Jumat, 15 Juni 2012

Filsafat


METODE DEKONSTRUKSI SUATU FENOMENA FILSAFAT
MEMASUKI ABAD KE-21
Oleh: Sudadi.


ABSTRACT

The word itself comes from the deconstruction of the "champion" poststructuralists, namely a 20th-century philosopher Jacques Derrida (1930). Deconstruction is essentially a strategy of interpretation, therefore, still used in the deconstruction of hermeneutics. Jacques Derrida collect a lot of text which are then commented upon and criticized, but keep in mind that his comments are very special form, because he does not just make comments about the text, but he thinks it step by step. Jacques Derrida in drafting the text to "dismantle" other texts, then he tried to put them beyond the texts that have been dismantled, saying something that is not said in the texts themselves. Procedure as has been mentioned that, then by Jacques Derrida called deconstruction (Indonesia: Pembongkaran). Departing from the understanding of the notion of deconstruction, the deconstruction of philosophical this time will only be focused on the areas of metaphysics and epistemology.
Metaphysical deconstruction of Jacques Derrida looks of thinking about the text, he defines the text is a linguistic expression that refers to the idea of ​​transcendental or pure idea, as in the philosophy of dealing with the metaphysical concept of "Any". Therefore the philosophy evident dekonstruksinya Jacques Derrida emphasized in the text, because he wanted to change the tradition of metaphysics that mempreoritaskan "remarks on the text." This deconstruction is metaphysical.
Deconstruction of epistemology looks at phenomena like humans are no longer looking for the essence or root of reality, but rather seek relationships of the elements that exist. This relation can not be seen as a style or a style battle between elements of the strong survive and the weak, but rather a game. The logic of this relation does not aim to lose or win, but look at reality as an arena of art. Logic relations into a view of the new way of thinking is referred to as "contemporary philosophy".

ABSTRAK
Kata dekonstruksi sendiri berasal dari sang “jagoannya” poststrukturalis, yakni seorang filsuf abad ke-20 Jacques Derrida (1930). Dekonstruksi pada hakikatnya adalah suatu strategi interpretasi, oleh sebab itu dalam dekonstruksi tetap dipakai hermeneutika. Jacques Derrida mengumpulkan banyak teks yang kemudian dikomentari dan dikritik, namun perlu diketahui bahwa komentarnya berbentuk sangat khusus, sebab ia tidak begitu saja memberi komentar tentang teksnya, melainkan ia berpikir selangkah demi selangkah. Jacques Derrida dalam menyusun teksnya dengan “membongkar” teks-teks lain, kemudian ia dalam menyusunnya berusaha melebihi teks-teks yang telah dibongkarnya, dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam teks-teks itu sendiri. Prosedur seperti telah disebutkan itu, maka oleh Jacques Derrida disebut deconstruction (Indonesia: pembongkaran). Bertolak dari pemahaman tentang pengertian dekonstruksi, dalam dekonstruksi filosofis kali ini hanya akan difokuskan pada bidang metafisika dan epistemologi.
Dekonstruksi metafisik tampak dari pemikiran Jacques Derrida tentang teks, ia mengartikan teks adalah sebagai ungkapan linguistic yang mengacu pada idea transcendental atau idea murni, seperti dalam filsafat yang berhadapan dengan konsep metafisik tentang “Ada”. Oleh sebab itu filsafat Jacques Derrida tampak jelas dekonstruksinya ditekankan pada teks, karena ia ingin mengubah tradisi metafisika yang mempreoritaskan “ucapan di atas tulisan”. Inilah dekonstruksi metafisik yang dimaksud.
Dekonstruksi epistemology tampak pada fenomena seperti manusia tidak lagi mencari esensi atau akar realitas, melainkan mencari relasi dari unsur-unsur yang ada. Relasi tersebut tidak dapat dilihat sebagai suatu gaya pertarungan atau gaya survive antara unsur yang kuat dan yang lemah, tetapi lebih merupakan suatu permainan. Logika relasi ini tidak bertujuan kalah atau menang, tetapi melihat realitas  sebagai sebuah arena seni. Logika relasi itu menjadi suatu pandangan oleh cara berpikir baru yang disebut dengan istilah “filsafat kontemporer”.

A.Pendahuluan
Menyimak latar belakang pemikiran filosofis dan sosiologis, filsafat di akhir abad ke-20 sangat dominan bahwa semangat dekonstruksi sebagai semangat pembebasan  tampak jelas. Kata dekonstruksi sendiri berasal dari sang “jagoannya” poststrukturalis, yakni seorang filsuf abad ke-20 Jacques Derrida (1930) yang kesohor dengan tulisannya yang dirangkum dalam buku De La Grammatologie (Norris, Ch., 1983: 28).
Dekonstruksi pada hakikatnya adalah suatu strategi interpretasi (Madison, G. B., 1988: 109). Oleh karena itu dalam dekonstruksi tetap dipakai hermeneutika. Jacques Derrida dalam realisasi pemakaian metode dekonstruksi selalu berasumsi bahwa semua teks bebas didekonstruksi. Jacques Derrida mengumpulkan banyak teks (karya-karya), seperti: filsafat, ilmu pengetahuan, dan sastra, yang kemudian dikomentari dan dikritik. Namun perlu diketahui bahwa komentar Jacques Derrida bentuknya sangat khusus, sebab ia tidak begitu saja memberi komentar tentang teksnya, melainkan ia berpikir selangkah demi selangkah. Jacques Derrida dengan memberi komentar teks-teks itu, kemudian menyajikan teks baru. Jacques Derrida dalam menyusun teksnya sendiri, yakni dengan “membongkar” teks-teks lain, kemudian ia dalam menyusunnya berusaha melebihi teks-teks yang telah dibongkarnya, dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam teks-teks itu sendiri. Prosedur seperti telah disebutkan itu, maka oleh Jacques Derrida disebut deconstruction (Indonesia: pembongkaran) (Caputo, J., H., 1987: 6).
Pemikiran Jacques Derrida tersebut, karena inspirasinya yang diperoleh dari Martin Heidegger (Th. 1889-1976). Heidegger dalam buku Being and Time meletakkan suatu destruction (Indonesia: penghancuran) terhadap metafisika kehadiran yang telah dianut oleh Hegel, Husserl, dan tradisi metafisika secara menyeluruh (Llewelyn, J., 1986: 1).

B. Jacques Derrida Dan Filsafatnya
            Jacques Derrida dipandang sebagai pemimpin filsafat Perancis Kontemporer bersama dengan Jacques Lacan dan Michel Foucoult. Jacques Derrida lahir tahun 1930 di Algeria, dan belajar di Ecole Normale Superieure, Perancis. Ia juga pernah mnejabat sebagai Profesor Sejarah Filsafat di almamaternya, dan pernah menjadi “a visiting professorship” (guru besar tamu) di Universitas Yale, serta nampak tulisan-tulisannya bersifat parasitisme (Llewelyn, J., 1986: X).
            Hampir semua tulisan Jacques Derrida yang merupakan karyanya adalah sebagai komentar terhadap karya-karya pemikir lain. Di antara sebagian besar karya Jacques Derrida merupakan kajian dan kritik terhadap karya Husserl dan Heidegger, di samping perhatiannya terhadap aturan dan fungsi bahasa, hal ini juga karena pengaruhnya dari Ferdinand de Saussure dan perkembangan semiologi (ilmu tentang tanda/ sign) (Lawson, H., 1985: 92). Khususnya terhadap Heidegger, bahwa Jacques Derrida sendiri mengakui dengan terus terang, bila ia berhutang budi pada filsuf Jerman itu. Ia berkata bahwa “segala sesuatu yang saya usahakan ini tidak mungkin tanpa lingkup keterbukaan yang diciptakan oleh pemikir besar Heidegger (Bertens, K., 1985: jilid II/ 493).
            Filsafat Jacques Derrida disebut filsafat dekonstruksi (pembongkaran). Filsafat dekonstruksi merupakan serangan terhadap apa yang oleh Jacques Derrida disebut sebagai the Metaphysics of presence (Indoneis: matafisika kehadiran), termuat di dalamnya hermeneutika yang disebut sebagai  the metaphysics of meaning and truth (metafisika makna dan kebenaran) (Caputo, J., H., 1987: 95). Pandangan Jacques Derrida ini mendapat inspirasi dari Heidegger. Dalam Being ang Time, Heidegger meletakkan suatu destruction (penghancuran) terhadap metafisika kehadiran yang dianut oleh Hegel, Husserl dan tradisi metafisis secara keseluruhan (Llewelyn, 1986: 32). Heidegger mengatakan bahwa sejarah filsafat ditandai “lupa akan ada (Jerman: seinvergessenheit)”. “Ada” yang bukan “ada khusus” dipandang dan diperlakukan sebagai “ada khusus” yang ada adalah “objek (Gegenstand)” (Wasito Poespoprodjo, 1985: 66), seperti: eidos, arche, telos, energeia, ousia (essence, existence, substance, subject), aletheia, trancendentality, consciousness, God, man, dan lain-lain (Bernasconi, R,. 1978: 184). Oleh sebab itu, dalam metafisika kehadiran “ada” selalu dipahami sebagai suatu kehadiran, yaitu hadir untuk sesuatu. Sebagai contohnya pada Hegel, yakni: “ada” yang hadir selalu dipahami sebagai hadir bagi dirinya sendiri, atau “ada” hadir dimengerti sebagai “Roh”. Pengandaian tentang kehadiran itu menjiwai juga seluruh fenomenologi Husserl. Jadi seluruh tradisi metafisis cenderung ke arah “ada” yang hadir bagi dirinya sendiri, terlepas dengan ceritera di mana dan kapan “ada” yang hadir itu ditampilkan. Namun halnya berbeda dengan pandangan Jacques Derrida, sebab bagi Derrida bahwa tradisi metafisis itu ditolaknya. Jacques Derrida mengatakan, bahwa “kehadiran selalu berarti here and now (di sini dan sekarang)” (Lawson, H,. 1985: 97), sehingga ia tidak dapat dilepaskan dari kapan dan di mana kehadiran itu ditampilkan. “Kehadiran” bukan merupakan sebagai suatu instansi yang independen yang mendahului perkataan dan tulisan manusia, melainkan sebaliknya ditampilkan dalam perkataan dan tulisan manusia, yakni dalam “tanda” yang dipakainya. “Kehadiran” harus dimengerti sebagai suatu system “tanda” (Bertens, K,. 1985: 495).
            Dalam tardisi metafisis, tanda selalu menghadrikan sesuatu yang tidak hadir. Namun menurut Jacques Derrida, bahwa tanda menunjukkan sesuatu totalitas yang lain dari pada dirinya sendiri (Lawson, H,.: 1985: 98). Tidak ada makna murni yang dapat diabstraksikan dari tanda, menurutnya. Oleh sebab itu, tidak ada tanda yang independen dengan penanda (Lawson, H,.: 1985: 99). Dengan istilah lain bahwa “tidak ada apa-apa di balik tanda”, yang oleh Jacques Derrida bahwa rajutan atau jaringan tanda itu disebutnya sebagai “teks” atau “tenunan”.
            Penekanan filsafat Jacques Derrida pada teks merupakan keinginannya untuk merubah tradisi metafisis yang logosentrisme (pusat perhatian adalah logos/ rasio) ke arah suatu gramatologi (ilmu tentang tulisan, tanda-tanda atau ilmu tentang “tekstualitas”). Tradisi metafisis disebut logosentrisme, sebab memprioritaskan tuturan di atas tulisan. Antara lain hal itu tampak jika pemikiran dimengerti sebagai tuturan; logos (pemikiran) adalah phone (percakapan). Dengan demikian, rasionalitas diskursus metafisis itu sendiri mempunyai kecenderungan untuk melupakan dan meremehkan tulisan (Bertens, K., 1985: 495).
            Istilah writing (tulisan) mendapat tempat khusus dalam filsafat Jacques Derrida. Ia menggunakan istilah tulisan dalam pengertian dalam pengertian yang agak berbeda. Hal ini bisa dipahami, sebab kadang-kadang ia menunjuk pengertian khusus pada tulisan sebagai Arche-writing (Lawson, H., 1985: 98). Arche tulisan adalah sumber tuturan dan tulisan. Menurut Jacques Derrida, bahwa setiap macam bahasa menurut kodratnya adalah tulisan, sebab tulisan adalah fakta yang mendahului bahasa, maka tulisan harus dipahami sebelum tuturan (Norris, Ch., 1983: 28). Labih dari itu, bahwa tulisan dianggap sebagai  sumber seluruh aktivitas budaya (Norris, Ch., 1983: 32).
            Konsep yang oleh filsafar Jacques Derrida dikatakan penting adalah konsep differance. Dalam bahasa Perancis, kata differer memiliki dua makna, yakni: “menjadi tidak sama” atau “berbeda” (tobe unequal), dan “menangguhkan” atau “menunda” (to put off, to postphone) (Lawson, H., 1985: 105). Dalam filsafat Jacques Derrida istilah itu memiliki makna yang jauh lebih rumit.
            Pemikiran Jacques Derrida tentang differance adalah disebabkan pengaruhnya dari Heidegger dan Ferdinand de Saussure. Heidegger menggunakan istilah Dif-ference (dengan tanda hubung) yang berarti dunia dan sesuatu (thing) menjadi Being dalam relasi (Lawson, H., 1985: 107). Heidegger juga menggunakan istilah ontologische Differenz atau “perbedaan ontologism”, yaitu perbedaan antara “ada” dan “ada-khusus”. Ferdinand de Saussure menggunakan istilah differance dalam kaitannya dengan bahasa. Saussure mengatakan : in language there is nothing, but, differences (Madison, G. B., 1988: 111). Menurut Saussure, bahwa bahasa tidak terdiri dari ide-ide atau bunyi-bunyi yang sudah mendahului system linguistic, namun hanya ada perbedaan-perbedaan dan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh system tanda.
            Jika Saussure mengatakan “in language there is nothing, but differences”, Jacques Derrida menambah “there is nothing but differences” (Madison, G. B., 1988: 111). Dengan demikian Saussure menekankan bahwa dalam bahasa itu hanya ada perbedaan-perbedaan system tanda, maka bagi Jacques Derrida lebih jauh lagi, yakni bahwa kenyataan itu tidak ada apa-apa kecuali ada perbedaan-perbedaan saja. Sehingga Jacques Derrida menegaskan bahwa differance itu bukan essensi, bukan sesuatu, dan bukan hidup (Derrida, J., 1978: 203). Jadi kata differance tidak boleh disebut sebagai “ada”, sebab jika demikian, maka akan kembali pada logosentrisme.
            Minimal ada empat makna tentang istilah “differance” dalam filsafat Jacques Derrida, anatara lain:
(1). Menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran;
(2). Gerak yang mendeferensiasikan;
(3). Produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dan struktur;
(4). Menunjuk kepada berlangsungnya perbedaan “ada” dan “ada-adaan” (ada khusus).
Akhirnya differance tidak boleh dibayangkan sebagai “asal-usul”, sebagai identitas yang melebihi semua perbedaan (Bertens, K., 1985: jilid II/ 502).

C. Metode Dekonstruksi
1. Asumsi Dasar
            Kenyataan pada dasarnya adalah sebuah teks. Istilah sebagai teks dipakai oleh Jacques Derrida dalam arti yang agak luas daripada istilah sehari-hari, sebab baginya segala sesuatu yang ada mempunyai status sebagai teks. Sebagaimana telah dijelaskan di awal tulisan ini, teks adalah rajutan tanda. Namun apakah sebenarnya yang dimaksud teks itu ?, hal ini Jacques Derrida mengatakan : “a tex… is henceforth no longer a finished corpus of writing, some content enclosed in a book or its margins, but a differential network, a fabric of trace referring endlessly to something other than itself, to other differential trace” (Madison, G. B., 1988: 120).
Dengan demikian bagi Jacques Derrida tidak ada makna yang melebihi teks dan hadir bagi pemikiran yang  terlepas dari teks. Tidak ada sesuatu yang eksis lepas dari susunan teks. Seperti dikatakan oleh Jacques Derrida: “nothing outside the tex; Il n’y a pas de hors texte” (Madison, G. B., 1988: 111). Dengan demikian jelas bahwa bagi Jacques Derrida tidak menerima makna transenden yang berada di balik teks atau tanda. Bagi Jacques Derrida yang penting adalah karena segala sesuatu berstatus sebagai teks, maka ia bebas diinterpretasi dan didekonstruksi (dibongkar). Namun karena begitu banyak karya yang dikomentarinya, sering kurang mendalam. Tidak jarang dari komentar-komentarnya menghasilkan kesimpulan yang aneh dan ekstrim.
2. Hermeneutika-dekonstruksi
            Hermeneutika-dekonstruksi adalah metode yang dipakai oleh Jacques Derrida, dan baginya dekonstruksi merupakan suatu strategi interpretasi (Madison, G. B., 1988: 119). Jacques Derrida mengatakan bahwa dengan hermeneutika ia berusaha memahami makna “kebenaran” suatu teks. Namun perlu diketahui bahwa makna kebenaran itu bukan sebagaimana yang dimaksud oleh hermeneutika naïf, sehingga sering dikatakan bahwa hermeneutika Jacques Derrida ini sebagai cold hermeneutics yang tidak percaya kepada kebenaran (Caputo, J., H,. 1987: 189). Jadi yang ditekankan dalam metode itu adalah suatu free-play (Perancis: la jeu) terhadap suatu teks, dan tujuan interpretasi bukan menemukan kebenaran tetapi suatu kebebasan, dan suatu permainan parody (Madison, G. B., 1988: 108).
            Metode hermeneutika-dekonstruksi dipandang sebagai suatu teknik membaca, suatu strategi atau taktik membaca untuk menemukan suatu blind spot (kelemahan) suatu teks. Namun demikian strategi itu tanpa batas akhir (final), dan Jacques Derrida sendiri menyebutnya sebagai unfinished movement (Caputo, J., H,. 1987: 192). Oleh sebab itu dekonstruksi yang pada hakekatnya suatu aktivitas pendekatan terhadap teks tidak pernah selesai.

3. Konsep-konsep Baru
            Sebagai alternative dari aktifitas dekonstruksi, maka Jacques Derrida lalu menciptakan beberapa konsep baru. Beberapa konsep baru dimaksud oleh Jacques Derrida, ada kemungkinan pernah disebutkan atau bahkan dipakai oleh para pemikir sebelumnya, namun dalam pemikirannya Jacques Derrida mengambil makna yang lebih rumit terhadap beberapa konsep yang telah dipakai pemikir sebelumnya. Contoh dari beberapa konsep yang dipakai oleh Jacques Derrida, seperti: writing, defference, trace, dan lain sebagainya.
            Konsep writing dan defference telah diuraikan di atas, sedangkan konsep trace (bekas, jejak) digunakan Jacques Derrida untuk memahami tanda. Pandangan Jacques Derrida tentang tanda, seolah-olah memutar balikkan pandangan tradisi metafisis dengan mengatakan bahwa kehadiran harus dimengerti sebagai tanda. Namun yang perlu dipahami, adalah apakah yang dimaksud tanda itu ?, Jacques Derrida mengartikan tanda sebagai suatu trace.
            Jacques Derrida dalam menjelaskan tentang trace ini memang sangat sulit dipahami, namun ada beberapa ”kata kunci” (key words) untuk memahami trace. Trace (bekas) tidak mempunyai substansi atau bobot tersendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas tidak dapat dimengerti tersendiri (terisolir dari segala sesuatu yang lain), namun hanya sejauh menunjuk pada hal-hal lain. Bekas mendahului objek. Bekas itu sebenarnya bukan efek, melainkan sebagai penyebab. Jacques Derrida mengatakan, bahwa paham ini memungkinkan untuk memikirkan kehadiran sebagai efek dari bekas itu. Jadi dengan tegas Jacques Derrida mengatakan, bahwa kehadiran tidak lagi merupakan suatu asali, melainkan diturunkan dari bekas (Bertens, K., 1985: jilid II/ 495).

4. Dekonstruksi Metafisika dan Epistemologi
            Bertolak dari pemahaman tentang pengertian dekonstruksi di atas, dalam dekonstruksi filosofis kali ini hanya akan difokuskan pada bidang metafisika dan epistemologi. Sebab keduanya, yakni metafisika dan epistemology sangat erat hubungannya, yakni apa yang “Ada” (metafisika) exoffisio mengandaikan pada apa yang “diketahui” (epistemology).
1). Dekonstruksi Metafisika
            Jika berbicara tentang metafisika, maka sudah tentu bahwa ia mempunyai sejarah yang panjang, terutama sejak abad Pencerahan (Aufklarung) menembus dalam ruangan filsafat Modern. Pada abad Kuno, seperti Aristoteles (384-322 SM) mengatakan bahwa metafisika itu adalah filsafat pertama, yakni dalam usaha memahami realitas, yang kemudian dari sana muncul segala bangunan pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan. Jelasnya adalah suatu usaha filosofis untuk menemukan inti/ dasar/ substansi/ akar dari realitas (Yunani: Arche). Usaha ini, seperti tampak dari dua jawaban besar, yang cenderung kontradiktif, yakni: di satu pihak realitas adalah materi, sedangkan di lain pihak realitas adalah idea. Kedua-duanya mempunyai keyakinan, bahwa dengan masing-masing jawaban itu, ilmu pengetahuan dapat dibangun (Suparlan Suhartono, 2007: 117).
            Pertanayaan dasar mengapa metafisika menjadi penting di dalam filsafat, karena metafisika dapat menghantarkan manusia pada suatu keyakinan terhadap adanya sesuatu. Dengan demikian bila sesuatu itu dikatakan ada, maka dengan sendirinya manusia sadar bahwa sesuatu itu tidak sembarangan keber”ada”annya, melainkan pasti ada yang menopang di baliknya. Sebagai penopang itu, apakah itu materi atau idea, namun yang jelas manusia mempunyai satu dasar argumentasi untuk sebuah pertanggung jawaban ilmiah.
            Lain halnya dengan pemikiran Immanuel Kant (1724-1804) sebagai seorang agen kuat dalam membangun dasar-dasar filosofis Pencerahan (Aufklarung), ia menganggap bahwa metafisika tidak dapat dianggap sebagai bangunan dasar ilmu pengetahuan, sebab di dalamnya terdapat kontradiksi-kontradiksi logis tentang realita yang mungkin ada dan mungkin tidak ada. Jika metafisika berbicara tentang sesuatu di balik realita fisik, maka akal budi tentu tidak dapat menjangkau sesuai dengan hukum-hukum kausalitas ilmu pengetahuan.
            Immanuel Kant sudah barang tentu tidak secara radikal dan structural menghancurkan metafisika. Metafisika adalah substansi dari segala sesuatu yang mungkin ada dan menjadi kekuatan yang sifatnya regulative (Amsal Bakhtiar, 2004:49). Artinya, bahwa idea-idea metafisika murni, seperti kosmologis, psykologis, dan theologies, tidak mungkin langsung berurusan dengan problem sebab akibat dalam dunia fenomena. Idea-idea ini eksis hanya sebatas pengatur bagi gagasan-gagasan yang diperoleh lewat proses pengenalan inderawi dan akal budi.
            Bagi Immanuel Kant, untuk ini tidak lagi menanyakan apakah realitas itu, malainkan menanyakan bagaimanakah pengetahuan terhadapnya mungkin, sehingga epistemology lalu diprioritaskan. Bagi Immanuel Kant, masalah selanjutnya ialah bagaimana manusia mengenal syarat-yarat akal budi itu sendiri. Jadi dari cara berpikir metafisik yang sudah menjadi landasan utama dalam sejarah filsafat, yakni: dari bagaimana akal-budi memahami dunia transemden (seberang sana), menjadi bagaimana akal budi mengenal syarat-syarat di dalam dunianya sendiri, orientasi berpikir seperti ini oleh Immanuel Kant disebutnya sebagai revolusi dalam berpikir. Serangan Immanuel Kant terhadap metafisika perlu diketahui bahwa sebenarnya tinggal meneruskan dan juga merekonstruksi dari anti metafisika David Hume. David Hume (1711-1776) adalah pelopor aliran empirisme, yang terkenal dengan gaya skeptisismenya, ia menolak dasar-dasar logis adanya dunia transenden, bahkan menolak adanya kausalitas dalam ilmu pengetahuan. Bagi David Hume kausalitas hanya muncul dari suatu kebiasaan atau keyakinan yang tak berdasarkan pada yang real (Ahmad Tafsir, 2009: 173). Jadi secara logis bila dibicarakan tentang adanya “anti” sebagai term kontradiktif, maka pasti ada term “pro”. Oleh sebab itu sistematika filsafat Barat diwarnai oleh anti dan pro metafisika, seperti dari Descartes, Hegel, Bergson, hingga ke phenomenology Edmund Husserl adalah nama-nama yang memantapkan cara berpikir metafisik. Mereka sama-sama yakin pada asumsi bahwa tidak mungkin sesuatu itu ada atau eksis, bila tidak ada sesuatu yang menopang di baliknya.
            Seperti telah dijelaskan di depan, bahwa Jacques Derrida tidak beda jauh dan bahkan mendapat inspirasi dari Martin Heidegger, ia dengan metode dekonstruksinya pun mengkritik filsafat Barat sebelum jamannya, termasuk abad Modern, terutama tentang metafisikanya. Latar belakang yang mempengaruhi analisis Jacques Derrida terhadap sejarah metafisika, yakni dari model bahasa structural Ferdinand de Saussure (Bertens, K., 1985, Jilid II: 381). Namun ketika Jacques Derrida tahu bahwa model bahasa Ferdinand de Saussure tidak dapat lepas dari cara berpikir metafisika yang akan didekonstruksinya, maka ia pun mengambil jalan lain, yakni konsentrasi ke persoalan metafisika.
            Jacques Derrida yang sangat concentrate terhadap pemikiran Barat, mengatakan bahwa cirri khas pemikiran Barat adalah “Ada” dimengerti sebagai “kehadiran”. Pemikirannya tentang “Ada” sebagai kehadiran, Jacques Derrida menyebutnya metafisika, hal ini akan tampak jelas bila dilihat ajaran metafisikanya tentang tanda (Bertens, K., 1985, Jilid II: 499).
            Tanda dalam tradisi metafisis selalu menghadirkan yang tidak hadir. Tanda menurut Jacques Derrida tidak menunjukkan suatu totalitas yang lain dari dirinya sendiri (Lawson, H., 1985: 95). Tanda tidak dapat mengabstraksikan makna murni, dan tidak ada tanda yang independen dengan penanda (Derrida, J., 1978: 204). Objek-objek muncul dari jaringan tanda-tanda,dan jaringan tanda itu disebut teks. Istilah teks menurut Jacques Derrida adalah dalam arti yang agak luas dari arti biasa, yakni; kembali pada arti asli kata teks yang berasal dari kata latin “textere”, artinya menenun. Jadi kata teks dipakai dalam arti yang lebih dari makna biasa, karena itu menurut Jacques Derrida, segala sesuatu adalah teks atau berstatus sebagai teks (Derrida, J., 1978: 210).
            Beranjak dari pemikiran Jacques Derrida tentang teks, ia mengartikan teks adalah sebagai ungkapan linguistic yang mengacu pada idea transcendental atau idea murni, seperti dalam filsafat yang berhadapan dengan konsep metafisik tentang “Ada”. Oleh sebab itu filsafat Jacques Derrida tampak jelas dekonstruksinya ditekankan pada teks, karena ia ingin mengubah tradisi metafisika yang mempreoritaskan “ucapan di atas tulisan”. Ia tidak pernah bermaksud menghilangkan idea-idea transcendental, seperti yang disebutkan darinya, yakni mendekonstruksi metafisika bukan berarti bahwa metafisika itu omong-kosong, bukan berarti menulis tentang dekonstruksi metafisika lalu tulisannya bebas dari metafisik.

2). Dekonstruksi Epistemologi
            Epistemologi adalah usaha filosofis untuk menemukan asal-usul struktur, dan batas-batas pengetahuan. Jika dalam metafisika realitas dikenal dengan jawaban dikotomistik antara idealisme dan materialisme, maka dalam epistemology, kedua istilah ini terwakili oleh istilah yang dikenal dengan aliran rasionalisme dan empirisme. Istilah lain yang mungkin lebih diakrabi, ialah pengetahuan subjektif (rasionalisme) dan pengetahuan objektif (empirsme).
            Epistemology sangat berguna bagi filsafat dan disiplin ilmu lainnya, sebab ia berusaha mengantar manusia pada sebuah keyakinan mengenai proses terbentuknya pengetahuan. Sebagai contohnya, yakni pemisahan penegatahuan subjektif dan objektif, pada hakekatnya bertujuan mencari dasar-dasar yang kokoh bagi konstruksi ilmu pengetahuan, termasuk pertanyaan bagaimana terbentuknya sebuah kebudayaan ?.
            Bahasan kali ini, akan menunjuk lagsung pada bentuk dikotomistik pengetahuan, terutama akan difokuskan pada cirri-ciri epistemology modern, sebelum mendekonstruksinya dari sudut pemikiran beberapa tokoh yang sudah dibicarakan terdahulu.
            Sekitar pada abad ke 6 Sebelum Masehi, ketika cara berpikir radikal dan sistematik muncul di Yunani Kuno, sejak saat itu pula embrio/ benih budaya berpikir dikotomistik dikenal. Sebagai contoh pemikiran pemikiran yang berubah dan yang tetap dari Heracleitos dan Parmenides, dan pemikiran berikutnya dari Sokrates tentang realitas yang bercabang dua, yakni alam dan mansuia atau yang biasa disebut sebagai makrokosmos dan mikrokosmos.
            Murid Sokrates, yakni Plato dan Aristoteles lebih dalam lagi membahas tentang manusia, yakni pada potensi pengetahuannya. Berorientasi dari potensi ini, maka terbukalah cabang berpikir yang dikenal dengan istilah “epistemology”. Plato dalam hal ini membagi dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan murni dan pengetahuan tidak murni. Pengetahuan murni hanya dapat diperoleh pada dunia bentuk, yakni dunia idea, sedangkan pengetahuan tidak murni dapat diperoleh pada dunia keindrawian yang sifatnya tidak tetap sekalipun itu kongkrit. Jadi, menurut Plato bahwa hakekat manusia itu adalah idea. Akan tetapi Aristoteles menolak pembagian dua jenis dunia pengetahuan seperti itu, sebab manusia harus dilihat pada keberadaan realnya sebagai makluk yang memiliki kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara idea dan indra.
            Perbedaan antara pandangan Plato dan Aristoteles di atas mengembangkan benih cara berpikir dikotomistik menjadi system filsafat yang mengukir sejarah sistematika filsafat Barat dengan sebutan rasionalisme dan empirisme. Perjalanan selanjutnya, cara berpikir theosentris kemudian menguasai abad Pertengahan, sehingga hubungan antara theology dan filsafat di abad ini dapat dilihat sebagai semacam slogan yang sangat popular, yakni: “filsafat adalah hamba theology”.
            Tonggak lahirnya dunia pemikiran Modern yang ditandai dengan lepasnya filsafat dari pemahaman theology, terjadi pada Renaisance yang diikuti Reformasi. Cara berpikir dikotomistik di dalam epistemology kemudian timbul lagi, bahkan menjadi demikian subur dengan munculnya aliran rasionalisme yang sebagai tokohnya adalah Rene Descartes, dan empirisme yang tokohnya adalah John Locke dan David Hume. Dikatakan demikian subur, sebab epistemology digali tidak hanya di dalam ruang lingkup filsafat saja, melainkan dibangun bersama dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan seperti kosmologi, fisika, dan matematika. Dengan pendek kata bahwa kualitas abstrak term-term filsafat dihadapkan dengan kuantitas empiris ilmu-ilmu.
            Dikotomi rasionalisme dan empirisme di atas tidak memuaskan bagi Immanuel Kant, oleh sebab itu muncullah “kritisisme”, yang dikenal sebagai pemikiran “Kantian” (Suparlan Suhartono, 2007: 105). Namun usaha Immanuel Kant untuk mendamaikan ini juga membingungkan, yakni bila dilihat pada usahanya membagi realitas menjadi dua jenis, yaitu fenomena dan noumena. Immanuel Kant mengatakan, bahwa pikiran manusia hanya dapat mengenal dunia fenomena (gejala), sedangkan noumena (inti) tinggal di dalam dirinya sendiri (das ding an sich). Dunia fenomena berkaitan dengan urusan pengetahuan akal-budi kritis, sedangkan noumena berkaitan dengan urusan akal-budi praktis yang meliputi dua unsur besar, yakni moral dan agama.
            Pemikiran dikotomi Immanuel Kant di atas memunculkan nuansa baru, yang berupa suatu usaha sekularisasi pemisahan antara epistemology dan agama. Kedua dunia pemikiran ini tidak dapat langsung bersamaan hadir di dalam satu tatanan, sebab G. W. F. Hegel (1770-1831) dikemudian hari meradikalkan filsafat Immanuel Kant dengan pendirian bahwa “apa yang nyata adalah rasional, dan yang rasional adalah nyata” (Suparlan Suhartono, 2007: 106). Jadi, oleh Hegel dunia pemikiran  Immanuel Kant dinyatakan ke dalam satu substansi, yakni akal-budi. Sekalipu dalam sejarah pemikiran sewaktu-waktu rasio dan dunia nyata tampak bertentangan, tetapi pertentangan tersebut bersifat dialektis, yakni berupa thesis dan antithesis yang kemudian didamaikan dengan synthesis.
            Dalam dikotomi epistemologis di atas, bila diperhatikan secara saksama, akan tampak adanya persamaan yang sangat khas, yaitu baik rasionalisme, empirisme, maupun fenomenologi, semuanya sama berpedoman pada adanya dunia yang sudah given (terberi), sehingga pengetahuan manusia menjadi semacam representasi darinya. Dunia pemikiran semacam itulah yang memungkinkan manusia terlebih dahulu memiliki pegangan bahwa untuk membangun sebuah pengetahuan, pada langkah awalnya manusia harus memiliki acuan yang jelas. Jadi tiga cirri inilah yang menandai filsafat Modern itu, dan tiga cirri dimaksud, yakni: (1). Representasi; (2). Referensi; (3). Dikotomi.
            Realitas yang pluralis, tanpa perspektif, diskontinyuitas, dan tidak sistematis adalah fenomena akhir abad ke 20 memasuki abad ke 21 yang dihadapi saat ini. Fenomena baru ini pun manusia dibuatnya harus mau menganalisis baru. Warisan budaya berpikir dikotomi-modernis yang logikanya pilih salah satu, bila tidak idea maka empiri, tidak relevan lagi. Cara totalitarian seperti rasionalisme, empirisme, marxisme sampai pada fenomenologi tinggal menjadi cara berpikir klasik bila dihadapkan dengan fenomena baru saat ini. Manusia tidak lagi mencari esensi atau akar realitas, melainkan mencari relasi dari unsure-unsur yang ada. Relasi tersebut tidak dapat dilihat sebagai suatu gaya pertarungan atau gaya survive ala Carles Darwin (1809-1882) untara unsur yang kuat dan yang lemah, tetapi lebih merupakan suatu permainan. Logika relasi ini tidak bertujuan kalah atau menang, tetapi melihat realitas  sebagai sebuah arena seni. Logika relasi itu menjadi suatu pandangan oleh cara berpikir baru yang disebut dengan istilah “filsafat kontemporer”.
            Bertolak dari hal di atas, di sini akan dilhat sejenak pemikiran dari beberapa filsuf yang hadir pada akhir abad ke 20. Salah satunya adalah filsuf Jean Francois Lyotard (1924- ) mengatakan bahwa prinsip-prinsip pendidikan sekarang bukan lagi mementingkan “apakah sesuatu itu benar”, melainkan “apakah sesuatu itu dapat berguna” atau “apakah sesuatu itu dapat dijual”. Jadi dengan prinsip-prinsip yang lahir di akhir-akhir ini, tampak bahwa pemikiran manusia telah kehilangan dunia ideal yang dijunjung tinggi oleh semangat abad Pencerahan beberapa tahun silam.
            Pandangan Lyotard di atas, mendasari perdebatannya dengan Jurgen habermas (1929- ), yang masih cukup setia dengan proyek medernisasi, yang menurut anggapannya belum selesai, sebab dialog mengandaikan suatu gema rasionalitas, demi sebuah consensus. Bagi Lyotard cara berpikir seperti ini justru membahayakan keberagaman unsure yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Bahayanya adalah masyarakat akan dibawa ke sebuah bentuk kekuasaan totalitarian, bahkan dapat sebagai fasis.
            Dengan demikian kecenderungan yang aktualitas tampak bahwa “filsafat kontemporer” menolak adanya substansi-substansi, seperti dalam aliran Neokantianisme,dan aliran Metafisika Baru. Oleh sebab itu tampak bahwa dalam filsafat abad dewasa ini menaruh perhatian besar pada human person terutama nilai-nilai spesifik yang melekat pada human person.




D. Simpulan

1. Kata dekonstruksi berasal  sorang pemikir poststrukturalis Jacques Derrida yang artinya adalah “pembongkaran”.
2. Dekonstruksi pada hakekatnya adalah suatu setrategi insterpretasi, sehingga tetap dipakai Hermeneutika.
3. Penekanan filsafat Jacques Derrida pada teks merupakan keinginannya untuk merubah tradisi metafisis yang logosentrisme (pusat perhatian adalah logos/ rasio) ke arah suatu gramatologi (ilmu tentang tulisan, tanda-tanda atau ilmu tentang “tekstualitas”).
4. Jacques Derrida mengatakan bahwa kenyataan itu tidak ada apa-apa kecuali ada perbedaan-perbedaan saja, sehingga ia menegaskan bahwa differance itu bukan essensi, bukan sesuatu, dan bukan hidup.
5. Pengertian dekonstruksi pada poin 1 , hanya akan difokuskan pada bidang metafisika dan epistemologi.
6. Dekonstruksi metafisik tampak dari pemikiran Jacques Derrida tentang teks, ia mengartikan teks adalah sebagai ungkapan linguistic yang mengacu pada idea transcendental atau idea murni, seperti dalam filsafat yang berhadapan dengan konsep metafisik tentang “Ada”. Oleh sebab itu filsafat Jacques Derrida tampak jelas dekonstruksinya ditekankan pada teks, karena ia ingin mengubah tradisi metafisika yang mempreoritaskan “ucapan di atas tulisan”. Inilah dekonstruksi metafisik yang dimaksud,  mendekonstruksi metafisika bukan berarti bahwa metafisika itu omong-kosong, bukan berarti menulis tentang dekonstruksi metafisika lalu tulisannya bebas dari metafisik.
7. Dekonstruksi epistemology tampak pada fenomena seperti manusia tidak lagi mencari esensi atau akar realitas, melainkan mencari relasi dari unsure-unsur yang ada. Relasi tersebut tidak dapat dilihat sebagai suatu gaya pertarungan atau gaya survive ala Carles Darwin (1809-1882) antara unsur yang kuat dan yang lemah, tetapi lebih merupakan suatu permainan. Logika relasi ini tidak bertujuan kalah atau menang, tetapi melihat realitas  sebagai sebuah arena seni. Logika relasi itu menjadi suatu pandangan oleh cara berpikir baru yang disebut dengan istilah “filsafat kontemporer”.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, 2009, Filsafat Umum, Bandung, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya
Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada
Bertens, K., 1985, Sejarah Filsafat Barat, jilid II, Jakarta, PT. Gramedia
Caputo, J.H., 1987, Radical Hermeneutics, Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press
Deerida, J., 1978, Writing and Difference, USA, The University of Cicago Press
Lawson, H., 1985, Reflexivity, Open Court, La Salle, Illiois
Llewelyn, J., 1986, Derrida on The Threshold of Sense, New York, St. Martin’s Press
Madison, G. B., 1988, The Hermeneutics of Postmodernity, Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press
Norris, Ch., 1983, Deconstruction: Theory and Practice, London and New York, Methuen
Suparlan Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media Group
Wasito Poespoprodjo, 1985, Bandung, Disertasi Universitas Pejajaran