dan perspektif. Tulisan-tulisannya memiliki pengaruh besar terhadap tubuh pemikiran akademik postmodern.
            Dan masih banyak beberapa tokoh yang lain yang berorientasi dan beraviliasi pada pemikiran postmodernisme, misal Jean-Francois Lyotar, dan Richard Rorty.

BAB. VII
PENUTUP

            Berdasarkan paparan singkat perkembangan filsafat Barat sejak kelahirannya pada zaman Yunani Kuno sekitar Abad ke-6 Sebelum Masehi sampai dengan akhir Abad ke-20 dan memasuki awal Abad ke-21 atau abad Kontemporer yang biasa juga lazim disebut zaman Postmodern.  Secara singkat dapat ditegaskan bahwa pemikiran filsafat Barat diawali dengan berkembangnya pemikiran sebagai reaksi terhadap mitos-mitos dan sikap dogmatis. Reaksi terhadap mitos dan sikap dogmatis ini melahirkan pemikiran rasional, artinya bahwa suatu pendapat yang dimitoskan dan telah menjadi dogma yang beku dilawan, ditentang, dan dikoreksi berdasarkan asumsi-asumsi ilmiah yang baru. Di sini ciri utama filsafat spekulatif menjadi lebih dominan, artinya ada keberanian untuk menemukan hal-hal baru, walaupun manusia pada zamannya mungkin belum dapat menerima idea-idea tersebut pada massa itu, sebagaimana halnya Copernicus, Galileo Galilei yang pandangan Heliosentrismenya belum dapat diterima oleh umat manusia pada zamannya, namun akhirnya pandangan mereka tetap diakui kebenarannya pada era-era sesudahnya.
            Demikian juga dengan kelahiran filsafat Modern yang dirintis sejak Renaissans dan Aufklarung, merupakan reaksi terhadap pemikiran filsafat abad Pertengahan yang bersifat dogmatis. Gereja sebagai institusi pada waktu menjadi satu-satunya otoritas yang mengakui kebenaran dan keabsahan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Padahal perkembangan ilmu pengetahuan di luar kontrol Gereja sudah berjalan sangat pesat, terutama bidang Astronomi. Sehingga upaya mengontrol perkembangan ilmu pengetahuan kedalam sekat-sekat agama mengalami kegagalan. Bahkan terjadi sekularisasi ilmu, yaitu pemisahan antara aktivitas ilmiah dengan aktivitas keagamaan. Inilah yang terjadi di abad abad Modern.
            Pada akhir abad ke-20 dan memasuki awal abad ke-21, kelahiran Postmodernisme juga sebagai reaksi terhadap pemikiran Modern yang juga telah berubah menjadi mitos baru. Filsafat Modern yang lahir sebagai reaksi terhadap sikap dogmatis Abad Pertengahan, menurut kaum Postmodernis telah terjebak dalam membangun mitos-mitos baru. Mitos-mitos baru itu ialah suatu keyakinan bahwa dengan pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan, dan aplikasinya dalam teknologi, segala persoalan kemanusiaan dapat diselesaikan. Padahal  kenyataannya banyak agenda kemanusiaan yang masih membutuhkan pemikiran-pemikiran baru. Di sinilah Postmodernisme ”menggugat” Modernisme yang telah mandeg (berhenti) dan berubah menjadi mitos baru. Postmodernisme merupakan gerakan akademik, yang dapat dipahami sebagai reaksi terhadap modernisme dalam humaniora. Modernisme ini terutama berkaitan dengan prinsip seperti identitas, persatuan, otoritas, dan kepastian, sedangkan postmodernisme sering dikaitkan dengan perbedaan, pluralitas, tekstualitas, dan skeptisisme.
            Akhirnya dari uraian-uraian di atas yang berupa perkembangan pemikiran filsafat Barat, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Filsafat dapat dipandang sebagai sikap kritis yang mempersoalkan segala sesuatu yang menurut kacamata awam tidak perlu dipersoalkan.
  2. Filsafat memiliki daya dobrak/ gebrakkan yang tinggi terhadap kemapanan yang diciptakan oleh manusia dalam peradaban dan kebudayaannya.
  3. Filsafat bukan merupakan dogma, melainkan suatu aktivitas yang menuntut kreativitas pikir secara berkesinambungan.



DaftarPustaka
Ahmad Tafsir, 2009, Filsafat Umum, Bandung, Penerbit PT Remaja Rosdakarya
Bertens, K, 1987, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Bebbington, David, 1979, Patterns in history, , England, Inter-Varsity Press
Caputo, John D. 1987, Radical Hermeneutics, Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press
Harun Hadiwijono, 1988, Sari Sejarah Fil safat Yunani,Yogyakarta, Penerbit Kanisius
Harry Hamersma, 1992, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta, PT. Dramedia
Robert N. Beck, 1967, Perspectives in Social Philosophy, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Sullivan, John Edward, 1970, Prophets of the West, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc
Suparlan Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat, Ruzz Media.Yogyakarta, ArFil.
Wowo Sunaryo Kuswana, 2013, Filsafat Pendidikan Teknologi, Vokasi dan Kejuruan, Banung, Penerbit Alfabeta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar