MENITI FILSAFAT YUNANI KUNO DAPAT DIPAKAI SEBAGAI
PEMAHAMAN DAN PENGHAYATAN AJARAN AGAMA HINDU
Oleh: Drs. Sudadi, M. Hum.
ABSTRACT
Search Western philosophy, especially Ancient Greek philosophy, and the teachings of the Hindu religion philosophically understood, especially concerning the doctrine of reincarnation, when examined with comparative phenomenological theory by Edmund Husserl essence is saying that it is an abstract framework, which is absolute, unchangeable, and immortal, then Western philosophy, especially in this case filsaf Ancient Greece, when considered and studied carefully, a little or a lot can be used to understand and appreciate some of the teachings of Hinduism. It said in part, karnena according to the author's understanding that there is a resemblance to the doctrine of the soul that can not die. The doctrine of the soul that can not die or in other words, the soul is eternal, ie the teachings of Pyrhagoras and his followers. While in Hinduism the doctrine states that the soul is eternal, is one of the five beliefs and teachings of the faith called Panca sradha, namely the doctrine of believing in the existence of the soul in every being is eternal and everlasting. So, in essence, that by studying western philosophy, especially ancient Greek philosophy, the teachings of Pyrhagoras and his followers, can be used to understand and appreciate the teachings of Hinduism, especially the doctrine of reincarnation.
ABSTRAK
Penelusuran filsafat Barat,
khususnya filsafat Yunani Kuno, maupun ajaran agama Hindu yang dipahami secara
filosofis, terutama tentang ajaran reinkarnasi, bila dikaji dengan teori komparasi fenomenologis oleh
Edmund Husserl yang mengatakan bahwa essensi itu merupakan suatu kerangka
abstrak, yang bersifat mutlak, tidak terubahkan, dan abadi, maka filsafat Barat khususnya dalam hal ini filsafat Yunani Kuno,
bila diperhatikan dan dipelajari secara saksama, sedikit atau banyak dapat
dipakai untuk memahami dan menghayati sebagian dari ajaran agama Hindu.
Dikatakan sebagaian, karena menurut pemahaman penulis yang ada kemiripannya
adalah ajaran tentang jiwa yang tidak dapat mati. Ajaran tentang jiwa yang
tidak dapat mati atau dalam istilah lain jiwa adalah kekal, yakni ajaran dari Pyrhagoras dan para pengikutnya. Sedangkan dalam agama
Hindu yang ajarannya menyebutkan bahwa jiwa kekal adanya, adalah salah satu
ajaran dari lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha, yakni
ajaran tentang percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk adalah kekal dan
abadi. Jadi, pada intinya bahwa dengan mempelajari filsafat Barat khususnya
filsafat Yunani Kuno, yakni ajaran dari Pyrhagoras dan
para pengikutnya, dapat dipakai untuk memahami dan menghayati ajaran agama
Hindu terutama ajaran reinkarnasi.
I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang dan Masalah
Penulis bukan seorang filsuf,
melainkan pecinta filsafat dan kebetulan saja sebagai pengajar filsafat. Oleh
sebab itu dirasa tidak ada maksud apapun dengan penulisannya ini, kecuali hanya
dimaksudkan, apabila mungkin bisa membantu siapa saja yang sedang dan ingin
belajar filsafat terutama filsafat Barat yang sebagian ajarannya dapat dipakai
dalam memahami dan menghayati sebagian dari ajaran agama Hindu. Meskipun tentang hal ini telah ditulis oleh
banyak orang yang dimungkinkan lebih ahli dan lebih mendalami dalam bidang ini.
Disinilah keberanian penulis walaupun bukan seorang filsuf, namun karena dirasa
sangat diperlukan khususnya dalam kegiatannya sebagai pengajar filsafat di
Perguruan Tinggi yang sebagian besar
Program Studinya berlatar belakang Agama Hindu.
Berbekal
lebih dari tiga dasa warsa pengalaman penulis bergumul dengan problem problem,
seperti bagaimana mengajar filsafat (filsafat Barat) kepada mahasiswa, agar
supaya mereka mencintai dan memahami “filsafat Barat”. Itulah sebabnya tulisan
ini diusahakan uraiannya sejelas dan sesederhana mungkin, meskipun ini belum
tentu memuaskan bagi yang sedang menggeluti ilmu semacam ini. Mungkin juga
karya ini masih banyak kekurangannya, atau mungkin bisa menjadi pendorong orang
lain yang lebih ahli tentang filsafat, sehingga bisa menambah dalam berfilsafat
secara mandiri.
Suatu
pandangan dunia dan umumnya suatu pandangan teoritis tidak pernah melayang
layang di udara. Setiap
pemikiran teoritis mempunyai hubungan erat dengan lingkungan di mana pemikiran
itu dijalankan. Itu benar juga bagi permulaan pemikir teoritis, yaitu filsafat
Barat, ”apakah ada Filsafat Barat khususnya Filsafat Yunani Kuno yang dapat
dipakai untuk memahami dan menghayati ajaran agama Hindu ?”. Kritik dan saran
yang sifatnya menyempurnakan akan penulis terima dengan terbuka, dengan harapan
agar dapat membantu para pecinta terutama mahasiswa yang sedang dan ingin belajar
filsafat (filsafat Barat), sehingga filsafat Barat tidak membosankan untuk
dibaca dan dipelajari.
1.2.Batasan
Pembahasan
Penulisan pada bahasan ini tentunya akan
dibatasi, artinya bahwa penulisannya hanya akan difokuskan pada hal-hal yang
menurut penulis dapat digunakan untuk memahami dan menghayati sebagian dari ajaran
agama Hindu. Dikatakan sebagian, karena bila bicara agama Hindu tentang
ajarannya, sudah tentu tidak mungkin ajaran agama Hindu secara menyeluruh dapat
dipahamami maupun dihayati dari mempelajari filsafat Barat. Hal ini perlu
disadari, karena latar belakang maupun wilayah perkembangan agama Hindu dan
filsafat Barat sangat berbeda.
Berdasar
dari uraian di atas, maka bahasan untuk filsafat Barat khususnya filsafat
Yunani Kuno, yang dapat dimungkinkan dapat membantu memahami ajaran agama Hindu
terutama yang berbicara tentang ”Reinkarnasi” adalah ajaran dari Pythagoras.
Meskipun demikian ajaran Pythagoras pun tidak seluruhnya dapat membantu untuk
memahami dan menghayati ajaran agama Hindu.
II
Landasan
Pemahaman
2.1.
Filsafat Yunani Kuno
2.1.1. Mencari
Kebijaksanaan.
Nama “filsafat” dan “filsuf” berasal
dari kata-kata Yunani philosophia dan philosophos. Menurut bentuk kata,
seorang philo-sophos adalah seorang
“pecinta kebijaksanaan”. Ada tradisi kuno yang mengatakan bahwa nama “filsuf” (philosophos) untuk pertama kalinya dalam
sejarah dipergunakan oleh Pythagoras (abad ke-6 s.M). Tetapi kesaksian sejarah
tentang kehidupan dan aktivitas
Pythagoras demikian tercampur dengan legenda legenda sehingga kebanyakan
kali kebenaran tidak dapat dibedakan dengan reka-rekaan saja (Bertens, 1987:
13). Demikian halnya juga dengan hikayat
yang mengisahkan bahwa nama “filsuf” ditemukan oleh Pythagoras. Yang pasti
ialah bahwa dalam kalangan Sokrates dan Plato (abad ke-5 s.M) nama “filsafat”
dan “filsuf” sudah lazim dipakai. Contohnya dalam dialog Plato yang berjudul Phaidros, julukan seseorang dengan
dipanggil “orang bijaksana ‘ terlalu sangat agung untuk memanggil seorang
manusia dan akan lebih cocok bila panggilan itu ditujukan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Seseorang akan lebih baik apabila dipanggil dengan julukan
philosophos yaitu seorang pecinta kebijaksanaan. Julukan ini
akan lebih relevan dengan panggilan bagi makhlukNya sebagai makhluk insani.
2.1.2. Latar Belakang Lahirnya
Filsafat (Filsafat Barat).
Bukan saja nama filsafat berasal dari bahasa Yunani,
melainkan juga isi konsep yang ditunjukkan dengan nama ini merupakan suatu
penemuan Yunani yang khas. Pada abad ke-6 sebelum Masehi telah terjadi berbagai
peristiwa menakjubkan dan ajaib di Yunani, yang dalam istilah kerennya adalah “the
Greek miracle” (bahasa Inggris). Timbulnya filsafat di Yunani pada saat
itu memang biasa dikatakan sebagai suatu peristiwa ajaib, sebab tidak mungkin
memberi alasan alasan yang akan menerangkan kejadian itu secara memuaskan.
Namun demikian ada beberapa factor yang sudah mendahului dan seakan akan
mempersiapkan lahirnya filsafat di Yunani. Adapun factor factor sebagai
penyebab lahirnya filsafat adalah sebagai berikut:
Pertama, adalah bahwa bangsa Yunani
seperti juga bangsa bangsa sekitarnya, terdapat adanya mitologi yang kaya dan
luas. Mitologi itulah yang merupakan percobaan untuk mengerti. Mite-mite sudah
memberi jawaban atas petanyaan pertanyaan yang timbuh dalam hati manusia.
Misalnya, dari manakah dunia ini ?, dari manakah peristiwa peristiwa yang
terjadi di dalam alam ini?, apa sebab terjadi pelangi ? dan lain sebagainya. Melalui
mite-mite, manusia mencari keterangan tentang asal usul alam semesta dan
tentang kejadian kejadian yang berlangsung di dalamnya. Mite macam pertama yang
mencari keterangan tentang asal usul alam semesta, lalu disebut dengan istilah mite kosmogonis, sedangkan mite jenis
kedua yang mencari keterangan tentang asal usul serta sifat kejadian kejadian
dalam alam semesta disebut mite
kosmologis.
Bagi bangsa Yunani, bahwa dengan
mengadakan beberapa usaha untuk menyusun mite-mite yang diceriterakan oleh
rakyat supaya menjadi sistematis. Karena dengan mencari dan mensistematiskan
itu, mereka sudah menyatakan keinginan untuk mengerti hubungan mite-mite satu
sama lain dan menyingkirkan mite yang tidak dapat dicocokkan dengan mite lain.
Di sini mereka sudah tampak mulai berpikir secara rasional.
Kedua,
adalah adanya kesusasteraan Yunani, di sini tampak sebagai persiapan yang
mempengaruhi timbulnya filsafat, asal saja dipakainya kata itu dalam arti
seluas luasnya, sehingga meliputi juga teka-teki, dongeng-dongeng, dan lain
seagainya. Misal karya puisi Homeros yang terdiri dari dua puisi, yaitu Ilias dan Odyssea yang dibuat pada tahun 850 s.M. dan puisi itu mempunyai kedudukan
istimewa dalam kesusastraan pada waktu itu. Syair-syair dalam puisi tersebut
lama digunakan, karena dapat dipakai sebagai semacam buku pendidikan untuk
rakyat Yunani.
Ketiga,
adalah adanya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang pada waktu itu sudah muncul
di Timur Kuno. Ilmu pengetahuan yang muncul di Timur Kuno itu adalah ilmu ukur
dan ilmu hitung dari Mesir. Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut oleh bangsa Yunani
dijadikan suatu corak yang sungguh-sungguh ilmiah. Hal ini dapat dilihat
seperti diceriterakan oleh seorang sejarawan Yunani yang hidup sekitar abad
ke-5 s. M, yaitu Herodotos yang menceriterakan, bahwa ilmu ukur dan ilmu hitung
yang berkembang di Mesir itu, karena di Mesir setiap tahun dirasakan
keperluanya, yaitu untuk mengukur kembali tanah-tanah setelah terjadi banjir
setiap tahun di sungai Nil. Namun pada orang Yunani ilmu ukur yang disebut “geometria” (artinya: pengukuran tanah)
tidak dijalankanya dalam suatu konteks praktis seperti yang dipakai bangsa
Mesir, melainkan mulai mempelajari ilmu pengetahuan tersebut dengan tidak
mencari untung (Inggris: disinterestedly).
Di negeri Yunani ilmu pasti, astronomi, dan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan
demi keuntungan yang letaknya di luar ilmu pengetahuan itu.
2.1.3. Pergumulan antara Mythos dengan Logos
Di atas telah disebutkan bahwa mitologi merupakan salah satu
factor yang mendahului dan mempersiapkan ke arah timbulnya filsafat. Kenyataan
memang benar bahwa para filsuf pertama, menerima objek penyelidikannya dari
mitologi, yaitu alam semesta dan kejadian-kejadian setiap yang orang dapat
menyaksikan di dalamya. Mitologi Yunani meskipun menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang alam semesta itu, tetapi jawaban jawaban demikian diberikan justru
masih dalam bentuk mite yang meloloskan diri dari tiap-tiap control pihak
rasio. Dan baru pada sekitar abad ke-6 s. M, orang-orang
mulai berkembang sikapnya yang sama sekali berlainan dengan kepercayaannya akan
mitologi. Sejak saat itu orang mulai mencari jawaban-jawaban yang rasional
terhadap problem problem yang timbul dari alam semesta, karena itu logos (akal budi, rasio) mulai
mengganti kedudukan mythos, sehingga
dapat dikatakan lahirlah filsafat. Sebagai catatan bahwa dalam bahasa Yunani, logos mempunyai arti lebih luas dari
kata rasio.
Filsafat meskipun lahir pada saat
rasio mengalahkan mythos, namun bukan
berarti bahwa seluruh mitologi dtinggalkan secara sporadis. Proses rasio
menggantikan mythos itu berlangsung
secara berangsur-angsur. Jadi seluruh filsafat Yunani merupakan suatu
pergumulan yang panjang antara mythos
dan logos, oleh karena itu tidak
sulit untuk menunjukkan pengaruh mitologi atas para filsuf yang pertama atau
filsuf pra Socrates. Meskipun demikian, pada abad ke-6 s. M di negeri Yunani
terjadilah peristiwa-peristiwa yang sama sekali baru yaitu, bahwa para filsuf
pertama memandang dunia dengan cara yang belum pernah dipraktekkan oleh orang
lain. Mereka tidak mencari lagi keterangan tentang alam semesta seperti dalam
peristiwa-peristiwa mitis yang pada mulanya harus dipercaya saja, melainkan bahwa
mereka mulai berpikir sendiri. Jika terjadi peristiwa peristiwa alam yang dapat
diamati secara umum, mereka mulai mencari keterangan yang memungkinkan untuk
dimengerti peristiwa-peristiwa itu. Tidak pelak lagi bahwa
keterangan-keterangan semacam itu bagi orang jaman sekarang seringkali agak
naïf kedengarannya, namun yang sangat penting adalah cara rasional dan logis
yang mereka gunakan untuk mendekati problem-problem yang ditemui dalam alam semesta. Contoh sederhana yaitu,
adanya peristiwa pelangi di ufuk baik di bagian Barat maupun bagian Timur. Bagi
masyarakat Yunani yang tradisional atau
yang kuno, menganggap bahwa pelangi adalah seorang bidadari sebagai pesuruh
para dewa turun tangga menuju bumi. Hal ini ditanggapi bila membaca dan memahami puisi-puisi Homeros, dan Xenophanes
salah seorang filsuf pertama mengatakan bahwa pelangi merupakan suatu awan.
Satu abad kemudian Anaxagoras mengatakan bahwa pelangi disebabkan oleh pantulan
matahari dalam awan. Oleh karena dengan pendekatan demikian itu, yaitu secara
rasional dan dapat dikontrol oleh siapa saja, maka terbukalah kemungkinan untuk
memperdebatkan hasil-hasilnya secara leluasa dan untuk umum. Satu jawaban akan
menampilkan pertanyaan pertanyaan lain dan kritik atas satu keterangan akan
menuntut timbulnya keterangan lain, sehingga dalam suasana rasional maka
terciptalah saasana perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan secara ilmiah
akan dapat dimungkinkan.
Jika dikatakan filsafat lahir karena
logos telah mengalahkan mythos, maka sekali lagi harus
ditekankan bahwa kata “filsafat” di sini meliputi baik filsafat maupun ilmu
pengetahuan, dan kedua-duanya harus dibedakan dengan terminologi modern tentang
filsafat dan ilmu pengetahuan. Bagi orang Yunani pada waktu itu, filsafat
merupakan suatu pandangan rasional tentang segala-galanya. Baru kemudian
berangsur-angsur dalam sejarah kebudayaan, ilmu-ilmu pengetahuan satu demi satu
melepaskan diri dari filsafat, agar memperoleh otonominya demi ilmu itu
sendiri. Jadi jika dirunut secara dalam dan jauh ke belakang, para filsuf
dikemudian hari seperti Descartes, Immanuel Kant, Hegel, Husserl, dan para
ilmuwan seperti Newton, Planck, dan Einstein, serta Colombos, dan masih banyak
lagi, mereka mempunyai leluhur yang sama di negeri Yunani. Oleh sebab itu
bangsa Yunani mendapat kehormatan yang tidak kecil, karena merekalah yang
menelorkan cara berpikir ilmiah. Seperti kata J. Burnet: “it is an adequate description of science to
say that it is thinking about the world in the Greek way”. Jadi,
merekalah sebagai pendasar-pendasar pertama kultur Barat, bahkan kultur
sedunia, sebab cara pendekatan ilmiah semakin menjadi unsur hakiki dan
merangkum semua kebudayaan diseantero jagad raya.
2.1.4. Karakteristik Bangsa Yunani
Karakteristik bangsa Yunani
memperlihatkan banyak bedanya dengan bangsa bangsa lain di muka bumi ini,
antara lain dapat dilihat dari berbagai segi agar memudahkan untuk memahaminya.
Adapun beberapa segi dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Ditinjau dari segi geografis
Negeri Yunani yang masuk daratan
Eropa, permukaan wilayahnya melingkupi pesisir di Asia Kecil sampai dengan
pulau Sisilia serta Italia Selatan, bahkan mencapai Kyrene di daratan Afrika.
Oleh sebab itu, bangsa Yunani dapat dikatakan bangsa yang menduduki wilayah
yang jauh lebih luas bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi
ini. Dari segi prestasi di bidang ilmu pengetahuan pun,
nampak lebih besar di era global ini.
Bagi bangsa Yunani, luasnya wilayah
yang ditempati ini, karena mereka berpindah-pindah di daratan Eropa sampai ke
tanah asing. Perpindahan mereka disebabkan adanya penyerbuan-penyerbuan dari
suku Doria ke dalam daratan Yunani, dan peristiwa itu terjadi sekitar tahun
1100 s/d. 1000 s. M, di samping alasan alasan ekonomi seperti yang terjadi pada
tahun 750 s/d. 500 s. M (Bertens, 1987: 18). Begitu juga tentang daratan Yunani
yang sebagian besar terdiri dari pegunungan pegunungan yang gundul dan gersang,
sehingga sangat kurang penghasilannya, menyebabkan bangsa Yunani banyak menjadi
pelaut yang handal, dan mereka lalu banyak merantau ke daerah asing, ditambah
dengan banyaknya jumlah penduduk Yunani pada waktu itu. Pendek kata, bahwa
alasan alasan itulah yang membentuk sebagian karakteristik bangsa Yunani yang
pandai berlayar, suka merantau dan berpikiran brelian.
b. Ditinjau dari segi social dan
polotik.
Bangsa Yunani sadar akan bedanya dengan bangsa-bangsa lain,
sehingga mereka mempertentangkan antara Yunani dengan Barbaros atau yang biasa
disebut dengan “Barbar”. Kata Barbaros bagi bangsa Yunani tidak
berarti menghina, karena bagi mereka bangsa Mesir dan Babylonia pun terhitung
kaum Barbar. Oleh sebab itu, bangsa Yunani mengatakan bahwa kata “Barbaros”
lebih kurang sinonimnya adalah “asing” (Bertens, 1987: 19). Maka dari itu,
seorang Barbaros adalah seorang asing yang tidak berbicara dengan memakai
bahasa Yunani, melainkan hanya mengeluarkan suara yang bagi telinga bangsa
Yunani terdengar dengan kata-kata “bar, bar” saja. Namun sebagai penentu
sebenarnya bukan karena mempertentangkan antara Yunani dan asing saja,
melainkan bahwa orang Yunani adalah merdeka atau bebas, sedangkan orang Barbar
dianggapnya adalah budak saja.
Anggapan bahwa orang Yunani merdeka
dan orang Barbar sebagai budak saja, memunculkan dua anggapan yaitu, anggapan secara negative dan anggapan secara positive.
Adapun anggapan secara negative
yaitu, bahwa orang Yunani tidak hidup dalam suatu kerajaan yang diperintah oleh
Sang Raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.
Kerajaan dimaksud adalah kerajaan kerajaan di Timur Kuno yaitu kerajaan
yang mempunyai tanda despotisme,
dalam arti bahwa kekuasaan raja mempunyai hukum-hukum yang menjamin keadilan.
Oleh sebab itu Raja berkuasa semaunya sendiri dengan anggapan bahwa dirinya
bersifat ilahi. Bangsa barbar dianggap sebagai bawahan saja dan bukan warga
Negara yang sejati, artinya bahwa bangsa barbar tidak lain hanyalah dianggap
budak saja.
Anggapan secara positif yaitu, bahwa orang Yunani memang
berbeda dengan bangsa asing, karena orang Yunani hidup dalam polis. Kata “polis” merupakan asal-usul untuk kata kata Indonesia, seperti “politik”, “politikus”, dan juga “polisi”,
serta masih banyak kata kata lagi di Indonesia yang memang sulit untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa bahasa modern untuk istilah polis itu sendiri. Pada waktu itu suatu polis adalah suatu negara kecil atau suatu Negara kota, namun
serentak juga bahwa kata polis
menunjuk kepada rakyat yang hidup dalam Negara kota itu.
Polis timbul
akibat dari suatu bentuk kemasyarakatan baru antara abad ke-8 dan ke-7 s. M,dan
cepat sekali berkembang, sehingga tidak mengambil waktu yang lama, negeri
Yunani terdiri dari ratusan Negara kota semacam itu yaitu yang disebut Negara polis. Sebenarnya permukaan tanah
wilayahnya tidak begitu besar, karena satu polis hanya melingkupi satu atau dua
kota saja, dan mungkin hanya beberapa desa saja. Seperti dikatakan Plato, bahwa
satu polis yang ideal sebaiknya tidak
melebihi dari jumlah 5.000 warga Negara. Dan dalam kenyataannya memang banyak polis yang kurang dari jumlah itu, hanya
ada sebagian kecil saja yang jumlah warga negaranya 20.000 warga Negara
(Bertens, 1987: 20).
Pengorganisasian polis tidak selalu
sama, namun meskipun ada cukup banyak perbedaan antara satu dengan yang lain,
di seluruh dunia Yunani selalu polis
yang merupakan pusat segala keaktifan, misalnya dalam bidang ekonomi, social,
politik, dan religius. Ciri-ciri polis yaitu mempunyai tanda tanda otonomi, swasembada, dan merdeka.
Pada
abad ke-5 dan ke-4 s. M Athena dapat mencapai puncaknya dengan bentuk
pemerintahan seperti itu. Akan tetapi apabila dewan harian yang memainkan peran
dominant di suatu polis, maka cara
pemerintahan seperti ini adalah oligarki atau
aristokrasi. Dan sepanjang sejarah,
suatu polis sudah biasa terjadi bila pemerintahannya jatuh di tangan satu orang
saja, sehingga bagi orang Yunani pemerintahan seperti ini disebutnya tyrannos (Inggris: tyrant). Dan bagi
bangsa Yunani, tyrannos sebagai penguasa
juga tergantung pada hukum, sehingga mereka tidak dapat bertindak sembarangan.
Oleh sebab itu perbedaan dengan kerajaan kerajaan Timur tetap ada. Dan satu
catatan lagi, bahwa pemerintahan seorang tyrannos
biasanya tidak tahan lama.
c. Ditinjau dari segi cultural
Bangsa
Yunani konon sebagai pencipta filsafat (filsafat Barat) dan ilmu pengetahuan,
juga mempunyai hasil karya berupa seni yang dikagumi di seantero pelosok dunia
dan tetap jadi kenangan. Mestinya dalam hal ini bukan saatnya untuk bicara
masalah kesenian Yunani, tetapi satu aspek yang saling berkaitan antara
kesenian dengan rasionalitas adalah ciptaan ciptaan artistic Yunaninya. Ciptaan artistic Yunani yang
menampakkan suasana rasionalitas adalah tampak dalam tanda tanda keseimbangan
dan keselarasan yang tidak ada tolok ukurnya dengan norma norma seni. Oleh
sebab itu, karya seni Yunani bisa dibilang sempurna, artinya tidak ada
sedikitpun yang dapat ditambah maupun dikurangi tanpa mengambil secara
keseluruhan. Jadi apabila dikatakan benar dan baik untuk seni rupa maka dapat
pula untuk kesusastraan. Hal senada
seperti dikatakan oleh seorang ahli kesusastraan Yunani sebagai berikut: “It
has been said that a Gothic cathedral is never finished, and conversely
Shakespeare has often been cut – but who could add anything to a Greek temple
that would not be an obvious excrescence, or cut a scene from a
Greek play without making it unintelligible ?”.
Secara
cultural, struktur bahasa Yunani juga tampak adanya rasionalitas tertentu,
seperti dalam mengekspresikan pikiran pikiran dengan seksama dan jelas, serta
dalam mengungkap pikiran-pikiran abstrak. Hal ini
ditandai dengan adanya kata sandang dapat mensubstantifkan kata sifat dan kata
kerja. Dengan demikian bangsa Yunani dapat berbicara tentang “yang baik”
(Yunani: to agathon), “hal mengenal”
(Yunani: to noein), dan “yang ada”
(Yunani: to on) (Bertens, 1987: 23).
2.1.5. Corak Filsafat Bangsa Yunani
Jika
dilihat kebelakang corak filsafat bangsa Yunani, maka sudah barang tentu bukan
melihat keruntuhan Yunani yang telah lama ditinggalkan. Di sini yang akan ditinjau dan dipahami serta yang dihadapi
adalah unsur-unsur yang sebagian besar menjadi fondasi bangunan untuk kultur
modern bahkan sampai era kontemporer ini. Contohnya adalah jika dirunut jalan
pikiran yang logis, maka mau tak mau adalah meneruskan tradisi yang diwarisi
dari orang Yunani. Oleh sebab itu dengan tidak disadarinya bahwa
perkembangan sekarang ini berasal dari kebudayaan Yunani atau setidak tidaknya
orang Yunani memberikan landasannya.
Untuk seorang filsuf atau ahli di
bidang filsafat, sudah tentu banyak alasan untuk menaruh perhatian kepada
filsafat Yunani. Ditinjau secara kronologis adanya filsafat (filsafat Barat)
seluruhnya, maka era filsafat purba jaman Yunani mempunyai kedudukan istimewa,
sebab di Yunani ditemui munculnya filsafat itu sendiri. Jadi mempelajari
filsafat Yunani artinya menyaksikan kelahiran filsafat itu sendiri, sehingga
tidak ada pemahaman filsafat yang lebih ideal kecuali studi tentang pertumbuhan
pemikiran filsafat di negeri Yunani. Hal ini pernah dikatakan oleh Alfred Whitehead seorang filsuf modern mengenai Plato sebagai
berikut: “All Western philosophy is but a series of footnes to Plato”.
Bila dilihat secara harafiah tampaknya kata kata ini sangat melebih lebihkan
pada diri Plato, namun sebenarnya tidak, sebab pada Plato dan umumnya dalam
seluruh filsafat Yunani tetap berjumpa dengan problem problem filsafat yang
masih dipersoalkan sampai masa kini.
Tema-tema filsafat Yunani, seperti
“ada”, “menjadi”, “substansi”, “ruang”, “waktu”, “kebenaran”, “jiwa”,
“pengenalan”, dan “Tuhan” merupakan tema-tema pula bagi filsafat secara
umum.Begitu pula para filsuf Yunani satu kali untuk selamanya menjuruskan
pemikiran filsafat selanjutnya, sehingga filsafat sekarang masih tetap bergumul
dengan pertanyaan-pertanyaan yang untuk pertama kalinya dikemukakan dalam
kalangan mereka.
Bicara
tentang filsafat ciptaan Yunani tampaknya tidak boleh menghindar bahwa
sebenarnya mengalami banyak kesulitan. Banyak orang mengatakan bahwa
pembicaraan periode filsafat purba Yunani ini adalah “The early Greek period is more
a field for fancy than for fact”. Jadi kesulitan kesulitannya berasal
dari keadaan sumber, karena pikiran dari para filsufnya di mana disimpan untuk
bisa ditemukan dan dipelajarinya. Di samping itu, ada juga beberapa filsuf
Yunani yang tidak pernah menulis satu barispun, misalnya Thales, Pythagoras,
dan Sokrates. Sehingga untuk mengetahui jalan pikiran mereka terpaksa harus
percaya dari kesaksian orang lain yang berbicara tentang ajaran mereka, seperti
percaya pada tulisan dan pembicaraan para murid ataupun teman sejawatnya.
Selain itu, ada filsuf filsuf yang meskipun menulis satu karangan atau lebih,
namun tulisan itu sudah hilang entah di mana, sehingga harus merasa puas dengan
beberapa fragmen yang telah dikutip oleh para pengarang lain dengan kesaksian
isi ajaran mereka. Disinilah problem muncul, yaitu kesaksian bagaimana yang
harus dipercaya tentang pikiran filsuf dimaksud. Problem tentang sumber atau
refrensi terutama muncul apabila yang dibicarakan adalah para filsuf yang
mendahului Sokrates dan karenanya filsufnya pun lalu dijuluki “filsuf filsuf
pra-Sokratik”.
2.2.. Filsafat Hasil Pikiran Para Filsuf Miletos
Pada sekitar tahun 850 s. M hidup
seorang penyair terkenal di Ionia dengan kotanya dinamakan Miletos, yaitu
Homeros, setelahnya juga hidup di sana adalah ketiga filsuf pertama, yaitu
Thales, Anaximandros, dan Anaximenes. Karena pikiran pikirannya dicetuskan di
kota Miletos, maka ketiga filsuf tersebut lalu dijuluki filsuf Miletos.
Pada awal abad ke-6 s. M di Miletos
bukan merupakan kebetulan untuk tempat lahir filsafat (Filsafat Barat) yang
pertama, sehingga kota Miletos menjadi kota terpenting di antara dua belas kota
yang ada di Ionia. Miletos sebagai kota tempat lahirnya filsafat (filsafat
Barat), konon ceritanya juga tempat lahirnya tujuh orang bijaksana. Ketujuh
orang bijaksana dimaksud memang tidak banyak yang diketahui siapa saja namanya,
meskipun waktunya diketahui yaitu kira kira abad ke-6 s. M. Dalam berita berita
yang didengar banyak orang pada waktu itu, namun tentang nama namanya pun
berganti ganti dan berbeda beda. Meskipun banyak orang mengatakan berbeda beda,
tetapi nama Thales dari Miletos tetap disebut sebut, sehingga ia tetap diingat
sebagai salah satu dari ketujuh orang bijaksana dimaksud. Hanya
saja tentang Thales banyak dongeng yang beredar dan kurang dapat dipercaya.
Tentang fakta dan data Thales semasa hidupnya, dapat diketahui dari tokoh
sejarawan Herodotos yang hidup kira kira abad ke-5 s. M, namun Thales tidak
disebutnya dengan nama “filsuf” dan tidak menceritakannya bahwa ia sebagai
filsuf . Baru kemudian Aristoteles seorang filsuf yang hidup sekitar abad ke-4
s. M mengatakan secara tegas dan mengenakan gelar kepada Thales “filsuf yang pertama”.
Pribadi Thales khususnya tentang
tanggal lahir dan tanggal kematiannya tidak diketahui, begitu juga para filsuf
sejamannya. Untuk mengetahui perkiraan tahun kelahiran Thales yaitu, bahwa ia
berjasa besar dengan satu kali keberhasilannya meramalkan gerhana matahari. Dan para ahli astronomi
modern mengatakan bahwa gerhana matahari peristiwanya terjadi pada tanggal 28 Mei 585 sebelum Masehi. Hal ini
bukan berarti bahwa Thales meramalkannya tepat pada hari dan tanggal itu,
melainkan ia meramalkannya satu tahun sebelumnya, yaitu dengan mengatakan “satu
tahun kemudian gerhana matahari akan terjadi”. Kenyataan ini dimungkinkan
karena Thales mempunyai pengalaman pengalaman tentang ilmu astronomi dari
Babylonia. Oleh sebab
itu diperkirakan bahwa Thales hidup disekitar abad ke-6 s. M.
Satu
hal yang perlu diingat, bila Thales tidak pernah menulis pikiran pikirannya
atau tentang karyanya pun hampir tidak ada kesaksiannya. Oleh sebab itu, satu
satunya sumber yang bisa dipercaya yaitu dari karya Aristoteles, meskipun ia
memperoleh informasi hanya tradisi lisan saja. Salah satu contoh yaitu dalam
traktat Aristoteles tentang “metafisika” yang mengatakan bahwa “Thales termasuk
filsuf yang mencari arkhe (asas atau
prinsip) alam semesta”, dan Thales adalah yang pertama di antara sesama filsuf
se angkatannya. Thales mengatakan bahwa asas atau prinsip pertama alam semesta
adalah air, dan semuanya berasal dari air yang akan kembali lagi menjadi air.
Alasannya yaitu, karena air mempunyai pelbagai bentuk, seperti cair, padat, dan
uap. Dugaan seperti itu juga karena menurut Thales bahwa bahan makanan semua
makhluk memuat zat lembab, demikian juga dengan benih dari semua mkhluk hidup.
Inilah
perkenalan pertama dengan pemikiran filosofis dari fisuf pertama, meskipun
tampaknya agak mengecewakan, karena belum secara eksplisit tentang
pandangannya. Namun yang terpenting di sini dapat disaksikan percobaan pertama
meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana dalam menghadapi alam jagat raya
secara rasional. Dan inilah yang muncul kali pertama pikiran bahwa alam semesta
secara fundamental bersifat satu, sehingga bisa diterangkan dengan menunjuk
satu prinsip saja, yaitu air.
Pendapat
lain tentang prinsip pertama atau dalam istilah Yunani adalah arkhe alam
semesta, dikemukakan oleh seorang filsuf lain, yaitu Anaximandros. Anaximandros
sebenarnya murid Thales, maka hidupnya pun antara tahun 610 s/d. 540 s. M.
Menurut tradisi Yunani, Anaximandros mempunyai jasa dalam bidang astronomi dan
bidang georafi, dengan bukti bahwa ia yang telah membuat peta bumi yang pertama
di Yunani. Ia juga yang memimpin ekspedisi dari Miletos menuju
Apollonia di pantai Laut Hitam, dan mendirikan kota perantauan di sana. Di
Miletos pun ia dihormati, yaitu didirikannya patung Anaximandros di kota itu.
Anaximandros dalam mencari prinsip
pertama atau juga bisa disebut prinsip terakhir dari alam semesta tidak
mengambil salah satu anasir yang bisa diamati dengan pancaindra seperti
pendapat Thales. Pemikiran Anaximandros lebih mendalam, sebab menurutnya adalah
berupa hal “yang tidak terbatas”, yang dalam bahasa Yunani disebut to
apeiron (dari kata peras
artinya batas). Apeiron itu bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan, dan meliputi
segala-galanya.
Menurut kesaksian Aristoteles,
mengapa Anaximandros menunjuk apeiron sebagai prinsip yang fundamental, karena
apabila seandainya prinsip itu hanya
salah satu anasir seperti pendapat gurunya yaitu Thales, yang mengatakan air itu
meresapi segala galanya dan air itu tak terhingga, namun bila demikian maka
tidak ada tempat lagi untuk anasir yang berlawanan dengannya. Sebab air sebagai
anasir basah akan mengeksklusifkan api yang merupakan anasir kering. Inilah
alasan Anaximandros, sehingga ia tidak puas hanya dengan menunjuk salah satu
anasir saja sebagai prinsip fundamental dari alam semesta. Anaximandros mencari
sesuatu yang lebih mendalam dan yang tidak bisa diamati oleh pancaindera.
Anaximandros mengatakan bahwa dunia
timbul dari yang tak terbatas karena suatu penceraian (Yunani: ekkrisis).
Prosesnya yaitu
dilepaskan dari apeiron itu unsur unsur yang berlawanan (Yunani: ta
enantia) berupa unsure panas dan unsure dingin, unsure kering dan
unsure basah. Unsur-unsur itu selalu berparang antara yang satu dengan yang
lain. Misalnya musim panas selalu mengalahkan musim dingin dan dsebaliknya,
tapi bilamana satu unsure menjadi dominant, maka karena keadaan ini dirasakan
tidak adil (adikia), maka keseimbangan neraca harus dipulihkan kembali.
Jadi sebenarnya ada satu hokum yang menguasai unsure unsure dunia, dan hokum
itu disebut keadilan (Yunani: dike). Perceraian tadi
mengakibatkan adanya putting beliung yang memisahkan yang dingin dari yang
panas, sedang yang panas kemudian membalut yang dingin. Gerak putting beliung
yang demikian itu mengakibatkan terjadinya suatu bola raksasa, dengan yang
dingin berada di tengah-tengah yang panas. Oleh karena panas, maka air lepas
dari tanah dan menjadi kabut. Dan akhirnya udara menekan bola sedemikian rupa
hingga meletus menjadi sejumlah lingkaran yang berpusat satu. Setiap lingkaran
terdiri dari api yang dibalut oleh udara, dan tiap lingkaran memiliki satu
lobang, sehingga menjadikan api di dalamnya tampak sebagai bintang-bintang, bulan,
dan matahari. Anaximandros mengatakan bahwa bumi berbentuk
selinder, yang terletak persis di pusat jagat raya(Harun Hadiwijono, 1988: 17).
Jadi bumi bukan di atas
air seperti pendapat Thales.
Filsuf
lain yang mencari prinsip fundamental atau yang disebut arkhe dari alam semesta adalah Anaximenes. Tentang tanggal
kelahiran Anaximenes tidak diketahui secara pasti, namun yang jelas bahwa ia
lebih muda dari Anaximandros. Anaximenes tidak menerima pandangan dari
Anaximandros, karena menurutnya bagaimana mungkin hal yang tak terbatas (to
apeiron) dapat menjadi asas yang pertama seluruh alam semesta dengan
segala isinya.
Anaximenes
mengatakan bahwa prinsip pertama yang merupakan asal usul alam semesta beserta
isinya adalah udara. Hal ini dengan dasar bahwa seperti jiwa menjamin kesatuan
tubuh makluk hidup, terutama manusia, demikian pula udara melingkupi segala
galanya. Jiwa sendiri menurut Anaximenes juga udara yang dipupuk dengan
bernafas. Dan Anaximeneslah seorang filsuf pertama yang mengemukakan persamaan
antara manusia dengan alam semesta, yang dalam istilah modern disebut sebagai mikrokosmos dan makrokosmos. Tema ini yang sering muncul kembali dalam sejarah
filsafat Yunani, yang dengan menyebutkan tubuh adalah mikrokosmos (dunia kecil) yang seakan akan mencerminkan jagat raya
yang merupakan makrokosmos (dunia
besar). Tetapi perlu digaris bawahi bahwa Anaximenes sendiri belum
mempergunakan istilah itu ( Bertens, 1987: 31).
Anaximenes berpendapat bila udara
melahirkan semua benda dalam alam semesta, karena suatu proses pemadatan dan
pengenceran (Inggris: condensation
dan rarefaction). Adapun prosesnya, yaitu jika udara
semakin bertambah kepadatannya, maka muncullah berturut-turut angin, air,
tanah, dan terakir batu. Tetapi sebaliknya, jika udara itu menjadi semakin
lebih encer, maka yang timbul ialah api. Demikianlah dari udara atau hawa
terjadi anasir anasir yang membentuk jagat raya dengan segala isinya (Harun
Hadiwijono, 1988: 18).
Hasil
pemikiran para filsuf pertama kiranya dapat disimpulkan dalam tiga ucapan
yaitu:
Pertama, Alam
semesta merupakan keseluruhan yang bersatu, akibatnya maka harus diterangkan
dengan menggunakan satu prinsip saja, meskipun dalam memilih satu prinsip zat
asali itu antara filsuf yang satu dengan filsuf lain berbeda dalam mengartikan
kesatuan dunia.
Kedua, Alam
semesta dikuasai oleh suatu hokum. Oleh sebab itu, kejadian kejadian dalam alam
semesta tidak merupakan kebetulan, melainkan ada semacam keharusan di belakang
kejadian kejadiannya.
Ketiga, Sebagai
akibatnya, maka alam semesta merupakan kosmos.
Kata kosmos adalah istilah dari
Yunani, maka boleh diterjemahkan sebagai
“dunia”, namun akan lebih tepat lagi apabila diterjemahkan “dunia yang
teratur”. Jadi bagi orang Yunani, kosmos
bertentangan dengan khaos artinya
dunia dalam keadaan kacau balau (Bertens, 1987: 33).
2.3. Pythagoras dan Tarekat Pythagorean
Pada
tahun 494 s. M. di kota Miletos terjadi peristiwa penyerangan oleh bangsa
Parsi, dan pada saat itu musnahlah kota Miletos. Oleh sebab itu dalam sejarah
para filsuf selanjutnya nama kota Miletos hampir tidak kedengaran lagi, namun
pemikiran filosofis dari salah satu kota di Yunani itu tidak musnah, dan
berkembang terus di daerah daerah Yunani lainnya.
Filsuf
dari daerah wilayah Ionia berikutnya adalah Pyrhagoras. Ia lahir di pulau Samos
yang termasuk Ionia, namun tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Para
pengikut dan yang melanjutkan ajaran dari Pythagoras, kemudian disebutnya
dengan aliran Pythagorean. Sedangkan ajaran Pythagoras yang bersifat religius, bukan
politik, sebagaimana pernah diperkirakan disebutnya Tarekat, sehingga para
pengikutnya pun disebutnya “Tarekat
Pythagorean”.
Semasa hidupnya Pythagoras tidak
pernah menulis apapun, sebab ajarannya diberikan secara lisan dan sembunyi
sembunyi. Baru kira kira pertengahan abad ke-5 s. M. terdengar pemberitaan
tentang ajarannya. Ajaran Pythagoras ada dua hal yang pengaruhnya sangat besar
hingga masa kini yaitu: Pertama,
berupa ajaran tentang kepercayaan bahwa jiwa tidak dapat mati. Kedua, ajaran tentang usaha
mempelajari ilmu pasti.
Ajarannya tentang jiwa yang tidak
dapat mati, ia katakan bahwa karena hukumanlah maka jiwa dibelenggu di dalam
tubuh manusia, sehingga setelah manusia mati, jiwanya akan mendapat
kebahagiaan. Tetapi barang siapa tidak mencucikan diri atau pencuciannya
kurang, jiwanya akan pindah ke kehidupan lain, sesuai dengan keadaannya.
Perpindahan jiwa yang belum bersih itu dapat ke binatang, tumbuh tumbuhan, atau
ke tubuh manusia lagi. Sebagai bukti perpindahan jiwa, yaitu dalam empat baris
sajaknya diceriterakan bahwa satu kali Pythagoras mendengar seekor anjing
mendengking karena dipukul, dan ia meminta pukulan itu dihentikan, sebab
katanya dalam dengkingannya ia mengenal lagi suara seorang sahabat yang telah
meninggal. Adapun penyucian diri itu dilakukan dengan menghindari makanan yang
jadi pantangan, seperti daging dan kacang-kacangan (Harun Hadiwijono, 1988:
20). Mentaati peraturan tersebut adalah unsur penting dalam kehidupan kaum
Pythagorean, dan mereka juga mempraktekan filsafat sebagai jalan menuju ke
penyucian.
2.3. Agama Hindu
Dalam
bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata ''Sindhu'' (Bahasa
Sanskerta). name=Hindu [http://www.vishnumandir.com/htm/meaning.htm
"Meaning of Hindu"] Dalam Regweda/Reg Weda, (bangsa Arya) menyebut
wilayah mereka sebagai ''Sapta Sindhu'' (wilayah dengan tujuh sungai di barat
daya (anak benua India), yang salah satu sungai tersebut bernama (sungai Indus).
Hal ini mendekati dengan kata ''Hapta-Hendu'' yang termuat dalam (Zend Avesta)
(''Vendidad: Fargard'' 1.18) sastra suci dari kaum (Zoroaster) di (Iran). Pada
awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu.
Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab
dari Weda dilengkapi oleh para Brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha,
agama Hindu sama sekali belum muncu,l semuanya masih mengenal sebagai ajaran
Weda.
2.3.1. Keyakinan Dalam Hindu
Hindu
seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja
banyak Dewa, namun realitanya tidaklah demikian. Dalam agama Hindu, Dewa
bukanlah Tuhan tersendiri. Bagi umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya.
Dalam salah satu ajaran (filsafat Hindu), (Adwaita/ Adwaita Wedanta) menegaskan
bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman),
yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk (Bhaskarananda,
Swami, ’’’The Essentials of Hinduism’’’, 1994: 25)
Dalam
Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Sradha, yakni
Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan
tersebut, yakni:
a.
'''[[Brahman|Widhi Tattwa]]''' -
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
b.
'''[[Atman|Atma Tattwa]]''' -
percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk adalah kekal dan abadi
c.
'''[[Karmaphala|Karmaphala
Tattwa]]''' - percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
d.
'''[[Samsara|Punarbhava Tattwa]]'''
- percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
e.
'''[[Moksa|Moksa Tattwa]]''' -
percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia
2.3.2. Punarbhawa
Punarbhawa
merupakan keyakinan bahwa manusia mengalami reinkarnasi. Dalam ajaran Punarbhawa, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan
pada kehidupannya yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil
perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya
pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil
perbuatannya (baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati. Proses reinkarnasi diakhiri apabila seseorang
mencapai kesadaran tertinggi, yakni moksa (Bowes, Pratima,''"The Hindu
Religious Tradition: A Philosophical Approach’’’, 1976: 103)
2.3.3. Reinkarnasi dalam Hinduisme
Dalam
filsafat [[agama Hindu]], reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung
hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Pada saat manusia hidup,
mereka banyak melakukan perbuatan dan selalu membuahkan hasil yang setimpal.
Jika manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka
mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka
dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati
hasil perbuatannya yang belum sempat dinikmati. Selain diberi kesempatan
menikmati, manusia juga diberi kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya
(kualitas). Jadi, lahir kembali berarti lahir untuk menanggung hasil perbuatan
yang sudah dilakukan. Dalam filsafat ini, bisa dikatakan bahwa manusia dapat
menentukan baik-buruk nasib yang ditanggungnya pada kehidupan yang selanjutnya.
Ajaran ini juga memberi optimisme kepada manusia. Bahwa semua perbuatannya akan
mendatangkan hasil, yang akan dinikmatinya sendiri, bukan orang lain (Bhaskarananda,
Swami, ''"The Essentials of Hinduism"'', 1994: 58)
Menurut
Hinduisme, yang bisa berinkarnasi itu
bukanlah hanya jiwa manusia saja. Semua jiwa mahluk hidup memiliki kesempatan
untuk berinkarnasi dengan tujuan
menikmati hasil perbuatannya di masa lalu dan memperbaiki kulaitas hidupnya.
Dalam kehidupan di dunia, manusia menempati strata yang paling tinggi sehingga reinkarnasi yang tertinggi adalah hidup
sebagai manusia, bahkan dewa atau malaikat yang ingin sempurna hidupnya, harus
turun ke dunia untuk menyempurnakan ''atman/jiwatman''-nya sehingga mencapai
moksa, bersatu dengan Brahman. Makhluk hidup selain manusia memiliki
''jiwatman'' yang sama. ''Jiwatman'' memiliki memori untuk mencatat dan
mengenang peristiwa yang dilakukan atau dialami dalam kehidupan sewaktu masih
bersatu dengan raga. Memori tersebut menghasilkan kemelekatan terdadap dunia
yang terus dibawa walaupun terjadi kematian yang menyebabkan ''jiwatman''
berpisah dengan badan. Suatu saat jiwatman tersebut akan mencari raga baru yang
sesuai dengan kemelekatannya pada konsepsi (janin) yang siap dimasuki roh
(atman). Bila manusia mampu meniadakan kemelekatannya terhadap kehidupan dunia,
maka ia akan mencapai moksa dan bersatu dengan Brahman.
2.3.4. Proses Reinkarnasi
Pada
saat jiwa lahir kembali, roh yang utama kekal namun raga kasarlah yang rusak,
sehingga roh harus berpindah ke badan yang baru untuk menikmati hasil
perbuatannya. Pada saat memasuki badan yang baru, roh yang utama membawa hasil
perbuatan dari kehidupannya yang terdahulu, yang mengakibatkan baik-buruk
nasibnya kelak. Roh dan jiwa yang lahir kembali tidak akan mengingat
kehidupannya yang terdahulu agar tidak mengenang duka yang bertumpuk-tumpuk di
kehidupan lampau. Sebelum mereka bereinkarnasi,
biasanya jiwa pergi ke surga atau ke neraka.
Dalam
filsafat agama yang menganut faham reinkarnasi,
neraka dan sorga adalah suatu tempat persinggahan sementara sebelum jiwa
memasuki badan yang baru. Neraka merupakan suatu pengadilan agar jiwa lahir
kembali ke badan yang sesuai dengan hasil perbuatannya dahulu. Dalam hal ini,
manusia bisa bereinkarnasi menjadi
makhluk berderajat rendah seperti hewan, dan sebaliknya hewan mampu bereinkarnasi menjadi manusia setelah
mengalami kehidupan sebagai hewan selama ratusan, bahkan ribuan tahun.
2.3.5. Akhir Proses Reinkarnasi
Selama
jiwa masih terikat pada hasil perbuatannya yang terdahulu, maka ia tidak akan
mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yakni lepas dari siklus reinkarnasi. Maka, untuk memperoleh kebahagiaan
yang abadi tersebut, roh yang utama melalui badan kasarnya berusaha melepaskan
diri dari belenggu duniawi dan harus mengerti hakikat kehidupan yang
sebenarnya. Jika tubuh terlepas dari belenggu duniawi dan jiwa sudah mengerti
makna hidup yang sesungguhnya, maka perasaan tidak akan pernah duka dan jiwa
akan lepas dari siklus kelahiran kembali. Dalam keadaan tersebut, jiwa menyatu
dengan Tuhan, Moksha "Kebahagiaan Abadi" (Istilah Agama Hindu untuk akhir
proses reinkarnasi).
III
Pemahaman Filosofis
Bertolak dari landasan pemahaman,
baik penelusuran filsafat Barat, khususnya filsafat Yunani Kuno, maupun ajaran
agama Hindu yang dipahami secara filosofis, terutama tentang ajaran reinkarnasi, bila dikaji dengan teori komparasi fenomenologis oleh
Edmund Husserl yang mengatakan bahwa essensi itu merupakan suatu kerangka
abstrak, yang bersifat mutlak, tidak terubahkan, dan abadi (Anton Bakker, 1992:
54). Hal senada Edmund Husserl mengatakan the object, or the world is for Husserl
nothing other, and nothing more, than a ”pole of unity” within experience and
of experience (Madison, 1988: 11). Yakni, obyek, realitas, atau dunia adalah untuk apa saja Husserl lainnya, dan tidak lebih, dari "pola kesatuan" dalam pengalaman dan
pengalaman.
Dengan demikian filsafat Barat
khususnya dalam hal ini filsaf Yunani Kuno, bila diperhatikan dan dipelajari
secara saksama, maka sedikit atau banyak dapat dipakai untuk memahami dan
menghayati sebagian dari ajaran agama Hindu. Dikatakan sebagaian, karena
menurut pemahaman penulis yang ada kemiripannya adalah ajaran tentang jiwa yang
tidak dapat mati. Ajaran tentang jiwa yang tidak dapat mati atau dalam istilah
lain jiwa adalah kekal, yakni ajaran dari Pyrhagoras dan para pengikutnya. Sedangkan dalam agama Hindu
yang ajarannya menyebutkan bahwa jiwa kekal adanya, adalah salah satu ajaran dari
lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha, yakni ajaran tentang percaya dengan adanya jiwa dalam
setiap makhluk adalah kekal dan abadi. Jadi, pada intinya bahwa dengan
mempelajari filsafat Barat khususnya filsafat Yunani Kuno, yakni ajaran dari Pyrhagoras dan para pengikutnya,
dapat dipakai untuk memahami dan menghayati ajaran agama Hindu terutama ajaran reinkarnasi.
IV
Simpulan
Ajaran
tentang jiwa adalah kekal, yakni ajaran dari Pyrhagoras dan para pengikutnya atau ajaran dari aliran
Pythagorean. Sedangkan dalam agama Hindu yang ajarannya
menyebutkan bahwa jiwa kekal adanya, adalah salah satu ajaran dari
lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha, yakni ajaran
tentang percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk adalah kekal dan abadi.
Jadi, pada intinya bahwa dengan mempelajari filsafat Barat khususnya filsafat
Yunani Kuno, yakni ajaran dari Pyrhagoras
dan para pengikutnya, dapat dipakai untuk memahami dan menghayati ajaran agama
Hindu terutama ajaran reinkarnasi.
Daftar Pustaka
Anton
Bakker, 1992, Ontologi ”Metafisika Umum”,
Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Basham,
A.L., (Ed.), 199, ''"A Cultural History of India"'', Oxford
UniveResity Press, ISBN 0-19-563921-9
Bertens,
K, 1987, Sejarah Filsafat Yunani,
Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Bebbington, David, 1979, Patterns in history, , England,
Inter-Varsity Press
Bhaskarananda,
Swami, 1994, ''"The Essentials of Hinduism"'', Viveka Press, ISBN
1-884852-02-5
Bowes,
Pratima, 1976, ''"The Hindu Religious Tradition: A Philosophical
Approach"'', Allied Pub., ISBN
0-7100-8668-7
Caputo, John D. 1987, Radical Hermeneutics, Bloomington and
Indianapolis, Indiana University Press
Harun Hadiwijono, 1988, Sari Sejarah Fil safat Yunani,Yogyakarta,
Penerbit Kanisius
Madison, G. B., 1988,The Hermeneutics of Postmoderity, The
United State of America, Indiana University Press
Robert N. Beck, 1967, Perspectives in Social Philosophy, New
York, Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Sullivan, John Edward, 1970, Prophets of the West, New York, Holt,
Rinehart and Winston, Inc
Suparlan Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat, Ruzz
Media.Yogyakarta, ArFil.