.FILSAFAT BARAT
Oleh : Drs. Sudadi,M Hum.
KATA PENGANTAR
Penulis bukan seorang filsuf,
melainkan pecinta filsafat dan kebetulan saja sebagai pengajar filsafat. Oleh
sebab itu dirasa tidak ada maksud apapun dengan pembuatannya ini, kecuali hanya
dimaksudkan, apabila mungkin bisa membantu siapa saja yang sedang dan ingin
belajar filsafat terutama filsafat Barat. Meskipun tentang hal ini telah ditulis oleh banyak
orang yang dimungkinkan lebih ahli dan lebih mendalami dalam bidang ini.
Disinilah keberanian penulis walaupun bukan seorang filsuf, namun karena dirasa
sangat diperlukan khususnya dalam kegiatannya sebagai pengajar filsafat.
Berbekal
lebih dari dua dasa warsa pengalaman penulis bergumul dengan problem problem,
seperti bagaimana mengajar filsafat (filsafat Barat) kepada mahasiswa, agar
supaya mereka mencintai dan memahami “filsafat Barat”. Itulah sebabnya tulisan
ini diusahakan uraiannya sejelas dan sesederhana mungkin, meskipun ini belum
tentu memuaskan bagi yang sedang menggeluti ilmu semacam ini. Mungkin juga
karya ini masih banyak kekurangannya, atau mungkin bisa menjadi pendorong orang
lain yang lebih ahli tentang filsafat, sehingga bisa menambah dalam berfilsafat
secara mandiri.
Suatu
pandangan dunia dan umumnya suatu pandangan teoritis tidak pernah melayang layang
di udara. Setiap pemikiran
teoritis mempunyai hubungan erat dengan lingkungan di mana pemikiran itu
dijalankan. Itu benar juga bagi permulaan pemikir teoritis, yaitu filsafat
Barat. Kritik dan saran yang sifatnya menyempurnakan akan penulis terima dengan
terbuka, dengan harapan agar membantu para pecinta terutama mahasiswa yang
sedang dan ingin belajar filsafat (filsafat Barat).
BAB. I
FILSAFAT SEBAGAI CIPTAAN YUNANI
1. 1. Pendahuluan
Telah disadari bersama bahwa
pemikiran umat manusia terus berkembang dari sejak keberadaan manusia di muka bumi ini,
sejajar dengan perkembangan kesadaran manusia tentang diri dan lingkungannya.
Hal ini didorong pula oleh perkembangan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi yang multi canggih dan modern, yang juga memberikan berbagai dampak
dalam kehidupan umat manusia. Oleh sebab itu perlu adanya pengkajian kembali
tentang hasil-hasil pemikiran para ahli filsafat terdahulu untuk kemudian
dimanfaatkan dalam kehidupan saat ini yang penuh dengan perubahan sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dewasa ini.
Filsafat
dan ilmu pengetahuan merupakan suatu pasangan yang tampak kurang seimbang.
Filsafat merumuskan pertanyaan, ilmu pengetahuan memberi jawaban. Ilmu
pengetahuan berkembang dengan pesat, filsafat kelihatannya tidak pernah maju.
Supaya jangan ada salah faham, dengan segera harus ditambah di sini bahwa bagi
seorang Yunani filsafat tidak merupakan suatu ilmu pengetahuan di samping
ilmu-ilmu pengetahuan lain, melainkan meliputi segala pengetahuan ilmiah. Tanah
Yunani adalah tempat persemaian di mana pemikiran ilmiah mulai tumbuh. Kiranya
sudah jelas bahwa lahirnya filsafat dan ilmu pengetahuan di Yunani tidak dapat
dimengerti tanpa sekedar mengetahui sedikit kebudayaan Yunani. Oleh sebab itu
dalam awal penulisan ini pertama-tama akan dijelaskan karakteristik pemikiran
Yunani.
1. 2. Mencari Kebijaksanaan.
Nama “filsafat” dan “filsuf” berasal
dari kata-kata Yunani philosophia dan philosophos. Menurut bentuk kata,
seorang philo-sophos adalah seorang
“pecinta kebijaksanaan”. Ada tradisi kuno yang mengatakan bahwa nama “filsuf” (philosophos) untuk pertama kalinya dalam
sejarah dipergunakan oleh Pythagoras (abad ke-6 s.M). Tetapi kesaksian sejarah
tentang kehidupan dan aktivitas
Pythagoras demikian tercampur dengan legenda legenda sehingga kebanyakan
kali kebenaran tidak dapat dibedakan dengan reka-rekaan saja (Bertens, 1987:
13). Demikian halnya juga dengan hikayat
yang mengisahkan bahwa nama “filsuf” ditemukan oleh Pythagoras. Yang pasti
ialah bahwa dalam kalangan Sokrates dan Plato (abad ke-5 s.M) nama “filsafat”
dan “filsuf” sudah lazim dipakai. Contohnya dalam dialog Plato yang berjudul Phaidros, julukan seseorang dengan
dipanggil “orang bijaksana ‘ terlalu sangat agung untuk memanggil seorang
manusia dan akan lebih cocok bila panggilan itu ditujukan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Seseorang akan lebih baik apabila dipanggil dengan julukan
philosophos yaitu seorang pecinta kebijaksanaan. Julukan ini
akan lebih relevan dengan panggilan bagi makhlukNya sebagai makhluk insani.
1. 3. Latar Belakang Lahirnya
Filsafat (Filsafat Barat).
Bukan saja nama filsafat berasal dari bahasa Yunani,
melainkan juga isi konsep yang ditunjukkan dengan nama ini merupakan suatu
penemuan Yunani yang khas. Pada abad ke-6 sebelum Masehi telah terjadi berbagai
peristiwa menakjubkan dan ajaib di Yunani, yang dalam istilah kerennya adalah
“the Greek miracle” (bahasa Inggris). Timbulnya filsafat di Yunani pada saat itu
memang biasa dikatakan sebagai suatu peristiwa ajaib, sebab tidak mungkin
memberi alasan alasan yang akan menerangkan kejadian itu secara memuaskan.
Namun demikian ada beberapa factor yang sudah mendahului dan seakan akan
mempersiapkan lahirnya filsafat di Yunani. Adapun factor factor sebagai
penyebab lahirnya filsafat adalah sebagai berikut:
Pertama, adalah bahwa bangsa Yunani
seperti juga bangsa bangsa sekitarnya, terdapat adanya mitologi yang kaya dan
luas. Mitologi itulah yang merupakan percobaan untuk mengerti. Mite-mite sudah
memberi jawaban atas petanyaan pertanyaan yang timbuh dalam hati manusia.
Misalnya, dari manakah dunia ini ?, dari manakah peristiwa peristiwa yang
terjadi di dalam alam ini?, apa sebab terjadi pelangi ? dan lain sebagainya. Melalui
mite-mite, manusia mencari keterangan tentang asal usul alam semesta dan
tentang kejadian kejadian yang berlangsung di dalamnya. Mite macam pertama yang
mencari keterangan tentang asal usul alam semesta, lalu disebut dengan istilah mite kosmogonis, sedangkan mite jenis
kedua yang mencari keterangan tentang asal usul serta sifat kejadian kejadian
dalam alam semesta disebut mite
kosmologis.
Bagi bangsa Yunani, bahwa dengan
mengadakan beberapa usaha untuk menyusun mite-mite yang diceriterakan oleh rakyat
supaya menjadi sistematis. Dengan demikian, maka usaha mensistematiskan
mite-mite itu telah tampak sifat rasionalnya . Karena dengan mencari dan
mensistematiskan itu, mereka sudah menyatakan keinginan untuk mengerti hubungan
mite-mite satu sama lain dan menyingkirkan mite yang tidak dapat dicocokkan
dengan mite lain. Di sini mereka sudah tampak mulai berpikir secara rasional.
Kedua,
adalah adanya kesusasteraan Yunani, di sini tampak sebagai persiapan yang
mempengaruhi timbulnya filsafat, asal saja dipakainya kata itu dalam arti
seluas luasnya, sehingga meliputi juga teka-teki, dongeng-dongeng, dan lain
seagainya. Misal karya puisi Homeros yang terdiri dari dua puisi, yaitu Ilias dan Odyssea yang dibuat pada tahun 850 s.M. dan puisi itu mempunyai
kedudukan istimewa dalam kesusastraan pada waktu itu. Syair-syair dalam puisi
tersebut lama digunakan, karena dapat dipakai sebagai semacam buku pendidikan
untuk rakyat Yunani. Apabila dilihat peranan syair-syair puisi buatan Homeros
dalam kebudayaan Yunani kuno, dapat dibandingkan dengan peranan wayang dalam kebudayaan Jawa pada jaman dahulu. Oleh
sebab itu puisi buatan Homeros sangat digemari oleh rakyat Yunani untuk mengisi
waktu terluang dan juga mempunyai nilai edukatif. Bahkan para filsuf Yunani pun
sering kali menyebut nama Homeros, missal Xenophanes, Plato, dan Aristoteles
yang menyebut-nyebutnya.
Ketiga,
adalah adanya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang pada waktu itu sudah muncul
di Timur Kuno. Ilmu pengetahuan yang muncul di Timur Kuno itu adalah ilmu ukur
dan ilmu hitung dari Mesir. Oleh sebab itu, bangsa Yunani pun merasa berhutang
budi kepada bangsa lain, karena menerima beberapa unsure ilmu pengetahuan dari
mereka. Namun andil dari bangsa bangsa lain dalam perkembangan ilmu pengetahuan
Yunani juga tidak dapat dilebih-lebihkan, karena bangsa Yunani telah mengolah
unsur-unsur ilmu pengetahuan tersebut yang tidak diduga-duga oleh bangsa Mesir
dan Babylonia. Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut oleh bangsa Yunani dijadikan
suatu corak yang sungguh-sungguh ilmiah. Hal ini dapat dilihat seperti
diceriterakan oleh seorang sejarawan Yunani yang hidup sekitar abad ke-5 s. M,
yaitu Herodotos yang menceriterakan, bahwa ilmu ukur dan ilmu hitung yang
berkembang di Mesir itu, karena di Mesir setiap tahun dirasakan keperluanya,
yaitu untuk mengukur kembali tanah-tanah setelah terjadi banjir setiap tahun di
sungai Nil. Namun pada orang Yunani ilmu ukur yang disebut “geometria” (artinya: pengukuran tanah)
tidak dijalankanya dalam suatu konteks praktis seperti yang dipakai bangsa
Mesir, melainkan mulai mempelajari ilmu pengetahuan tersebut dengan tidak
mencari untung (Inggris: disinterestedly).
Di negeri Yunani ilmu pasti, astronomi, dan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan
demi keuntungan yang letaknya di luar ilmu pengetahuan itu.
1. 4. Pergumulan antara Mythos dengan Logos
Di atas telah disebutkan bahwa mitologi merupakan salah satu
factor yang mendahului dan mempersiapkan ke arah timbulnya filsafat. Kenyataan
memang benar bahwa para filsuf pertama, menerima objek penyelidikannya dari
mitologi, yaitu alam semesta dan kejadian-kejadian setiap yang orang dapat
menyaksikan di dalamya. Mitologi Yunani meskipun menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang alam semesta itu, tetapi jawaban jawaban demikian diberikan justru masih
dalam bentuk mite yang meloloskan diri dari tiap-tiap control pihak rasio. Dan
baru pada sekitar abad ke-6 s. M, orang-orang mulai berkembang sikapnya yang
sama sekali berlainan dengan kepercayaannya akan mitologi. Sejak saat itu orang
mulai mencari jawaban-jawaban yang rasional terhadap problem problem yang
timbul dari alam semesta, karena itu
logos (akal budi, rasio) mulai mengganti kedudukan mythos, sehingga dapat dikatakan lahirlah filsafat. Sebagai catatan
bahwa dalam bahasa Yunani, logos
mempunyai arti lebih luas dari kata rasio. Logos
dapat berarti sabda maupun juga rasio, namun bila diversuskan dengan mythos, maka logos harus diterjemahkan
dengan kata “rasio”.
Filsafat meskipun lahir pada saat
rasio mengalahkan mythos, namun bukan
berarti bahwa seluruh mitologi dtinggalkan secara sporadis. Proses rasio
menggantikan mythos itu berlangsung
secara berangsur-angsur. Jadi seluruh filsafat Yunani merupakan suatu
pergumulan yang panjang antara mythos
dan logos, oleh karena itu tidak
sulit untuk menunjukkan pengaruh mitologi atas para filsuf yang pertama atau
filsuf pra Socrates. Meskipun demikian, pada abad ke-6 s. M di negeri Yunani
terjadilah peristiwa-peristiwa yang sama sekali baru yaitu, bahwa para filsuf
pertama memandang dunia dengan cara yang belum pernah dipraktekkan oleh orang
lain. Mereka tidak mencari lagi keterangan tentang alam semesta seperti dalam
peristiwa-peristiwa mitis yang pada mulanya harus dipercaya saja, melainkan
bahwa mereka mulai berpikir sendiri. Jika terjadi peristiwa peristiwa alam yang
dapat diamati secara umum, mereka mulai mencari keterangan yang memungkinkan
untuk dimengerti peristiwa-peristiwa itu. Tidak pelak lagi bahwa
keterangan-keterangan semacam itu bagi orang jaman sekarang seringkali agak
naïf kedengarannya, namun yang sangat penting adalah cara rasional dan logis
yang mereka gunakan untuk mendekati problem-problem yang ditemui dalam alam semesta. Contoh sederhana yaitu,
adanya peristiwa pelangi di ufuk baik di bagian Barat maupun bagian Timur. Bagi
masyarakat Yunani yang tradisional atau
yang kuno, menganggap bahwa pelangi adalah seorang bidadari sebagai pesuruh
para dewa turun tangga menuju bumi. Hal ini ditanggapi bila membaca dan memahami puisi-puisi Homeros, dan Xenophanes
salah seorang filsuf pertama mengatakan bahwa pelangi merupakan suatu awan.
Satu abad kemudian Anaxagoras mengatakan bahwa pelangi disebabkan oleh pantulan
matahari dalam awan. Oleh karena dengan pendekatan demikian itu, yaitu secara
rasional dan dapat dikontrol oleh siapa saja, maka terbukalah kemungkinan untuk
memperdebatkan hasil-hasilnya secara leluasa dan untuk umum. Satu jawaban akan
menampilkan pertanyaan pertanyaan lain dan kritik atas satu keterangan akan
menuntut timbulnya keterangan lain, sehingga dalam suasana rasional maka
terciptalah saasana perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan secara ilmiah
akan dapat dimungkinkan.
Jika dikatakan filsafat lahir karena
logos telah mengalahkan mythos, maka sekali lagi harus
ditekankan bahwa kata “filsafat” di sini meliputi baik filsafat maupun ilmu
pengetahuan, dan kedua-duanya harus dibedakan dengan terminologi modern tentang
filsafat dan ilmu pengetahuan. Bagi orang Yunani pada waktu itu, filsafat
merupakan suatu pandangan rasional tentang segala-galanya. Baru kemudian
berangsur-angsur dalam sejarah kebudayaan, ilmu-ilmu pengetahuan satu demi satu
melepaskan diri dari filsafat, agar memperoleh otonominya demi ilmu itu
sendiri. Jadi jika dirunut secara dalam dan jauh ke belakang, para filsuf
dikemudian hari seperti Descartes, Immanuel Kant, Hegel, Husserl, dan para
ilmuwan seperti Newton, Planck, dan Einstein, serta Colombos, dan masih banyak
lagi, mereka mempunyai leluhur yang sama di negeri Yunani. Oleh sebab itu
bangsa Yunani mendapat kehormatan yang tidak kecil, karena merekalah yang
menelorkan cara berpikir ilmiah. Seperti kata J. Burnet: “it is an adequate description of science to
say that it is thinking about the world in the Greek way”. Jadi
merekalah sebagai pendasar-pendasar pertama kultur Barat, bahkan kultur
sedunia, sebab cara pendekatan ilmiah semakin menjadi unsur hakiki dan
merangkum semua kebudayaan diseantero jagad raya.
1. 5. Karakteristik Bangsa Yunani
Karakteristik bangsa Yunani
memperlihatkan banyak bedanya dengan bangsa bangsa lain di muka bumi ini,
antara lain dapat dilihat dari berbagai segi agar memudahkan untuk memahaminya.
Adapun beberapa segi dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Ditinjau dari segi geografis
Negeri Yunani yang masuk daratan
Eropa, permukaan wilayahnya melingkupi pesisir di Asia Kecil sampai dengan
pulau Sisilia serta Italia Selatan, bahkan mencapai Kyrene di daratan Afrika.
Oleh sebab itu, bangsa Yunani dapat dikatakan bangsa yang menduduki wilayah
yang jauh lebih luas bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi
ini. Dari segi prestasi di bidang ilmu pengetahuan pun,
nampak lebih besar di jaman post modern ini.
Bagi bangsa Yunani, luasnya wilayah
yang ditempati ini, karena mereka berpindah-pindah di daratan Eropa sampai ke
tanah asing. Perpindahan mereka disebabkan adanya penyerbuan-penyerbuan dari
suku Doria ke dalam daratan Yunani, dan peristiwa itu terjadi sekitar tahun
1100 s/d. 1000 s. M, di samping alasan alasan ekonomi seperti yang terjadi pada
tahun 750 s/d. 500 s. M (Bertens, 1987: 18). Begitu juga tentang daratan Yunani
yang sebagian besar terdiri dari pegunungan pegunungan yang gundul dan gersang,
sehingga sangat kurang penghasilannya, menyebabkan bangsa Yunani banyak menjadi
pelaut yang handal, dan mereka lalu banyak merantau ke daerah asing, ditambah
dengan banyaknya jumlah penduduk Yunani pada waktu itu. Pendek kata, bahwa
alasan alasan itulah yang membentuk sebagian karakteristik bangsa Yunani yang
pandai berlayar, suka merantau dan berpikiran brelian.
b. Ditinjau dari segi social dan
polotik.
Bangsa Yunani sadar akan bedanya dengan bangsa-bangsa lain,
sehingga mereka mempertentangkan antara Yunani dengan barbaros atau yang biasa
disebut dengan “Barbar”. Kata barbaros bagi bangsa Yunani
tidak berarti menghina, karena bagi mereka bangsa Mesir dan Babylonia pun
terhitung kaum barbar. Oleh sebab itu, bangsa Yunani mengatakan bahwa kata
“barbaros” lebih kurang sinonimnya adalah “asing” (Bertens, 1987: 19). Maka
dari itu, seorang barbaros adalah seorang asing yang tidak berbicara dengan
memakai bahasa Yunani, melainkan hanya mengeluarkan suara yang bagi telinga
bangsa Yunani terdengar dengan kata-kata “bar, bar” saja. Namun sebagai penentu
sebenarnya bukan karena mempertentangkan antara Yunani dan asing saja,
melainkan bahwa orang Yunani adalah merdeka atau bebas, sedangkan orang barbar
dianggapnya adalah budak saja.
Anggapan bahwa orang Yunani merdeka
dan orang barbar sebagai budak saja, memunculkan dua anggapan yaitu, anggapan
secara negative dan anggapan secara positive.
Adapun anggapan secara negative
yaitu, bahwa orang Yunani tidak hidup dalam suatu kerajaan yang diperintah oleh
Sang Raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.
Kerajaan dimaksud adalah kerajaan kerajaan di Timur Kuno yaitu kerajaan
yang mempunyai tanda despotisme,
dalam arti bahwa kekuasaan raja mempunyai hukum-hukum yang menjamin keadilan.
Oleh sebab itu Raja berkuasa semaunya sendiri dengan anggapan bahwa dirinya
bersifat ilahi. Bangsa barbar dianggap sebagai bawahan saja dan bukan warga
Negara yang sejati, artinya bahwa bangsa barbar tidak lain hanyalah dianggap
budak saja.
Anggapan secara positif yaitu, bahwa orang Yunani memang
berbeda dengan bangsa asing, karena orang Yunani hidup dalam polis. Kata “polis” merupakan asal-usul untuk kata kata Indonesia, seperti “politik”, “politikus”, dan juga “polisi”,
serta masih banyak kata kata lagi di Indonesia yang memang sulit untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa bahasa modern untuk istilah polis itu sendiri. Pada waktu itu suatu polis adalah suatu negara kecil atau suatu Negara kota, namun serentak
juga bahwa kata polis menunjuk kepada
rakyat yang hidup dalam Negara kota itu.
Polis timbul
akibat dari suatu bentuk kemasyarakatan baru antara abad ke-8 dan ke-7 s. M,dan
cepat sekali berkembang, sehingga tidak mengambil waktu yang lama, negeri Yunani
terdiri dari ratusan Negara kota semacam itu yaitu yang disebut Negara polis. Sebenarnya permukaan tanah
wilayahnya tidak begitu besar, karena satu polis hanya melingkupi satu atau dua
kota saja, dan mungkin hanya beberapa desa saja. Seperti dikatakan Plato, bahwa
satu polis yang ideal sebaiknya tidak
melebihi dari jumlah 5.000 warga Negara. Dan dalam kenyataannya memang banyak polis yang kurang dari jumlah itu, hanya
ada sebagian kecil saja yang jumlah warga negaranya 20.000 warga Negara
(Bertens, 1987: 20).
Pengorganisasian polis tidak selalu
sama, namun meskipun ada cukup banyak perbedaan antara satu dengan yang lain,
di seluruh dunia Yunani selalu polis
yang merupakan pusat segala keaktifan, misalnya dalam bidang ekonomi, social,
politik, dan religius. Ciri-ciri polis yaitu mempunyai tanda tanda otonomi, swasembada, dan merdeka.
Adapun
istilah otonomi artinya adalah
mempunyai hukum (Yunani: nomos)
sendiri. Dengan demikian bila seseorang memberi hokum kepada suatu polis
tertentu, maka akan dianggap juga sebagai pendiri polis tersebut. Bagi orang
Yunani, akan merasa bangga apabila diperintah menurut hokum, dan mereka
membenci segala kesewenang wenangan dan bertindak tidak menurut hokum.
Sedangkan
istilah Swasembada ( Yunani: autarkeia) terutama di bidang ekonomi,
yaitu bahwa mereka tidak tergantung pada negara lain, meskipun mereka tidak
terlalu berhasil dalam realitasnya, namun tetap merupakan suatu ideal yang
hakiki bagi polis Yunani.
Dan
istilah merdeka terutama di bidang politik adalah berarti sebagai cara
memerintah. Dalam hal ini yang merupakan lembaga lemmbaga penting antara lain
sidang umum (Yunani: eklesia), dewan
harian (Yunani: bule), dan badan
badan pengadilan (Yunani: dikasteria).
Warga Negara polis dalam sidang umum berhak mengambil bagian, dan bila sidang
umum ini mempunyai peran dominant, maka cara pemerintahan yang demikian ini
boleh disebut demokrasi. Pada abad ke-5 dan ke-4 s. M Athena dapat mencapai
puncaknya dengan bentuk pemerintahan seperti itu. Akan tetapi apabila dewan
harian yang memainkan peran dominant di suatu polis, maka cara pemerintahan seperti ini adalah oligarki atau aristokrasi. Dan sepanjang sejarah, suatu polis sudah biasa terjadi
bila pemerintahannya jatuh di tangan satu orang saja, sehingga bagi orang
Yunani pemerintahan seperti ini disebutnya
tyrannos (Inggris: tyrant). Dan bagi bangsa Yunani, tyrannos sebagai penguasa juga tergantung pada hokum, sehingga
mereka tidak dapat bertindak sembarangan. Oleh sebab itu perbedaan dengan
kerajaan kerajaan Timur tetap ada. Dan satu catatan lagi, bahwa pemerintahan
seorang tyrannos biasanya tidak tahan
lama.
c. Ditinjau dari segi cultural
Bangsa
Yunani konon sebagai pencipta filsafat (filsafat Barat) dan ilmu pengetahuan,
juga mempunyai hasil karya berupa seni yang dikagumi di seantero pelosok dunia
dan tetap jadi kenangan. Mestinya dalam hal ini bukan saatnya untuk bicara
masalah kesenian Yunani, tetapi satu aspek yang saling berkaitan antara
kesenian dengan rasionalitas adalah ciptaan ciptaan artistic Yunaninya. Ciptaan artistic Yunani yang
menampakkan suasana rasionalitas adalah tampak dalam tanda tanda keseimbangan
dan keselarasan yang tidak ada tolok ukurnya dengan norma norma seni. Oleh
sebab itu, karya seni Yunani bisa dibilang sempurna, artinya tidak ada
sedikitpun yang dapat ditambah maupun dikurangi tanpa mengambil secara
keseluruhan. Jadi apabila dikatakan benar dan baik untuk seni rupa maka dapat
pula untuk kesusastraan. Hal senada
seperti dikatakan oleh seorang ahli kesusastraan Yunani sebagai berikut: “It has been said that a Gothic cathedral is
never finished, and conversely Shakespeare has often been cut – but who could
add anything to a Greek temple that would not be an obvious excrescence, or cut
a scene from a Greek play without making it unintelligible ?”.
Secara
cultural, struktur bahasa Yunani juga tampak adanya rasionalitas tertentu,
seperti dalam mengekspresikan pikiran pikiran dengan seksama dan jelas,serta
dalam mengungkap pikiran-pikiran abstrak. Hal ini
ditandai dengan adanya kata sandang dapat mensubstantifkan kata sifat dan kata
kerja. Dengan demikian bangsa Yunani dapat berbicara tentang “yang baik”
(Yunani: to agathon), “hal mengenal”
(Yunani: to noein), dan “yang ada”
(Yunani: to on) (Bertens, 1987: 23).
1. 6. Corak Filsafat Bangsa Yunani
Jika
dilihat kebelakang corak filsafat bangsa Yunani, maka sudah barang tentu bukan
melihat keruntuhan Yunani yang telah lama ditinggalkan. Di sini yang akan ditinjau dan dipahami serta yang dihadapi
adalah unsur-unsur yang sebagian besar menjadi fondasi bangunan untuk kultur
modern. Contohnya adalah jika dirunut jalan pikiran yang logis, maka mau tak
mau adalah meneruskan tradisi yang diwarisi dari orang Yunani. Bertolak
dari itu, apabila diamati secara seksama, maka betapa banyak kategori pikiran
yang dipakainya sekarang. Oleh sebab itu dengan tidak disadarinya bahwa
perkembangan sekarang ini berasal dari kebudayaan Yunani atau setidak tidaknya
orang Yunani memberikan landasannya.
Untuk seorang filsuf atau ahli di
bidang filsafat, sudah tentu banyak alasan untuk menaruh perhatian kepada
filsafat Yunani. Ditinjau secara kronologis adanya filsafat (filsafat Barat)
seluruhnya, maka era filsafat purba jaman Yunani mempunyai kedudukan istimewa,
sebab di Yunani ditemui munculnya filsafat itu sendiri. Jadi mempelajari
filsafat Yunani artinya menyaksikan kelahiran filsafat itu sendiri, sehingga
tidak ada pemahaman filsafat yang lebih ideal kecuali studi tentang pertumbuhan
pemikiran filsafat di negeri Yunani. Hal ini pernah dikatakan oleh Alfred Whitehead seorang filsuf
modern mengenai Plato sebagai berikut: “All
Western philosophy is but a series of footnes to Plato”. Bila dilihat
secara harafiah tampaknya kata kata ini sangat melebih lebihkan pada diri
Plato, namun sebenarnya tidak, sebab pada Plato dan umumnya dalam seluruh
filsafat Yunani tetap berjumpa dengan problem problem filsafat yang masih
dipersoalkan sampai masa kini. Tema-tema
filsafat Yunani, seperti “ada”, “menjadi”, “substansi”, “ruang”, “waktu”,
“kebenaran”, “jiwa”, “pengenalan”, dan “Tuhan” merupakan tema-tema pula bagi
filsafat secara umum.Begitu pula para filsuf Yunani satu kali untuk selamanya
menjuruskan pemikiran filsafat selanjutnya, sehingga filsafat sekarang masih
tetap bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan yang untuk pertama kalinya
dikemukakan dalam kalangan mereka.
Bicara
tentang filsafat ciptaan Yunani tampaknya tidak boleh menghindar bahwa
sebenarnya mengalami banyak kesulitan. Banyak orang mengatakan bahwa
pembicaraan periode filsafat purba Yunani ini adalah “The early Greek period is more a
field for fancy than for fact”. Jadi kesulitan kesulitannya berasal
dari keadaan sumber, karena pikiran dari para filsufnya di mana disimpan untuk
bisa ditemukan dan dipelajarinya. Di samping itu, ada juga beberapa filsuf
Yunani yang tidak pernah menulis satu barispun, misalnya Thales, Pythagoras,
dan Sokrates. Sehingga untuk mengetahui jalan pikiran mereka terpaksa harus
percaya dari kesaksian orang lain yang berbicara tentang ajaran mereka, seperti
percaya pada tulisan dan pembicaraan para murid ataupun teman sejawatnya.
Selain itu, ada filsuf filsuf yang meskipun menulis satu karangan atau lebih,
namun tulisan itu sudah hilang entah di mana, sehingga harus merasa puas dengan
beberapa fragmen yang telah dikutip oleh para pengarang lain dengan kesaksian isi
ajaran mereka. Disinilah problem muncul, yaitu kesaksian bagaimana yang harus
dipercaya tentang pikiran filsuf dimaksud. Problem tentang sumber atau refrensi
terutama muncul apabila yang dibicarakan adalah para filsuf yang mendahului
Sokrates dan karenanya filsufnya pun lalu dijuluki “filsuf filsuf
pra-Sokratik”. Meskipun banyak ditemui banyak kesulitan, namun masih bisa
dibilang beruntung, karena mendapati sumber sumber yang jauh lebih memuaskan
untuk ketiga karya filsuf Yunani yang dibilang besar, yaitu Plato, Aristoteles,
dan Plotinus.
BAB. II
FILSAFAT PRA -SOKRATES
2. 1. Pendahuluan
Filsafat
yang berasal dari kata Yunani, yaitu
philosophia yang merupakan kata berangkai dari kata philein yang berarti mencintai,dan sophia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian kata philosophia berarti cinta akan
kebijaksanaan (Inggris: love of wisdom,
Belanda: wijsbegeerte, Arab: muhibbu al-hikmah) (Hasyimsysh Nasution,
1999: 1). Sedangkan orang yang berfilsafat adalah orang yang melakukan filsafat
disebut “filsuf” atau “filosof”, artinya pecinta kebijaksanaan. Filsuf
Heraklaitos (540-480 SM) sudah memakai kata filsafat untuk menerangkan hanya
Tuhan yang mengetahui hikmah dan pemilik hikmah, manusia harus puas dengan
tugasnya pencari dan pencinta hikmah.
Pembentukan kata filsafat menjadi kata Indonesia diambil
dari kata Barat fil dan safat dari kata Arab, sehingga
terjadilah gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat. Kata
sophia dipindahkan oleh orang Arab ke
dalam bahasa mereka dengan kata hikmah.
Kebijaksanaan atau pengetahuan
sejati itu tidak mungkin didapati oleh satu orang. Sejarah mencatat bahwa
setelah timbulnya seorang filsuf, muncul kemudian filsuf lain yang mengoreksi
penemuan yang pertama dan mangajukan gagasan-gagasan yang memperbaharui gagasan
yang pertama, demikianlah seterusnya sepanjang kehidupan manusia berlangsung.
Hal ini dimungkinkan keinginan tahu manusia yang besar sebagai refleksi dari
potensi kemanusiaan yang dimilikinya yang dianugerahkan dari Tuhan Yang Maha
Esa, yaitu akal, intuisi, alat deria, dan kekuatan fisik. Adapun penemuan
penemuan dimaksud mencakup seluruh pertanyaan-pertanyaan hidup mengenai arti,
isi, dan makna dari segala sesuatu yang dilihat dan dialami manusia. Jadi,
secara sederhana dapat dikatakan, filsafat adalah hasil kerja berpikir dalam
mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal.
Cakupan filsafat pra-Sokrates adalah
segala aspek ilmu-ilmu yang terdapat dalam khasanah pemikiran jaman
pra-Sokrates, yang meliputi bukan saja
diperbincangkan oleh para filsuf dalam wilayah kekuasaan jaman pra-Sokrates,
namun lebih luas sehingga mencakup berbagai aspek kehidupan di jamannya. Oleh
sebab itu filsafat pra-Sokrates diberikan batasan sebagai pemikiran yang lahir
dalam dunia jaman pra-Sokrates untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi
berbagai peristiwa alam yang terjadi pada waktu itu.
2. 2. . Filsafat Hasil Pikiran Para Filsuf Miletos
Asia Kecil di bagian pesisir Barat
daratan Yunani diduduki oleh orang Ionia, sehingga daerahnya pun lalu dinamakan
daerah Ionia. Diperkirakan mereka mulai menduduki daerah itu sekitar abad ke-11
s. M, karena mereka diserang dan diusir oleh suku Doria. Daerah Ionia merupakan daerah di daratan
Yunani yang bisa dibilang mencapai kemajuan besar, baik di bidang ekonomi maupun di bidang cultural terutama
idea-idea mereka. Pada sekitar tahun 850 s. M hidup seorang penyair terkenal di
Ionia dengan kotanya dinamakan Miletos, yaitu Homeros, setelahnya juga hidup di
sana adalah ketiga filsuf pertama, yaitu Thales, Anaximandros, dan Anaximenes.
Karena pikiran pikirannya dicetuskan di kota Miletos, maka ketiga filsuf
tersebut lalu dijuluki filsuf Miletos.
Pada awal abad ke-6 s. M di Miletos
bukan merupakan kebetulan untuk tempat lahir filsafat (Filsafat Barat) yang
pertama, sehingga kota Miletos menjadi kota terpenting di antara dua belas kota
yang ada di Ionia. Kota miletos tempatnya memang strategis, karena letaknya di
bagian selatan pesisir Asia Kecil dan mempunyai pelabuhan, sehingga mempermudah
untuk berkomunikasi dengan daerah lain. Eleh sebab itu Miletos menjadi titik
pertemuan untuk banyak kebudayaan dan untuk tempat saling memberi informasi
ataupun tukar informasi antara orang orang yang berasal dari pelbagai negeri.
Juga Hekataios seorang ahli ilmu bumi hidup di kota ini kira-kira pada waktu
yang bersamaan.
Miletos
sebagai kota tempat lahirnya filsafat (filsafat Barat), konon ceritanya juga
tempat lahirnya tujuh orang bijaksana. Ketujuh orang bijaksana dimaksud memang
tidak banyak yang diketahui siapa saja namanya, meskipun waktunya diketahui
yaitu kira kira abad ke-6 s. M. Dalam berita berita yang didengar banyak orang
pada waktu itu, namun tentang nama namanya pun berganti ganti dan berbeda beda.
Meskipun banyak orang mengatakan berbeda beda, tetapi nama Thales dari Miletos
tetap disebut sebut, sehingga ia tetap diingat sebagai salah satu dari ketujuh
orang bijaksana dimaksud. Hanya saja tentang Thales banyak
dongeng yang beredar dan kurang dapat dipercaya. Tentang fakta dan data Thales
semasa hidupnya, dapat diketahui dari tokoh sejarawan Herodotos yang hidup kira
kira abad ke-5 s. M, namun Thales tidak disebutnya dengan nama “filsuf” dan
tidak menceritakannya bahwa ia sebagai filsuf . Baru kemudian Aristoteles
seorang filsuf yang hidup sekitar abad ke-4 s. M mengatakan secara tegas dan
mengenakan gelar kepada Thales “filsuf
yang pertama”.
Pribadi Thales khususnya tentang
tanggal lahir dan tanggal kematiannya tidak diketahui, begitu juga para filsuf
sejamannya. Untuk mengetahui perkiraan tahun kelahiran Thales yaitu, bahwa ia
berjasa besar dengan satu kali keberhasilannya meramalkan gerhana matahari. Dan para ahli astronomi
modern mengatakan bahwa gerhana matahari peristiwanya terjadi pada tanggal 28
Mei 585 sebelum Masehi. Hal ini bukan berarti bahwa Thales meramalkannya tepat
pada hari dan tanggal itu, melainkan ia meramalkannya satu tahun sebelumnya,
yaitu dengan mengatakan “satu tahun kemudian gerhana matahari akan terjadi”.
Kenyataan ini dimungkinkan karena Thales mempunyai pengalaman pengalaman
tentang ilmu astronomi dari Babylonia. Oleh sebab itu diperkirakan bahwa Thales hidup disekitar abad
ke-6 s. M.
Thales
juga dipastikan pernah berkunjung ke negeri Mesir, yaitu dengan bukti bahwa ia
memasukkan ilmu ukur dari negeri Mesir ke negeri Yunani. Diceriterakan pula
bahwa Thales berhasil mengukur jarak yang tidak diketahui, misalnya tingginya
piramide dan jauhnya kapal di laut. Hal
ini karena Thales mempunyai pengalaman ilmu ukur atau yang disebut geometri
yang biasa digunakan di Mesir untuk mengukur tanah yang terkikis akibat banjir
sungai Nil. Berita lain lagi bahwa Thales mengemukakan suatu teori mengenai
banjir tahunan sungai Nil di Mesir. Thales berpendapat bahwa naiknya air sungai
Nil karena angin berkala tertentu, sehingga ini memberi contoh bagus mengenai
suasana ilmiah yang mulai berkembang, dan bertetangan dengan keterangan keterangan
mitologis. Hal ini juga menambah bukti bahwa Thales memang pernah berkunjung ke
negeri Mesir.
Satu
hal yang perlu diingat, bila Thales tidak pernah menulis pikiran pikirannya
atau tentang karyanya pun hampir tidak ada kesaksiannya. Oleh sebab itu, satu
satunya sumber yang bisa dipercaya yaitu dari karya Aristoteles, meskipun ia
memperoleh informasi hanya tradisi lisan saja. Salah satu contoh yaitu dalam
traktat Aristoteles tentang “metafisika” yang mengatakan bahwa “Thales termasuk
filsuf yang mencari arkhe (asas atau
prinsip) alam semesta”, dan Thales adalah yang pertama di antara sesama filsuf
se angkatannya. Thales mengatakan bahwa asas atau prinsip pertama alam semesta
adalah air, dan semuanya berasal dari air yang akan kembali lagi menjadi air.
Alasannya yaitu, karena air mempunyai pelbagai bentuk, seperti cair, padat, dan
uap. Dugaan seperti itu juga karena menurut Thales bahwa bahan makanan semua
makhluk memuat zat lembab, demikian juga dengan benih dari semua mkhluk hidup.
Selain hal itu, menurut kesaksian Aristoteles, bila Thales juga mengatakan
bahwa bumi terletak di atas air, hal ini perlu dimengerti karena semuanya
berasal dari air, sehingga bumi dipandangnya sebagai bahan yang satu kali
keluar dari laut dan sekarang terapung apung di atasnya.
Aristoteles
dalam traktatnya tentang psikologi memberitahukan pula bahwa menurut Thales
“kesemuanya penuh dengan allah allah”. Aristoteles memperkirakan bila yang
dimaksud perkataan Thales itu bahwa jagad raya itu berjiwa. Jika hal itu memang
benar, maka yang dikatakan oleh Thales itu tentu mengandung arti bahwa magnit
mempunyai jiwa, sehingga mampu menggerakkan besi. Pendapat Thales bahwa jagad
raya berjiwa, sering kali lalu disebut “teori mengenai materi yang hidup”
(Yunani: hylezoisme)
Inilah
perkenalan pertama dengan pemikiran filosofis dari fisuf pertama, meskipun
tampaknya agak mengecewakan, karena belum secara eksplisit tentang
pandangannya. Namun yang terpenting di sini dapat disaksikan percobaan pertama
meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana dalam menghadapi alam jagat raya
secara rasional. Dan inilah yang muncul kali pertama pikiran bahwa alam semesta
secara fundamental bersifat satu, sehingga bisa diterangkan dengan menunjuk
satu prinsip saja, yaitu air.
Pendapat
lain tentang prinsip pertama atau dalam istilah Yunani adalah arkhe alam
semesta, dikemukakan oleh seorang filsuf lain, yaitu Anaximandros. Anaximandros
sebenarnya murid Thales, maka hidupnya pun antara tahun 610 s/d. 540 s. M.
Menurut tradisi Yunani, Anaximandros mempunyai jasa dalam bidang astronomi dan
bidang georafi, dengan bukti bahwa ia yang telah membuat peta bumi yang pertama
di Yunani. Ia juga yang memimpin ekspedisi dari Miletos menuju
Apollonia di pantai Laut Hitam, dan mendirikan kota perantauan di sana. Di
Miletos pun ia dihormati, yaitu didirikannya patung Anaximandros di kota itu.
Anaximandros dalam mencari prinsip
pertama atau juga bisa disebut prinsip terakhir dari alam semesta tidak
mengambil salah satu anasir yang bisa diamati dengan pancaindra seperti
pendapat Thales. Pemikiran Anaximandros lebih mendalam, sebab menurutnya adalah
berupa hal “yang tidak terbatas”, yang dalam bahasa Yunani disebut to apeiron (dari kata peras artinya batas). Apeiron itu
bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan, dan meliputi segala-galanya.
Menurut kesaksian Aristoteles,
mengapa Anaximandros menunjuk apeiron sebagai prinsip yang fundamental, karena
apabila seandainya prinsip itu hanya
salah satu anasir seperti pendapat gurunya yaitu Thales, yang mengatakan air
itu meresapi segala galanya dan iar itu tak terhingga, namun bila demikian maka
tidak ada tempat lagi untuk anasir yang berlawanan dengannya. Sebab air sebagai
anasir basah akan mengeksklusifkan api yang merupakan anasir kering. Inilah
alasan Anaximandros, sehingga ia tidak puas hanya dengan menunjuk salah satu
anasir saja sebagai prinsip fundamental dari alam semesta. Anaximandros mencari
sesuatu yang lebih mendalam dan yang tidak bisa diamati oleh pancaindera.
Anaximandros mengatakan bahwa dunia
timbul dari yang tak terbatas karena suatu penceraian (Yunani: ekkrisis). Prosesnya yaitu dilepaskan dari
apeiron itu unsur unsur yang berlawanan (Yunani: ta enantia) berupa unsure
panas dan unsure dingin, unsure kering dan unsure basah. Unsur-unsur itu selalu
berparang antara yang satu dengan yang lain. Misalnya musim panas selalu
mengalahkan musim dingin dan dsebaliknya, tapi bilamana satu unsure menjadi
dominant, maka karena keadaan ini dirasakan tidak adil (adikia), maka
keseimbangan neraca harus dipulihkan kembali. Jadi sebenarnya ada satu hokum
yang menguasai unsure unsure dunia, dan hokum itu disebut keadilan (Yunani:
dike). Perceraian tadi mengakibatkan adanya putting beliung yang memisahkan
yang dingin dari yang panas, sedang yang panas kemudian membalut yang dingin.
Gerak putting beliung yang demikian itu mengakibatkan terjadinya suatu bola
raksasa, dengan yang dingin berada di tengah-tengah yang panas. Oleh karena
panas, maka air lepas dari tanah dan menjadi kabut. Dan akhirnya udara menekan
bola sedemikian rupa hingga meletus menjadi sejumlah lingkaran yang berpusat
satu. Setiap lingkaran terdiri dari api yang dibalut oleh udara, dan tiap
lingkaran memiliki satu lobang, sehingga menjadikan api di dalamnya tampak
sebagai bintang-bintang, bulan, dan matahari. Anaximandros
mengatakan bahwa bumi berbentuk selinder, yang terletak persis di pusat jagat
raya(Harun Hadiwijono, 1988: 17). Jadi bumi bukan di atas air seperti pendapat Thales.
Filsuf
lain yang mencari prinsip fundamental atau yang disebut arkhe dari alam semesta adalah Anaximenes. Tentang tanggal
kelahiran Anaximenes tidak diketahui secara pasti, namun yang jelas bahwa ia
lebih muda dari Anaximandros. Anaximenes tidak menerima pandangan dari
Anaximandros, karena menurutnya bagaimana mungkin hal yang tak terbatas (to apeiron) dapat menjadi asas yang
pertama seluruh alam semesta dengan segala isinya.
Anaximenes
mengatakan bahwa prinsip pertama yang merupakan asal usul alam semesta beserta
isinya adalah udara. Hal ini dengan dasar bahwa seperti jiwa menjamin kesatuan
tubuh makluk hidup, terutama manusia, demikian pula udara melingkupi segala
galanya. Jiwa sendiri menurut Anaximenes juga udara yang dipupuk dengan
bernafas. Dan Anaximeneslah seorang filsuf pertama yang mengemukakan persamaan
antara manusia dengan alam semesta, yang dalam istilah modern disebut sebagai mikrokosmos dan makrokosmos. Tema ini yang sering muncul kembali dalam sejarah
filsafat Yunani, yang dengan menyebutkan tubuh adalah mikrokosmos (dunia kecil) yang seakan akan mencerminkan jagat raya
yang merupakan makrokosmos (dunia
besar). Tetapi perlu digaris bawahi bahwa Anaximenes sendiri belum
mempergunakan istilah itu ( Bertens, 1987: 31).
Anaximenes berpendapat bila udara
melahirkan semua benda dalam alam semesta, karena suatu proses pemadatan dan
pengenceran (Inggris: condensation
dan rarefaction). Adapun prosesnya, yaitu jika udara
semakin bertambah kepadatannya, maka muncullah berturut-turut angin, air,
tanah, dan terakir batu. Tetapi sebaliknya, jika udara itu menjadi semakin
lebih encer, maka yang timbul ialah api. Demikianlah dari udara atau hawa
terjadi anasir anasir yang membentuk jagat raya dengan segala isinya (Harun
Hadiwijono, 1988: 18).
Ajaran
filsuf filsuf dari Ionia yang pertama bisa disebut “filsafat alam”, karena
perhatian mereka selalu dipusatkan pada alam. Alam senantiasa dalam keadaan
perubahan, seperti malam mengganti siang, bulan terang mengganti bulan gelap,
laut pasang kemudian surut, musim panas dilanjutkan musim dingin, dan lain
sebagainya. Kemudian, bagaimanakah dapat dimengerti perubahan perubahan yang
terjadi pada alam itu ?. Apakah kiranya di bawah atau di belakang perubhan
perubahan itu terdapat sesuatu yang tetap ?, itulah persoalan yang timbul bagi
para filsuf yang pertama. Oleh sebab itu apabila Plato dan Aristoteles mengatakan
bahwa filsafat timbul atas dasar rasa
heran, adalah sangat tepat. Hal ini boleh ditambah yaitu bahwa rasa heran
itu sebenarnya juga merupakan latar belakang mite mite kosmogonis dan mite mite kosmologis,
namun filsuf filsuf dari Miletos untuk kali pertamanya memberi jawaban
secara rasional atas problematic yang disodorkan oleh alam semesta. Hal inilah
yang menjadi preatasi luar biasa hebatnya bagi filsuf Miletos, meskipun banyak
unsure dari pemikiran mereka yang kedengarannya naïf bagi telinga orang masa kontemporer
ini.
Hasil
pemikiran para filsuf pertama kiranya dapat disimpulkan dalam tiga ucapan
yaitu:
Pertama, Alam
semesta merupakan keseluruhan yang bersatu, akibatnya maka harus diterangkan
dengan menggunakan satu prinsip saja, meskipun dalam memilih satu prinsip zat
asali itu antara filsuf yang satu dengan filsuf lain berbeda dalam mengartikan
kesatuan dunia.
Kedua, Alam
semesta dikuasai oleh suatu hokum. Oleh sebab itu, kejadian kejadian dalam alam
semesta tidak merupakan kebetulan, melainkan ada semacam keharusan di belakang
kejadian kejadiannya.
Ketiga, Sebagai
akibatnya, maka alam semesta merupakan kosmos.
Kata kosmos adalah istilah dari
Yunani, maka boleh diterjemahkan sebagai
“dunia”, namun akan lebih tepat lagi apabila diterjemahkan “dunia yang
teratur”. Jadi bagi orang Yunani, kosmos
bertentangan dengan khaos artinya
dunia dalam keadaan kacau balau (Bertens, 1987: 33).
2.3. Pythagoras dan Tarekat Pythagorean
Pada
tahun 494 s. M. di kota Miletos terjadi peristiwa penyerangan oleh bangsa
Parsi, dan pada saat itu musnahlah kota Miletos. Oleh sebab itu dalam sejarah
para filsuf selanjutnya nama kota Miletos hampir tidak kedengaran lagi, namun
pemikiran filosofis dari salah satu kota di Yunani itu tidak musnah, dan
berkembang terus di daerah daerah Yunani lainnya.
Filsuf
dari daerah wilayah Ionia berikutnya adalah Pyrhagoras. Ia lahir di pulau Samos
yang termasuk Ionia, namun tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Pada
tahun 530 s. M. ia pindah ke kota Kroton di Italia Selatan. Dan menurut
kesaksian Aristoxenes salah seorang murid Aristoteles, kepindahan Pythagores
karena tidak setuju dengan pemerintahan Tyrannos
Polykrates, dan ia menetap di kota itu selama 20 tahun. Pada akhir hidupnya
Pythagoras bersama beberapa pengikutnya pindah ke kota Metapontion sampai
dengan meninggalnya.
Para pengikut dan yang melanjutkan
ajaran dari Pythagoras, kemudian disebutnya dengan aliran Pythagorean.
Sedangkan ajaran Pythagoras yang bersifat religius, bukan politik, sebagaimana
pernah diperkirakan disebutnya Tarekat, sehingga para pengikutnya pun
disebutnya “Tarekat Pythagorean”. Mereka menghormati Dewa Apollo, dan
Pythagoras dijunjung tinggi dikalangan mereka. Kewajibannya tampak antara lain
dengan semboyan yang lazim pada kaum Pythagorean, yaitu “autos epha”, artinya ia sendiri (Pythagoras) telah mengatakan
begitu.
Semasa hidupnya Pythagoras tidak
pernah menulis apapun, sebab ajarannya diberikan secara lisan dan sembunyi
sembunyi. Baru kira kira pertengahan abad ke-5 s. M. terdengar pemberitaan
tentang ajarannya. Ajaran Pythagoras ada dua hal yang pengaruhnya sangat besar
hingga masa kini yaitu: Pertama,
berupa ajaran tentang kepercayaan bahwa jiwa tidak dapat mati. Kedua, ajaran tentang usaha mempelajari
ilmu pasti.
Ajarannya tentang jiwa yang tidak
dapat mati, ia katakana bahwa karena hukumanlah maka jiwa dibelenggu di dalam
tubuh manusia, sehingga setelah manusia mati, jiwanya akan mendapat
kebahagiaan. Tetapi barang siapa tidak mencucikan diri atau pencuciannya
kurang, jiwanya akan pindah ke kehidupan lain, sesuai dengan keadaannya.
Perpindahan jiwa yang belum bersih itu dapat ke binatang, tumbuh tumbuhan, atau
ke tubuh manusia lagi. Sebagai bukti perpindahan jiwa, yaitu dalam empat baris
sajaknya diceriterakan bahwa satu kali Pythagoras mendengar seekor anjing
mendengking karena dipukul, dan ia meminta pukulan itu dihentikan, sebab
katanya dalam dengkingannya ia mengenal lagi suara seorang sahabat yang telah
meninggal. Adapun penyucian diri itu dilakukan dengan menghindari makanan yang
jadi pantangan, seperti daging dan kacang-kacangan (Harun Hadiwijono, 1988:
20). Mentaati peraturan tersebut adalah unsure penting dalam kehidupan kaum
Pythagorean, dan mereka juga mempraktekan filsafat sebagai jalan menuju ke
penyucian.
Pythagoras dalam pandangan tentang
dunia atau alam semesta diawali dari penemuannya di bidang musik sebagai batu
sendinya. Maksudnya ialah penemuan tentang interval interval yang utama dari
tangga nada dapat diekspresikan dengan perbandingan antara bilangan bilangan.
Misalnya oktaf sesuai dengan perbandingan 1 : 2, kuint sesuai dengan
perbandingan 2 : 3, dan kuart sesuai dengan perbandingan 3 : 4. Penemuannya ini
dihasilkan dengan membagi tali “monochord”
(alat musik yang mempunyai satu tali saja), lalu membandingkan ukuran bagian
bagian tali dengan nada yang dikeluarkan. Anehnya bahwa yang memainkan peranan
dalam perbandingan perbandingan ini adalah keempat bilangan yang pertama dan
mereka bersama sama menghasilkan bilangan10. Kaum Pythagorean menyebutnya bahwa
bilangan 10 ini adalah tetraktys.
Balingan ini dapat dilukiskan sebagai segitiga, sebagaimana nyata dengan gambar
di bawah ini.
Gambar:
|
|
|
Kaum
Pythagorean menganggap bahwa bilangan ini adalah keramat, dan konon meraka
bersumpah demi tetraktys ini.
Penemuan Pythagoras ini mempunyai konsekuensi besar, karena dengan penemuan ini untuk kali pertama
dinyatakan bahwa suatu gejala fisis,
yakni nada nada dikuasai oleh hokum
matematis. Artinya, bahwa kenyataan atau realitas dapat dicocokan dengan
kategori kategori matematis dari rasio manusia. Contohnya, yaitu ilmu
pengetahuan Modern seperti dari Galilei yang mengatakan bahwa alam ditulis
dalam bahasa Matematika. Adapun dalam matematika yang ditulis adalah bilangan
bilangan. Oleh sebab itu Pythagoras menganggap penting sekali ajaran tentang
bilangan, dalam arti bilangan dalam bentuk asli. Oleh sebab itu, ajaran tentang bilangan adalah batu
sendi seluruh pandangan hidup Pythagoras. Jadi menurut kesaksian tradisi,
Pythagoras berpendapat bahwa segala-galanya adalah bilangan. Kesimpulannya ini
ditarik dari kenyataan bahwa nada-nada musik dapat dijabarkan ke perbandingan
antara bilangan bilangan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan mengapa hal yang
sama tidak berlaku pula untuk segala galanya yang ada. Jadi, apabila segala
galanya adalah bilangan, maka akan berarti bahwa unsure unsure atau prinsip
prinsip bilangan merupakan juga unsure unsure yang terdapat dalam sesuatu.
Adapun
unsure unsure atau prinsip prinsip bilangan ialah genap dan ganjil, terbatas
dan tak terbatas. Oktaf merupakan harmoni yang dihasilkan dengan menggabungkan
hal hal yang berlawanan, yaitu bilangan 1 (bilangan ganjil) dan bilangan 2
(bilangan genap). Begitu pula seluruh dunia merupakan suatu harmoni yang
memperdamaikan hal hal yang berlawanan. Itulah sebabnya kaum Pythagorean
mengambil alih ajaran Anaximandros bahwa kosmos seluruhnya terdiri dari hal hal
yang berlawan lawanan. Menurut kesaksian Aristoteles, kaum Pythagorean telah
mengajarkan bahwa ada sepuluh prinsip
sedemikian yang disusun dalam dua lajur, yaitu:
Terbatas
: tak terbatas
Ganjil
: genap
Satu
: banyak
Kanan
: kiri
Laki-laki
: perempuan
Diam
: gerak
Lurus
: bengkok
Terang
: gelap
Baik
: buruk
Bujur
sangkar : empat persegi panjang
Salah seorang Pythagorean lainnya
menafsirkan ajaran bahwa segala galanya adalah bilangan, dengan mengenakan
bilangan kepada segala sesuatu. Demikianlah tentang hal ini terdapat juga
kesaksian pada Aristoteles bahwa perkawinan digabungkan dengan bilangan 3; saat
yang serasi (Yunani: kairos)
digabungkan dengan bilangan 7. Sepekulasi spekulasi tentang bilangan akan
dilanjutkan lagi dalam filsafat di kemudian hari, terutama dalam platonisme dan
neoplatonisme (Bertens, 1987: 37).
Teori mazhab Pythagorean tentang
susunan kosmos tentu mengherankan, sebab untuk kali pertamanya dinyatakan bahwa
bukan bumi yang merupakan pusat jagat raya. Mazhab Pythagorean berpendapat bahwa
pusat jagat raya adalah api. Dengan demikian api itu berturut turut dikelilingi
oleh kontra bumi (Yunani: antichton),
bumi, bulan matahari, dan kelima planit (Merkurius, Venus, Mars, Yupiter,
Saturnus), serta akhirnya langit dengan bintang bintang tetap pada posisinya.
Jadi sepuluh badan jagat raya beredar sekeliling api sentral sebagai suatu tetraktys raksasa. Bila tidak dilihat
api dan kontra bumi, karena permukaan bumi tempat manusia hidup tetap berpaling
dari api dan kontra bumi, sebagaimana halnya bagian bulan yang tidak berhadapan
dengan manusia yang tetap berpaling dari bumi. Jadi dalam revolusinya sekitar
api sentral, bumi juga mengadakan rotasi sekeliling sumbunya sendiri. Matahari
dan bulan memantulkan api sentral. Gerhana akan terjadi bilamana bumi dan
kontra bumi menggelapkan api sentral. Para pemikir Yunani berikutnya
berpandangan bahwa api sentral dari mazhab Pythagorean akan disamakan dengan
matahari, sehingga dalam bidang kosmologi mereka menganut pendirian helio sentries. Demikianlah Herakleides
dan Heraklea (abad Ke-4 s. M) nurid Plato, dan terutama Aristarkhos dari Samos
(abad ke-3 s. M). Namun perlu diingat bahwa pendirian di atas mudah dilupakan,
karena ada pendirian yang muncul yaitu pendirian geo sentries dari Aristoteles dalam waktu lama banyak dianut orang.
Dan kemudian baru setelah kemunculannya Kopernikus (tahun 1473 – 1543), teori helio sentries ditemukan lagi, dan ia
sendiri tidak mengingkari bahwa kerena telah mengenal pendapat mazhab
Pythagorean.
2, 4. Filsafat Menjadi dan MazhabElea
2. 4. 1. Filsafat Menjadi
Filsafat dalam hal ini adalah
berkaitan dengan hal hal yang selalu berubah tanpa henti hentinya, dengan
pendek kata bahwa segala sesuatu itu terus berubah, sehinga hanya perubahanlah
yang tetap. Pemikiran tentang filsafat menjadi ini dikemukakan oleh seorang
filsuf yang lahir pada kira kira tahun 500 s. M. di Efesus, Yunani, yaitu
Herakleitos. Ia mengatakan bahwa tiap tiap benda terdiri dari hal hal yang
saling berlawanan dan hal hal yang berlawanan itu tetap mempunyai kesatuan.
Pendek kata dikatakan bahwa yang satu adalah banyak dan yang banyak adalah
satu. Jika dilihat demikian, filsuf sebelumnya, yaitu Anaximandros juga telah
mengatakan bahwa semuanya terdiri dari hal hal yang berlawanan. Tetapi
Anaximandros mengatakan bahwa pertentangan itu merupakan ketidak adilan,
misalnya musim panas akan mengalahkan musim dingin dan sebaliknya. Sedangkan
bagi Herakleitos, bahwa panas mempunyai arti yang spesifik, sebab ada nusim
dingin juga dan sebaliknya Contoh lain, yaitu siang seakan akan “menjadi”
siang, sebab juga ada malam. Begitu juga tentang kesehatan dihargai, karena
juga ada penyakit(Bertens, 1987: 43). Oleh sebab itu, Herakleitos mengatakan
bahwa “perang adalah bapak segala galanya” (perang dalam arti pertentangan), dan
juga “pertentangan adalah keadilan”, dan kata kata terakhir ini bisa dilihat
sebagai kritik atas pendapat Anaximandros.
Pendapat Herakleitos tersebut jika
dirumuskan dalam terminology modern, maka dapat dikatakan bahwa semuanya
merupakan sintesa dari hal hal yang beroposisi. Artinya semua yang ada
mempunyai struktur yang berdasar atas ketegangan antara hal hal yang
berlawanan. Hal ini Herakleitos menganalogikan dengan sebuah busur atau dengan
alat musik, yang apabila talinya diregangkan antara dua pihak yang
bertentangan, namun busur tetap busur dan alat musik adalah alat musik, justru
karena ketegangan itu.
Jika melihat kembali para filsuf
pertama dari Miletos, dimana mereka mencari yang tetap di belakang perubahan
perubahan dalam alam semesta ini, maka bagi Herakleitos tidak setuju dengan
mereka. Sebab menurut Herakleitos, bahwa tidak ada sesuatu pun yang tetap atau
mantap. Tegasnya Herakleitos mengatakan, “Yang sama adalah hidup dan mati,
tidur dan jaga, muda dan tua, dan sebagainya, karena yang pertama sesudah
perubahan merupakan yang kedua, dan yang kedua sesudah perubahan merupakan yang
pertama”. Dalam kesempatan lain pun Herakleitos mengatakan “kita ada dan kita
tidak ada”. Pada bentuk
paradoks ini artinya bahwa perubahan merupakan satu satunya kemantapan, seperti
pernah dikatakan “It rests by changing”.
Jadi menurut Herakleitos jika disimpulkan, maka tidak ada sesuatu pun yang
betul betul ada, semuanya menjadi.
Menurut
Herakleitos tentang perubahan yang tanpa henti hentinya itu dianalogikan dalam
dua cara, yaitu:
- Ia mengatakan bahwa seluruh kenyataan bagaikan arus air sungai yang mengalir.
- Ia mengatakan bahwa seluruh kenyataan adalah api.
Ad. 1. Arus air sungai mengalir
seperti dikatakan Herakleitos, bahwa engkau tidak dapat turun dua kali ke dalam
sungai yang sama, karena air sungai mengalir terus, sehingga air sungai
senantiasa dibaharui terus. Orang yang turun untuk kedua kali,
tidak turun dalam sungai yang sama seperti semula. Jadi, segalanya mengalir
bagaikan suatu sungai, yang dinyatakan oleh Herakleitos, yaitu “panta rhei kai uden menei”.
Ad.
2. Api menurut pendapat Herakleitos adalah bukan merupakan suatu anasir yang
dapat menerangkan kemantapan di belakang perubahan perubahan dalam alam
semesta, melinkan api merupakan lambing perubahan itu sendiri. Hal ini
dimaksudkan oleh Herakleitos, yaitu bahwa api senantiasa memakan bahan bakar
yang baru, dan bahan bakar itu senantiasa berubah menjadi abu dan asap, namun
api itu tetap api yang sama. Jadi, menurut Herakleitos bahwa api cocok untuk
melambangkan kesatuan dalam perubahan, yaitu ada suatu pertukaran semua benda
ditukar dengan api dan api ditukar dengan semua benda, contoh konkrit barang
ditukar dengan emas dan emas ditukar dengan barang.
2. 4. 2. Mazhab Elea
Maksud dari mazhab Elea adalah hasil
pemikiran para filsuf atau ahli pikir yang lahir dari kota Elea di Italia
Selatan kira kira sekitar tahu 515 s. M. atau kira kira pada awal abad ke-6 s.
M. Filsuf ini antara lain Parmenides dan muridnya Zeno serta masih banyak
filsuf lain, seperti Empedokles.
Jalan pikiran tokoh dari mazhab Elea
khususnya Parmenides, merupakan kebalikan dari pikiran Herakleitos. Jika
Herakleitos mengatakan bahwa realitas seluruhnya adalah gerak dan perubahan, maka bagi
Parmenides bahwa gerak dan perubahan itu tidak mungkin. Parmenides mengatakan
ahwa realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak
berubah.
Menurut Parmenides, bahwa seluruh
jalan kebenaran bersandar pada satu keyakinan, yaitu “yang ada itu ada” dan
“yang tidak itu ada tidak ada”. Dengan demikian, bila orang mengatakan bahwa
“yang ada itu tidak ada” atau “yang ada serentak ada dan serentak juga tidak
ada”, itu sama sama mustahil. Karena yang tidak ada justru tidak ada, yang
tidak ada tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibicarakan. Jadi, “yang ada”
itu ada, dan “yang tidak ada” itu tidak ada, sehinga antara dua pernyataan ini
tidak terdapat jalan tengah. Karena “yang ada” itu ada, akibatnya tidak pernah
mungkin menjadi ‘yang tidak ada”, dan karena “yang tidak ada” itu tidak ada, akibatnya
tidak pernah mungkin menjadi “yang ada”. Pendek kata, bahwa “yang ada” itu ada,
dan itulah satu satunya realitas kebenaran, sedangkan “yang tidak ada” tidak
mungkin merupakan objek bagi pemikiran manusia sebab tidak dapat dibicarakan
tentangnya.
Pemikiran Parmenides yang telah
diuraikan diatas, sudah barang tentu mempunyai konsekuensi monsekuensi,
seperti:
- “Yang ada” adalah satu dan tidak terbagi, sehingga pluralitas (kejamakan) tidak mungkin, karena tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan “yang ada”.
- “Yang ada” tidak dijadikan dan tidak akan dimusnahkan, artinya “yang ada” bersifat kekal dan tak terubahkan. Karena, bila ada perubahan, itu berarti bahwa “yang ada” menjadi “yang tidak ada” dan menjadi “yang ada” lagi, hal itu tidak mungkin. Jadi, perubahan tidak mungkin.
- “Yang ada” itu sempurna, artinya tidak ada sesuatu yang dapat ditambah dan tidak ada sesuatu yang dapat diambil darinya. Tapi Parmenides sendiri tidak pernah mengatakan sempurna tentang hal ini, namun maksudnya begitu. Jadi, bila dikatakan bahwa “yang ada” itu lengkap, maksudnya bagaikan bola yang jarak jaraknya dari pusat bola ke permukaan semua sama. Pendek kata, “yang ada” itu bulat penuh sehinga mengisi semua tempat.
- Karena “yang ada” mengisi segala tempat, oleh sebab itu tidak ada ruang kosong. Jadi, jika menerima ruang kosong, maka berrati menerima juga bahwa di luar “yang ada” itu masih sesuatu yang lain. Dengan demikian, gerak tidak mungkin, karena bila terjadi sesuatu benda bergerak, maka benda itu menduduki tempat yang tadinya kosong. Pendek kata, bila menerima adany gerak dengan sendirinya berarti menerima adanya ruang kosong.
Pemikir dari mazhab Elea
yang lain adalah Zeno yang hidup sekitar tahun 490 salah seorang murid
Parmanides. Zeno sebenarnya banyak mengarang buku, namun buku bukunya telah
hilang. Kata Plato, bahwa buku karangan Zeno yang terkenal ditulis pada waktu
ia masih muda dan isi dari buku bukunya adalah membela gurunya Parmenides.
Menrurut
ucapan Aristoteles, bahwa Zenolah orang yang menemukan dialektika. Istilah
dialektika memang mempunyai pelbagai arti sampai saat ini. Tentang dialektika,
Aristoteles mengartikannya sebagai suatu cabang logika yang mempelajari perihal
argumentasi yang bertitik tolak dari suatu hipotesa atau pengandaian. Dan
memang itulah cara yang dipakai dalam argumentasi Zeno. Zeno memulai dengan
mengemukakan suatu hipotesa, yaitu salah satu anggapan yang dianut oleh orang
orang lawan Parmenides. Kemudian Zeno menunjukkan bahwa dari hipotesa itu harus
ditarik kesimpulan kesimpulan yang mustahil. Namun demikian, ternyata hipotesa
semula tidsak benar, maka berarti bahwa kebalikannya harus dianggap benar. Jadi, dengan memakai metode seperti ini, Zeno
membuktikan bahwa tentang adanya ruang
kosong, pluralitas, dan gerak adalah sama sama mustahil.
Berikut adalah argumentasi
argumentasi Zeno yang merupakan pemantapan dan pembuktian pemikiran gurunya.
- Argumentasi melawan ruang kosong, yaitu bahwa andaikan saja ruang kosong itu ada, maka sudah tentu bahwa ruang itu mempunyai tempat dalam ruang lain, yang harus ditempatkan dalam ruang lain lagi dan seterusnya sampai tak terhingga. Hal itu tentu mustahil. Oleh sebab itu, mesti disimpulkan bahwa ruang kosong itu tidak ada (artinya sama dengan pendapat Parmenides, bahwa “yang ada” tidak ditempatkan dalam sesuatu yang lain.
- Argumentasi melawan pluralitas, yaitu bila suatu potongan garis terdiri dari titik titik (jadi, jika adanya pluralitas diterima), maka sudah tentu garis garis itu dapat dibagi bagi. Oleh sebab itu setiap bagian sekurang kurangnya mempunyai dua titik, yaitu titik pangkal dan titik akhir, maka pembagian dapat diteruskan sampai tak terhingga. Jadi, potonan garis itu terdiri dari titik titik yang jumlahnya tak terhingga. Dengan demikian, titik titik ini mempunyai panjang tertentu atau tidak. Jika titik titik mempunyai panjang tertentu, maka harus disimpulkan bahwa potongan garis itu tak terhingga panjangnya. Tetapi bila titik titik tidak mempunyai panjang tertentu, maka harus disimpulkan bahwa potongan garis itu tak terhingga pendeknya, dengan kata lain, sama dengan nol. Jadi, pendek kata bahwa kedua kesimpulan itu sama mustahilnya, karena ternyata suatu suatu potongan garis mempunyai panjang yang tak terhingga. Sebagai akhir kata, bahwa hipotesa semula tidak dapat diterima, yaitu bahwa suatu potongan garis terdiri dari titik titik. Pendek kata, bahwa pluralitas tidak mungkin.
- Argumentasi melawan gerak, dalam hal ini Zeno jalan pikirannya sama dengan argumentasi argumentasi yang telah dikatakan di atas. Ia mulai dengan pengandaian bahwa gerak memang ada, sebagaimana disaksikan oleh pancaindera. Dari pengandaian itu ia menarik pengandaian yang mustahil. Oleh sebab itu, pengandaian semula idak dapat dipertahankan dan kesaksian pancaindera tidak boleh dipertahankan. Dari pemikirannya ini kemudian Zeno memberi empat argument, yaitu:
- Pelari dalam stadion, dalam pembuktian ini Zeno mengatakan bahwa bila seorang pelari ingin mencapai finis, maka terlebih dahulu harus menjalani separuh dari jarak stadion, kemudian setengah sisanya dan seterusnya sampai tak terhingga. Jadi, oleh karena pelari harus menempuh bagian bagian yang jumlahnya tak terhingga, maka ia tidak pernah akan sampai pada finis.
- Akhiles dan kura kura, dalam hal ini Zeno menceriterakan bahwa Akhiles si jago lari dalam mitologi Yunani, tidak dapat melewati kura kura yang lambat jalannya, meskipun Akhiles cepat larinya. Oleh karena kura kura berangkat sebelum Akhiles, maka semestinya Akhiles lebih dahulu harus mencapai ttik dimana kura kura berada sesaat ia berangkat sebab larinya lebih cepat. Akan tetapi setibanya di situ, kura kura sudah lebih jauh lagi dan seterusnya. Jadi, meskipun jarak antara Akhiles dan kura kura selalu berkurang, namun tidak pernah habis.
- Anak panah, dalam hal ini Zeno mengatakan bahwa anak panah setelah dipanahkan dari busurnya, anak panah dimaksud tidak pernah begerak, namun diam. Hal ini bisa dipahami karena pada tiap tiap saat anak panah berada pada tempat tertentu, yang persis sama dengan panjang anak panah, maka naka panah selalu berada antara kedua ujungnya dan oleh sebab itu senantiasa dalam keadaan diam. Pada saat berikutnya anak panah berada lebih jauh, namun di situ juga anak panah tidak pernah bergerak, melainkan diam. Jadi, gerak semu itu sebetulnya suatu seri perhentian perhentian saja.
- Tiga deretan yang berjalan, dalam pembuktian ini Zeno mengatakan, yaitu coba mengandaikan tiga deretan titik titik, semua titik berdampingan yang satu dengan yang lain, sehingga tidak ada lowongan di antaranya (lihat gambar 1). Deretan A tidak bergerak. Deretan B dan deretan C bergerak dalam jurusan berlawanan, namun dengan kecepatan yang sama sedemikian rupa sehingga pada suatu saat atau bagian waktu dijalani satu titik ataubagian ruang. Suatu saat sesudah gerak mulai, baik B1 maupun C1 telah menjalani satu titik dan masing masing berdiri terhadap A4 dan A3 (lihat gambar 2). Jadi, B1 dan C1 sudah saling berlalu. Oleh sebab itu lebih dahulu mesti terdapat suatu saat lain. Dengan demikian akan didapat suatu saat baru yang lamanya adalah setengah dari saat yang tersebut tadi. Akan tetapi menurut pengandaian semuala, situasi yang dilukiskan oleh gambar 2 terjadi sesudah saat pertama gerak itu. Jadi, harus disimpulkan: setengah sama dengan satu. Atau dengan pendek kata: sebelum saat pertama masih ada saat lain; saat pertama itu bukanlah saat yang pertama.
Pengikut Elea yang lain adalah
Melissos, ia seorang pemikir yang membela ajaran Parmenides dengan argument
argumen yang pada pokoknya mengikuti jalan pikiran Parmenides. Melissos
mengemukakan bahwa “yang ada” itu satu, sehingga bila ditunjukkan “yang ada”
sering kali lalu disebutkannya “yang satu”.
Akan
tetapi ada suatu hal yang menyimpang dari ajaran Parmenides, yaitu Melissos
mengatakan bahwa “yang ada” itu tidak terhingga baik menurut waktu maupun
menurut ruang. Di depan sudah disebutkan bahwa menurut Parmenides “yang ada”
itu bersifat kekal. Hal tersebut sama saja dengan
mengatakan bahwa “yang ada” harus dianggap tak terhingga menurut ruang dan
waktu. Namun Parmenides berpendapat, bahwa “yang ada” itu terbatas menurut
ruang, sebab ia menyatakan bahwa sudah dilihat
dan dianggap “yang ada” sebagai suatu bola bulat, artinya bahwa ia
menganggap “yang ada” terbatas menurut ruang. Oleh sebab itu, maka hal itulah
yang ditolak oleh Melissos. Di sini yang menarik dari Melissos yaitu argument
yang dipakainya mendukung pendirian Parmenides, namun ia lebih konsekuen bila
disbanding dengan Parmenides. Argumen Melissos yang dikatakan konsekuen, yaitu
seandainya “yang ada” itu terbatas dalam ruang, maka harus dikatakan bahwa di luar
“yang ada” terdapat “yang tidak ada”. Hal ini berarti bahwa “yang tidak ada”
itu ada. Pendek kata, bahwa tidak dapat dibayangkan bila “yang ada” itu
terbatas tanpa meletakkannya dalam ruang kosong. Jadi, dengan alasan alasan
itulah maka lalu disimpulkan bahwa “yang ada” itu tak terhingga baik dalam
ruang maupun waktu.
BAB.
III
FILSAFAT KAUM SOFIS DAN JAMAN SOKRATES
3. 1. Pendahuluan
Pada pembahasan dalam Bab. III ini
akan dipelajari filsafat Yunani, terutama pemikiran yang berkembang di jaman
filsafat Sokrates. Jika dilihat dari inti pemikiran jaman ini, tampak bahwa
pemikiran Sokrates ini kurang bersahabat dengan pemikiran yang berkembang pada
kaum Sofis. Hal ini dapat dipahami dari filsafat Sokrates yang sangat nampak
sekali, yaitu sebagai reaksi serta kritik atas kaum Sofis. Meskipun demikian,
tidak ada buruknya juga jika dibicarakan keduanya, yaitu baik pemikiran kaum
Sofis maupun filsafat Sokrates yang merupakan sentrum bahasan ini. Hal ini
bukan saja karena keduanya berkembang dalam jaman yang sama, melainkan karena
keduanya membaharui filsafat denga metode yang sama. Hal ini ada seorang filsuf
dan juga sebabagai sastrawan dari Roma, yaitu Cicero mengatakan bahwa Sokrates
telah memindahkan filsafat dari langit ke bumi. Artinya bahwa filsafat
pra-Sokrates telah memandang alam semesta dengan berbagai cara yang tampak
masih nun jauh di sana, sedangkan Sokrates mencari objek penyelidikan dan
pemikirannya di bumi ini, yaitu manusia itu sendiri. Hal yang sama juga bagi
kaum Sofis, mereka pun memusatkan seluruh perhatiannya pada manusia.
Ketika filsafat pra-Sokrates
dipelajari, sudah kesekian kalinya ditemuai berbagai permasalahan yang terkait
dengan manusia, namun hanya sepintas lalu. Oleh sebab itu, dalam pembicaraan
dan pemikiran pada bahasan ini, manusia menjadi objek pertama dan utama untuk
penyelidikan secara filosofis. Jadi, dengan pendek kata bahwa pemikiran secara
filsafati pada kesempatan ini manusia menjadi objeknya.
3. 2. Filsafat Kaum Sofis
Filsafat kaum Sofis lebih akrab
dengan sebutan aliran Sofistik, meskipun ini bukan merupakan suatu mazhab,
seperti bila dibandingkan dengan mazhab Elea. Dan akan lebih tepat jika istilah
Sofistik itu dipandang sebagai suatu gerakan dalam bidang intelektual yang
diakibatkan dari beberapa factor, seperti perkembangan di bidang politik dan
ekonomi Athena, serta kebutuhan akan pendidikan yang dirasakan di seluruh
Hellas pada waktu itu, dan juga dalam pergaulan mereka di Yunani merasa berbeda
dengan kebudayaan lain selain kaum Sofis.
Nama “Sofis” nampaknya belum
digunakan sebelum abad ke- 5 s. M, dan artinya semula adalah “seorang
bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”, namun
juga kadang kadang ada yang mengartikan sebagai “sarjana” atau “cendekiawan”.
Seorang pengarang Yunani bernama Androtion pada abad ke-4 s. M mempergunakan
istilah “Sofis” untuk menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari abad ke-6 s. M
(telah dijelaskan modul sebelumnya) dan Sokrates. Sedangkan Lysias seorang ahli
pidato Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 s. M. mengenakan istilah
“Sofis” pada diri Plato, namun dalam abad ke-4 s. M dan selanjutnya istilah
“philosophos” menjadi istilah yang sudah lazim dipakai dalam arti “sarjana”
atau “cendekiawan”, sedangkan istilah “Sofis” khusus dipakai untuk sebutan guru
guru yang berkeliling dari kota ke kota yang berperan penting dalam masyarakat
Yunani.
Nama istilah “Sofis” dikemudian hari
lama kelamaan menjadi tidak harum, seperti terlihat dalam bahasa bahasa modern,
misalnya dalam bahasa Inggris yang berbunyi “sophist” adalah untuk menunjukkan
seseorang yang menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi argumentasi
yang tidak sah. Cara berargumentasi yang dibuat dengan maksud seperti itu dalam
bahasa Inggris disebut “sophism” atau
“sophistery”. Hal ini terutama
dipakai oleh Sokrates, Plato, dan Aristoteles untuk mengkritik atas kaum Sofis,
sehinga mengakibatkan nama “Sofis” menjadi berbau kurang baik. Salah satu tuduhan
dari mereka, yaitu bahwa para Sofis meminta uang sebagai imbalan yang diajarkan
oleh para Sofis. Hal ini seperti diceriterakan oleh Plato dalam dialog yang
berjudul “Protagoras”, ia mengatakan
bahwa para Sofis merupakan “pemilik warung yang menjual barang rohani”, dan
Aristoteles juga mengarang buku yang berjudul
“Sophistikoi elenchoi” artinya
cara cara berargumentasi kaum Sofis yang maksudnya cara berargumentasi yang
tidak sah. Demikianlah sehingga kaum Sofis menjadi kurang baik di mata
masyarakat Yunani pada waktu itu.
Ajaran kaum Sofis antara lain
disampaikan oleh Protagoras yang lahir kira kira tahun 485 s. M. di kota
Abdera, dalam bukunya berjudul “kebenaran” (Yunani: Aletheia). Dalam buku ini Protagoras mengatakan bahwa manusia
adalah ukuran untuk segala galanya, yaitu untuk hal hal yang ada sehingga
mereka ada, dan untuk hal hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada. Oleh
sebab itu pendirian ini boleh disebut relativisme, artinya bahwa kebenaran itu
dianggap hanya tergantung pada manusia. Jadi, manusialah yang menentukan benar
tidaknya, bahkan ada tidaknya. Namun yang jadi persoalan, yaitu istilah
“manusia” itu. Yang
dimaksudkan oleh Protagoras apakah manusia perorangan ataukah manusia sebagai
umat manusia ?. Maka dari itu, apakah kebenaran tergantung pada anda dan pada
saya, sehingga manusia mempunyai kebenaran sendiri sendiri ?, ataukah kebenaran
tergantung siapa saja dalam arti semua mengakui, sehingga kebenaran itu semua
mengakui ?. Akan tetapi seperti ditemukan dalam kesaksian Plato bahwa Protagoras
mengartikan manusia adalah sebagai manusia perorangan. Hal ini bisa dipahami
dengan melihat contoh yang diberikan oleh Protagoras, yaitu angin yang sama
dirasakan panas oleh satu orang (tapi orang sehat) dan dirasa dingin oleh orang
lain (oarng dalam keadaan sakit demam). Dengan demikian mereka keduanya adalah
benar, maka alasan bahwa bagi Protagoras yang dimaksud manusia adalah manusia
perorangan. Jadi, kebenaran seluruhnya harus dianggap relative terhadap manusia
bersangkutan. Semua pendapat sama benar, biarpun sama sekali bertentangan satu
sama lain. Inilah salah satu ajaran dari kaum Sofis yang beranggapan tentang
relativitas di alam semesta ini.
Ajaran
kaum Sofis yang lain yaitu diajarkan oleh Gorgias yang lahir kira kira tahun
483 s. M. di kota Liontinoi di Sisilia yang awalnya murid Empedokles namun
kemudian dipengaruhi oleh dialektikanya Zeno. Gorgias berpendirian, yaitu
- Tidak ada sesuatu apapun.
- Seandainya sesuatu ada, maka itu tidak dapat dikenal.
- Seandainya sesuatu dapat dikenal, maka pengetahuan itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain.
Ketiga pendirian ini didukung oleh
banyak argument, sehingga Gorgias bukan seorang penganut skeptisisme (anggapan
bahwa kebenaran tidak dapat diketahui), melainkan memihak kepada nihilisme
(anggapan bahwa tidak ada sesuatu pun atau bahwa tidak ada sesuatu pun yang
bernilai).
Gorgias
setelah mengarang karya tentang nihilisme di atas, kemudian berbalik dari
filsafat, dan selanjutnya mulai mencurahkan perhatiannya kepada ilmu retorika
(Indoneis: seni berpidato). Gorgias menganggap bahwa retorika sebagai seni
untuk meyakinkan (Inggris: the art of
persuasion). Oleh sebab itu menurutnya, bahwa orang tidak cukup
mengemukakan alasan alasan yang diarahkan kepada akal budi, melainkan perasaan
juga harus disentuh. Jadi, Gorgias menciptakan gaya bahasa yang mempraktekan
prinsip ini dalam retorikanya.
Pengikut
kaum Sofis berikutnya, yaitu Hippias yang hidupnya sebaya dengan Sokrates,
berasal dari kota Elis. Ia mencurahkan perhatiannya pada pertanyaan, yaitu
apakah tingkah laku manusia dan susunan masyarakat harus berdasarkan nomos (Indonesia: adat kebiasaan,
undang undang) atau harus berdasarkan physis
(Indonesia: kodrat). Akan tetapi Hippias justru memberi
jawaban yang berbeda dari kebanyakan rekan kaum Sofis. Ia beranggapan bahwa
kodrat manusia merupakan dasar bagi tingkah laku manusia dan susunan
masyarakat. Ia punya argument begitu, karena menurutnya bahwa undang undang
yang merupakan norma terakhir untuk menentukan yang baik dan yang jahat.
Apalagi menurut Hippias bahwa undang undang sering memperkosa kodrat manusia.
Misalnya, undang undang menggolongkan manusia sebagai penguasa atau bawahan,
dan sebagai orang bebas atau budak. Padahal manusia secara kodratnya adalah
sama derajatnya dan bebas. Dengan demikian pada diri Hippias tampaklah suatu kosmopolitisme dan universalisme yang menandai banyak Sofis. Di samping itu masih
banyak pandangan pandangan hidup kaum Sofis yang aneh aneh, seperti pandangan
hidup yang pesimistis dari pemikir dari pulau Keos yang hidupnya juga sebaya
dengan Sokrates, yaitu Prodikos. Kemudian Kritias yang lebih muda dari Sokrates
berasal dari Athena yang pandangannya bersifat agamis, ia beranggapan bahwa
agama ditemukan oleh penguasa penguasa Negara yang licik. Menurutnya bila
kebanyakan pelanggaran diadili menurut hokum, namun ada pelanggaran yang
dilakukan sembunyi sembunyi sehingga tidak diketahui oleh umum, maka penguasa
penguasa menemukan dewa dewa supaya orang percaya bahwa mereka akan membalas
juga pelaggaran yang sembunyi sembunyi itu.
Melihat ajaran kaum Sofis yang
beraneka ragam di atas, ternyata banyak juga pengaruhnya terhadap pemikiran
pemikiran berikutnya. Pengaruhnya itu dapat dikategorikan menjadi pengaruh
negative dan pengaruh positif.
Pengaruh negative, yaitu tampak
bahwa gerakan Sofis melihat bila orang telah jemu dengan sekian banyak
pendirian yang dikemukakan oleh pemikir pra-sokratik, maka para Sofis mulai
bereaksi sebagai skeptisisme. Artinya, kebenaran mulai diragukan dan dasar ilmu pengetahuan sendiri
digoncangkan (Oleh: Protagoras dan Gorgias). Jadi, di sisni nampak sekali bahwa
Sofistik mepunyai pengaruh negative atas budaya Yunani. Pengaruh negative
lainnya, yaitu banyak nilai tradisional dalam bidang keagamaan dan moralitas
mulai dirobohkan, sehingga peranan Polis sebagai kesatuan social politik mulai
merosot, sebagai akibat dari pendainya memainkan peran berpidato (retorika) dan
kemahiran berbahasa.
Pengaruh positif dari aliran
Sofistik, yaitu berupa suatu revolusi intelektual di Yunani yang luar biasa. Hal ini bisa
dilihat, yaitu berupa ciptaan gaya bahasa yang baru untuk prosa Yunani
khususnya. Pengaruh positif lainnya, yaitu dengan mulainya manusia sebagai
objek pemikiran filosofisnya. Dan jasa yang sangat besar bagi Sofistik adalah
karena mereka justru mempersiapkan kelahiran fiilsafat baru. Dan Sokrates,
Plato, serta Aristoteleslah akan merealisasikan filsafat baru yang dipersiapkan
oleh para Sofistik.
3. 3. Filsafat Jaman Sokrates
Disebut filsafat jaman Sokrates,
sebab hasil pemikiran di sini diawali cara berfilsafatnya seorang filsuf yang
tidak asing lagi bagi telinga setiap orang yang sedang dan akan belajar
filsafat. Seorang filsuf dimaksud adalah Sokrates, meskipun tak seorang pun
tahu persis bilamana ia dilahirkan. Untuk dapat dipercaya kesaksiannya adalah
bahwa Sokrates pada tahun 399 s. M. dijatuhi hukuman mati dengan harus minum
racun di depan para muridnya. Pada waktu itu diceriterakan bahwa Sokrates
berumur 70 tahun, oleh sebab itu ia diperkirakan lahir kira kira tahun 470 s.
M. (Harun Hadiwijono, 1988: 35.
Jika melihat lahir dan
perkembangannya filsafat khususnya filsafat Barat, maka tidak ada filsuf yang
sangat ramai dibicarakan kecuali Sokrates. Tentang diri Sokrates memang tampak
ada dua pandangan yang sangat ekstrim tentang dirinya, yaitu disatu pihak bahwa
Sokrates dianggap sebagai filsuf terbesar yang pernah hidup dibumi ini,
sedangkan di lain pihak ada yang menganggap bahwa Sokrates bukan seorang
filsuf. Dari kedua pandangan yang ekstrim itu memang menimbulkan problem juga
pada para pemikir berikutnya. Problem dimaksud antara lain karena Sokrates
sendiri tidak pernah menuliskan hasil pemikirannya, sehingga tidak bisa
dipelajari pemikiran yang berupa buah pena Sokrates sendiri, dan hanya
diperoleh dari murid atau sumber lain yang menceriterakan tentang diri
Sokrates. Ditambah lagi bahwa banyak sumber lain yang tidak menggambarkan
Sokrates dan keaktifannya dalam bidang filsafat. Dengan demikian Sokrates yang
histories tidak dapat dikenal, namun ada sejarawan sejarawan lain yang bersikap
lebih optimistis tentang eksistensi Sokrates sebagai seorang filsuf yang besar.
Sumber untuk mempercayai bahwa
Sokrates memang pernah ada di bumi ini, dirasa cukup dengan kesaksian dari
empat orang sebagai sumber, karena empat orang ini memang memainkan peran besar
dan penting dalam menginterpretasi kehidupan maupun ajaran Sokrates. Adapun keempat sumber dimaksud adalah
:
- Aristopanes yang seorang comedian ternama di Athena, yang hidupnya sejaman dengan Sokrates. Komedi dari Aristopanes sangat lucu membicarakan peristiwa peristiwa actual, tokoh tokoh dan pikirannya yang lazim pada para penonton yang di sini Sokrates disebut sebutnya. Ada satu komedi yang berjudul Awan awan, dipentaskan pertama kalinya pata tahun 423 s. M. dimana Sokrates sebagai pelaku utamanya.
- Xenophon yang lahir tahun 430 s. M. di Athena dari keluarga bangsawan pada waktu itu. Ia adalah pengikut Sokrates, meskipun tidak ingat berapa lama menjadi pengikutnya. Xenophon meninggalkan beberapa karya tulis, yang diantaranya adalah berjudul Memorabilia yaitu berupa kenang kenangan akan Sokrates terutama tulisan kecil tentang Sokrates.
- Plato yang lahir pada tahun 427 di Athena, ia sangat mengenal akan Sokrates sejak masih kecil sampai kematian Sokrates pada tahun399 s. M. Plato banyak menulis tentang dialog dialog, dan ada satu dialog, yaitu berjudul Nomoi, di sini ditulis bahwa Sokrates bercakap cakap dengan sahabat sahabatnya. Disamping itu, karya Plato sebagian besar berisi tentang Sokrates sebagai pelaku utama dalam dialognya.
- Aristoteles, yang lahir 15 tahun setelah kematian Sokrates, namun meskipun lahirnya setelah Sokrates, ia adalah murid Plato sehingga ia tahu banyak tentang kehidupan dan ajaran Sokrates.
Jika
dilihat dari empat sumber seperti disebutkan di atas untuk meyakini bahwa
Sokrates memang pernah hidup di muka bumi ini, maka sudah semestinya bila orang
satu dengan lainnya berbeda dalam melihat sumber mana yang dianggap sangat
penting untuk menentukan riwayat hidup dan ajaran Sokrates. Ada ahli yang
mementingkan Xenophon, ada yang mementingkan Plato, dan ada pula yang
mementingkan Aristoteles, tapi yang jelas untuk Aristophanes tidak begitu
dipentingkan khususnya tentang komedi komedinya, karena tidak dapat untuk
menentukan ajaran Sokrates. Walaupun demikian karya karya Aristophanes ada juga
gunanya dalam menentukan Sokrates pernah ada, karena dalam komedi komedinya
disimpulkan bahwa Sokrates adalah tokoh terkenal di Athena sekitar tahun 420 s.
M.
Sokrates tidak beda dengan kaum
Sofis, karena ia juga memberi pelajaran kepada rakyat. Di samping itu Sokrates
juga mengarahkan perhatiannya kepada manusia seperti ajaran kaum Sofis.
Perbedaan Sokrates dengan kaum Sofis adalah bila kaum Sofis mengajar rakyat
karena agar mengikutinya dan untuk mencari uang, serta memberikan keyakinan
tentang relatifisme, sedangkan Sokrates tidaklah demikian. Sokrates mengajar
rakyat tidak memungut uang kepada mereka, namun mengajar untuk mendorong orang
supaya supaya mengetahui dan menyadari sendiri, sebab Sokrates yakin bahwa ada
kebenaran yang objektif.
Kaum Sofis juga mengajar kepada
rakyat tentang pendidikan seni berpidato, yaitu yang disebut dengan istilah retorika, sehingga menjadi banyak orang
sombong. Oleh sebab itu, Sokrates dengan cara menggelikan mengajukan pertenyaan
pertanyaan kepada rakyat murid kaum Sofis yang merasa pandai. Akhirnya jawaban
jawaban mereka saling bertentangan, sehingga banyak ditertawakan pendengarnya.
Metode Sokrates yang membuat jawaban orang menjadi bingung dan bertentangan itu
disebutnya metode ironi (Yunani: eironeia).
Segi positif dari metode ironi ini adalah terletak pada usahanya untuk mengupas
kebenaran dari kulit “pengetahuan semu” orang orang itu.
Sokrates dalam mengajar menggunakan
cara dialektika (Yunani: dialegesthai artinya bercakap cakap),
yaitu cara mengajar dengan mementingkan peran dialog. Namun dialog cara
mengajar Sokrates adalah bukan sembarang dialog, melainkan dialog yang
dibandingkan dengan ibunya sebagai seorang bidan yang menolong kelahiran bayi,
yaitu Sokrates ingin melahirkan “pengertian yang benar”, sehingga lalu olehnya
disebut dengan metode seni kebidanan yang dalam bahasa Yunani adalah maieutike tekhne. Jadi Sokrates bukan
bertindak sebagai bidan yang menolong melahirkan bayi, melainkan ia membidani
jiwa jiwa. Artinya bahwa Sokrates tidak menyampaikan pengetahuan, namun dengan
pertanyaan pertanyaan ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang
lain, dan juga ia menguji nilai nilai pikiran yang sudah dilahirkan.
Cara bekerja Sokrates seperti
disebutkan di atas, artinya ia telah menemukan cara berpikir induksi, yaitu
menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal dari banyak
pengetahuan tentang hal khusus. Misalnya, banyak orang yang menganggap dirinya
ahli (ahli tukang sepatu, ahli tukang kayu, ahli tukang batu, dll) sebagai
keutamaannya. Lain lain orang yang ahli seperti tukang tukang tadi menganggap
keutamaannya berbeda beda sesuai ahli mereka. Untuk mengetahui apakah
“keutamaan” pada umumnya, maka semua keutamaan yang bermacam macam itu harus
disingkatkan, tinggallah keutamaan yang sifatnya umum. Jadi dengan induksi
sekaligus juga ditemukan yang disebut definisi umum. Tentang definisi umum pada
waktu itu belum dikenal, maka Sokrates adalah sebagai penemunya.
Sokrates meskipun tidak meninggalkan
tulisan tulisan dalam ajaran filsafatnya, namun berdasarkan kesaksian dari para
murid dan orang terpercaya di atas, akhirnya juga dapat disimpulkan ajarannya
sebagai berikut:
Bahwa
jiwa manusia bukanlah nafasnya semata mata, namun asas hidup manusia dalam arti
yang lebih mendalam. Jiwa menurutnya adalah inti sari manusia, dan hakekat
manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab.
Oleh karena jiwa adalah inti sari
manusia, maka manusia wajib mengutamakan kebahagiaan jiwanya (Yunani: eudaimonia = memiliki daimon atau jiwa yang baik), lebih dari
kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah, misalnya: kesehatan,
kekayaan dll. Jadi, manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang sebaik
mungkin. Oleh sebab itu, bila manusia hanya hidup saja, sudah tentu hal itu
belum ada artinya, maka orang harus hidup yang baik supaya mencapai
kebahagiaan. Kemudian, bagaimana orang dapat mencapai kebahagiaan ?.
Sokrates mengatakan bahwa alat untuk
mencapai kebahagiaan (Yunani: eudemonia)
adalah kebajikan atau keutamaan (Yunani: arête).
Akan tetapi kebajikan atau keutamaan yang dimaksudkan oleh Sokrates adalah
bukan diartikan secara moral, namun olehnya diartikan lebih luas dari itu.
Misalnya, kebajikan seorang tukang kayu adalah kebajikan atau keutamaan yang
menjadikan tukang kayu itu menjadi tukang kayu yang baik, karena tahu
pekerjaannya dengan baik, dan mempunyai keahlian di bidang itu. Demikian halnya
dengan kebajikan atau keutamaan bagi seorang ahli yang lain. Jika dilihat dari
hal itu, maka nampak bahwa pendirian yang terkenal dari Sokrates yaitu “keutamaan
adalah pengetahuan”. Oleh karena itu keutamaan di bidang hidup baik tentu
menjadikan orang dapat hidup baik, dan hidup baik berarti mempraktekkan
pengetahuannya tentang hidup baik itu. Jadi, menurut Sokrates bahwa baik dan
jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan kemauan manusia.
Bertolak dari pandangannya di atas,
maka menurut Sokrates adalah tidak mungkin orang dengan sengaja melakukan hal
yang salah. Bilamana orang berbuat salah, hal itu disebabkan karena ia tidak
berpengetahuan, sehingga ia keliru.
Oleh karena kebajikan atau keutamaan
adalah pengetauan tentang yang baik, padahal yang baik adalah hanya satu, maka
kebajikan atau keutamaan hanya ada satu saja, dan sifatnya menyeluruh. Jadi,
bila memiliki kebajikan yang satu itu berarti memiliki segala kebajikan.
Misalnya, orang yang berani, sudah barang tentu juga adil dan menaruh belas
kasihan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, bila tidak demikian, maka itu
berarti bukan kebajikan yang sejati. Dengan demikian, jika memiliki arête, memiliki kebajikan atau
keutamaan, berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia (Harun
Hadiwijono, 1988: 37).
3. 4. Filsafat Hasil Pemikiran Murid
Sokrates dan Sesudahnya
Pemuda bernama Plato yang lahir
sekitar tahun 427 s. M. mempunyai maksud berbalik dari kesusasteraan, yaitu
dengan mencurahkan tenaganya kepada filsafat. Hal ini dikisahkan bahwa setelah
Plato berkenalan dengan Sokrates, ia lalu membakar karya karya yang telah
ditulisnya. Oleh sebab itu pertemuan Plato dengan Sokrates merupakan peristiwa
penentu dalam kehidupan Plato. Bagi Plato, bahwa Sokrates adalah “orang yang
paling baik, bijaksana, dan paling jujur”. Juga bagi Plato, Sokrates adalah
“manusia yang paling adil dari seluruh jamannya” Dalam karya-karyanya, Sokrates
diberi tempat yang paling sentral. Dan yang paling mengesankan Plato, yaitu
ketika peristiwa Sokrates didalam hukuman dan eksekusi hukuman matinya.
Semua karya yang ditulis Plato
merupakan dialog dialog, kecuali surat-surat
dan Apologia. Palto adalah filsuf
pertama dalam sejarah filsafat yang memilih dialog untuk mengekspresikan
pikiran-pikirannya. Sehingga Plato tidak memberi kuliah kuliah sistematis,
tetapi menyelenggarakan diskusi diskusi yang sebagian dipimpin sendiri oleh
Plato.
Ajaran tentang Idea-idea merupakan
inti dan dasar seluruh filsafat Plato. Dalam bahasa Modern kata “idea/ ide”
berarti suatu gagasan atau tanggapan yang hanya terdapat dalam pemikiran saja.
Oleh sebab itu, bagi orang modern bahwa idea merupakan sesuatu yang bersifat
subjektif belaka. Lain halnya dengan Plato, karena baginya bahwa Idea merupakan
sesuatu yang objektif. Artinya,
ada Idea-idea yang telepas dari subjek yang berpikir. Bagi Plato, idea idea
tidak diciptakan oleh pemikiran manusia. Idea idea tidak tergantung pada
pemikiran; sebaliknya, justru pemikiran yang tergantung pada Idea-idea. Jadi,
justru karena ada Idea-idea yang berdiri sendiri sendiri, pemikiran manusia
dimungkinkan. Pemikiran
itu tidak lain daripada menaruh perhatian kepada Idea-idea itu.
Cara
lain untuk mengerti lebih baik asal usul ajaran Plato mengenai Idea-idea ialah
ilmu pasti. Ilmu pasti berbicara mengenai garis, segitiga dan
lingkaran pada umumnya. Tidak mungkin bahwa ilmu pasti berbicara tentang
sesuatu yang tidak ada. Jadi, mesti terdapat
suatu Idea “segitiga”. Segitiga atau garis yang tergambar pada papan
tulis hanya merupakan tiruan tak sempurna saja dari Idea “segitiga atau garis”.
Yang berlaku bagi segitiga tadi
dapat dikatakan pula mengenai banyak hal lain lagi. Seperti, ada yang disebut “bagus”, kain bagus, patung bagus,
rumah bagus, dan lainsebagainya. Selain itu masih banyak sebutan lagi, misalnya
merah, mahal, dan lain lian. Nah Idea yang bagus merupakan “yang bagus”
sendiri, secara sempurna, tidak tercampur dengan sesuatu yang lain. Plato
menyebutnya dengan kata kata Yunani idea
serta eidos dan juga dengan kata morphe yang berarti “bentuk”.
Bertolak dari ajaran di atas,
menurut Plato bahwa realitas seluruhnya seakan akan terdiri dari dua “dunia”.
Satu “dunia” mencakup benda benda jasmani yang disajikan kepada pancaindera.
Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan.
Misalnya, bunga yang ini bagus, tapi esok harinya sudah jelek, dan lain lain.
Di samping “dunia” inderawi itu terdapat suatu “dunia” lain, suatu dunia ideal
atau dunia yang terdiri dari “Idea-idea”. Dalam dunia ideal ini sama sekali
tidak ada perubahan. Jadi semua Idea bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak
hal yang bagus, hanya ada satu Idea “yang Bagus”. Demikian halnya juga dengan
idea-idea lain. Dan tiap tiap Idea bersifat sama sekali sempurna. Jadi, Idea
merupakan model atau contoh (Yunani: paradeigma)
bagi benda benda kongkrit. Benda benda kongkrit itu merupakan
gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut.
Teori tentang Idea-idea dari Plato,
ternyata dapat mendamaikan ajaran Herakleitos dengan ajaran Parmenides. Manurut
Herakleitos bahwa semuanya senantiasa berada dalam perubahan; tidak ada sesuatu
pun yang tetap dan mantap. Kata Plato, bahwa pendapat Herakleitos itu memang
benar, tetapi hanya berlaku bagi dunia inderawi saja. Namun demikian, pendapat
Parmenides benar juga kata Plato, tetapi hanya berlaku bagi Idea-idea saja.
Dalam dunia ideal ini tidak ada perubahan, karena Idea-idea bersifat abadi. Dan
Idea-idea ini merupakan pondamen bagi pengenalan yang sejati.
Plato menciptakan suatu ajaran
tentang jiwa yang berhubungan erat dengan pendiriannya mengenai Idea-idea. Bagi
Plato, antara tubuh dan jiwa tidak merupakan kesatuan. Tubuh adalah kubur bagi
jiwa, dan jiwa berada dalam tubuh bagaikan dalam penjara, kata Plato. Dalam
karyanya yang disebut “Phaidon”, Plato mengatakan bahwa “filsafat adalah
latihan untuk mati”, dan ini adalah dapat dimengerti tentang pendapatnya dalam
rangka dualisme. Jadi, semestinya para filsuf sudah menjadi siap untuk
melepaskan diri dari kebutuhan kebutuhan badani sama sekali pada saat kematian.
Murid Plato yang tidak kalah
terkenalnya adalah Aristotelas yang lahir pada tahun 384 s. M. Aristoteles
belajar dalam academia Plato di Athena dan tinggal di sana sampai Plato
meninggal dunia. Aristoteles mengkritik sangat tajam atas pendapat Plato
tentang ajaran Idea-idea. Aristoteles berpendapat bahwa yang ada ialah manusia
ini dan manusia itu. Jadi manusia konkrit saja. Sebab Idea “manusia” tidak terdapat
dalam kenyataan. Hal yang sama juga berlaku untuk Idea “segitiga” dan semua
Idea lain.
Aristoteles memang setuju anggapan
Plato bahwa ilmu pengetahuan berbicara tentang yang umum dan tetap. Ilmu pasti
tidak berbicara tentang segitiga ini atau itu, namun tentang segitiga pada
umumnya. Salah satu
alasan Plato menerima Idea-idea ialah untuk menjamin kemungkinan adanya ilmu
pengetahuan. Oleh sebab itu muncullah pertanyaan: jika tidak ada Idea-idea,
bagaimana mungkin adanya ilmu pengetahuan ?. Maka Aristoteles menjawab, yaitu
memang ada sesuatu yang umum dan tetap, tetapi bukan dalam suatu dunia ideal
melainkan dalam benda benda jasmani sendiri. Untuk memahami hal itu maka harus
disinggung pendapat Aristotels yang lazim disebut “teori bentuk-materi”.
Aristoteles menegaskan bahwa setiap benda jasmani terdiri dari dua hal, yaitu
bentuk dan materi. Misalnya, sebuah patung yang terdiri dari bahan
tertentu dan bentuk tertentu.
Materi menurut Aristoteles adalah
prinsip yang sama sekali tidak ditentukan, yang sama sekali “terbuka”. Materi
adalah kemungkinan belaka untuk menerima suatu bentuk. Itulah sebabnya
Aristoteles menyebutnya: materi pertama (Yunani: hyle prote). Dengan kata
“pertama” dimaksudkan bahwa materi sama sekali tidak ditentukan. Namun pada
kenyataannya materi pertama selalu mempunyai salah satu bentuk. Bentuk (Yunani:
morphe) ialah prinsip yang menentukan. Jadi, kiranya jelas bahwa bagi
Aristoteles ilmu pengetahuan dimungkinkan atas dasar bentuk yang terdapat dalam
setiap benda konkrit (Bertens, 1988: 15, Yogyakarta, Penerbit Kanisius).
Teori Aristoteles yang disebutkan di
atas, di kemudian hari biasa dinamakan teori “hilemorfisme” (Asal bahasa Yunani: hyle dan morphe). Teori hilemorfisme menjadi dasar juga untuk
pandangan Aristoteles tentang manusia. Bertentangan dengan Plato, karena
Aristoteles sangat menekankan kesatuan manusia. Manusia merupakan satu
substansi yang terdiri dari bentuk dan materi Bentuk itu ialah jiwa. Karena
bentuk tidak pernah lepas dari materi, secara konsekuensi Aristoteles harus
mengatakan bahwa pada saat manusia mati, maka jiwanya akan hancur juga (Harun
Hadiwijono, 1988: 50, Yogyakarta, Penerbit Kanisius).
Inti sari ajaran Aristoteles tentang
fisika dan metafisika terdapat dalam ajarannya mengenai dinamis (potensi) dan energia
(aksi). Ajarannya ini dimaksudkan guna memecahkan masalah perubahan atau gerak
dan yang tetap tidak berubah. Para filsuf Elea, seperti Parmenides dan Zeno
berpendapat bahwa gerak dan perubahan adalah khayalan. Namun Aristoteles
menentang pendapat itu. Menurut Aristoteles, bahwa “yang ada” dalam arti yang
mutlak adalah yang teleh terwujud, sedangkan “yang tidak ada” hanya dapat
menjadi “yang ada” secara mutlak, atau menjadi “yang ada” secara terwujud,
jikalau melalui sesuatu. Di antara “yang tidak ada” dan “yang ada” secara
mutlak itu terdapat “ada yang nyata nyata mungkin”, atau “yang ada” sebagai
kemungkinan, sebagai bakat, sebagai potensi, sebagai dinamis. “Yang ada”
sebagai potensi ini pada dirinya bukanlah sesuatu, sekalipun dapat menjadi
sesuatu. “Yang ada” sebagai potensi ini senantiasa cenderung menjadi “yang ada
secara terwujud”, sehingga “yang ada” sebagai potensi dapat dipandang sebagai
perealisasian dari “yang ada” secara terwujud. Jadi, secara hakiki keduanya
harus dibedakan, akan tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan.
Perubahan dan gerak dalam arti yang
lebih luas mencakup hal “menjadi” dan “binasa” serta segala perubahan lainnya,
baik di bidang bilangan maupun di bidang mutu dan di bidang ruang. Tiap gerak
sebenarnya mewujudkan suatu perubahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa
yang secara terwujud. Jadi setiap gerak mewujudkan suatu perpindahan dari apa
yang ada sebagai potensi ke apa yang secara terwujud. Dan semua gerak itu tentu
ada gerak yang sempurna. Gerak yang sempurna itulah yang disebut penggerak
pertama. Penggerak pertama ini adalah Tuhan. Ialah yang menyebabkan gerak abadi,
yang sendiri tidak digerakkan, karena bebas dari materi. Tuhan adalah Actus Purus, Aktus murni (Harum
Hadiwijono, 1988: 49, Yogyakarta, Penerbit Kanisius).
Ajaran Aristoteles tentang manusia
melalui dua tahap. Dalam tahap pertama, ia masih dipengaruhi oleh Plato,
sehingga masih mengajarkan dualisme antara tubuh dan jiwa, serta mengajarkan
praeksistensi jiwa. Akan tetapi kemudian ia meninggalkan dualisme dengan
menjembatani jurang yang ada di antara tubuh dan jiwa. Keduanya dipandang sebagai dua aspek dari
satu substansi, yang saling berhubungan dan yang nisbahnya sama seperti nisbah
antara materi dan bentuk, atau antara potensi dan aktus. Jikalau tubuh adalah
materi, maka jiwa adalah bentuknya, jikalau tubuh adalah potensi, maka jiwa
adalah aktusnya Jadi, jiwa adalah aktus pertama yang paling asasi, yang
menyebabkan tubuh menjadi tubuh yang hidup. Jiwa adalah asas hidup dalam arti
yang seluas luasnya, yang menjadi asas segala arah hidup yang menggerakkan
tubuh, yang memimpin segala perbuatan menuju kepada tujuannya.
Puncak pemikiran Yunani Kuno ajaran
yang disebut “Neoplatonisme”. Sebagaimana namanya bahwa aliran ini sudah
bermaksud menghidupkan kembali filsafat Plato. Namun hal itu bukan berarti
bahwa para pengikutnya tidak dipengaruhi oleh filsuf-filsuf lain, seperti
Aristoteles. Sebenarnya ajaran neoplatonisme merupakan semacam sintesa dari
semua aliran filsafat sampai saat itu, namun Plato diberi tempat istimewa.
Filsuf yang menciptakan sintesa itu
adalah Plotinos yang lahir di Mesir tahun 203 dan meninggal dunia kira kira
tahun 270 ssd. M. Filsafat Plotinos berkisar pada Tuhan, sebab Tuhan disebutnya
dengan nama “yang Satu”. Plotinos mengatakan bahwa semuanya berasal dari “yang
Satu” dan akan kembali ke “yang Satu”. Oleh sebab itu dalam relitas seluruhnya
terdapat gerakan dua arah, yaitu dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas.
Gerakan dimaksud, yaitu:
a. Dari atas ke bawah.
Plotinos sangat mementingkan
kesatuan semua makhluk yang ada, bersama sama merupakan keseluruhan yang
tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat “yang Satu”
(Yunani: to Hen), yaitu: Allah/
Tuhan. Setiap taraf dalam hirarki berasal dari taraf lebih tinggi yang paling
berdekatan dengannya. Taraf satu berasal dari taraf lain melalui jalan
pengeluaran atau “emanasi” (Inggris: emanation). Istilah “emanasi” mau
ditunjukkan bahwa pengeluaran itu berlangsung secara mutlak perlu, seperti air
sungai mutlak perlu memancar dari sumbernya. Taraf lebih tinggi tidak bebas
dalam mengeluarkan taraf berikutnya. Namun dalam proses pengeluaran ini taraf
lebih tinggi tidak berubah dan kesempurnaannya tidak hilang sedikitpun. Adapun
proses pengeluaran dilukiskan oleh Plotinus, sbb.:
Dar
‘yang Satu” dikeluarkan Akal Budi (nus).
Akal Budi sama dengan Idea ideanya Plato yang dianggap Plotinos sebagai suatu
intelek yang memikirkan dirinya sendiri. Jadi Akal Budi sudak tidak satu lagi,
karena di sini terdapat dualitas: pemikiran dan apa yang dipikirkan. Dari Akal
Budi itu berasallah Jiwa Dunia (psyche). Akhirnya dari Jiwa Dunia dikeluarkan
materi (hyle) yang bersama dengan Jiwa Dunia merupakan jagat raya. Selaku taraf
yang paling rendah dalam seluruh hirarki, materi adalah makhluk yang paling
kurang kesempurnaannya dan sumber segala kejahatan.
b. Dari bawah ke atas.
Setiap
taraf hirarki mempunyai tujuan untuk kembali kepada taraf lebih tinggi yang
paling dekat dank arena itu secara tak langsung menuju ke Allah/ Tuhan. Sebab
hanya manusia mempunyai hubungan dengan semua taraf hirarki, dialah yang dapat
melaksanakan pengembalian kepada Allah/ Tuhan. Hal itu dapat dicapai melalui
tiga langkah, yaitu:
-
Langkah pertama adalah penyucian, ialah manusia melepaskan diri dari materi
dengan laku tapa.
-
Langkah kedua adalah penerangan, dimana ia diterangi dengan pengetahuan tentang
Idea-idea Akal Budi.
-
Akhirnya langkah ketiga adalah penyatuan dengan Tuhan yang melebihi segala
pengetahuan.
-
Langkah terakhir ini ditunjukkan oleh Plotinos dengan nama “ekstasis” (Inggris:
ecstasy). Hal ini murid Plotinos yang
bernama Porphyrios menceriterakan bahwa selama 6 tahun mengikuti gurunya, ia
pernah melihat Plotinos mengalami ekstasis sebanyak 4 kali.
BAB. IV
ZAMAN PERTENGAHAN
4. 1. Pendahuluan
Abad Pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi kekristenan. Abad Pertengahan selalu
dibahas sebagai zaman yang spesifik, karena dalam abad-abad itu perkembangan
alam pikiran Eropa sangat terkendali oleh keharusan untuk disesuaikan dengan
ajaran agama. Filsafat zaman Pertengahan biasanya dipandang terlampau seragam, dan lebih dari itu
dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran sebenarnya.
Perkembangan pemikiran kefilsafatan
terutama filsafat Barat, bila hendak dipahami, maka pendapat semacam di
sebutkan di atas tadi hendaknya ditinjau kembali. Apa yang terungkap pada masa
Renaissana dan pada filsafat Barat abad ke-17, tidak mungkin dipahami, manakala
diabaikan permainan pendahuluan
tentang hal-hal yang tersebut yang
terjadi pada abad Pertengahan (Delfgaauw, 1992: 63).
Para filsuf Yunani yang sangat
berpengaruh pada abad Pertengahan adalah Plato dan Aristoteles. Hal ini bisa
dipahami, bahwa pengaruh Plato yaitu pada pemikiran Agustinus, sedangkan
pengaruh Aristoteles adalah pada pemikiran Thomas Aquinas.
4.
2. Hasil Pemikiran Zaman Pertengahan
Filsafat Agustinus yang diperkirakan
antara tahun 354 s/d. Tahun 430 adalah filsafat di mana keadaan dan situasi
ikut berpartisipasi, sehinga merupakan bentuk Platonisme yang sangat spesifik.
Dengan pengetahuannya mengenai kebenaran-kebanaran abadi yang disertakan sejak
lahir dalam ingatan dan yang menjadi sadar karena manusia mengetahui sesuatu,
manusia ikut berpartisipasi dalam idea-idea tentang Tuhan, yang mendahului
ciptaan dunia. Ciptaan merupakan keadaan yang ikut ambil bagian dalam idea-idea
Tuhan, tetapi manusia adalah ciptaan yang unik, dan manusia bukan yang ambil
bagian yang pasif saja, melainkan diwujudkan secara aktif dalam suatu
pengetahuan yang penuh kasih (Delfgaauw, 1992: 58).
Oleh sebab itu, manusia melalui
penciptaan dapat mendaki sampai pada pengakuan yang penuh kasih akan Tuhan.
Dalam arti tertentu keadaan ikut berpartisipasi
ini terjadi dengan mengetahui sesuatu, namun semua perbuatan mengetahui
dibimbing oleh kasih. Demikianlah menurut Agustinus bahwa berpikir dan mengasihi
berhubungan secara selaras dan tak terceraikan. Tuhan adalah ada sebagai ada,
yang bersifat pribagi dan sebagai pribadi menciptakan seluruh jagad raya secara
bebas, dan tidak dengan jelas emanasio yang niscaya terjadi, seperti dikatakan
oleh Plotinos.
Pemikiran filsafat Aristoteles
direnungkan secara mendalam oleh Thomas Aquinas (tahun 1125-1274), tanpa
ragu-ragu ia mengambil pemikiran filsafat Aristoteles sebagai dasar dalam
berfikir secara kefilsafatannya. Namun demikian pemikiran filsafat Thomas
Aquinas tidak semata-mata merupakan pengulangan dari filsafat Aristoteles. Ia
membuang hal-hal yang tidak pas dengan ajaran Kristiani dan menambahkan hal-hal
baru, sehingga filsafatnya melahirkan suatu aliran yang bercorak Thomasisme.
Thomas Aquinas tentang pandangan
terjadinya alam semesta menganut teori penciptaan, artinya bahwa Tuhan
menciptakan alam semesta. Dengan tindakan mencipta, Tuhan menghasilkan ciptaan
dari ketiadaan. Tuhan mencipta dari ketiadaan pada awal mulanya tidak terdapat
dualisme antara Tuhan (kebaikan) dengan materia (keburukan). Karena segala
sesuatu timbul oleh penciptaan dari Tuhan, maka segala sesuatu juga ambil
bagian dalam kebaikan Tuhan; artinya bahwa alam material mempunyai bentuk
kebaikan sendiri. Selanjutnya bahwa penciptaan itu bukan merupakan tindakan
pada suatu saat tertentu, yang sesudah itu ciptaan tersebut untuk seterusnya
dibiarkan mengadu nasibnya. Mencipta berarti secara terus menerus menghasilkan
serta memelihara ciptaan (Delfgaauw,
1992: 86-87).
Tuhan
mencipta alam semesta serta wktu adalah dari keabadian, dan gagasan penciptaan
tidak bertentangan dengan alam abadi. Kitab suci mengajarkan bahwa alam semesta
berawal mula atau ada awal dan ada akhir, namun bagi filsafat tidak membuktikan
hal itu, seperti halnya filsafat juga tidak dapat membuktikan bahwa alam
semesta tanpa awal dan tanpa akhir.
BAB. V
FILSAFAT BARAT JAMAN MODERN
5.
1. Pendahuluan
Filsafat dan ilmu pengetahuan
merupakan suatu pasangan yang tampaknya kurang seimbang. Hal ini dapat dilihat
antara lain karena filsafat merumuskan pertanyaan, sedangkan ilmu pengetahuan
memberi jawaban. Ilmu pengetahuan berkembang pesat, filsafat kelihatannya tidak
pernah maju. Namun di lain pihak, sejarah suatu ilmu tertentu kurang dipentingkan bagi umat manusia
sekarang, karena jawaban-jawaban dari dahulu sering kali sudah dikoreksi,
sedangkan pertanyaan-pertanyaan dari sejarah filsafat masih tetap actual bagi
manusia masa kini.
Pendapat-pendapat masa lampau
tentang “pertanyaan-pertanyaan terakhir”, pertanyaan-pertanyaan yang tidak
dapat dijawab oleh ilmu pengethauan, tidak lebih jelek atau lebih baik daripada
pendapat-pendapat yang dikemukakan sekarang. Sejarah filsafat seakan-akan
merupakan suatu diskusi kontinyu mengenai pertanyaan-pertanyaan manusia, dan
dalam hal ini rentetan pendapat dari semua jaman dan sudut dunia sama berharga.
Sejarah filsafat mirip suatu museum
yang memuat koleksi raksasa dari pendapat pendapat pemikir-pemikir besar
mengenai misteri hidup. Koleksi ini bertambah terus menerus. Dalam koleksi ini
dibedakan tiga tradisi besar, yaitu filsafat India, filsafat Cina, dan filsafat
Barat. Khusus dalam rencana pembicaraan ini adalah filsafat Barat yang
mempunyai tiga jaman yang menonjol dan tiga periode keemasan, yaitu filsafat
kosmosentris dari jaman Yunani, filsafat teosentris dari abad pertengahan, dan
filsafat antroposentris dari jaman modern dan kontemporer. Pada bahasan ini
hanya akan berbicara tentang jaman ketiga, yaitu pereode yang dimulai dari
filsafat hasil pemikiran Rene Descartes (1596-1650) yang mendapat julukan Bapak
filsafat modern, yang berlangsung sampai masa kini dan tetap jadi pembicaraan.
Berbicara tentang filsafat modern, amat luas menghadapi
pertanyaan, oleh sebab itu, maka “mana yang harus dimuat, mana tidak”: what to leave out and what to put in,
that’s the problem. Pembicaraan pada masalah ini banyak hal yang tidak
dimuat, sehingga nanti akan nampak sebagai ihtisar yang sederhana. Ihtisar
dimaksud adalah ihtisar tentang filsafat modern dari filsafat abad ketujuh
belas, filsafat abad kedelapan belas, dan filsafat abad kesembilan belas.
Filsafat pada abad-abad itu sudah dianggap “klasik”. Di sinilah nanti beberapa
pokok pemikirannya tentang filsafat modern yang dapat dilihat dalam uraian
berikut ini.
5. 2. Filsafat Abad Modern.
Peralihan dari abad pertengahan ke
abad Modern ditandai oleh suatu era yang disebut dengan ”Renaissans”.
Era Renaissans adalah suatu zaman yang sangat menaruh perhatian dalam bidang
seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan
teknologi (Lucas, 1960: 3). Pada jaman ini berbagai gerakan bersatu untuk
menentang pola pemikiran abad Pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan
suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola
pemikiran baru dalam filsafat (Patterson, 1971: 2).
Zaman Renaissans terkenal dengan
jaman kelahiran kembali kebasan manusia dalam berpikir. Renaissans adalah zaman
atau gerakan yang didukung oleh cita-cita lahirnya kembali manusia yang bebas.
Manusia bebas yang dimaksudkan dan didambakan adalah manusia bebas seperti yang
ada dalam zaman Yunani Kuno. Pada zaman Renaissans ini manusia Barat mulai
berpikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas
kekuasaan Gereja yang selama ini telah ”mengungkung” kebebasan dalam
mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Filsafat Barat Modern yang
kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan ”Renaissans” itu
di dalamnya mengandung dua hal yang sangat penting, yaitu:
Pertama, semakin
berkurangnya kekuasaan Gereja.
Kedua, semakin
bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan (Russell, 1957: 511).
Pengaruh
dari gerakan Renaissans iu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan Barat
modern berkembang dengan pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas
dogma-dogma Gereja. Terbebasnya manusia
Barat dari otoritas Gereja merupakan dampak semakin dipercepatnya
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sebab pada zaman Renaissans,
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi didasarkan pada otoritas
dogma-dogma Gereja, melainkan didasarkan atas kesesuaiannya dengan akal. Sejak
jaman Renaissans, kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas
kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat
dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan, dan pemikiran yang dapat diuji.
Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap, namun dapat berubah dan
diferivikasi sepanjang waktu.
Dengan demikian filsafat Barat
Modern memiliki corak yang berbeda dengan periode filsafat Abad Pertengahan.
Perbedaan itu terletak terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu
pengetahuan. Jika Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh
Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada Zaman Modern otoritas kekuasaan itu
terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman Modern
tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada
dirinya sendiri. Kekuatan yang mengikat itu ialah agama dengan Gerejanya, serta
Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
Para filsuf Modern pertama-tama
menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau dogma-dogma
Gereja, juga tidak berasal dari kekuasaan feodal, melainkan dari diri manusia
sendiri (Nico Syukur Diester, 1992: 55). Sebagai ahli waris zaman Renaissans,
filsafat Modern itu bercorak
”antroposentris”, artinya manusia menjadi pusat perhatian penyelidikan
filsafati. Semua filsuf pada zaman Modern menyelidiki segi-segi subjek
manusiawi; ”aku” sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan,
pusat tindakan, pusat kehendak, dan pusat perasaan (Hammersma, 1983: 3-4).
Wacana filsafat yang menjadi topik
utama pada zaman Modern, khususnya dalam abad ke-17, adalah persoalan
epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi adalah bagaimana
manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai untuk
mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud kebenaran itu sendiri.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologi ini, maka dalam
filsafat abad ke-17 muncullah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban
berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat dimaksud adalah aliran
rasionalisme dan aliran empirisme.
Mengawali filsafat Modern dengan
kemunculannya aliran rasionalisme yang tokoh utamanya adalah Rene Descartes,
maka setidak-tidaknya harus dipahami bagaimana filsafat Rene Descartes. Dari
sinilah tonggak awal pemikiran filsafat Modern dimulai. Dengan ketidak
puasannya Rene Descartes (1596-1650)
terhadap filsafat pada zaman Renaissans, yang dianggapnya kurang sistematis dan
kurang metode, maka diperbaharuilah filsafat, yaitu dengan “kesangsian
metodis”. Menurut
Rene Descartes, segala sesuatu hal disangsikannya, supaya tinggal diterima hal
yang betul-betul pasti, sehingga dapat terjadi suatu system filsafat seperti
suatu system ilmu pasti: yaitu suatu system berdasarkan aksioma-aksioma, dan
tersusun menurut langkah-langkah logis, yaitu:
Pertama, ia mengawalinya dengan ucapan
“kalau saya sangsi akan segala sesuatu, tinggal satu hal yang tidak dapat
disangkal, yaitu kesangsian itu sendiri”.
Sebenarnya pikiran ini tidak baru, namun yang baru pada Descartes, yaitu
bahwa subjek yang sedang berpikir menjadi titik pangkal untuk filsafatnya. Kata
Descartes, kalau saya ragu-ragu akan segala sesuatu, saya masih berpikir, dan
kalau saya berpikir, saya ada. Jadi kalau saya berpikir maka saya ada, istilah
Yunani: “Cogito ergo sum”
(Harry Hamersma, 1992: 8).
Kedua, Descartes
dalam berpikir berpangkal pada dirinya sendiri. Artinya, bahwa ia mengambil
manusia yang sebagai subjek berpikir sekaligus dijadikan sebagai titik tolak
berpikirnya. Hal inilah yang sama sekali baru, karena sebeleum Descartes,
kebenaran selalu berdasarkan kekuasaan di luar manusia, misalnya kekuasaan
kitab suci, tradisi, Negara, dan lain sebagainya. Tetapi bagi Descartes, bahwa
manusia sendiri menjadi kekuasaan yang “membawa”, dan “memikul” kenyataan.
Manusia yang berpikir merupakan pusat dunianya, dan berkat idea inilah sehingga
ia dijuluki sebagai ”Bapak filsafat modern”.
Ketiga, bahwa Desacartes mengatakan bila
dirinya telah mempunyai kepastian tentang idea. Hal ini tampak dengan ucapannya
“saya berpikir, maka saya ada”, karena menurutnya idea “jelasdan tegas”, dan
semua hal yang dimilikinya merupakan idea-idea yang jelas dan tegas atau yang
dilihatnya (Prancis: clare et distincte)
itu pasti. Akal budi, ratio, mencapai kepastian ini tanpa pertolongan apa pun.
Oleh karena itu, Descartes nampaklah bahwa dirinya sebagai seorang “rasionalis”
sejati.
Keempat,
Descartes menyatakan bahwa ideanya tentang yang “jelas dan tegas”, di dalamnya
memuat tiga substansi yaitu, substansi Allah, pemikiran (cogitatio), dan keluasan (extensio).
Substansi pemikiran merupakan bidang psikologi atau bidang jiwa, sedangkan
keluasan adalah bidang ilmu alam atau bidang materi. Dalam manusia kedua bidang
yaitu pemikiran dan keluasan merupakan kesatuan, namun menurut Descartes
tentang kesatuan ini agak aneh. Maksudnya yaitu, bawa pemikiran yang berupa
kejiwaan dan keluasan yang berupa badani atau materi adalah merupakan dua kenyataan terpisah, yang
saling mempengaruhi melaui kelenjar kecil di bawah otak. Oleh sebab itu,
seorang filsuf Inggris, Ryle, mengatakan bahwa dalam pikiran Descartes, manusia
itu bagaikan “suatu hantu dalam sebuah mesin” (Harry Hamersma, 1992: 9).
Berdasar
dari pemikiran Descartes seperti itu, ternyata pengaruhnya tidak hanya bidang
filsafat, melainkan juga ilmu pasti, ilmu alam, dan kedokteran, sehingga tampak
jelas, bahwa dia telah memberi epistemology yang sama sekali baru, dan filsafat
telah dibuatnya sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Sikap
rasionalis ini pun juga ditemukan pada Spinoza dan Leibniz.
Filsafat modern tidak saja ditemukan
pada Descartes, meskipun dia telah mencari dasar untuk semua kepastian, dan dia mendapat dasar ini dalam penglihatan
“saya berpikir, maka saya ada”. Ternyata penglihatan Descartes tentang “saya
berpikir, maka saya ada” menjadi titik pangkal aliran rasionalisme,
meskipun di Inggris dalam waktu yang sama juga timbul aliran lain, yaitu aliran
empirisme.
Aliran empirisme dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes
(1588-1679) dan aliran ini sangat penting bagi John Loke (1632-1704)
sebagai seorang tokoh aliran empirisme Hal ini dapat dimengerti karena
rasionalisme menekankan peranan “rasio”, akal budi, maka empirisme menekankan
peranan “pengalaman inderawi” (Yunani: emperia).
Bagi penganut empirisme, bahwa sumber
pengetahuan yang memadai itu ialah pengalaman. Pengalaman yang dimaksudkan di
sini ialah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman batin yang
menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas
untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui
pengalaman. Oleh sebab itu para penganut aliran empirisme berkeyakinan bahwa
manusia tidak mempunyai idea-idea bawaan yang dalam bahasa Yunani disebut ”Innate
ideas”. Bagi mereka manusia itu ibarat kertas putih yang belum ditulisi,
dan baru terisi melalui pengalaman-pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun
pengalaman batiniah.
Aliran empirisme pertama kali
berkembang di Inggris pada abad ke-15 dengan Francis Bacon sebagai pelopornya.
Bacon memperkenalkan metode eksperimen dalam penyelidikan atau penelitian.
Menurut Francis Bacon, bahwa manusia melalui pengalamannya dapat mengetahui
benda-benda dan hukum-hukum relasi antara benda-benda. Kemudian ajaran ini
dilanjutkan oleh Thomas Hobbes, ia juga meyakini bahwa pengenalan atau
pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman. Berbeda dari pendahulunya, John
Locke lebih terdorong untuk mengemukakan tentang asal mula gagasan manusia,
kemudian menentukan fakta, menguji kepastian pengetahuan dan memeriksa batas-batas
pengetahuan manusia. Menurut Locke, tidak ada perbedaan antara pengetahuan dari
akal budi dan pengetahuan dari pancaindera. Semua pengetahuan berasal atau dari
pengalaman lahiriah (dari sense atau external sensation). Atau dari pengalaman batin (internal sense
atau reflexion). Yang lahiriah memberi informasi tentang dunia di luar manusia,
yang batin tentang dunia di dalam manusia, yakni jiwa. Pengalaman lahiriah,
sensation, itu tersusun dari sifat-sifat seperti ”keluasan”, ”bentuk”, ”jumlah”
dan ”gerak”. Pengalaman batin, reflexion, terjadi kalau kesadaran melihat
keaktifannya sendiri. Dengan cara ini terjadi ”ingat”, ”memperbandingkan”,
”menghendaki”, dan seterusnya. Pikiran John Locke tidak hanya penting untuk
epistemologi dan psikologi, melainkan juga untuk politik. Dari John Locke
berasal ide tentang pembagian kekuasaan politik atas tiga unsur. Pembagian ini
setelah disempurnakan oleh filsuf Perancis Montesquieu, menjadi fondamen
politik untuk banyak sekali demokrasi modern. Menurut John Locke, kekuasaan
politik harus dibagi antara pemerintah (kekuasaan eksekutif), parlemen
(kekuasaan yang menetapkan Undang Undang), dan rakyat (kekuasaan federatif)
yang memutuskan tentang hal-hal yang sangat penting, seperti perang dan damai.
Unsur ketiga ini, dalam pikiran politik Montesquieu diganti dengan kekuasaan
kehakiman. Secara hal ini tersusunlah trias politica, suatu keseimbangan
kekuasaan yang telah membuktikan efektivitasnya: pemerintah – parlemen – kehakiman. Hanya kalau tiga bidang ini sama
sekali terpisah, demokrasi betul-betul terjamin sehingga baik diktatur maupun
anarki dapat dihindarkan. Ide-ide politik John Locke secara langsung
dipraktekkan dalam Glorious Revolution di Inggris, dan dalam kemerdekaan Amerika
Serikat (Harry Hamesma, 1992: 19).
Paham
empirisme ini kemudian dikembangkan oleh David Hume (tahun 1611-1776), ia
menegaskan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah
pengalaman, dan ia sangat menentang kaum rasionalisme yang berlandaskan pada
prinsip apriori, yang bertitik tolak dari idea-idea bawaan. David Hume
mengajarkan bahwa manusia tidak membawa
pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan ialah pengamatan,
melalui pengamatan ini manusia memperoleh dua hal, yaitu kesan-kesan (impresion)
dan pengertian-pengertian (ideas) (Harun Hadiwijono, 1985: 52).
Kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik
lahiriah maupun batiniah. Sedangkan pengertian-pengertian merupakan gambaran
tentang pengamatan yang redup, kabur atau samar-samar yang diperoleh dengan
merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah
diterima melalui pengamatan langsung.
Di abad filsafat Modern, kemunculan
aliran-aliran bukan saja hanya aliran rasionalisme dan aliran empirisme,
melainkan banyak aliran lain, seperti aliran Kritisisme, aliran Idealisme,
aliran Positivisme, dan lain sebagainya, yang kemudian dilanjutkannya dengan filsafat abad kesembilan belas.
Dari sudut historis secara umum,
ciri-ciri khas abad kesembilan belas adalah ”ekspansi” dan ”desintegrasi”.
Ekspansi memperlihatkan diri dalam
macam macam perkembangan spektakuler, seperti dalam jumlah penduduk, dalam
kemajuan teknis dan ilmiah, dan dalam politik imperialistis. Desintegrasi kelihatan di hampir semua
bidang kehidupan manusia. Manusia abad kesembilan belas makin sendirian. Banyak
struktur sosial dan religius hilang. Sejajar dengan proses individualisasi
politik, yaitu dalam bentuk nasionalisme yang berlebih-lebihan. Juga dalam
dunia ilmu pengetahuan kelihatan suatu proses disintegrasi. Peranan bahasa
Latin sebagai bahasa internasional untuk semua ilmu, dalam abad kesembilan
belas semakin kecil, sehingga hanya masih dapat dibaca buku-buku ilmiah yang
diterbitkan dalam bahasa-bahasa yang kebetulan dikuasai.
Desintegrasi ini juga dicerminkan
dalam filsafat abad kesembilan belas. Peta filsafati abad ini penuh kekacauan.
Ada beberapa ”jalan raya” atas peta ini, seperti positivisme, materialisme, eksistensialisme, evolusionisme, dan
pragmatisme. Tetapi tidak mudah untuk melihat semua aliran ini dalam satu
perspektif besar. Mungkin terdapat hanya dua ciri umum di bawah semua perbedaan
pendapat filsafat abad kesembilan belas. Yang pertama, yakni bahwa hampir semua
aliran merupakan suatu ”reaksi”, sedang yang kedua, ialah bahwa manusia
sekarang lebih diselidiki sebagai pusat ”kehendak” dan ”tindakan” daripada
sebagai pusat intelek dan pemikiran. Contoh: seperti positivisme merupakan
suatu reaksi terhadap spekulasi teologis dan metafisis filsafat Hegel, demikian
materialisme merupakan suatu reaksi terhadap idealisme Hegel, dan
eksistensialisme suatu reaksi terhadap esensialisme Hegel. Juga pragmatisme
merupakan suatu reaksi terhadap suatu sikap teoritis. Reaksi-reaksi ini
merupakan hampir setiap kali sekaligus suatu peralihan perhatian dari rasio dan
empiri ke kehendak. Dalam filsafat setelah Hegel, peranan kehendak sebagai
motor tindakan di mana-mana lebih ditekankan daripada peranan rasio sebagai
subyek pemikiran.
BAB.
VI
FILSAFAT
ABAD KONTEMPORER/ POSTMODERNISME
6.
1. Pendahuluan
Tema yang menguasai refleksi
filosofis dalam abad ke-20 ini adalah pemikiran tentang bahasa. Sebagian besar
pemikir abad ke-20 pernah menulis tentang bahasa (Bertens, 1987: 17). Ungkapan
filsafat yang membingungkan. Tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan-pernyataan
tentang sesuatu yang khusus, sebagaimana yang diperbuat oleh para filsuf
sebelumnya, melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidak pahaman
terhadap bahasa logika (Charlesworth, 1959: 2).
Russell dan Wittgenstein melangkah
lebih jauh ke dalam metode analisa bahasa ini sebagai sikap atau keyakinan
ontologis memilih alternatif terbaik bagi aktivitas berfilsafat. Menurut
Wittgenstein, bahwa apa yang dihasilkan oleh sebuah karya filsafat bukan hanya
sederetan ungkapan filsafati, melainkan upaya membuat ungkapan-ungkapan itu
menjadi jelas. Tujuan filsafat adalah penjelasan logis terhadap
pemikiran-pemikiran . Filsafat bukanlah doktrin, melainkan aktivitas. Sebuah
karya filsafat pada hakekatnya terdiri atas penjelasan (elucidations) (Wittgenstein,
1963: 49).
Dengan demikian jelaslah apa yang
diperbuat oleh para filsuf analitik ini tidak lain sebagai reaksi atau respons
terhadap aktivitas filsafat yang dilakukan oleh para penganut aliran filsafat
idealisme. Sebab aliran filsafat idealisme lebih menekankan pada upaya
mengintrodusir ungkapan-ungkapan filsafati. Padahal ungkapan-ungkapan filsafati
yang diintrodusir oleh penganut idealisme itu menurut filsuf analitik,
kebanyakan bermakna ganda, kabur dan tidak terpahami oleh akal sehat. Hal-hal semacam
itulah yang perlu diatasi dengan analisa bahasa.
6.
2. Filsafat Abad Kontemporer/ Filsafat Postmodernisme
Perkembangan filsafat abad ke-20
juga ditandai oleh munculnya berbagai aliran filsafat, dan kebanyakan dari
aliran filsafat itu merupakan kelanjutan dari aliran aliran filsafat yang telah
berkembang pada abad Modern, seperti neo-kantianisme, neo-hegelianisme,
neo-marxisme, neo-positivisme, dan lain sebagainya. Namun demikian ada juga
aliran filsafat yang baru dengan ciri dan corak yang lain sama sekali, seperti
fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme, dan yang paling
mutakhir adalah aliran Postmodernisme. Oleh karena banyaknya keterbatasan, maka
dalam hal ini hanya dibicarakan beberapa aliran dan tokoh yang banyak pengaruhnya
pada abad ke-20 ini.
Tokoh utama fenomenologi,
yaitu Edmund Husserl (Tahun 1859-1938) yang sekaligus juga pendirinya, ia
banyak mempengaruhi pemikiran filsafat abad ke-20 ini secara amat spektakuler.
Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (Yunani: phainomenon).
Dengan demikian fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari apa yang menampakkan
diri atau fenomenon (Bertens, 1987:
100). Fenomenon bagi Husserl adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada
selubung atau tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, sehingga realitas
itu sendiri yang tampak bagi subjek. Husserl dengan pandangannya tentang
fenomenon ini, mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat. Karena sejak
Descartes, bahwa kesadaran selalu dimengerti sebagai kesadaran tertutup atau cogito
tertutup, artinya bahwa kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan
jalan itu mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran
terarah pada realitas. Jadi, ”kesadaran bersifat intensional” sebetulnya sama
artinya dengan mengatakan realitas menampakkan diri.
Eksistensialisme dan fenomenologi
merupakan dua gerakan yang sangat erat dan menunjukkan pemberontakan tambahan
terhadap metode-metode dan pandangan pandangan filsafat Barat. Istilah
eksistensialisme tidak menunjukkan suatu sistem filsafat secara khusus.
Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara para pengikut aliran
ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini yang
tampak pada para penganutnya. Titus dkk. (1984: 382) tentang aliran
Eksistensialisme mengidentifikasi ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
- Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat Modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
- Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
- Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri Modern dan teknologi, serta gerakan masa. Oleh sebab itu masyarakat industri cenderung untuk seseorang kepada mesin.
- Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fisis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan dalam kolektif atau massa.
- Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
- Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Salah
seorang tokoh eksistensialisme yang populer adaah Jean Paul Sartre (Tahun
1905-1980), ia membedakan rasio dialektis dengan rasio analitis. Rasio analitis
dijalankan dalam ilmu pengetahuan. Rasio dialektis harus digunakan, jika
berpikir tentang manusia, sejarah dan kehidupan sosial. Rasio terakhir ini
bersifat dialektis, karena terdapat identitas dialektis antara Ada dan
pengetahuan. Rasio ini dialektis, karena objek yang diselidikinya bersifat
dialektis, dan juga karena ditentukan oleh tempatnya dalam sejarah (Bertens,
1987: 111).
Aliran filsafat eksistensialisme
yang menjadi mode berfilsafat pada pertengahan abad ke-20 mendapat reaksi dari
aliran strukturalisme. Jika aliran eksistensialisme menekankan pada peranan
individu, maka aliran strukturalisme justru melihat manusia ”terkungkung” dalam
berbagai struktur dalam kehidupannya. Secara garis besar ada dua pengertian
pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat.
Pertama,
strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari
ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip lingustik yang
dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Ilmu-ilmu kemanusiaan di sini dimaksudkan
sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminologi Dilthey disebut ”Geisteswissenschaften”
yang dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam atau
”Naturwissenschaften”.
Kedua,
struturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahamimasalah yang muncul
dalam sejarah filsafat. Metodologi
struktural di sini dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayaan,
serta hubungan antara kebudayaan dan alam, yaitu dengan membuka secara
sistematik struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusastraan dan dalam
pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia (Kurzwell,
1980: vi-x).
Para strukturalis filosofis yang
menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistik dalam berfilsafat bereaksi
terhadap aliran filsafat fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia
dari sudut pandangan yang subjektif. Para penganut aliran strukturalisme ini
memilki corak yang beragam, namun demikian mereka memiliki kesamaan, yaitu:
penolakan terhadap prioritas kesadaran. Bagi mereka manusia tidak lagi
merupakan titik pusat yang otonom, manusia tidak lagi menciptakan sistem,
melinkan takluk pada sistem.
Tokoh berpengaruh dalam aliran
filsafat strukturalisme, yaitu Michel Foucault (Tahun 1926-1984). Kesudahan ”manusia” sudah dekat,
itulah pendirian Foucault yang sudah terkenal tentang ”kematian” manusia.
Maksud Foucault bukannya bahwa nanti tidak ada manusia lagi, melainkan bahwa
akan hilang konsep “manusia” sebagai suatu kategori istimewa dalam pikiran
manusia (Bertens, 1987: 217). Manusia akan kehilangan tempatnya
yang sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam kultur seluruhnya.
Di abad ke-20 ada aliran filsafat
yang pengaruhnya dalam dunia praksis cukup besar, yaitu aliran filsafat
Pragmatisme. Pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang menjadi
terkenal selama satu abad terakhir. Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap,
metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan
kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran (Titus, dkk, 1984:
340). Kelompok pragmatis bersikap kritis terhadap sistem-sistem filsafat
sebelumnya seperti bentuk-bentuk aliran materialisme, idealisme, dan realisme.
Mereka mengatakan bahwa pada masa lalu filsafat telah keliru karena mencari
hal-hal mutlak, yang ultimate, esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang
tetap dan sistem kelompok empiris, dunia yang berubah serta
problema-problemanya, dan alam sebagai sesuatu dan manusia tidak dapat
melangkah keluar daripadanya.
Salah satu tokoh Pragmatisme adalah
William James (Tahun 1842-1910), berpandangan bahwa pikirannya sendiri sebagai
kelanjutan empirisme Inggris, namun empirismenya bukan merupakan upaya untuk
menyusun kenyataan berdasar atas fakta lepas sebagai hasil pengamatan. James
membedakan dua macam bentuk pengetahuan, yaitu:
Pertama,
pengetahuan yang langsung diperoleh dengan jalan pengamatan.
Kedua,
merupakan pengetahuan tidak langsung yang diperoleh dengan melalui pengertian
(Delfgaauw, 1988: 62).
Kebenaran
itu suatu proses, suatu idea dapat menjadi benar apabila didukung oleh
peristiwa-peristiwa sebagai akibat atau buah dari idea itu. Oleh karena
kebenaran itu hanya satu yang potensial, baru setelah verifikasi praktis
(berdasarkan hasil/ buah pikiran), maka kebenaran potensial menjadi real.
Postmodernisme sebagai trend dari
suatu pemikiran yang sangat populer pada penghujung abad ke-20 ini merambah ke
berbagai bidang dan disiplin filsafat serta ilmu pengetahuan. Istilah
”Postmodern” telah digunakan dalam demikian banyak bidang dengan meriah dan
hiruk-pikkuk. Kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi kepadanya mengandung
resiko dicap sebagai ikut mengabadikan mode intelektual yang dangkal dan kosong.
Pada awalnya Postmodernisme lahir
sebagai reaksi terhadap kegagalan Modernisme. Filsafat dalam Modernisme memang
berpusat pada Epistemologi yang bersabda pada gagasan tentang subjektivitas dan
objektivitas murni yang satu sama lain terpisah dan tak saling berkaitan. Tugas
pokok filsafat adalah mencari fondasi segala pengetahuan (Fondasionalisme),
dan tugas pokok subjek adalah merepresentasikan kenyataan objektif (Representasionalisme).
Dengan demikian klaim-klaim dari kaum Posmodernis tentang ”berakhirnya
Modernisme” biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan
Modern tentang ”subjek” dan ”dunia objektif” tadi (Bambang Sugiharto, 1996:
33).
Wacana Postmodern menjadi populer setelah Francois Lyotard
(Tahun 1924- ) menerbitkan bukunya ”The Postmodern Condition: A Report on
Knowldge” (Tahun 1979). Modernitas menurut Lyotard ditandai oleh kisah-kisah
besar yang mempunyai fungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat Modern, mirip
dengan mitos-mitos yang mendasari masyarakat primitive dulu. Seperti
halnya dengan mitos dalam masyarakat primitive, kisah-kisah besar pun
melegitimasi institusi-institusi serta praktek-praktek social politik, system
hokum serta moral, dan seluruh cara berpikir. Namun berbeda dengan mitos-mitos,
kisah-kisah besar itu tidak mencari legitimasi dalam suatu peristiwa yang
terjadi pada awal mula (seperti penciptaan oleh dewa-dewa) melainkan dalam
suatu masa depan, dalam suatu idea yang harus diwujudkan (Bertens, 1987: 348).
Salah satu contoh kisah besar yang berusaha mewujudkan idea seperti itu adalah
emansipasi progresif dan rasio serta kebebasan dalam liberalisme politik.
BAB.
VII
PENUTUP
Berdasarkan paparan singkat
perkembangan filsafat Barat sejak kelahirannya pada zaman Yunani Kuno sampai
dengan abad ke-20 atau abad Kontemporer yang biasa juga disebut zaman
Postmodern, maka secara singkat dapat ditegaskan bahwa pemikiran filsafat Barat
berkembang sebagai reaksi terhadap mitos-mitos dan sikap dogmatis. Reaksi
terhadap mitos dan sikap dogmatis ini melahirkan pemikiran rasional, artinya
bahwa suatu pendapat yang dimitoskan dan telah menjadi dogma yang beku dilawan,
ditentang, dan dikoreksi berdasarkan asumsi-asumsi ilmiah yang baru. Di sini
ciri utama filsafat spekulatif menjadi lebih dominan, artinya ada keberanian
untuk menemukan hal-hal baru, walaupun manusia pada zamannya mungkin belum
dapat menerima idea-idea tersebut pada massa itu, sebagaimana halnya
Copernicus, Galileo Galilei yang pandangan Heliosentrismenya belum dapat
diterima oleh umat manusia pada zamannya, namun akhirnya pandangan mereka tetap
diakui kebenarannya pada era-era sesudahnya.
Demikian juga dengan kelahiran
filsafat Modern yang dirintis sejak Renaissans dan Aufklarung, merupakan reaksi
terhadap pemikiran filsafat abad Pertengahan yang bersifat dogmatis. Gereja
sebagai institusi pada waktu menjadi satu-satunya otoritas yang mengakui
kebenaran dan keabsahan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Padahal
perkembangan ilmu pengetahuan di luar kontrol Gereja sudah berjalan sangat
pesat, terutama bidang Astronomi. Sehingga upaya mengontrol perkembangan ilmu
pengetahuan kedalam sekat-sekat agama mengalami kegagalan. Bahkan terjadi
sekularisasi ilmu, yaitu pemisahan antara aktivitas ilmiah dengan aktivitas
keagamaan.
Pada abad ke-20 kelahiran
Postmodernisme juga sebagai reaksi terhadap pemikiran Modern yang juga telah
berubah menjadi mitos baru. Filsafat Modern yang lahir sebagai reaksi terhadap
sikap dogmatis Abad Pertengahan, menurut kaum Postmodernis telah terjebak dalam
membangun mitos-mitos baru. Mitos-mitos baru itu ialah suatu keyakinan bahwa
dengan pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan, dan aplikasinya dalam teknologi,
segala persoalan kemanusiaan dapat diselesaikan. Padahal kenyataannya banyak agenda kemanusiaan yang
masih membutuhkan pemikiran-pemikiran baru. Di sinilah Postmodernisme ”menggugat”
Modernisme yang telah mandeg (berhenti) dan berubah menjadi mitos baru.
Akhirnya dari uraian-uraian di atas
yang berupa perkembangan pemikiran filsafat Barat, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
- Filsafat dapat dipandang sebagai sikap kritis yang mempersoalkan segala sesuatu yang menurut kacamata awam tidak perlu dipersoalkan.
- Filsafat memiliki daya dobrak/ gebrakkan yang tinggi terhadap kemapanan yang diciptakan oleh manusia dalam peradaban dan kebudayaannya.
- Filsafat bukan merupakan dogma, melainkan suatu aktivitas yang menuntut kreativitas pikir secara berkesinambungan.
DaftarPustaka
Bertens,
K, 1987, Sejarah Filsafat Yunani,
Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Bebbington, David, 1979, Patterns in history, , England,
Inter-Varsity Press
Caputo, John D. 1987, Radical Hermeneutics, Bloomington and
Indianapolis, Indiana University Press
Harun Hadiwijono, 1988, Sari Sejarah Fil safat Yunani,Yogyakarta,
Penerbit Kanisius
Harry Hamersma, 1992, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,
Jakarta, PT. Dramedia
Robert N. Beck, 1967, Perspectives in Social Philosophy, New
York, Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Sullivan, John Edward, 1970, Prophets of the West, New York, Holt,
Rinehart and Winston, Inc
Suparlan
Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat,
Ruzz