METODE DEKONSTRUKSI SUATU
FENOMENA FILSAFAT
MEMASUKI ABAD KE-21
Oleh: Sudadi.
ABSTRACT
The word itself comes from the deconstruction of the "champion" poststructuralists, namely a 20th-century philosopher Jacques Derrida (1930). Deconstruction is essentially a strategy of interpretation, therefore, still used in the deconstruction of hermeneutics. Jacques Derrida collect a lot of text which are then commented upon and criticized, but keep in mind that his comments are very special form, because he does not just make comments about the text, but he thinks it step by step. Jacques Derrida in drafting the text to "dismantle" other texts, then he tried to put them beyond the texts that have been dismantled, saying something that is not said in the texts themselves. Procedure as has been mentioned that, then by Jacques Derrida called deconstruction (Indonesia: Pembongkaran). Departing from the understanding of the notion of deconstruction, the deconstruction of philosophical this time will only be focused on the areas of metaphysics and epistemology.
Metaphysical deconstruction of Jacques Derrida looks of thinking about the text, he defines the text is a linguistic expression that refers to the idea of transcendental or pure idea, as in the philosophy of dealing with the metaphysical concept of "Any". Therefore the philosophy evident dekonstruksinya Jacques Derrida emphasized in the text, because he wanted to change the tradition of metaphysics that mempreoritaskan "remarks on the text." This deconstruction is metaphysical.
Deconstruction of epistemology looks at phenomena like humans are no longer looking for the essence or root of reality, but rather seek relationships of the elements that exist. This relation can not be seen as a style or a style battle between elements of the strong survive and the weak, but rather a game. The logic of this relation does not aim to lose or win, but look at reality as an arena of art. Logic relations into a view of the new way of thinking is referred to as "contemporary philosophy".
ABSTRAK
Kata
dekonstruksi sendiri berasal dari sang “jagoannya” poststrukturalis,
yakni seorang filsuf abad ke-20 Jacques
Derrida (1930). Dekonstruksi pada hakikatnya adalah suatu strategi
interpretasi, oleh sebab itu dalam dekonstruksi tetap dipakai hermeneutika. Jacques
Derrida mengumpulkan banyak teks yang kemudian dikomentari dan dikritik, namun
perlu diketahui bahwa komentarnya berbentuk sangat khusus, sebab ia tidak
begitu saja memberi komentar tentang teksnya, melainkan ia berpikir selangkah
demi selangkah. Jacques Derrida dalam menyusun teksnya dengan “membongkar”
teks-teks lain, kemudian ia dalam menyusunnya berusaha melebihi teks-teks yang
telah dibongkarnya, dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam
teks-teks itu sendiri. Prosedur seperti telah disebutkan itu, maka oleh Jacques
Derrida disebut deconstruction (Indonesia: pembongkaran). Bertolak dari
pemahaman tentang pengertian dekonstruksi, dalam dekonstruksi filosofis kali
ini hanya akan difokuskan pada bidang metafisika dan epistemologi.
Dekonstruksi
metafisik tampak dari pemikiran Jacques Derrida tentang teks, ia mengartikan
teks adalah sebagai ungkapan linguistic yang mengacu pada idea transcendental
atau idea murni, seperti dalam filsafat yang berhadapan dengan konsep metafisik
tentang “Ada”. Oleh sebab itu filsafat Jacques Derrida tampak jelas
dekonstruksinya ditekankan pada teks, karena ia ingin mengubah tradisi
metafisika yang mempreoritaskan “ucapan di atas tulisan”. Inilah dekonstruksi
metafisik yang dimaksud.
Dekonstruksi
epistemology tampak pada fenomena seperti manusia tidak lagi mencari esensi
atau akar realitas, melainkan mencari relasi dari unsur-unsur yang ada. Relasi
tersebut tidak dapat dilihat sebagai suatu gaya pertarungan atau gaya survive antara unsur yang kuat dan yang
lemah, tetapi lebih merupakan suatu permainan. Logika relasi ini tidak
bertujuan kalah atau menang, tetapi melihat realitas sebagai sebuah arena seni. Logika relasi itu
menjadi suatu pandangan oleh cara berpikir baru yang disebut dengan istilah
“filsafat kontemporer”.
A.Pendahuluan
Menyimak
latar belakang pemikiran filosofis dan sosiologis, filsafat di akhir abad ke-20
sangat dominan bahwa semangat dekonstruksi sebagai semangat pembebasan tampak jelas. Kata dekonstruksi sendiri
berasal dari sang “jagoannya” poststrukturalis,
yakni seorang filsuf abad ke-20 Jacques
Derrida (1930) yang kesohor dengan tulisannya yang dirangkum dalam buku De La Grammatologie (Norris, Ch., 1983:
28).
Dekonstruksi
pada hakikatnya adalah suatu strategi interpretasi (Madison, G. B., 1988: 109).
Oleh karena itu dalam dekonstruksi tetap dipakai hermeneutika. Jacques Derrida
dalam realisasi pemakaian metode dekonstruksi selalu berasumsi bahwa semua teks
bebas didekonstruksi. Jacques Derrida mengumpulkan banyak teks (karya-karya),
seperti: filsafat, ilmu pengetahuan, dan sastra, yang kemudian dikomentari dan
dikritik. Namun perlu diketahui bahwa komentar Jacques Derrida bentuknya sangat
khusus, sebab ia tidak begitu saja memberi komentar tentang teksnya, melainkan
ia berpikir selangkah demi selangkah. Jacques Derrida dengan memberi komentar
teks-teks itu, kemudian menyajikan teks baru. Jacques Derrida dalam menyusun
teksnya sendiri, yakni dengan “membongkar” teks-teks lain, kemudian ia dalam
menyusunnya berusaha melebihi teks-teks yang telah dibongkarnya, dengan
mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam teks-teks itu sendiri. Prosedur
seperti telah disebutkan itu, maka oleh Jacques Derrida disebut deconstruction
(Indonesia: pembongkaran) (Caputo, J., H., 1987: 6).
Pemikiran
Jacques Derrida tersebut, karena inspirasinya yang diperoleh dari Martin
Heidegger (Th. 1889-1976). Heidegger dalam buku Being and Time meletakkan suatu destruction
(Indonesia: penghancuran) terhadap metafisika kehadiran yang telah dianut oleh
Hegel, Husserl, dan tradisi metafisika secara menyeluruh (Llewelyn, J., 1986:
1).
B. Jacques Derrida Dan
Filsafatnya
Jacques
Derrida dipandang sebagai pemimpin filsafat Perancis Kontemporer bersama dengan
Jacques Lacan dan Michel Foucoult. Jacques Derrida lahir tahun 1930 di Algeria,
dan belajar di Ecole Normale Superieure, Perancis. Ia juga pernah mnejabat
sebagai Profesor Sejarah Filsafat di almamaternya, dan pernah menjadi “a visiting professorship” (guru besar
tamu) di Universitas Yale, serta nampak tulisan-tulisannya bersifat parasitisme (Llewelyn, J., 1986: X).
Hampir
semua tulisan Jacques Derrida yang merupakan karyanya adalah sebagai komentar
terhadap karya-karya pemikir lain. Di antara sebagian besar karya Jacques
Derrida merupakan kajian dan kritik terhadap karya Husserl dan Heidegger, di
samping perhatiannya terhadap aturan dan fungsi bahasa, hal ini juga karena
pengaruhnya dari Ferdinand de Saussure dan perkembangan semiologi (ilmu tentang
tanda/ sign) (Lawson, H., 1985: 92).
Khususnya terhadap Heidegger, bahwa Jacques Derrida sendiri mengakui dengan
terus terang, bila ia berhutang budi pada filsuf Jerman itu. Ia berkata bahwa
“segala sesuatu yang saya usahakan ini tidak mungkin tanpa lingkup keterbukaan
yang diciptakan oleh pemikir besar Heidegger (Bertens, K., 1985: jilid II/
493).
Filsafat
Jacques Derrida disebut filsafat dekonstruksi (pembongkaran). Filsafat
dekonstruksi merupakan serangan terhadap apa yang oleh Jacques Derrida disebut
sebagai the Metaphysics of presence (Indoneis:
matafisika kehadiran), termuat di dalamnya hermeneutika yang disebut
sebagai the metaphysics of meaning and truth (metafisika makna dan
kebenaran) (Caputo, J., H., 1987: 95). Pandangan Jacques Derrida ini mendapat
inspirasi dari Heidegger. Dalam Being ang Time, Heidegger meletakkan suatu destruction (penghancuran) terhadap
metafisika kehadiran yang dianut oleh Hegel, Husserl dan tradisi metafisis
secara keseluruhan (Llewelyn, 1986: 32). Heidegger mengatakan bahwa sejarah
filsafat ditandai “lupa akan ada (Jerman: seinvergessenheit)”. “Ada” yang
bukan “ada khusus” dipandang dan diperlakukan sebagai “ada khusus” yang ada
adalah “objek (Gegenstand)” (Wasito Poespoprodjo, 1985: 66), seperti: eidos, arche, telos, energeia, ousia
(essence, existence, substance, subject), aletheia, trancendentality,
consciousness, God, man, dan lain-lain (Bernasconi, R,. 1978: 184). Oleh
sebab itu, dalam metafisika kehadiran “ada” selalu dipahami sebagai suatu
kehadiran, yaitu hadir untuk sesuatu. Sebagai contohnya pada Hegel, yakni:
“ada” yang hadir selalu dipahami sebagai hadir bagi dirinya sendiri, atau “ada”
hadir dimengerti sebagai “Roh”. Pengandaian tentang kehadiran itu menjiwai juga
seluruh fenomenologi Husserl. Jadi seluruh tradisi metafisis cenderung ke arah
“ada” yang hadir bagi dirinya sendiri, terlepas dengan ceritera di mana dan
kapan “ada” yang hadir itu ditampilkan. Namun halnya berbeda dengan pandangan
Jacques Derrida, sebab bagi Derrida bahwa tradisi metafisis itu ditolaknya.
Jacques Derrida mengatakan, bahwa “kehadiran selalu berarti here and now (di sini dan sekarang)”
(Lawson, H,. 1985: 97), sehingga ia tidak dapat dilepaskan dari kapan dan di
mana kehadiran itu ditampilkan. “Kehadiran” bukan merupakan sebagai suatu
instansi yang independen yang mendahului perkataan dan tulisan manusia,
melainkan sebaliknya ditampilkan dalam perkataan dan tulisan manusia, yakni
dalam “tanda” yang dipakainya. “Kehadiran” harus dimengerti sebagai suatu
system “tanda” (Bertens, K,. 1985: 495).
Dalam
tardisi metafisis, tanda selalu menghadrikan sesuatu yang tidak hadir. Namun
menurut Jacques Derrida, bahwa tanda menunjukkan sesuatu totalitas yang lain
dari pada dirinya sendiri (Lawson, H,.: 1985: 98). Tidak ada makna murni yang
dapat diabstraksikan dari tanda, menurutnya. Oleh sebab itu, tidak ada tanda
yang independen dengan penanda (Lawson, H,.: 1985: 99). Dengan istilah lain
bahwa “tidak ada apa-apa di balik tanda”, yang oleh Jacques Derrida bahwa
rajutan atau jaringan tanda itu disebutnya sebagai “teks” atau “tenunan”.
Penekanan
filsafat Jacques Derrida pada teks merupakan keinginannya untuk merubah tradisi
metafisis yang logosentrisme (pusat
perhatian adalah logos/ rasio) ke arah suatu gramatologi (ilmu tentang tulisan, tanda-tanda atau ilmu tentang
“tekstualitas”). Tradisi metafisis disebut logosentrisme, sebab memprioritaskan
tuturan di atas tulisan. Antara lain hal itu tampak jika pemikiran dimengerti
sebagai tuturan; logos (pemikiran) adalah phone (percakapan). Dengan demikian,
rasionalitas diskursus metafisis itu sendiri mempunyai kecenderungan untuk
melupakan dan meremehkan tulisan (Bertens, K., 1985: 495).
Istilah
writing (tulisan) mendapat tempat
khusus dalam filsafat Jacques Derrida. Ia menggunakan istilah tulisan dalam
pengertian dalam pengertian yang agak berbeda. Hal ini bisa dipahami, sebab
kadang-kadang ia menunjuk pengertian khusus pada tulisan sebagai Arche-writing (Lawson, H., 1985: 98). Arche tulisan adalah sumber tuturan dan
tulisan. Menurut Jacques Derrida, bahwa setiap macam bahasa menurut kodratnya
adalah tulisan, sebab tulisan adalah fakta yang mendahului bahasa, maka tulisan
harus dipahami sebelum tuturan (Norris, Ch., 1983: 28). Labih dari itu, bahwa
tulisan dianggap sebagai sumber seluruh
aktivitas budaya (Norris, Ch., 1983: 32).
Konsep
yang oleh filsafar Jacques Derrida dikatakan penting adalah konsep differance. Dalam bahasa Perancis, kata differer memiliki dua makna, yakni:
“menjadi tidak sama” atau “berbeda” (tobe
unequal), dan “menangguhkan” atau “menunda” (to put off, to postphone) (Lawson, H., 1985: 105). Dalam filsafat
Jacques Derrida istilah itu memiliki makna yang jauh lebih rumit.
Pemikiran
Jacques Derrida tentang differance adalah
disebabkan pengaruhnya dari Heidegger dan Ferdinand de Saussure. Heidegger
menggunakan istilah Dif-ference
(dengan tanda hubung) yang berarti dunia dan sesuatu (thing) menjadi Being
dalam relasi (Lawson, H., 1985: 107). Heidegger juga menggunakan istilah ontologische Differenz atau “perbedaan
ontologism”, yaitu perbedaan antara “ada” dan “ada-khusus”. Ferdinand de
Saussure menggunakan istilah differance
dalam kaitannya dengan bahasa. Saussure mengatakan : in language there is nothing, but, differences (Madison, G. B.,
1988: 111). Menurut Saussure, bahwa bahasa tidak terdiri dari ide-ide atau
bunyi-bunyi yang sudah mendahului system linguistic, namun hanya ada
perbedaan-perbedaan dan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh system tanda.
Jika
Saussure mengatakan “in language there is
nothing, but differences”, Jacques Derrida menambah “there is nothing but differences” (Madison, G. B., 1988: 111).
Dengan demikian Saussure menekankan bahwa dalam bahasa itu hanya ada
perbedaan-perbedaan system tanda, maka bagi Jacques Derrida lebih jauh lagi,
yakni bahwa kenyataan itu tidak ada apa-apa kecuali ada perbedaan-perbedaan
saja. Sehingga Jacques Derrida menegaskan bahwa differance itu bukan essensi,
bukan sesuatu, dan bukan hidup (Derrida, J., 1978: 203). Jadi kata differance tidak boleh disebut sebagai
“ada”, sebab jika demikian, maka akan kembali pada logosentrisme.
Minimal
ada empat makna tentang istilah “differance”
dalam filsafat Jacques Derrida, anatara lain:
(1). Menunjuk kepada apa yang menunda
kehadiran;
(2). Gerak yang mendeferensiasikan;
(3). Produksi semua perbedaan yang
merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dan struktur;
(4). Menunjuk kepada berlangsungnya
perbedaan “ada” dan “ada-adaan” (ada khusus).
Akhirnya differance tidak boleh dibayangkan sebagai “asal-usul”, sebagai identitas
yang melebihi semua perbedaan (Bertens, K., 1985: jilid II/ 502).
C. Metode Dekonstruksi
1. Asumsi Dasar
Kenyataan
pada dasarnya adalah sebuah teks. Istilah sebagai teks dipakai oleh Jacques
Derrida dalam arti yang agak luas daripada istilah sehari-hari, sebab baginya segala
sesuatu yang ada mempunyai status sebagai teks. Sebagaimana telah dijelaskan di
awal tulisan ini, teks adalah rajutan tanda. Namun apakah sebenarnya yang
dimaksud teks itu ?, hal ini Jacques Derrida mengatakan : “a tex… is henceforth no longer a finished corpus of writing, some
content enclosed in a book or its margins, but a differential network, a fabric
of trace referring endlessly to something other than itself, to other differential
trace” (Madison, G. B., 1988: 120).
Dengan demikian bagi Jacques Derrida
tidak ada makna yang melebihi teks dan hadir bagi pemikiran yang terlepas dari teks. Tidak ada sesuatu yang
eksis lepas dari susunan teks. Seperti dikatakan oleh Jacques Derrida: “nothing outside the tex; Il n’y a pas de
hors texte” (Madison, G. B., 1988: 111). Dengan demikian jelas bahwa bagi
Jacques Derrida tidak menerima makna transenden yang berada di balik teks atau
tanda. Bagi Jacques Derrida yang penting adalah karena segala sesuatu berstatus
sebagai teks, maka ia bebas diinterpretasi dan didekonstruksi (dibongkar).
Namun karena begitu banyak karya yang dikomentarinya, sering kurang mendalam.
Tidak jarang dari komentar-komentarnya menghasilkan kesimpulan yang aneh dan ekstrim.
2. Hermeneutika-dekonstruksi
Hermeneutika-dekonstruksi
adalah metode yang dipakai oleh Jacques Derrida, dan baginya dekonstruksi
merupakan suatu strategi interpretasi (Madison, G. B., 1988: 119). Jacques
Derrida mengatakan bahwa dengan hermeneutika ia berusaha memahami makna
“kebenaran” suatu teks. Namun perlu diketahui bahwa makna kebenaran itu bukan
sebagaimana yang dimaksud oleh hermeneutika naïf, sehingga sering dikatakan
bahwa hermeneutika Jacques Derrida ini sebagai cold hermeneutics yang tidak percaya kepada kebenaran (Caputo, J.,
H,. 1987: 189). Jadi yang ditekankan dalam metode itu adalah suatu free-play (Perancis: la jeu) terhadap
suatu teks, dan tujuan interpretasi bukan menemukan kebenaran tetapi suatu
kebebasan, dan suatu permainan parody (Madison, G. B., 1988: 108).
Metode
hermeneutika-dekonstruksi dipandang sebagai suatu teknik membaca, suatu
strategi atau taktik membaca untuk menemukan suatu blind spot (kelemahan) suatu teks. Namun demikian strategi itu
tanpa batas akhir (final), dan Jacques
Derrida sendiri menyebutnya sebagai unfinished
movement (Caputo, J., H,. 1987: 192). Oleh sebab itu dekonstruksi yang pada
hakekatnya suatu aktivitas pendekatan terhadap teks tidak pernah selesai.
3. Konsep-konsep Baru
Sebagai
alternative dari aktifitas dekonstruksi, maka Jacques Derrida lalu menciptakan
beberapa konsep baru. Beberapa konsep baru dimaksud oleh Jacques Derrida, ada
kemungkinan pernah disebutkan atau bahkan dipakai oleh para pemikir sebelumnya,
namun dalam pemikirannya Jacques Derrida mengambil makna yang lebih rumit
terhadap beberapa konsep yang telah dipakai pemikir sebelumnya. Contoh dari
beberapa konsep yang dipakai oleh Jacques Derrida, seperti: writing, defference, trace, dan lain
sebagainya.
Konsep
writing dan defference telah diuraikan di atas, sedangkan konsep trace (bekas, jejak) digunakan Jacques
Derrida untuk memahami tanda. Pandangan Jacques Derrida tentang tanda,
seolah-olah memutar balikkan pandangan tradisi metafisis dengan mengatakan
bahwa kehadiran harus dimengerti sebagai tanda. Namun yang perlu dipahami,
adalah apakah yang dimaksud tanda itu ?, Jacques Derrida mengartikan tanda
sebagai suatu trace.
Jacques
Derrida dalam menjelaskan tentang trace
ini memang sangat sulit dipahami, namun ada beberapa ”kata kunci” (key words) untuk memahami trace. Trace (bekas) tidak mempunyai substansi atau bobot tersendiri,
tetapi hanya menunjuk. Bekas tidak dapat dimengerti tersendiri (terisolir dari
segala sesuatu yang lain), namun hanya sejauh menunjuk pada hal-hal lain. Bekas
mendahului objek. Bekas itu sebenarnya bukan efek, melainkan sebagai penyebab.
Jacques Derrida mengatakan, bahwa paham ini memungkinkan untuk memikirkan
kehadiran sebagai efek dari bekas itu. Jadi dengan tegas Jacques Derrida
mengatakan, bahwa kehadiran tidak lagi merupakan suatu asali, melainkan
diturunkan dari bekas (Bertens, K., 1985: jilid II/ 495).
4. Dekonstruksi Metafisika dan Epistemologi
Bertolak
dari pemahaman tentang pengertian dekonstruksi di atas, dalam dekonstruksi
filosofis kali ini hanya akan difokuskan pada bidang metafisika dan
epistemologi. Sebab keduanya, yakni metafisika dan epistemology sangat erat
hubungannya, yakni apa yang “Ada” (metafisika) exoffisio mengandaikan pada apa
yang “diketahui” (epistemology).
1). Dekonstruksi Metafisika
Jika
berbicara tentang metafisika, maka sudah tentu bahwa ia mempunyai sejarah yang
panjang, terutama sejak abad Pencerahan (Aufklarung)
menembus dalam ruangan filsafat Modern. Pada abad Kuno, seperti Aristoteles
(384-322 SM) mengatakan bahwa metafisika itu adalah filsafat pertama, yakni
dalam usaha memahami realitas, yang kemudian dari sana muncul segala bangunan
pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan. Jelasnya adalah suatu usaha filosofis
untuk menemukan inti/ dasar/ substansi/ akar dari realitas (Yunani: Arche). Usaha ini, seperti tampak dari
dua jawaban besar, yang cenderung kontradiktif, yakni: di satu pihak realitas
adalah materi, sedangkan di lain pihak realitas adalah idea. Kedua-duanya
mempunyai keyakinan, bahwa dengan masing-masing jawaban itu, ilmu pengetahuan
dapat dibangun (Suparlan Suhartono, 2007: 117).
Pertanayaan
dasar mengapa metafisika menjadi penting di dalam filsafat, karena metafisika
dapat menghantarkan manusia pada suatu keyakinan terhadap adanya sesuatu.
Dengan demikian bila sesuatu itu dikatakan ada, maka dengan sendirinya manusia
sadar bahwa sesuatu itu tidak sembarangan keber”ada”annya, melainkan pasti ada
yang menopang di baliknya. Sebagai penopang itu, apakah itu materi atau idea,
namun yang jelas manusia mempunyai satu dasar argumentasi untuk sebuah
pertanggung jawaban ilmiah.
Lain
halnya dengan pemikiran Immanuel Kant (1724-1804) sebagai seorang agen kuat
dalam membangun dasar-dasar filosofis Pencerahan (Aufklarung), ia menganggap bahwa metafisika tidak dapat dianggap
sebagai bangunan dasar ilmu pengetahuan, sebab di dalamnya terdapat
kontradiksi-kontradiksi logis tentang realita yang mungkin ada dan mungkin
tidak ada. Jika metafisika berbicara tentang sesuatu di balik realita fisik,
maka akal budi tentu tidak dapat menjangkau sesuai dengan hukum-hukum
kausalitas ilmu pengetahuan.
Immanuel
Kant sudah barang tentu tidak secara radikal dan structural menghancurkan
metafisika. Metafisika adalah substansi dari segala sesuatu yang mungkin ada
dan menjadi kekuatan yang sifatnya regulative
(Amsal Bakhtiar, 2004:49). Artinya, bahwa idea-idea metafisika murni, seperti
kosmologis, psykologis, dan theologies, tidak mungkin langsung berurusan dengan
problem sebab akibat dalam dunia fenomena. Idea-idea ini eksis hanya sebatas
pengatur bagi gagasan-gagasan yang diperoleh lewat proses pengenalan inderawi
dan akal budi.
Bagi
Immanuel Kant, untuk ini tidak lagi menanyakan apakah realitas itu, malainkan
menanyakan bagaimanakah pengetahuan terhadapnya mungkin, sehingga epistemology lalu diprioritaskan. Bagi
Immanuel Kant, masalah selanjutnya ialah bagaimana manusia mengenal
syarat-yarat akal budi itu sendiri. Jadi dari cara berpikir metafisik yang
sudah menjadi landasan utama dalam sejarah filsafat, yakni: dari bagaimana
akal-budi memahami dunia transemden (seberang sana), menjadi bagaimana akal
budi mengenal syarat-syarat di dalam dunianya sendiri, orientasi berpikir
seperti ini oleh Immanuel Kant disebutnya sebagai revolusi dalam berpikir.
Serangan Immanuel Kant terhadap metafisika perlu diketahui bahwa sebenarnya
tinggal meneruskan dan juga merekonstruksi dari anti metafisika David Hume.
David Hume (1711-1776) adalah pelopor aliran empirisme, yang terkenal dengan
gaya skeptisismenya, ia menolak dasar-dasar logis adanya dunia transenden,
bahkan menolak adanya kausalitas dalam ilmu pengetahuan. Bagi David Hume
kausalitas hanya muncul dari suatu kebiasaan atau keyakinan yang tak
berdasarkan pada yang real (Ahmad Tafsir, 2009: 173). Jadi secara logis bila
dibicarakan tentang adanya “anti” sebagai term kontradiktif, maka pasti ada
term “pro”. Oleh sebab itu sistematika filsafat Barat diwarnai oleh anti dan
pro metafisika, seperti dari Descartes, Hegel, Bergson, hingga ke phenomenology Edmund Husserl adalah
nama-nama yang memantapkan cara berpikir metafisik. Mereka sama-sama yakin pada
asumsi bahwa tidak mungkin sesuatu itu ada atau eksis, bila tidak ada sesuatu
yang menopang di baliknya.
Seperti
telah dijelaskan di depan, bahwa Jacques Derrida tidak beda jauh dan bahkan
mendapat inspirasi dari Martin Heidegger, ia dengan metode dekonstruksinya pun
mengkritik filsafat Barat sebelum jamannya, termasuk abad Modern, terutama
tentang metafisikanya. Latar belakang yang mempengaruhi analisis Jacques
Derrida terhadap sejarah metafisika, yakni dari model bahasa structural
Ferdinand de Saussure (Bertens, K., 1985, Jilid II: 381). Namun ketika Jacques
Derrida tahu bahwa model bahasa Ferdinand de Saussure tidak dapat lepas dari
cara berpikir metafisika yang akan didekonstruksinya, maka ia pun mengambil
jalan lain, yakni konsentrasi ke persoalan metafisika.
Jacques
Derrida yang sangat concentrate
terhadap pemikiran Barat, mengatakan bahwa cirri khas pemikiran Barat adalah
“Ada” dimengerti sebagai “kehadiran”. Pemikirannya tentang “Ada” sebagai kehadiran,
Jacques Derrida menyebutnya metafisika, hal ini akan tampak jelas bila dilihat
ajaran metafisikanya tentang tanda (Bertens, K., 1985, Jilid II: 499).
Tanda
dalam tradisi metafisis selalu menghadirkan yang tidak hadir. Tanda menurut
Jacques Derrida tidak menunjukkan suatu totalitas yang lain dari dirinya
sendiri (Lawson, H., 1985: 95). Tanda tidak dapat mengabstraksikan makna murni,
dan tidak ada tanda yang independen dengan penanda (Derrida, J., 1978: 204).
Objek-objek muncul dari jaringan tanda-tanda,dan jaringan tanda itu disebut
teks. Istilah teks menurut Jacques Derrida adalah dalam arti yang agak luas
dari arti biasa, yakni; kembali pada arti asli kata teks yang berasal dari kata
latin “textere”, artinya menenun.
Jadi kata teks dipakai dalam arti yang lebih dari makna biasa, karena itu
menurut Jacques Derrida, segala sesuatu adalah teks atau berstatus sebagai teks
(Derrida, J., 1978: 210).
Beranjak
dari pemikiran Jacques Derrida tentang teks, ia mengartikan teks adalah sebagai
ungkapan linguistic yang mengacu pada idea transcendental atau idea murni,
seperti dalam filsafat yang berhadapan dengan konsep metafisik tentang “Ada”.
Oleh sebab itu filsafat Jacques Derrida tampak jelas dekonstruksinya ditekankan
pada teks, karena ia ingin mengubah tradisi metafisika yang mempreoritaskan
“ucapan di atas tulisan”. Ia tidak pernah bermaksud menghilangkan idea-idea
transcendental, seperti yang disebutkan darinya, yakni mendekonstruksi
metafisika bukan berarti bahwa metafisika itu omong-kosong, bukan berarti
menulis tentang dekonstruksi metafisika lalu tulisannya bebas dari metafisik.
2). Dekonstruksi Epistemologi
Epistemologi
adalah usaha filosofis untuk menemukan asal-usul struktur, dan batas-batas
pengetahuan. Jika dalam metafisika realitas dikenal dengan jawaban dikotomistik
antara idealisme dan materialisme, maka dalam epistemology, kedua istilah ini terwakili oleh istilah yang
dikenal dengan aliran rasionalisme dan empirisme. Istilah lain yang mungkin
lebih diakrabi, ialah pengetahuan subjektif (rasionalisme) dan pengetahuan
objektif (empirsme).
Epistemology sangat berguna bagi
filsafat dan disiplin ilmu lainnya, sebab ia berusaha mengantar manusia pada
sebuah keyakinan mengenai proses terbentuknya pengetahuan. Sebagai contohnya,
yakni pemisahan penegatahuan subjektif dan objektif, pada hakekatnya bertujuan
mencari dasar-dasar yang kokoh bagi konstruksi ilmu pengetahuan, termasuk
pertanyaan bagaimana terbentuknya sebuah kebudayaan ?.
Bahasan
kali ini, akan menunjuk lagsung pada bentuk dikotomistik pengetahuan, terutama
akan difokuskan pada cirri-ciri epistemology
modern, sebelum mendekonstruksinya dari sudut pemikiran beberapa tokoh yang
sudah dibicarakan terdahulu.
Sekitar
pada abad ke 6 Sebelum Masehi, ketika cara berpikir radikal dan sistematik
muncul di Yunani Kuno, sejak saat itu pula embrio/ benih budaya berpikir
dikotomistik dikenal. Sebagai contoh pemikiran pemikiran yang berubah dan yang
tetap dari Heracleitos dan Parmenides, dan pemikiran berikutnya dari Sokrates
tentang realitas yang bercabang dua, yakni alam dan mansuia atau yang biasa
disebut sebagai makrokosmos dan mikrokosmos.
Murid
Sokrates, yakni Plato dan Aristoteles lebih dalam lagi membahas tentang
manusia, yakni pada potensi pengetahuannya. Berorientasi dari potensi ini, maka
terbukalah cabang berpikir yang dikenal dengan istilah “epistemology”. Plato dalam hal ini membagi dua jenis pengetahuan,
yakni pengetahuan murni dan pengetahuan tidak murni. Pengetahuan murni hanya
dapat diperoleh pada dunia bentuk, yakni dunia idea, sedangkan pengetahuan
tidak murni dapat diperoleh pada dunia keindrawian yang sifatnya tidak tetap
sekalipun itu kongkrit. Jadi, menurut Plato bahwa hakekat manusia itu adalah
idea. Akan tetapi Aristoteles menolak pembagian dua jenis dunia pengetahuan
seperti itu, sebab manusia harus dilihat pada keberadaan realnya sebagai makluk
yang memiliki kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara idea dan indra.
Perbedaan
antara pandangan Plato dan Aristoteles di atas mengembangkan benih cara
berpikir dikotomistik menjadi system filsafat yang mengukir sejarah sistematika
filsafat Barat dengan sebutan rasionalisme dan empirisme. Perjalanan
selanjutnya, cara berpikir theosentris
kemudian menguasai abad Pertengahan, sehingga hubungan antara theology dan
filsafat di abad ini dapat dilihat sebagai semacam slogan yang sangat popular,
yakni: “filsafat adalah hamba theology”.
Tonggak
lahirnya dunia pemikiran Modern yang ditandai dengan lepasnya filsafat dari
pemahaman theology, terjadi pada Renaisance yang diikuti Reformasi. Cara
berpikir dikotomistik di dalam epistemology
kemudian timbul lagi, bahkan menjadi demikian subur dengan munculnya aliran
rasionalisme yang sebagai tokohnya adalah Rene Descartes, dan empirisme yang
tokohnya adalah John Locke dan David Hume. Dikatakan demikian subur, sebab
epistemology digali tidak hanya di dalam ruang lingkup filsafat saja, melainkan
dibangun bersama dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan seperti kosmologi, fisika,
dan matematika. Dengan pendek kata bahwa kualitas
abstrak term-term filsafat dihadapkan dengan kuantitas empiris ilmu-ilmu.
Dikotomi
rasionalisme dan empirisme di atas tidak memuaskan bagi Immanuel Kant, oleh
sebab itu muncullah “kritisisme”, yang dikenal sebagai pemikiran “Kantian”
(Suparlan Suhartono, 2007: 105). Namun usaha Immanuel Kant untuk mendamaikan
ini juga membingungkan, yakni bila dilihat pada usahanya membagi realitas
menjadi dua jenis, yaitu fenomena
dan noumena. Immanuel Kant
mengatakan, bahwa pikiran manusia hanya dapat mengenal dunia fenomena (gejala),
sedangkan noumena (inti) tinggal di dalam dirinya sendiri (das ding an sich). Dunia fenomena berkaitan dengan urusan
pengetahuan akal-budi kritis, sedangkan noumena berkaitan dengan urusan
akal-budi praktis yang meliputi dua unsur besar, yakni moral dan agama.
Pemikiran
dikotomi Immanuel Kant di atas memunculkan nuansa baru, yang berupa suatu usaha
sekularisasi pemisahan antara epistemology dan agama. Kedua dunia
pemikiran ini tidak dapat langsung bersamaan hadir di dalam satu tatanan, sebab
G. W. F. Hegel (1770-1831) dikemudian hari meradikalkan filsafat Immanuel Kant
dengan pendirian bahwa “apa yang nyata
adalah rasional, dan yang rasional adalah nyata” (Suparlan Suhartono, 2007:
106). Jadi, oleh Hegel dunia pemikiran
Immanuel Kant dinyatakan ke dalam satu substansi, yakni akal-budi.
Sekalipu dalam sejarah pemikiran sewaktu-waktu rasio dan dunia nyata tampak
bertentangan, tetapi pertentangan tersebut bersifat dialektis, yakni berupa
thesis dan antithesis yang kemudian didamaikan dengan synthesis.
Dalam
dikotomi epistemologis di atas, bila diperhatikan secara saksama, akan tampak
adanya persamaan yang sangat khas, yaitu baik rasionalisme, empirisme, maupun
fenomenologi, semuanya sama berpedoman pada adanya dunia yang sudah given (terberi), sehingga pengetahuan
manusia menjadi semacam representasi
darinya. Dunia pemikiran semacam itulah yang memungkinkan manusia terlebih
dahulu memiliki pegangan bahwa untuk membangun sebuah pengetahuan, pada langkah
awalnya manusia harus memiliki acuan yang jelas. Jadi tiga cirri inilah yang
menandai filsafat Modern itu, dan tiga cirri dimaksud, yakni: (1).
Representasi; (2). Referensi; (3). Dikotomi.
Realitas
yang pluralis, tanpa perspektif, diskontinyuitas, dan tidak sistematis adalah
fenomena akhir abad ke 20 memasuki abad ke 21 yang dihadapi saat ini. Fenomena
baru ini pun manusia dibuatnya harus mau menganalisis baru. Warisan budaya
berpikir dikotomi-modernis yang logikanya pilih salah satu, bila tidak idea
maka empiri, tidak relevan lagi. Cara totalitarian seperti rasionalisme,
empirisme, marxisme sampai pada fenomenologi tinggal menjadi cara berpikir
klasik bila dihadapkan dengan fenomena baru saat ini. Manusia tidak lagi
mencari esensi atau akar realitas, melainkan mencari relasi dari unsure-unsur yang
ada. Relasi tersebut tidak dapat dilihat sebagai suatu gaya pertarungan atau
gaya survive ala Carles Darwin (1809-1882) untara unsur yang kuat dan yang
lemah, tetapi lebih merupakan suatu permainan. Logika relasi ini tidak
bertujuan kalah atau menang, tetapi melihat realitas sebagai sebuah arena seni. Logika relasi itu
menjadi suatu pandangan oleh cara berpikir baru yang disebut dengan istilah
“filsafat kontemporer”.
Bertolak
dari hal di atas, di sini akan dilhat sejenak pemikiran dari beberapa filsuf yang
hadir pada akhir abad ke 20. Salah satunya adalah filsuf Jean Francois Lyotard
(1924- ) mengatakan bahwa prinsip-prinsip pendidikan sekarang bukan lagi
mementingkan “apakah sesuatu itu benar”, melainkan “apakah sesuatu itu dapat
berguna” atau “apakah sesuatu itu dapat dijual”. Jadi dengan prinsip-prinsip
yang lahir di akhir-akhir ini, tampak bahwa pemikiran manusia telah kehilangan
dunia ideal yang dijunjung tinggi oleh semangat abad Pencerahan beberapa tahun
silam.
Pandangan
Lyotard di atas, mendasari perdebatannya dengan Jurgen habermas (1929- ), yang
masih cukup setia dengan proyek medernisasi, yang menurut anggapannya belum
selesai, sebab dialog mengandaikan suatu gema rasionalitas, demi sebuah
consensus. Bagi Lyotard cara berpikir seperti ini justru membahayakan
keberagaman unsure yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Bahayanya adalah
masyarakat akan dibawa ke sebuah bentuk kekuasaan totalitarian, bahkan dapat
sebagai fasis.
Dengan
demikian kecenderungan yang aktualitas tampak bahwa “filsafat kontemporer”
menolak adanya substansi-substansi, seperti dalam aliran Neokantianisme,dan
aliran Metafisika Baru. Oleh sebab itu tampak bahwa dalam filsafat abad dewasa
ini menaruh perhatian besar pada human person terutama nilai-nilai spesifik
yang melekat pada human person.
D. Simpulan
1. Kata dekonstruksi berasal sorang pemikir poststrukturalis Jacques
Derrida yang artinya adalah “pembongkaran”.
2. Dekonstruksi pada hakekatnya
adalah suatu setrategi insterpretasi, sehingga tetap dipakai Hermeneutika.
3. Penekanan filsafat Jacques Derrida
pada teks merupakan keinginannya untuk merubah tradisi metafisis yang logosentrisme (pusat perhatian adalah
logos/ rasio) ke arah suatu gramatologi
(ilmu tentang tulisan, tanda-tanda atau ilmu tentang “tekstualitas”).
4. Jacques Derrida mengatakan bahwa
kenyataan itu tidak ada apa-apa kecuali ada perbedaan-perbedaan saja, sehingga ia
menegaskan bahwa differance itu bukan
essensi, bukan sesuatu, dan bukan hidup.
5. Pengertian dekonstruksi pada poin
1 , hanya akan difokuskan pada bidang metafisika dan epistemologi.
6. Dekonstruksi metafisik tampak dari
pemikiran Jacques Derrida tentang teks, ia mengartikan teks adalah sebagai
ungkapan linguistic yang mengacu pada idea transcendental atau idea murni,
seperti dalam filsafat yang berhadapan dengan konsep metafisik tentang “Ada”.
Oleh sebab itu filsafat Jacques Derrida tampak jelas dekonstruksinya ditekankan
pada teks, karena ia ingin mengubah tradisi metafisika yang mempreoritaskan
“ucapan di atas tulisan”. Inilah dekonstruksi metafisik yang dimaksud, mendekonstruksi metafisika bukan berarti bahwa
metafisika itu omong-kosong, bukan berarti menulis tentang dekonstruksi
metafisika lalu tulisannya bebas dari metafisik.
7. Dekonstruksi epistemology tampak
pada fenomena seperti manusia tidak lagi mencari esensi atau akar realitas,
melainkan mencari relasi dari unsure-unsur yang ada. Relasi tersebut tidak
dapat dilihat sebagai suatu gaya pertarungan atau gaya survive ala Carles
Darwin (1809-1882) antara unsur yang kuat dan yang lemah, tetapi lebih
merupakan suatu permainan. Logika relasi ini tidak bertujuan kalah atau menang,
tetapi melihat realitas sebagai sebuah
arena seni. Logika relasi itu menjadi suatu pandangan oleh cara berpikir baru
yang disebut dengan istilah “filsafat kontemporer”.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, 2009, Filsafat Umum, Bandung, Penerbit PT.
Remaja Rosdakarya
Amsal Bakhtiar, 2004, Filsafat Ilmu, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada
Bertens, K., 1985, Sejarah Filsafat Barat, jilid II,
Jakarta, PT. Gramedia
Caputo, J.H., 1987, Radical Hermeneutics, Bloomington and
Indianapolis, Indiana University Press
Deerida, J., 1978, Writing and Difference, USA, The
University of Cicago Press
Lawson, H., 1985, Reflexivity, Open Court, La Salle,
Illiois
Llewelyn, J., 1986, Derrida on The Threshold of Sense, New
York, St. Martin’s Press
Madison, G. B., 1988, The Hermeneutics of Postmodernity,
Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press
Norris, Ch., 1983, Deconstruction: Theory and Practice,
London and New York, Methuen
Suparlan Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat, Yogyakarta,
Ar-Ruzz Media Group
Wasito Poespoprodjo, 1985, Bandung,
Disertasi Universitas Pejajaran