FILSAFAT TIMUR
(TIONGKOK)
Oleh : Drs. Sudadi, M.Hum.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Timbulnya Filsafat Tiongkok
Pada
abad ke-20 s. M. di
lembah sungai Kuning ada kerajaan. Rajanya bernama Chieh yang lalim dan bijak sana, memerintah pada jaman
dinasti Hsia. Kemudian diserang oleh raja T’ang, dan menyerah pada raja T’ang.
Ini terjadi pada kira-kira abad ke-18/ th. 1765 s. M. T’ang kemudian berkuasa
lalu mendirikan dinasti baru, yaitu dinasti Shang. Dinasti Shang memerintah
selama 13 generasi, yaitu sejak berdiri sampai diruntuhkan oleh dinasti Chou
pada th. 1122 s. M. Sejak mulai memerintah, dinasti Chou mulai menguasai
kerajaan dalam waktu relatif lama. Namun perlu diketahui, bahwa dalam
keberhasilannya menguasai kerajaan dan dinastinya mulai kuat, pucuk pimpinan
dinasti Chou, yaitu raja Wu Wang meninggal dunia. Sedangkan saat itu putra
mahkotanya yang bernama Raja Chou masih kecil, namun tetap harus ada
kebijaksanaan untuk kelanjutan dinastinya. Oleh sebab itu, adik raja Wu Wang
yang bernama Pangeran Chou mengambil alih sebagai pucuk pimpinan dinasti
Chou.Pangeran Chou dalam mengendalikan roda pemerintahan bersifat tegas, kejam
dan sangat adil, sebab setelah meninggalnya raja Wu Wang, para warganya saling
berperang untuk berebut kekuasaan, sehingga keadaan menjadi kacau dan tidak
tentram.
Namun
setelah keadaan yang kacau itu dapat diatasi, Pangeran Chou mulai bertindak
lunak kembali. Pangeran Chou memang orang yang agung dan mulia, karena setelah
beberapa tahun memerintah dengn baik dan bijaksana sehingga keadaan menjadi
tenteram kembali, kemudian pemerintahannya dikembalikan kepada kemenakannya
yang bernama Raja Chou.Raja Chou memerintah kerajaan yang wilayahnya sangat
luas, oleh sebab itu dalam mengawasi daerahnya, maka dibaginya beberapa bagian
yang masing masing bagian diserahkan kepada seseorang untuk mengawasinya dan
mereka berkedudukan sebagai Wali Negeri.
Pada awalnya para Wali Negeri itu
patuh pada Raja Chou, namun dalam perkembangan selanjutnya, keadaan tidak
menguntungkan bagi kerajaan yang besar itu. Para Wali Negeri yang semula mematuhi pemerintah pusat,
akhirnya tidak menghiraukan lagi dan diperkuat oleh dukungan rakyatnya, bahkan
pada tahun 770 s. M. Raja chou dikalahkan dan diusir dipaksa meninggalkan
kerajaannya yang berada di lembah sungai Kuning itu. Kemudian Raja Chou mendirikan tempat tinggal sendiri di
Lo Yang, yaitu daerah masih masuk wilayah Honan, letaknya tidak jauh dari
sungai Kuning. Para
Wali Negeri tersebut saling mendapat dukungan dari masing masing rakyatnya dan
menjadi kuat sehingga saling ingin menguasai. Pada akhirnya timbullah
peperangan di antara mereka.
Sebagai
akibat peperangan itu, rakyatlah yang menderita. Bukan saja rakyat jelata,
namun juga kaum ningrat/ bangsawan banyak yang kehilangan kedudukan dan
kebangsawanannya. Keadaan tidak terjamin, ekonomi morat marit, dan hukum
diinjak injak. Oleh sebab itu para ahli pikir Tiongkok ingin memperbaiki
keadaan yang menyedihkan itu agar menjadi tentram, hukum dan moral dijunjung
tinggi, agar rakyat tidak dihantui peperangan. Para ahli pikir itulah yang
berjuang dengan hasil pemikirannya, sehingga rakyat tenang, dan inilah titik
awal timbulnya filsafat Tiongkok.
2. Karakteristik
Filsafat Tiongkok
a.
Antroposentris atau humanistis.
Yaitu keinginan untuk
menemukan sumber kriteria kebaikan, kebenaran, dan keindahan dalam diri
manusia. Oleh karena itu merupakan keyakinan bahwa setiap manusia harus memilih
untuk dirinya sendiri dalam kebaikan, kebenaran, dan keindahan seprti halnya
tentang selera manusia. Jadi karakter yang humanistis ini artinya bahwa manusia
adalah titik sentral dari segala galanya. Bertolak dari karakternya itu, maka
para filsuf Tiongkok selalu berusaha mengemukakan konsep-konsepnya dalam upaya
memenuhi kebutuhan manusia, terutama kebutuhan akan kebahagiaan. Misalnya
dianjurkan agar manusia selalu dapat mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan yang
luhur dan memiliki sikap setia kawan antar sesama manusia.
b. Naturalistis.
Artinya
bahwa manusia akibat pengaruh sifatnya yang humanistis, maka kehidupannya makin
cenderung pada sikap kejiwaan yang jauh dari hal hal adikodrati. Oleh sebab itu
manusia merasa puas bila sudah dapat menyelaraskan kehidupannya dengan alam
semesta, sehingga akan selalu berusaha menyesuaikan diri dengan hukum hukum
alam, seperti para petani, nelayan, petapa, dll. Jadi kehidupan saat ini
nampaknya kelestarian alam semesta & lingkungannya menjadi tuntutan yang
besar, agar manusia selalu merasa nyaman.
c. This
worldly, yaitu kekinian.
Artinya,
bahwa manusia dalam hidup saat ini merupakan suatu kebahagiaan tersendiri,
sehingga perlu mendapat perhatian yang khusus. Oleh sebab itu filsafat Cina
tidak menekankan kehidupan nanti (other worldly). Aspek positif dari
this worldly, yaitu dapat mempengaruhi proses berpikir manusia untuk bertindak
realistis dan memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien. Sedang aspek
negatifnya, manusia cenderung materialistis yang kurang memperhatikan nilai
spiritual.
d. Sifat
toleran.
Artinya
bahwa dalam filsafat Tiongkok ditekankan manusia harus saling menghormati dan
memaklumi serta saling menghargai sesama manusia. Sifat ini dapat dikembangkan
dalam berbagai aspek kehidupan, seperti menghargai antar sesama manusia.Hal ini
dapat dibuktikan dengan banyaknya aliran filsafat yang muncul, meskipun aliran
aliran itu ada bedanya namun karena saling menghormati, maka berbagai aliran
yang ada tetap eksis dan masing masing tetap berkembang sesuai dengan hakekat
masing masing.
e. Demokratis.
Artinya
bahwa filsafat Tiongkok dapat menempatkan harkat dan martabat manusia dalam
kedudukan yang sama. Contohnya, Konfusius memberikan kesempatan pada
murid-muridnya untuk penelitian dan percobaan mandiri. Di samping itu, ia juga mengajarkan bahwa seorang
pendidik yang baik, tidak boleh mendektekan kebenaran pada muridnya, bahkan murid
diberi kesempatan untuk berpikir mandiri dan mencari penemuan penemuan
baru.Oleh sebab itu bila ada beda pendapat dengan yang diajarkan, murid boleh
debat dan bila perlu dideskusikan. Jadi, dalam hal ini diperlukan kedewasaan dalam sikap
maupun cara berpikir.
e. Pragmatis.
Artinya,
bahwa filsafat Tiongkok mempunyai kecenderungan untuk mengukur segala sesuatu
dengan nilai praktis. Hal ini ditemukan dalam filsafat Konfusius dan Mo Tzu
yang berupa ajaran tentang perbaikan masyarakat dan negara. Sifat pragmatis
membawa dua aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Aspek positifnya,
akan menjadikan manusia hemat dan bertindak hati hati. Sedang aspek negatifnya,
manusia hanya akan mau melakukan perbuatan bila tindakannya akan mendatangkan
keuntungan khususnya bagi dirinya sendiri, dan ada kecenderungan untuk mengelak
terhadap tugas atau kewajiban yang memerlukan pengorbanan terutama materi.
Jadi, sifat pragmatis ini akan menjadi baik, bila selalu dikaitkan dengan
nilai-nilai kemanusiaan.
g. Keinginan untuk
tahu segalanya.
Artinya
bahwa filsafat Tiongkok tidak beda dengan filsafat pada umumnya yang selalu
ingin tahu segala sesuatu. Hal ini dapat dilihat dalam filsafat Konfuisus yang
selalu menekankan pada murid2nya agar selalu mencari hal yang baru, yang belum
pernah diketahui, yaitu agar mendengar banyak tentang segala persoalan, dan
tentang kebenaran harus dapat diterima oleh akal manusia. Jadi, Konfusius
selalu menekankan pada kemampuan akal manusia. Karakteristik filsafat Tiongkok
yang demikian ini merupakan langkah awal dalam mencapai kebahagiaan umat
manusia. Hal ini hendaknya harus diikuti dengan tindakan tindakan berikutnya,
seperti perluasan pengetahuan, ketulusan hati, penertiban batin, pengembangan
hidup pribadi, pengaturan hidup keluarga, pengaturan hidup bermasyarakat,
ketertiban bangsa, dan perdamaian dunia.
h. Filial
piety dan loyalty.
Artinya
bahwa filsafat Tiongkok mempunyai sifat berupa sikap hormat dan patuh kepada
orang tua. Sifat ini juga merupakan kejiwaan bagi orang Cina. Hal ini dapat
dilihat dalam ajarannya yang menyatakan kedurhakaan anak terhadap orang tuanya
adalah tindakan yang amat tercela, demikian pula orang tua juga harus berlaku
baik terhadap anaknya, kakak terhadap adiknya, istri terhadap suami, dan suami
terhadap istrinya. Filial piety juga merupakan salah satu konsep etika yang dominan dalam filsafat
Tiongkok, terutama dalam hubungan kekeluargaan. Konfusius mengatakan bahwa praktek filial piety perlu
disertai dengan penuh penghayatan agar bermakna dan dapat memperluas budi
pekerti manusia. Jadi, filial piety memebrikan kejelasan bagi
kesadaran untuk kemudian dijadikan jembatan yang menghubungkan antara prinsip
prinsip ajaran filsafat khususnya moral dengan tindakan manusia sehari-hari.
i. Harmoni.
Artinya
bahwa filsafat Tiongkok selalu menekankan unruk
menjaga keseimbangan terhadap segalanya agar dapat hidup bahagia. Sifat
harmoni ditemukan dalam ajaran Yin-yang, yaitu berupa ajaran bahwa alam
semesta pada dasarnya terdapat dua prinsip, yaitu prinsip negatif adalah yin,
dan prinsip positif adalah yang. Keduanya merupakan dau hal yang berbeda
satu dengan yang lain, namun tidak perlu dipertentangkan, karena antara satu
dengan yang lainnya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Dalam sifat
harmoni, juga diajarkan bahwa seluruh aspek kehidupan di alam semesta
senantiasa berada dalam hukum keseimbangan. Jadi, hal yang sepintas tampak berbeda bahkan berlawanan,
pada dasarnya saling melengkapi dalam keadaan yang seimbang. Oleh sebab itu,
setiap individu diharapkan selalu menjaga keseimbangan, agar mendapatkan
kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan manusia secara lahiriah, maka perlu
diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan spiritual.
3. Perbedaan antara
Filsafat Timur (Tiongkok) dan Filsafat Barat
Filsafat Timur
(Tiongkok)
1. Etika merupakan
pusatnya.
2. Tingkah laku dan
sikap manusia terhadap dunia sekitar merupakan kesatuan yang selaras dan
seimbang, sebagai mikro kosmos dan makro kosmos.
3. Manusia harus
menyesuaikan diri dengan kodrat alam, sehingga harus harmoni hubungan manusia
dengan dunia .
Filsafat Barat
1. Rasio merupakan
pusatnya
2. Manusia
menempatkan diri berhadapan dengan objek yang dipelajari, sehinga manusia
berpikir dengan pertanyaan, seperti apa sebab terjadi peristiwa itu ?,
Bagaimana peristiwa itu ?, Dari mana datangnya ?, dll.
3. Ontologi, yaitu
ilmu tentang sebab sebab yang pertama menduduki tempat sentral.
B.
Periodisasi Filsafat Timur (Tiongkok).
1). Jaman Kuno (600 – 200 S. M).
2). Jaman Pembauran
(Th. 200 S. M – 1000 M.).
3). Jaman Neo
Konfusianisme (Th. 1000 – 1900 M).
4). Jaman Modern
(Th. 1900 – Sekarang).
Ad. 1). Jaman Kuno
(Th. 600 – 200 S. M.)
Jaman
ini ditandai dengan munculnya aliran-aliran klasik, seperti:
Aliran
Konfusianisme,
yaitu aliran yang
terdiri dari orang-orang terpelajar waktu itu, yang mempunyai keahlian di
bidang kitab kitab klasik, sehingga ajarannya juga bersumber pada kitab kitab
klasik itu, dan kitab kitabnya diklasifikasikan dalam bidang:
a. Bidang
Metafisika
b. Bidang Etika.
Kitab-kitab klasik
yang dianggap penting ada 5, dan disebut dengan nama Wu Ching Chiang,
yaitu:
(1). Shu Ching
berupa kitab Sejarah
(2). Shih Ching berupa
kitab Syair
(3). I Ching berupa
kitab perubahan
(4). Li Chi berupa
kitab Adat
(5). Ch’un Ch’iu
berupa catatan musim semi dan musim gugur.
Selain kitab kitab
klasik disebutkan di atas, masih ada kitab klasik lain yang juga sebagai sumber
Filsafat Tiongkok, seperti:
(1). Kitab Lun Yu, yaitu tentang Analects: Bunga Rampai Konfusius.
(2). Kitab Meng Tze, yaitu tentang Mensius.
(3). Kitab Ta Hsueh, yaitu tentang The Great Learning.
(4). Kitab Chung Yung, yaitu tentang The Doctrin of Mean.
a. Bidang Metafisika
Dari Kitab Kitab Klasik yaitu:
Pada bidang
Metafisika isinya adalah tentang:
(a). Tuhan
(b). Manusia.
ad. (a). Tuhan
Konsep tentang Tuhan, yaitu terdapat dalam The
Analects lebih dikenal dengan istilah T’ien (Indonesia: Tuhan sebagai faktor
spiritual utama dalam keagamaan). Dalam Ju Chiao konsep tentang
T’ien perlu mendapat perhatian khusus. Namun perlu diketahui bahwa konsep T’ien
dalam Ju Chiao tidak sama persis dengan idea dari agama atau kepercayaan,
seperti Islam, Hindu, Budha, dll. Karena konsep tentang T’ien ada terkandung
idea Universal, yaitu sebagai pencipta dan asal mula dari segala yang ada dan
yang terjadi di dunia ini. .
Dalam ajaran T’ien Ming (Inggris: Madate of Heaven), dinyatakan bahwa
T’ien memberikan kekuasaan suatu negara kepada orang yang dipilihnya, yaitu
orang yang dianggap mampu untuk memimpin suatu negara. Oleh sebab itu mereka
yang terpilih harus bertindak sesuai dengan kehendak T’ien, dan bila bertindak
tidak sesuai dengan kehendak T’ien, maka T’ien akan segera mencabut mandate yang
telah diberikan.
Konfusius salah satu tokoh aliran Konfusianisme mengatakan bahwa T’ien
adalah penguasa personal, yang dapat memberikan tugas dan tanggung jawab kepada
manusia. Jadi, apabila manusia mengalami sukses, maka itu sebenarnya telah
diatur oleh T’ien. Namun bila manusia gagal dalam usahanya pun harus menyadari
bahwa itu memang sudah diatur oleh T’ien. Dengan demikian pengarauh ajaran
T’ien Ming sangat terasa, sehingga bila setiap ada pemerintahan baru yang
berkuasa selalu mendasarkan diri pada ajaran T’ien Ming. Ajarannya tentang manusia,
yaitu yang dalam aliran Konfusianisme, diajarkan oleh tokoh yang tidak asing
lagi, seperti Mensius dan Hsun Tzu. Bagi Mensius, bahwa manusia pada intinya
mempunyai dasar yang kodratnya baik sejak lahir. (akan dibicarakan sendiri di
halaman lain). Sedangkan bagi Hsun Tzu mengatakan bahwa pada dasarnya manusia
itu memiliki pembawaan yang jahat.
ad. (b) Manusia
Pembicaraan tentang manusia dalam
pemikiran Konfusianisme, dimulai dengan memeriksa dua fungsi utama akal budi
manusia. Kedua fungsi itu adalah fungsi menilai dan memerintah. Dalam karya
para filsuf Cina-Kuno, istilah akal budi (hsin) tidak mempunyai konotasi suatu entitas yang berbeda dari tubuh
dan mempunyai status metafisik yang khusus. Akal budi dimengerti secara
fungsional dengan mengacu pada tipe-tipe aktivitas tertentu, misalnya: menilai
dan mengarahkan tindakan. Hal ini dianggap dikontrol oleh hati yang meskipun
berbeda dari organ lain seperti mulut, mata, dan lain lain tidak memiliki
status metafisik yang khusus. Organ mental (hsin chih kuan) merupakan pemberian yang sama dari langit. Dalam
karya-karya Kuno terdapat istilah-istilah yang dikaitkan dengan aktivitas
mental yang sekarang disebut jiwa: p’o
(jiwa kesadaran), hun (jiwa
spiritual), shen (jiwa). Semua
istilah itu tidak menunjuk pada entitas budi yang mempunyai status metafisik
khusus tetapi dikaitkan dengan istilah istilah seperti hsing (bentuk jasmani) dan ch’i (zat, materi) yang secara umum diterapkan pada tubuh
fisik manusia. Setelah manusia mati,
hun dan ch’i kembali
ke tanah. Di sini jiwa tidak dimengerti sebagai suatu roh dalam mesin bagi
badan (Herman Tjahja dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, 1993: 88).
Di Cina Kuno, istilah hsin (akal budi) dipakai untuk
menunjukkan banyak hal, seperti: maksud, perasaan, tempat keinginan, aktivitas
kognitif dan aktivitas evaluative. Istilak akal budi dipakai untuk mengacu pada
fungsi fungsi yang ditunjukkan dengan dua istilah i dan chih. Istilah
i berarti pengertian yang
membedakan apa yang baik dan pantas serta wajib sebagai tugas dalam situasi
yang ada. Sedangkan chih atau
pengetahuan moral adalah pengertian yang membedakan shih-fei-chih-hsin (benar dan salah-setuju atau tidak setuju). Sekali
akal budi memutuskan bahwa sesuatu itu benar dan baik, akal budi tersebut
memerintahkan untuk bertindak menurut keputusannya. Jadi akal budi menilai
syarat-syarat suatu situasi dan memerintah untuk bertindak dengan baik. Kedua hal
ini merupakan dua fungsi utama akal budi.
b. Bidang Etika
dari Kitab Klasik
Ajaran tentang
etika dalam aliran Konfusianisme, dapat dikelompokkan menjadi dua (2), yaitu:
a). Ajaran tentang
Etika Pribadi.
b). Ajaran tentang
Etika Sosial.
Ad. a). Ajaran etika pribadi meliputi yaitu:
Ajaran yi (kelayakan), li (sopan santun), ch’i (kebijaksanaan), dan tao
(jalan).
Ad. b). Ajaran tentang etika sosial tercermin yaitu:
Dalam ajaran tentang jen (perikemanusiaan), hsiao (bakti anak
terhadap orang tua), dan wu lun (hubungan kemanusiaan). Konfusianisme dalam ajarannya tentang jen,
mengatakan bahwa jen merupakan suatu proses dari perkembangan
nilai nilai spiritual. Jadi jen menurutnya adalah merupakan rasa kemanusiaan pribadi
yang dimiliki oleh setiap manusia. Dalam The Analects disebutkan bahwa jen
merupakan karakteristik yang fundamental dari keteraturan segala
sesuatu yang ada, yang akan tercermin dalam tingkah laku perbuatan manusia
Jen terdiri dari dua (2) unsur, sbb.:
(1). Shu Timbal-balik (Jawa: tepo sliro) (reciprocity)
(2). Chung Kesetiaan
Tanpa pamrih (loyalty)
Jadi
manusia melakukan perbuatan demi perbuatan itu sendiri. Atau perbuatan itu memang layak bagi yi (kelayakan).
Yi adalah suatu keharusan yang ada dalam diri manusia
untuk melakukan perbuatan tanpa ada syarat tertentu.Yi merupakan alat pengarah/
pedoman tindakan manusia yang berasal dari dalam diri manusia sendiri.
Pelaksanaan jen akan dapat memperoleh manfaat bila
didasarkan pada li (sopan-santun).
Li
adalah faktor utama dalam pembentukan chun tzu (budi pekerti yang luhur).
Manusia dengan melaksanakan li secara tertib, maka
manusia akan menemukan sikap hidupnya.
Jadi
pelakasanaan jen dan li merupakan manifestasi hidup manusia yang diajarkan
dengan hsiao (filial piety)
Artinya, hormat dan
patuh terhadap orang tua atau berbakti terhadap orang tua.
Ajaran jen dan li
itu hanya dapat diamalkan dengan baik, bila memahami Tao, yaitu jalan yang
harus ditempuh manusia karena sebagai kode etik individu.
Tokoh aliran Konfusianisme, yaitu:
1.Konfusius.
a.
Riwayat hidupnya
Ia
lahir 551 Seb. M. di bagian Propinsi Shantung. Sumber riwayat Konfusius adalah buku LUN-YU (artinya:
pembicaraan-pembicaraan). Sumber ini ditulis oleh sejarawan Tiongkok bernama:
Sse-ma Isy’ien, kira-kira tahun 375 Seb. M. Dan tentang tanggal kelahiran dan
kematiannya tidak diketahui, hanya hidupnya dari tahun 551 s/d. 479 Seb. M.
Konfusius adalah nama latin dari nama K’ung Fu Tse, dan biasa
dipanggil dengan nama: guru K’ung.Konfusius nama kecilnya adalah Tsy’ dan
setelah menginjak dewasa diberi nama: Tsyung-ni. Konfusius keturnan bangsawan tapi miskin, yang tinggal di
negara Lu yang sekarang disebut Syantung. Ia ditinggal ayahnya ketika masih kecil.
Dalam buku Lun-yu ditulis: “Ketika saya masih muda,
saya hidup dalam keadaan yang sederhana, oleh karena itu saya banyak memperoleh
kecakapan”. Ia menikah umur 19 tahun dan mempunyai dua orang anak laki-laki tapi tidak
sepandai ayahnya. Pada waktu
umur 22 tahun, Konfusius mendirikan sekolah, dan dalam relatif singkat lalu
banyak muridnya. Pada
umur 51 tahun, Konfusius diangkat menjadi Gubernur di kota Tsyung.
Karena keberhasilan sebagai Gubernur, dalam waktu yang
relatif singkat lalu diangkat jadi Menteri. Setelah jadi Menteri kemudian ia mengembara yang ditemani
oleh 2 orang teman setianya, yaitu Yenhwei Tzekung dan Tzelu.
Setelah mengembara kemudian kembali ke negara Lu, dan
mendirikan sebuah mazab hingga meninggalnya. Pada waktu umur 22 tahun, Konfusius mendirikan sekolah,
dan dalam relatif singkat lalu banyak muridnya. Pada umur 51 tahun, Konfusius diangkat menjadi Gubernur
di kota Tsyung. Sebagai Gubernur, ia demikian banyak
jasa-jasanya, hingga dalam waktu yang singkat ia dijadikan menteri Kehakiman. Tetapi
ini hanya berlangsung selama 3 tahun, karena pangeran dari Tsj’I takut akan
kekuasaan Lu yang berkat keunggulannya Menteri Kehakiman, sehingga selalu
berupaya untuk menjatuhkannya. Upaya dari Pangeran Tsj’I ini antara lain dengan
mempersembahkan 80 penari perempuan dan 120 kuda yang bagus bagus kepada
Pangeran Lu. Oleh sebab itu, maka sebagai akibatnya, ialah bahwa Pangeran Lu
tidak mau menerima orang di Istananya untuk beberapa waktu. Hal ini sangat
mengecewakan Konfusius. Akhirnya Konfusius lalu meletakkan jabatannya dan
meninggalkan daerah itu. Pada akhir abad ke 6 SM. Konfusius rupanya mulai
bekerja pada seorang ketua salah satu Partai, yang dengan kerja kerasnya lalu
ia menduduki jabatan Perdana Menteri. Setelah jadi Perdana Menteri kemudian ia mengembara yang ditemani oleh 2
orang teman setianya, yaitu Yenhwei Tzekung dan Tzelu. Setelah mengembara kemudian kembali ke negara Lu, dan
mendirikan sebuah mazab hingga meninggalnya pada usia 73 tahun pada usia 73
tahun.
b. Konfusius sebagai
pembaharu sosial yang Konservatif.
Ia
sebagai pembaharu sosial, bukan guru agama, tapi tentang agama dianggapnya
perlu, meskipun ia tak pernah membicarakannya. Tzelu murid Konfusius pernah bertanya kepadanya tentang
pemujaan roh-roh. Konfusius
menjawab: “jikalau kamu belum dapat mengabdi kepada seseorang sebagai
manusia, bagaimana kiranya kamu akan dapat mengabdinya sebagai roh”.
Tzelu bertanya
lagi: “bolehkah kiranya bertanya
tentang maut”.
Konfusius menjawab:
“jikalau kamu belum mengenal tentang soal
hidup, bagaimana kamu akan mengetahui tentang maut”.
Jadi bagi Konfusius
yang penting rituil yang tidak saja penguasaan keagamaan, melainkan penghidupan
sosial.
Konfusius
menentang perubahan sosial yang hanya berubah tanpa pembaharuan, sebab yang dikehendaki
adalah pembaharuan sosial. Hal ini tercermin, misalnya: tercermin dalam buku I Ching (tentang: the book of changes), dan The
Book of Mencius. Oleh
golongan Ridder Stand (Ksatria) termasuk Konfusius sendiri menganggap
bahwa perubahan-perubahan itu adalah kemunduran. Karena menurut Konfusius, bahwa perubahan tanpa
pembaharuan adalah suatu kemunduran. Baginya yang dimaksud pembaharuan, yaitu mengubah keadaan
hingga batas-batas hak dan kewajiban perseorangan menjadi terang, dan status
orang sesuai dengan yang telah dikodratkan oleh alam.
Konfusius hal di
atas adalah: “membenarkan nama-nama”, Artinya, bahwa hendaknya ada persesuaian antara kedudukan
dan sikap seseorang. Sehingga akan terkenal dengan ucapan Cina, yaitu: “Tsjuun tsjuun
tsje’n tsje’n, fu fu, tze tze”.. Artinya: hendaknya raja tetap raja, hamba tetap hamba,
ayah tetap ayah, dan anak tetap anak.
Jadi
menurut Knonfusius, jika tiap-tiap nama sesuai dengan kenyataannya, maka lalu
terjamin tentang “perbandingan yang seharusnya” antara atas dan bawah,
lalu tentu ada pemerintahan yang baik. “Perbandingan yang seharusnya” ini dinamakan “i”.
Meskipun yang
biasanya “i” diartikan dengan “keadilan”, namun terjemahan itu tidak memuaskan
dalam tulisan-tulisan berikutnya. Karena “i” dapat diganti dengan pengertian “keinsyafan
akan kewajiban”. Jadi
perkataan “i” berhubungan dengan “li” (sopan-santun).
c. Istilah i, li, dan te.
Kata-kata
yang banyak dipakai oleh Konfusius adalah “te” (arti: kebajikan).
Istilah “te” ini menurut Konfusius hanya dapat diperoleh
secara turun-temurun, namun tidak secara otomatis, karena harus menepati
upacara-upacara keagamaan pada waktu yang seharusnya. Jadi, “te” adalah sifat khusus seseorang dalam statusnya,
yang ditentukan oleh “i”, dan ditunjukkan dengan bentuk “li”.
Semula arti “te” hanya “kebajikan” pada umumnya, namun
kemudian Konfusius memperluas artinya menjadi “membenarkan nama-nama”, hingga
memungkinkan tiap orang melakukan “i” nya, dan mengindahkan “li” nya, untuk
dapat melaksanakan tata-susila dan ketertiban alam. Oleh sebab itu Sang Raja hendaknya menjalankan “te” nya,
supaya dapat memancarkan pengaruhnya, sehingga merubah keadaan.
Kekuasaan raja berakar pada sifat mythisch magisch
yang hanya dimilki oleh sang Raja dimaksud. Dengan demikian barang siapa memerintah berdasarkan
kebajikan (te), maka dapat diibaratkan sebagai bintang kutub, yang tepat pada
tempatnya dan bintang-bintang lain tunduk kepadanya. Sehingga dapat dianalogikan, bahwa “kebajikan raja sama
dengan angin, kebajikan rakyat biasa sama dengan rumput. Oleh sebab itu, “rumput akan tunduk kalau angin
menyentuhnya”. Jadi
‘te” oleh Konfuisus diartikan “kebajikan”, maksudnya adalah kesusilaan yang
ditujukan kepada Raja, orang-orang bangsawan, dan kemudian kepada siapa saja.
d. Ajaran tentang “jen”.
Tze-kung bertanya pada Konfusius, yaitu “Apakah suatu perkataan
yang dapat menuntun manusia di dalam penghidupan manusia seterusnya ?”.
Konfusius menjawab, “Pertimbangkanlah
selalu keadaan orang lain. Janganlah melakukan hal sesuatu terhadap orang lain,
yang tidak kamu inginkan sendiri”. Inilah “jen”.
Biasanya
diterjemahkan dengan “ben volence”, “altruism”, “Leiber”, tetapi
semuanya tidak tepat. Arti perkataan ini makin lama makin berubah. Kemudian
perkataan “Jen” dapat ditambah arti. Sehingga “Jen” lalu berarti adalah “perikemanusiaan, kebaikan orang, humanitas”, dengan
tidak meninggalkan etymologi perkataan itu sendiri, yang mengandung arti
“manusia”, dan Mencius selalu menyebutnya bersama-sama dengan “I”, yang
seakan-akan perkataan itu hamper merupakan sinonimnya. Sesungguhnya “Jen” itu
adalah hal sesuatu yang dapat memperlengkapi “I”.
“I” terutama berhubungan
dengan kewajiban bawahan terhadap atasan, dan “Jen” terutama berhubungan dengan
tanggung jawab atasan terhadap bawahannya. Menurut Konfusius, bukan hal itu
saja yang menjadi pegangan di dalam menentukan sikap seseorang. Pedomannya
tetap: lahir, yaitu mengindahkan “li”. Konfusius berkata: “Janganlah menengok
ke barang sesuatu bukan “li”, janganlah mendengarkan sesuatu yang bukan “li”,
janganlah bergerak selain untuk “li”.
e. Ajaran tentang “Sjiau”.
Kata “sjiau”
menurut para sosiolog Tiongkok, diartikan sebagai “pengluasan kekuasaan ayah”.
Perkembangan selanjutnya, tidak saja hanya ayah, namun
juga ibu, shingga seseorang harus memperlihatkan “sjiau” nya.
Lambat-laun “sjiau” juga berarti
“penghormatan kepada orang-orang tua dari jaman purbakala, tunduk kepada yang
berkuasa, tunduk kepada golongan di bawah pimpinan orang yang lebih tua.
Akhirnya, “sjiau” sebagai dasar sistem
kekeluargaan di Tiongkok berupa pendidikan untuk tunduk kepada golongan
terdahulu dan mengandung nilai etis yang tinggi, yaitu: perasaan terikat kepada
orang-orang yang menurunkan. Ajaran tentang “Sjiau” ini oleh Konfusius
tidak ditujukan pada rakyat jelata, melainkan kepada golongan yang memerintah.
Jadi yang dibayangkan oleh Konfusius adalah sebagai
sesuatu yang mendekati kesempurnaan ialah Raja, dan disebut “Tsuuntze”.
Kata “Tsuuntze” oleh sosiolog Inggris James
Legge diartikan sebagai “superiorman”, lebih tepat diterjemahkan
“bangsawan sesungguhnya atau bangsawan”. Perkembangan selanjutnya Konfusius mengatakan bahwa
istilah “Tsuuntze” lalu berubah arti menjadi: orang yang baik
budinya, orang yang susila. Karena dari padanya memancarkan sinar semacam
pengaruh yang dapat disamakan dengan Ruh Raja sendiri berupa: tauladan baik
yang tidak dapat ditentang.
2.Tokoh Aliran Konfusianisme yang lain,
misalnya: Mencius dan Sjuun-Tze
2. Mensius
a. Riwayat Hidupnya.
Mensius
adalah murid dari Konfusius, dan masih keluarga bangsawan Dinasti Chou.
Tanggal kelahiran dan kematiannya tidak diketahui secara
pasti, namun diperkirakan hidup antara tahun 372 s/d tahun 289 Seb. Masehi di
negara Lu dan tinggal berdekatan dengan Konfusius. Jiika dilihat masa hidupnya, maka ia sejaman dengan filsuf
dari Yunani, seperti: Plato.
Meskipun
Mensius lahir dari keluarga bangsawan, namun pada saat itu kurang begitu di
hormati, karena saat itu di Tiongkok keluarga bangsawan sedang mengalami
kemerosotan, sebagai akibat dari adanya peperangan yang terus menerus, sehingga
timbul kekacauan di mana-mana. 0leh sebab itu, Mensius berusaha mengatasi
kekacauan-kekacauan itu sebagai seorang filsuf, yaitu dengan idea-idea
kefilsafatannya. Mensius dalam mengajarkan idea-idea kefilsafatannya
dengan jalan mengembara ke berbagai daerah/ negara, seperti: Liang, Chi, Chou,
dan kadang kadang kembali ke Lu.Pada waktu Mensius mulai kegiatannya sebagai
filsuf, sudah ada dua aliran yang kuat di samping aliran Konfusianisme.
Kedua aliran
dimaksud adalah aliran yang didirikan oleh:
1). Yang Chu.
2). Mo Tzu.
Ad. 1). Aliran yang
didirikan oleh Yang Chu mengajarkan, bahwa setiap orang harus hidup untuk
dirinya sendiri, jangan memikirkan orang lain.
Ad. 2). Aliran yang
didirikan oleh Mo Tzu mengajarkan, bahwa semua orang di dunia harus saling
mengasihi.
Tetapi,
meskipun sudah ada dua aliran yang besar dan kuat, Mensius tidak terpengaruh,
sebab menurut Mensius kedua aliran tersebut terlalu ektrim dan mengabaikan
kasih terhadap orang tua.
Mensius dengan
ajaran kefilsafatannya, berusaha menjembatani pandangan paham Konfusianisme
dengan pandangan paham Taoisme. Hal ini dapat dipahami, yaitu bahwa Mensius mengajarkan
semedi yang juga menjadi ajaran pokok dari paham Taoisme.
b. Karya Mensius.
Karya Mensius ditulis dalam sebuah buku
yang ditulis dia sendiri dan juga oleh murid muridnya. Buku dimaksud
diberi judul “Mensius”, yang merupakan buku tebal terdiri dari tujuh (7)
bagian, yang memuat 261 bab. Buku yang berjudul “Mensius”, memperlihatkan bahwa
Mensius adalah: seorang filsuf, seorang psikolog, seorang politikus, dan
seorang moralis.
Mensius dikatakan sebagai seorang filsuf, sebab ajaran kefisafatannya
tampak sifatnya yang idealistis, sehingga dapat diperbandingkan dengan ajaran
Palto dari Yunani. Mensius dikatakan sebagai seorang psikolog, yaitu tampak
bahwa ia mempunyai pandangan/ teori jiwa manusia, terutama tentang emosi. Mensius
dikatakan sebagai seorang politikus, sebab ia mempunyai sistem tersendiri dalam
mengatur kehidupan masyarakat, dan sistemnya itu pandangannya konkrit untuk
menyelenggarakan kehidupan negara. Mensius dikatakan sebagai seorang moralis, tampak
dalam usahanya agar keadaan di Tiongkok aman, damai, dan rakyat hidup tenang
tanpa gelisah karena ada peperangan
c. Metode
Ajaran Mensius
Metode yang dipakainya berbeda dengan
metode mengajar yang digunakan oleh Konfusius. Sebab Konfusius memakai metode diskusi
yang menghidupkan sistem tanya jawab, sehingga metode Konfusius lalu diberi nama
dengan istilah: “intellectual democracy”. Mensius dalam
mengembangkan ide kefilsafatannya pada para muridnya memakai sistem
indoktrinasi yang ketat. Artinya, bahwa para murid harus menerima yang
diajarkan oleh Mensius. Oleh sebab itu metode mengajar Mensius disebut dengan
istilah: “Intellectual authority”.Tetapi Mensius ada ketidak
konsekwennannya, yaitu: Pada waktu
tertentu Mensius mengajarkan hal berbeda dengan yang pernah ia ajarkan,
sehingga muridnya mengkritik, namun jawab Mensius, yaitu: “itu kan jaman
dahulu, jaman sekarang lain”. Sikap Mensius yang autoriter itu memang dapat
dimengerti, sebab waktu Mensius mulai mengembangkan ajarannya itu sudah banyak
pesaingnya, sehingga ia segan mengaku salah demi gengsinya. Mensius kecuali mempunyai metode mengajar
yang berbeda dengan tokoh lain, ia juga selalu mendasarkan diri pada
ucapan-ucapan kaisar purbakala. Kaisar purbakala yang ucapannya selalu dipakai oleh
Mensius, yaitu:
1). Kaisar Yao
2). Kaisar Shun
Lain halnya dengan Konfusius yang dalam memecahkan
persoalan memakai penyelidikan yang kritis. Oleh sebab itu metode mengajar yang digunakan oleh
Mensius lebih mudah dibanding dengan cara mengajar secara diskusi dan
penyelidikan dengan kritis.
d. Pokok-pokok Ajaran Mensius
Pokok-pokok ajaran Mensius ditulis
bersama murid-muridnya dalam sebiah buku berudul: “Mensius”. Ajarannya
bersifat idealistis, artinya bahwa ia ingin mewujudkan cita-cita dan ingin
merealisir tujuannya dengan konsepsi pemikiran yang jelas. Gagasan-gagasan Mensius
tampaknya memang cukup relevant dengan kondisi masyarakat waktuitu, dan
mengandung nilai-nilai positif yang mereka perlukan. Oleh sebab itu
ajaran-ajaran Mensius mendapat tempat tersendiri dalam pemikiran kefilsafatn
Tiongkok. Konsep
pemikiran Mensius, juga merupakan penegsan dari konsep pemikiran filosofis
aliran sebelumnya. Hal itu bisa
dilihat, bila Konfusius tidak menegaskan bahwa sifat dasar itu baik atau jahat,
sebaliknya Mensius dengan tegas mengatakan bahwa sifat dasar manusia adalah
baik. Jadi,
prinsip konsepsi filosofis dari Mensius mempunyai pandangan bahwa setiap
manusia yang ada di dunia mempunyai sifat dasar yang baik. Dengan landasan
prinsip ajarannya itu, Mensius ingin mengembangkan ajaran etikanya, supaya
kebaikan-kebaikan itu hidup di dalam masyarakat. Oleh sebab
itulah Mensius lalu mendapat julukan sebagai seorang “moralis”. Ia juga mengatakan bahwa setiap orang
dapat mengembangkan dan mengarahkan sifat dasarnya. Sifat dasar itu jangan
dibiarkan berkembang tanpa suatu pemikiran yang terarah. Sebab bila
dibiarkan, sifat dasar yang baik iti akan mudah berjalan ke hal yang baik atau
hal yang jahat. Hal ini
dapat diibaratkan dengan air yang mengalir ke bawah atau ke atas.
e. Ajaran
tentang sifat dasar manusia
Sifat dasar manusia yang baik, dapat
diamati bahwa secara realitas, semua manusia tidak tega melihat penderitaan
orang lain. Karena
hal seperti itulah Mensius mulai berpikir lebih dalam sampai ke dasar perasaan
jiwa manusia, sehingga ia berpandangan bahwa sifat dasar manusia adalah baik. Mensius berkata
bahwa setiap manusia mempunyai perasaan sama, yaitu kesamaan perasaan dalam
realitas kehidupan dan perasaan itu menghasilkan kebajikan. Perasaan
perasaan yang dapat menimbulkan suatu kebajikan yang dimiliki manusia, yaitu:
a. Perasaan tidak tega melihat penderitaan orang
lain, dan perasaan ini disebut perasaan mengasihani. Perasaan mengasihani
merupakan suatu permulaan dari cinta (jen).
b. Perasaan malu dan tidak suka, perasaan malu dan
tidak suka merupakan permulaan dari kebenaran (i).
c. Setiap manusia juga memiliki perasaan rendah hati
dan ramah. Perasaan redah hati dan ramah merupakan permulaan dari sopan santun
(li).
d. Setiap manusia memiliki perasaan menolak dan menerima. Perasaan
menolak dan menerima merupakan permulaan dari kebijaksanaan (Chih)
Dengan demikian, setiap manusia
mempunyai perasaan perasaan dasar dalam jiwanya yang secara potensial dapat
menghasilkan kebajikan. Kebajikan-kebajikan itu konkritnya akan menghasilkan
perbuatan-perbuatan yang dinilai oleh manusia sebagai perbuatan baik. Selama manusia mempunyai perasaan
perasaan yang dapat menghasilkan kebajikan, biarkanlah perasaan perasaan itu
berkembang. Jadi,
perasaan perasaan yang dapat menimbulkan kebajikan kebajikan tiu, oleh Mensius
disebut dengan istilah:
a. Jen artinya
cinta.
b. I artinya
kebenaran
c. Li artinta
sopan santun
d. Chih artinya
kebijaksanaan
Olleh karena kebajikan adalah hal yang
baik, dan kebajikan terkandung dalam diri manusia, maka Mensius mengatakan
bahwa sifat dasar manusia adalah “baik” Ilustrasi sebagai bukti bahwa sifat
dasar manusia adalah baik, Mensius mengatakan, yaitu:
Bila seorang dewasa tiba-tiba melihat
anak kecil menyeberang jalan raya yang ramai, maka mereka merasa ngeri, dan
segera menolong untuk menyelamatkan dari bahaya, dan mereka tidak akan melihat
anak siapa dan apakah ada imbalan atau tidak, meraka tidak memperhitungkan hal
itu. Yang penting anak tersebut selamat dari maut. Jadi, mereka berbuat bukan
karena imbalan atau pujian orang lain, melainkan berbuat agar tidak terjadi
maut dan menyehkan. Itulah sebagai bukti bahwa sifat dasar manusia pada
dasarnya baik .
Selanjutnya Mensius berkata, bahwa
manusia dalam mengembangkan potensi potensi dasar yang dapat melahirkan
kebajikan itu berbeda-beda. Ada orang yang potensi dasarnya berkembang dua kali
atau lebih dari orang lain, ada pula yang sampai tak terhingga, ada pula yang
potensi dasarnya itu berkembang sangat sedikit. Tetapi yang
jelas tak seorang pun yang dapat mencapai kesempurnaannya, sebab di dunia ini
ada keterbatasan bagi manusia. Yang penting setiap manusia harus mengembangkan
potensi potensi dasar yang dapat melahirkan kebjikan itu semaksimal mungkin,
kata Mensius.
Berikut, Mensius berkata, bahwa bila
dikemudian hari ada manusia yang sifat dasarnya menjadi jahat, Kata Mensius,
karena oleh pendidikan dan pengaruh lingkungan yang tidak baik. Missalnya,
seorang anak yang tadinya mempunyai sifat dasar baik, namun dibesarkan di
kalangan penjahat dan pencuri, maka akhirnya anak itu juga akan memiliki sifat
jahat. Sebagai contoh
konkrit, Mensius menggunakan benih gandum, semua sama baiknya, kemudian
ditaburkan. Dalam
penaburan benih gandum itu, ada yang jatuh di tempat subur, ada yang di tanah
tandus, dan ada di atas batu.
Jadi, bila ada seseorang yang tidak
baik, maka ketidak baikannya itu bukan dikarenakan sifat dasarnya. Keburukan orang
itu, karena perasaan perasaan yang dapat menimbulkan empat kebajikan tersebut
di atas, tidak dikembangkan, bahkan ditekan dan dimusnahkan.
Berikut ada percakapan antara Mensius
dan Kao Tzu yang mengarah pada kesimpulan penapat tentang sifat dasar manusia.
Adapun percakapannya adalah sebagai berikut:
Kao Tzu said, “Man’s nature is like whirling
water, If a breach in the pool is made to the east it will flow to the east. If
a breach is made to the west it will flow to the west. Man’s nature is
indifferent to good and evil, just as water is indifferent to east and west”.
Mencius said, “Water indeed, is indifferent to
the east and west, but is it indifferent to high and low ? Man’s nature is naturally
good just as water naturelly flows downward. There is no man without this good
nature: neither is there water that does not flow downward. Now you can strike
water and cause it to splash up ward over your forehead, and by damming and
leadng it, you can force it uphill. Is this the nature of water ? It is the
forced circumstance that makes it do so. Man can be made to do evil, for this
nature can be treated in the same way” (Chan Wing-Tsit, 1969” 52).
Dari pembicaraan Mensius dan Kao Tzu itu
dapat disimpulkan, sbb. :
a). Menurut Mensius, bahwa sifat dasar manusia adalah baik,
seperti air yang secara alamiah mengalir ke bagian yang lebih rendah. Sedang
kejahatannya karena pengaruh yang menyalahi sifat dasar tersebut, seperti air
yang dibuat bendungan atau ditepuk sehingga mengenai dahi.
b). Menurut Kao Tzu, bahwa sifat dasar manusia akan dapat menjadi baik
atau jahat, seperti air yang dapat dialirkan ke Timur atau ke Barat
Menurut Mensius tentang pendapatnya
bahwa sifat dasar manusia adalah baik, akhirnya dapat menyimpulkan, yaitu:
1). Bahwa ia (manusia) memilki “suatu pengetahuan
pembawaan” (the innate knowledge) akan hal-hal yang baik dan “kepandaian
pembawaan” (innate ability) untuk mengerjakan yang baik.
2). Bahwa jika seorang “mengembangkan pikirannya
untuk sesuatu yang paling baik”, ia (manusia) dapat “melayani sorga” (serve
Heaven) dan “memenuhi nasibnya” (fulfill his destiny).
3). Bahwa kejahatan manusia itu tidak dilahirkan
dari dalam, namun disebabkan kegagalan-kegagalan dan ketidak mampuannya sendiri
dalam menghindari pengaruh dari luar yang jahat.
4). Bahwa usaha yang sungguh-sungguh harus dibuat
untuk mendapatkan kodrat asli manusia itu sendiri.
5). Bahwa belajar itu tidak lain adalah untuk
mencari pikiran yang hilang.
3.Sjuun-Tze
3.1.Riwayat Hidupnya
Orang yang melanjutkan pekerjaan Konfusius,
selain Mensius adalah Sjuun-Tze. Sjuun-Tze nama sebenarnya adalah Sjuun Kw’ang, namun kebanyakan orang
mengenalnya adalah sebagai Sjuun
Tsj’ing, dan sangat dikenal dengan nama “Menteri Sjuun”.
Orang tidak begitu banyak tahu
tentang riwayat hidupnya, sebab ia sejak masa mudanya tinggal di Ibukota dari Tsj’I, yaitu suatu pusat intelektual
yang dianggap penting pada waktu itu. Sjuun-Tze
lama tinggal di Negara yang paling ujung selatan di Tiongkok waktu itu, yaitu
kota Tsj’u yang dekat dengan kota Yang-tse-kiang. Di kota ini Sjuun-Tze menjadi Gubernur dari sebuah
kota, dan mengumpulkan murid-murid. Sjuun-Tze
hidup antara tahun 300 Sebelum Masehi s/d tahun 235 sebelum Masehi.
3.2.Pendidikan
Meskipun Sjuun-Tze adalah seorang yang konservatif dan berkeyakinan akan
nilai tinggi daripada “li”, yaitu
yang menurut keagamaan harus dilakukan, Sjuun-Tze
dapat mengerti cara orang berpikir pada waktu itu. Namun, Sjuun-Tze tidak mau membenarkannya, malahan Sjuun-Tze menentangnya.
Bagi Sjuun-Tze bahwa dunia adalah
tetap statis. Peraturan-peraturan dan hal hal lain yang sekali sudah ditetapkan
oleh para orang tua yang bijaksana pada zaman zaman dahulu, tetap masih baik
utnuk waktu sekarang. Menurut Sjuun-Tze, bahwa “li” adalah satu satunya pedoman
yang baik untuk menentukan sikap seseorang, karena dapat member pendidikan dan
mengajar seseorang untuk mengawasi diri sendiri. Oleh karena itu, andaikata
dibiarkan begitu saja, ia tidak akan menjadi manusia yang berarti. Sebab, di sini
Sjuun-Tze menentang sekuat kuatnya
pendapat Mensius yang dianggapnya sama sekali tidak benar, yatu yang menurut
Mensius bahwa manusia itu dasarnya baik.
Menurut Sjuun-Tze, bahwa manusia
dasarnya adalah buruk, dan sifat sifat yang baik baru diperoleh manusia
sesudah manusia mempelajarinya. Andaikata tidak ada sifat sifat itu, tidak
mungkin ada suatu masyarakat manusia. Namun perlu diingat, bahwa Sjuun-Tze bagaimana pun juga bukan
pesimis, namun sebaliknya, bahwa Sjuun-Tze
percaya bila seseorang dapat mencapai kesempurnaan diri. Hal ini semua
tergantung pada latihan-latihannya sehari-hari, seperti diumpamakan sebagai
gunung yang dibuat dari timbunan butir-butir pasir. Demikian juga, seseorang
dapat menjadi seorang tukang kayu yang pandai, karena pengalamannya sehari demi
sehari. Jadi, pendidikan adalah penting sekali. Dengan demikian, berkat
dorongan dari Sjuun-Tze ini, maka
salah satu hal di dalam ajaran Konfusius yang lalu merupakan sendi yang kuat,
ialah diletakkannya titik berat pada pendidikan. Sedangkan bagi Mensius yang percaya akan adanya dasar
manusia yang baik, hal tentang pendidikan sudah tentu tidak mempunyai arti yang
begitu urgen.
Sjuun-Tze
yakin, bahwa kesempurnaan kesusilaan seseorang terletak pada kaki-tanggannya
sendiri. Meskipun manusia mempunyai kegemaran istimewa terhadap hal ihwal yang
diharuskan oleh agama untuk dikerjakan, seorang Sjuun-Tze juga tidak menaruh perhatian banyak terhadap agamanya
sendiri, bahkan Sjuun-Tze menyangkal
adanya pelbagai roh-roh. Upacara upacara keagamaan oleh Sjuun-Tze diberi dasar yang rasional, artinya: upacara itu adalah
suci dan baik pula menggambarkan perasaan perasaan manusia yang sebenarnya.
Sjuun-Tze,
mengatakan bahwa kepercayaan akan kesempurnaan manusia sama sekali tidak
berarti, Sjuun-Tze percaya akan
adanya kemajuan. Sebaliknya, Sjuun-Tze mengatakan, bahwa manusia yang sempurna,
tidak akan berbuat lain daripada memperbaiki hamon (Indonesia: zaman),
yang dulu sudah pernah ada, tetapi telah dipecah pecah oleh nafsu manusia.
Jadi, bagi Sjuun-Tze, adalah tidak
lain daripada “membenarkan nama-nama”.
3.3.Nama dan Kenyataan
Pengertian “membenarkan nama nama”,
pada zaman Sjuun-Tze menyebabkan
timbulnya pandangan pandangan teoritis tentang sampai di mana orang dapat
mengenal hubungan antara “nama” dan “kenyataan”. Sjuun-Tze mengetahuinya,
tetapi ia menganggapnya sebagai suatu bahaya, karena kecerdikan berkata yang
dialectis dapat menyamarkan perbatasan antara nyata dan tidak nyata.
Bagi Sjuun-Tze, pengetahuan intelektual tanpa maksud yang susila, tidak
mempunyai nilai. Kata Sjuun-Tze, hanya
manusia yang susila mengerti maksud membenarkan “nama” dan “mebedakan antara
baik dan buruk”. Nafsu yang menghalang halangi pengetahuan susila janganlan
di buang (sebagai yang dikehendaki oleh kaum Tao-is) kata Sjuun-Tze,
tetapi hendaklah dikuasai. Sjuun-Tze mengatakan, bahwa membuang nafsu adalah
tidak mungkin, namun memenuhi semua nafsu sepuas puasnya juga tidak mungkin. Sjuun-Tze mempergunakan suatu terminology,
yang berasal dari kaum Tao-is.
Neraca, kata Sjuun-Tze, yang harus
dipakai untuk menilai nafsu manusia adalah “Tao”=
“jalan”. Tetapi Sjuun-Tze menentang pendapat kaum Tao-is, karena jalan
menurut Tao-is tidak memperdulikan kesusilaan, sebaliknya, kata Sjuun-Tze,
bahwa “jalan” itu adalah susila itu sendiri. Jadi, kata Sjuun-Tze, bahwa jalan yang benar adalah jalan yang mungkin
ditempuh setiap orang untuk memilih tindakan yang sesuai dengan lingkungannya.
Jadi, hakikinya, kata Sjuun-Tze,
bahwa semua barang yang ada itu susila, dan hanya orang yang susilalah, sebagai orang “keramat”, dapat mengetahui sebenarnya
tentang hal itu.
Sesudah mengetahui, tingkatan
selanjutnya adalah mengerti. Hal ini kata Sjuun-Tze, mempunyai persamaan dengan
pandangan mistik kaum Tao-is. Semua perbedaan perbedaan yang ada musnah di
dalam kesatuan yang besar: yaitu, “di antara 10.000 hal hal yang tidak ada
satupun yang tidak dilihat olehnya……tidak ada satupun yang tempatnya tidak
dikenal olehnya: seperti, duduk di rumahnya ia melihat seluruh dunia hidup pada
waktu sekarang, ia menceriterakan tentang waktu yang sudah lama lampau; dengan
jalan menyelami tata tertib dan kekacauan, ia mengerti hokum hukumnya karena
mengetahui tentang susunan langit dan bumi 10.000 hal hal itu dikemudikan
olehnya”.
Tetapi penglihatan yang demikian tadi
tidak dapat diperoleh dengan mengembalikan dirinya ke kesederhanaan, sebagai
yang diselami kalau manusia kembali kea lam. Sebaliknya, manusia memperoleh itu
sesudah manusia terus menerus berusaha untuk yang susila. Hubungan anata
pengetahuan intelek dan kesempurnaan kesusilaan, yang oleh Sjuun-Tze selalu
didengung-dengungkan, menyebabkan orang dengan sungguh sungguh memperdalam
ajaran Konfusius. Ini tidak untuk member kepuasan kepada kehausan orang akan
pengetahuan, namun untuk memperoleh bayangan dari apa yang dinamakan “cita-cita kesusilaan, summum bonum”.
C. Penutup
Selama alam dirasa sebagai sesuatu
yang berbeda dari manusia, sebagai hal yang melulu brutal, alam demikian bukan
alam dalam pandangan Jen. Alam
justru menjadi bagian dari ada manusia bila dikenal sebagai apa adanya. Manusia
dalam alam dan alam ada dalam manusia. Di sini dinyatakan bahwa bukan hanya
saling ambil bagian di dalamnya tetapi adalah kesamaan dan sekaligus perbedaan
dengan alam. Kesamaan itu dasariah tetapi perbedaannya pun juga dasariah. Saya
adalah kamu tetapi saya pun adalah saya sendiri. Saya yang terlepas dari
kesatuan dengan alam itu bukan saya. Saya justru adalah saya karena kesatuan
itu.
Menurut Mensius, bahwa sifat
dasar manusia adalah baik, seperti air yang secara alamiah mengalir ke bagian
yang lebih rendah. Sedang kejahatannya karena pengaruh yang menyalahi sifat
dasar tersebut, seperti air yang dibuat bendungan atau ditepuk sehingga
mengenai dahi.
Menurut Sjuun-Tze, bahwa manusia dasarnya
adalah buruk, dan sifat sifat yang baik baru diperoleh manusia sesudah manusia
mempelajarinya. Andaikata tidak ada sifat sifat itu, tidak mungkin ada suatu
masyarakat manusia.
Daftar
Pustaka
Ann Wanf Seng, 2007. Rahasia Bisnis Orang Cina. Jakarta: Diterjemahkan
dari Rahasia Bisnis Orang Cina . Profesional Publising Sdn. Bhn.
Bagus Takwin, 2003. Filsafat Timur Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikran Timur.
Yojyakarta: Jalasutra IKAPI.
Chi-Ping Yu, Filial Piety and Chinese Pastoral Care. Asia Journal of Theology IV:1
Apri1 1990, pp. 316-328.
De Barry, Theodore Wm., 1989, The Message of The Mind in
Neo Confucianism. Columbia University Press. New York.
Eber, Irene (Ed), 1986, Confucianism. The Dynamics of Tradition. Macmillan Publishing
Company. New York
Green, Ronald, M., 1988, Religion and Moral Reason. New Method For Comparative Study. Oxford University Press. New
York.
Lasiyo, 1988, ‘Etika Menurut Ajaran Confucius.’ Basis. XXXVII, Juli, pp
249-255.
249-255.
Legge, James 1861, The
Chinese Classics .Vol
1, Oxford University Press. Oxford.
Lu, Martin, 1983, Confucianism Its Relevance To Modern Society. Federal Publications (S) Pte Ltd. Singapore.
Lu, Martin, 1983, Confucianism Its Relevance To Modern Society. Federal Publications (S) Pte Ltd. Singapore.
MATAKIN, 1984, “Tata Agama Dan Tata
Lasksana Upacara Agama Khonghucu’, Sen Genta Suci Konfusiani. SAK TH XXVIII No-S Sala.
Rangkuti R.E.,
1981, Kumpulan Lagu-lagu Daerah.
Sinai Pengetahuan.
Jakarta.
Smith, Huston, 1989, The
Religions of Man. Harper &
Row Publishers. New York.
Tim Redaksi Driyarkara, 1993,
Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, Jakarta, penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wen, Kwei Liao, 1933,
The Individual and the
Community. Kegan Paul.
London.