Filsafat Barat
Oleh: Sudadi
Edisi Revisi Filsafat Barat Tulisan Tgl. 4 Juni 2011
FILSAFAT KAUM SOFIS DAN JAMAN SOKRATES
1. Pendahuluan
Pada
pembahasan dalam kegiatan belajar ini akan dipelajari filsafat Yunani, terutama
pemikiran yang berkembang di jaman filsafat Sokrates. Jika dilihat dari inti
pemikiran jaman ini, tampak bahwa pemikiran Sokrates ini kurang bersahabat
dengan pemikiran yang berkembang pada kaum Sofis. Hal ini dapat dipahami dari
filsafat Sokrates yang sangat nampak sekali, yaitu sebagai reaksi serta kritik
atas kaum Sofis. Meskipun demikian, tidak ada buruknya juga jika dibicarakan
keduanya, yaitu baik pemikiran kaum Sofis maupun filsafat Sokrates yang merupakan
sentrum bahasan ini. Hal ini bukan saja karena keduanya berkembang dalam jaman
yang sama, melainkan karena keduanya membaharui filsafat denga metode yang
sama. Hal ini ada seorang filsuf dan juga sebabagai sastrawan dari Roma, yaitu
Cicero mengatakan bahwa Sokrates telah memindahkan filsafat dari langit ke
bumi. Artinya bahwa filsafat pra-Sokrates telah memandang alam semesta dengan
berbagai cara yang tampak masih nun jauh di sana, sedangkan Sokrates mencari
objek penyelidikan dan pemikirannya di bumi ini, yaitu manusia itu sendiri. Hal
yang sama juga bagi kaum Sofis, mereka pun memusatkan seluruh perhatiannya pada
manusia.
Ketika
filsafat pra-Sokrates dipelajari, sudah kesekian kalinya ditemuai berbagai
permasalahan yang terkait dengan manusia, namun hanya sepintas lalu. Oleh sebab
itu, dalam pembicaraan dan pemikiran pada bahasan ini, manusia menjadi objek
pertama dan utama untuk penyelidikan secara filosofis. Jadi, dengan pendek kata
bahwa pemikiran secara filsafati pada kesempatan ini manusia menjadi objeknya.
2. Filsafat Kaum Sofis
Filsafat
kaum Sofis lebih akrab dengan sebutan aliran Sofistik, meskipun ini bukan
merupakan suatu mazhab, seperti bila dibandingkan dengan mazhab Elea. Dan akan
lebih tepat jika istilah Sofistik itu dipandang sebagai suatu gerakan dalam
bidang intelektual yang diakibatkan dari beberapa factor, seperti perkembangan
di bidang politik dan ekonomi Athena, serta kebutuhan akan pendidikan yang
dirasakan di seluruh Hellas pada waktu itu, dan juga dalam pergaulan mereka di
Yunani merasa berbeda dengan kebudayaan lain selain kaum Sofis.
Nama
“Sofis” nampaknya belum digunakan sebelum abad ke- 5 s. M, dan artinya semula
adalah “seorang bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian dalam bidang
tertentu”, namun juga kadang kadang ada yang mengartikan sebagai “sarjana” atau
“cendekiawan”. Seorang pengarang Yunani bernama Androtion pada abad ke-4 s. M
mempergunakan istilah “Sofis” untuk menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari
abad ke-6 s. M (telah dijelaskan modul sebelumnya) dan Sokrates. Sedangkan
Lysias seorang ahli pidato Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 s. M.
mengenakan istilah “Sofis” pada diri Plato, namun dalam abad ke-4 s. M dan
selanjutnya istilah “philosophos” menjadi istilah yang sudah lazim dipakai dalam
arti “sarjana” atau “cendekiawan”, sedangkan istilah “Sofis” khusus dipakai
untuk sebutan guru guru yang berkeliling dari kota ke kota yang berperan
penting dalam masyarakat Yunani.
Nama
istilah “Sofis” dikemudian hari lama kelamaan menjadi tidak harum, seperti
terlihat dalam bahasa bahasa modern, misalnya dalam bahasa Inggris yang
berbunyi “sophist” adalah untuk menunjukkan seseorang yang menipu orang lain
dengan mempergunakan argumentasi argumentasi yang tidak sah. Cara
berargumentasi yang dibuat dengan maksud seperti itu dalam bahasa Inggris
disebut “sophism” atau “sophistery”. Hal ini terutama dipakai
oleh Sokrates, Plato, dan Aristoteles untuk mengkritik atas kaum Sofis, sehinga
mengakibatkan nama “Sofis” menjadi berbau kurang baik. Salah satu tuduhan dari
mereka, yaitu bahwa para Sofis meminta uang sebagai imbalan yang diajarkan oleh
para Sofis. Hal ini seperti diceriterakan oleh Plato dalam dialog yang berjudul
“Protagoras”, ia mengatakan bahwa
para Sofis merupakan “pemilik warung yang menjual barang rohani”, dan
Aristoteles juga mengarang buku yang berjudul
“Sophistikoi elenchoi” artinya
cara cara berargumentasi kaum Sofis yang maksudnya cara berargumentasi yang
tidak sah. Demikianlah sehingga kaum Sofis menjadi kurang baik di mata
masyarakat Yunani pada waktu itu.
Ajaran
kaum Sofis antara lain disampaikan oleh Protagoras yang lahir kira kira tahun
485 s. M. di kota Abdera, dalam bukunya berjudul “kebenaran” (Yunani: Aletheia). Dalam buku ini Protagoras
mengatakan bahwa manusia adalah ukuran untuk segala galanya, yaitu untuk hal
hal yang ada sehingga mereka ada, dan untuk hal hal yang tidak ada sehingga
mereka tidak ada. Oleh sebab itu pendirian ini boleh disebut relativisme,
artinya bahwa kebenaran itu dianggap hanya tergantung pada manusia. Jadi,
manusialah yang menentukan benar tidaknya, bahkan ada tidaknya. Namun yang jadi
persoalan, yaitu istilah “manusia” itu. Yang dimaksudkan oleh Protagoras
apakah manusia perorangan ataukah manusia sebagai umat manusia ?. Maka dari
itu, apakah kebenaran tergantung pada anda dan pada saya, sehingga manusia
mempunyai kebenaran sendiri sendiri ?, ataukah kebenaran tergantung siapa saja
dalam arti semua mengakui, sehingga kebenaran itu semua mengakui ?. Akan tetapi
seperti ditemukan dalam kesaksian Plato bahwa Protagoras mengartikan manusia
adalah sebagai manusia perorangan. Hal ini bisa dipahami dengan melihat contoh
yang diberikan oleh Protagoras, yaitu angin yang sama dirasakan panas oleh satu
orang (tapi orang sehat) dan dirasa dingin oleh orang lain (oarng dalam keadaan
sakit demam). Dengan demikian mereka keduanya adalah benar, maka alasan bahwa
bagi Protagoras yang dimaksud manusia adalah manusia perorangan. Jadi,
kebenaran seluruhnya harus dianggap relative terhadap manusia bersangkutan.
Semua pendapat sama benar, biarpun sama sekali bertentangan satu sama lain.
Inilah salah satu ajaran dari kaum Sofis yang beranggapan tentang relativitas
di alam semesta ini.
Ajaran kaum Sofis yang lain yaitu
diajarkan oleh Gorgias yang lahir kira kira tahun 483 s. M. di kota Liontinoi di Sisilia
yang awalnya murid Empedokles namun kemudian dipengaruhi oleh dialektikanya
Zeno. Gorgias berpendirian, yaitu
- Tidak ada sesuatu apapun.
- Seandainya sesuatu ada, maka itu tidak dapat dikenal.
- Seandainya sesuatu dapat dikenal, maka pengetahuan itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain.
Ketiga pendirian
ini didukung oleh banyak argument, sehingga Gorgias bukan seorang penganut
skeptisisme (anggapan bahwa kebenaran tidak dapat diketahui), melainkan memihak
kepada nihilisme (anggapan bahwa tidak ada sesuatu pun atau bahwa tidak ada
sesuatu pun yang bernilai).
Gorgias setelah mengarang karya
tentang nihilisme di atas, kemudian berbalik dari filsafat, dan selanjutnya
mulai mencurahkan perhatiannya kepada ilmu retorika (Indoneis: seni berpidato).
Gorgias menganggap bahwa retorika sebagai seni untuk meyakinkan (Inggris: the art of persuasion). Oleh sebab itu
menurutnya, bahwa orang tidak cukup mengemukakan alasan alasan yang diarahkan
kepada akal budi, melainkan perasaan juga harus disentuh. Jadi, Gorgias
menciptakan gaya
bahasa yang mempraktekan prinsip ini dalam retorikanya.
Pengikut kaum Sofis berikutnya,
yaitu Hippias yang hidupnya sebaya dengan Sokrates, berasal dari kota Elis.
Ia mencurahkan perhatiannya pada pertanyaan, yaitu apakah tingkah laku manusia
dan susunan masyarakat harus berdasarkan
nomos (Indonesia: adat
kebiasaan, undang undang) atau harus berdasarkan physis (Indonesia:
kodrat). Akan tetapi Hippias
justru memberi jawaban yang berbeda dari kebanyakan rekan kaum Sofis. Ia
beranggapan bahwa kodrat manusia merupakan dasar bagi tingkah laku manusia dan
susunan masyarakat. Ia punya argument begitu, karena menurutnya bahwa undang
undang yang merupakan norma terakhir untuk menentukan yang baik dan yang jahat.
Apalagi menurut Hippias bahwa undang undang sering memperkosa kodrat manusia.
Misalnya, undang undang menggolongkan manusia sebagai penguasa atau bawahan,
dan sebagai orang bebas atau budak. Padahal manusia secara kodratnya adalah
sama derajatnya dan bebas. Dengan demikian pada diri Hippias tampaklah suatu kosmopolitisme dan universalisme yang menandai banyak Sofis. Di samping itu masih
banyak pandangan pandangan hidup kaum Sofis yang aneh aneh, seperti pandangan
hidup yang pesimistis dari pemikir dari pulau Keos yang hidupnya juga sebaya
dengan Sokrates, yaitu Prodikos. Kemudian Kritias yang lebih muda dari Sokrates
berasal dari Athena yang pandangannya bersifat agamis, ia beranggapan bahwa
agama ditemukan oleh penguasa penguasa Negara yang licik. Menurutnya bila
kebanyakan pelanggaran diadili menurut hokum, namun ada pelanggaran yang
dilakukan sembunyi sembunyi sehingga tidak diketahui oleh umum, maka penguasa
penguasa menemukan dewa dewa supaya orang percaya bahwa mereka akan membalas
juga pelaggaran yang sembunyi sembunyi itu.
Melihat
ajaran kaum Sofis yang beraneka ragam di atas, ternyata banyak juga pengaruhnya
terhadap pemikiran pemikiran berikutnya. Pengaruhnya itu dapat dikategorikan
menjadi pengaruh negative dan pengaruh positif.
Pengaruh
negative, yaitu tampak bahwa gerakan Sofis melihat bila orang telah jemu dengan
sekian banyak pendirian yang dikemukakan oleh pemikir pra-sokratik, maka para
Sofis mulai bereaksi sebagai skeptisisme. Artinya, kebenaran mulai diragukan dan dasar ilmu pengetahuan sendiri
digoncangkan (Oleh: Protagoras dan Gorgias). Jadi, di sisni nampak sekali bahwa
Sofistik mepunyai pengaruh negative atas budaya Yunani. Pengaruh negative
lainnya, yaitu banyak nilai tradisional dalam bidang keagamaan dan moralitas
mulai dirobohkan, sehingga peranan Polis sebagai kesatuan social politik mulai
merosot, sebagai akibat dari pendainya memainkan peran berpidato (retorika) dan
kemahiran berbahasa.
Pengaruh
positif dari aliran Sofistik, yaitu berupa suatu revolusi intelektual di Yunani yang luar biasa. Hal ini bisa
dilihat, yaitu berupa ciptaan gaya bahasa yang baru untuk prosa Yunani
khususnya. Pengaruh positif lainnya, yaitu dengan mulainya manusia sebagai
objek pemikiran filosofisnya. Dan jasa yang sangat besar bagi Sofistik adalah
karena mereka justru mempersiapkan kelahiran fiilsafat baru. Dan Sokrates,
Plato, serta Aristoteleslah akan merealisasikan filsafat baru yang dipersiapkan
oleh para Sofistik.
3. Filsafat Jaman Sokrates
Disebut
filsafat jaman Sokrates, sebab hasil pemikiran di sini diawali cara
berfilsafatnya seorang filsuf yang tidak asing lagi bagi telinga setiap orang
yang sedang dan akan belajar filsafat. Seorang filsuf dimaksud adalah Sokrates,
meskipun tak seorang pun tahu persis bilamana ia dilahirkan. Untuk dapat
dipercaya kesaksiannya adalah bahwa Sokrates pada tahun 399 s. M. dijatuhi
hukuman mati dengan harus minum racun di depan para muridnya. Pada waktu itu
diceriterakan bahwa Sokrates berumur 70 tahun, oleh sebab itu ia diperkirakan
lahir kira kira tahun 470 s. M. (Harun Hadiwijono, 1988: 35.
Jika
melihat lahir dan perkembangannya filsafat khususnya filsafat Barat, maka tidak
ada filsuf yang sangat ramai dibicarakan kecuali Sokrates. Tentang diri
Sokrates memang tampak ada dua pandangan yang sangat ekstrim tentang dirinya,
yaitu disatu pihak bahwa Sokrates dianggap sebagai filsuf terbesar yang pernah
hidup dibumi ini, sedangkan di lain pihak ada yang menganggap bahwa Sokrates
bukan seorang filsuf. Dari kedua pandangan yang ekstrim itu memang menimbulkan
problem juga pada para pemikir berikutnya. Problem dimaksud antara lain karena
Sokrates sendiri tidak pernah menuliskan hasil pemikirannya, sehingga tidak
bisa dipelajari pemikiran yang berupa buah pena Sokrates sendiri, dan hanya diperoleh
dari murid atau sumber lain yang menceriterakan tentang diri Sokrates. Ditambah
lagi bahwa banyak sumber lain yang tidak menggambarkan Sokrates dan
keaktifannya dalam bidang filsafat. Dengan demikian Sokrates yang histories
tidak dapat dikenal, namun ada sejarawan sejarawan lain yang bersikap lebih
optimistis tentang eksistensi Sokrates sebagai seorang filsuf yang besar.
Sumber
untuk mempercayai bahwa Sokrates memang pernah ada di bumi ini, dirasa cukup
dengan kesaksian dari empat orang sebagai sumber, karena empat orang ini memang
memainkan peran besar dan penting dalam menginterpretasi kehidupan maupun
ajaran Sokrates. Adapun keempat sumber dimaksud adalah :
- Aristopanes yang seorang comedian ternama di Athena, yang hidupnya sejaman dengan Sokrates. Komedi dari Aristopanes sangat lucu membicarakan peristiwa peristiwa actual, tokoh tokoh dan pikirannya yang lazim pada para penonton yang di sini Sokrates disebut sebutnya. Ada satu komedi yang berjudul Awan awan, dipentaskan pertama kalinya pata tahun 423 s. M. dimana Sokrates sebagai pelaku utamanya.
- Xenophon yang lahir tahun 430 s. M. di Athena dari keluarga bangsawan pada waktu itu. Ia adalah pengikut Sokrates, meskipun tidak ingat berapa lama menjadi pengikutnya. Xenophon meninggalkan beberapa karya tulis, yang diantaranya adalah berjudul Memorabilia yaitu berupa kenang kenangan akan Sokrates terutama tulisan kecil tentang Sokrates.
- Plato yang lahir pada tahun 427 di Athena, ia sangat mengenal akan Sokrates sejak masih kecil sampai kematian Sokrates pada tahun399 s. M. Plato banyak menulis tentang dialog dialog, dan ada satu dialog, yaitu berjudul Nomoi, di sini ditulis bahwa Sokrates bercakap cakap dengan sahabat sahabatnya. Disamping itu, karya Plato sebagian besar berisi tentang Sokrates sebagai pelaku utama dalam dialognya.
- Aristoteles, yang lahir 15 tahun setelah kematian Sokrates, namun meskipun lahirnya setelah Sokrates, ia adalah murid Plato sehingga ia tahu banyak tentang kehidupan dan ajaran Sokrates.
Jika dilihat dari empat sumber
seperti disebutkan di atas untuk meyakini bahwa Sokrates memang pernah hidup di
muka bumi ini, maka sudah semestinya bila orang satu dengan lainnya berbeda
dalam melihat sumber mana yang dianggap sangat penting untuk menentukan riwayat
hidup dan ajaran Sokrates. Ada ahli yang mementingkan Xenophon, ada yang
mementingkan Plato, dan ada pula yang mementingkan Aristoteles, tapi yang jelas
untuk Aristophanes tidak begitu dipentingkan khususnya tentang komedi
komedinya, karena tidak dapat untuk menentukan ajaran Sokrates. Walaupun
demikian karya karya Aristophanes ada juga gunanya dalam menentukan Sokrates
pernah ada, karena dalam komedi komedinya disimpulkan bahwa Sokrates adalah
tokoh terkenal di Athena sekitar tahun 420 s. M.
Sokrates
tidak beda dengan kaum Sofis, karena ia juga memberi pelajaran kepada rakyat.
Di samping itu Sokrates juga mengarahkan perhatiannya kepada manusia seperti
ajaran kaum Sofis. Perbedaan Sokrates dengan kaum Sofis adalah bila kaum Sofis
mengajar rakyat karena agar mengikutinya dan untuk mencari uang, serta
memberikan keyakinan tentang relatifisme, sedangkan Sokrates tidaklah demikian.
Sokrates mengajar rakyat tidak memungut uang kepada mereka, namun mengajar
untuk mendorong orang supaya supaya mengetahui dan menyadari sendiri, sebab
Sokrates yakin bahwa ada kebenaran yang objektif.
Kaum
Sofis juga mengajar kepada rakyat tentang pendidikan seni berpidato, yaitu yang
disebut dengan istilah retorika,
sehingga menjadi banyak orang sombong. Oleh sebab itu, Sokrates dengan cara
menggelikan mengajukan pertenyaan pertanyaan kepada rakyat murid kaum Sofis
yang merasa pandai. Akhirnya jawaban jawaban mereka saling bertentangan,
sehingga banyak ditertawakan pendengarnya. Metode Sokrates yang membuat jawaban
orang menjadi bingung dan bertentangan itu disebutnya metode ironi (Yunani: eironeia). Segi positif dari metode
ironi ini adalah terletak pada usahanya untuk mengupas kebenaran dari kulit
“pengetahuan semu” orang orang itu.
Sokrates
dalam mengajar menggunakan cara dialektika
(Yunani: dialegesthai artinya
bercakap cakap), yaitu cara mengajar dengan mementingkan peran dialog. Namun
dialog cara mengajar Sokrates adalah bukan sembarang dialog, melainkan dialog
yang dibandingkan dengan ibunya sebagai seorang bidan yang menolong kelahiran
bayi, yaitu Sokrates ingin melahirkan “pengertian yang benar”, sehingga lalu
olehnya disebut dengan metode seni kebidanan yang dalam bahasa Yunani adalah maieutike tekhne. Jadi Sokrates bukan
bertindak sebagai bidan yang menolong melahirkan bayi, melainkan ia membidani
jiwa jiwa. Artinya bahwa Sokrates tidak menyampaikan pengetahuan, namun dengan
pertanyaan pertanyaan ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang
lain, dan juga ia menguji nilai nilai pikiran yang sudah dilahirkan.
Cara
bekerja Sokrates seperti disebutkan di atas, artinya ia telah menemukan cara
berpikir induksi, yaitu menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan
berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal khusus. Misalnya, banyak orang
yang menganggap dirinya ahli (ahli tukang sepatu, ahli tukang kayu, ahli tukang
batu, dll) sebagai keutamaannya. Lain lain orang yang ahli seperti tukang
tukang tadi menganggap keutamaannya berbeda beda sesuai ahli mereka. Untuk
mengetahui apakah “keutamaan” pada umumnya, maka semua keutamaan yang bermacam
macam itu harus disingkatkan, tinggallah keutamaan yang sifatnya umum. Jadi
dengan induksi sekaligus juga ditemukan yang disebut definisi umum. Tentang
definisi umum pada waktu itu belum dikenal, maka Sokrates adalah sebagai penemunya.
Sokrates
meskipun tidak meninggalkan tulisan tulisan dalam ajaran filsafatnya, namun
berdasarkan kesaksian dari para murid dan orang terpercaya di atas, akhirnya
juga dapat disimpulkan ajarannya sebagai berikut:
Bahwa jiwa manusia bukanlah nafasnya
semata mata, namun asas hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa
menurutnya adalah inti sari manusia, dan hakekat manusia sebagai pribadi yang
bertanggung jawab.
Oleh
karena jiwa adalah inti sari manusia, maka manusia wajib mengutamakan
kebahagiaan jiwanya (Yunani: eudaimonia =
memiliki daimon atau jiwa yang baik),
lebih dari kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah, misalnya:
kesehatan, kekayaan dll. Jadi, manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang
sebaik mungkin. Oleh sebab itu, bila manusia hanya hidup saja, sudah tentu hal
itu belum ada artinya, maka orang harus hidup yang baik supaya mencapai
kebahagiaan. Kemudian, bagaimana orang dapat mencapai kebahagiaan ?.
Sokrates
mengatakan bahwa alat untuk mencapai kebahagiaan (Yunani: eudemonia) adalah kebajikan atau keutamaan (Yunani: arĂȘte). Akan tetapi kebajikan atau
keutamaan yang dimaksudkan oleh Sokrates adalah bukan diartikan secara moral,
namun olehnya diartikan lebih luas dari itu. Misalnya, kebajikan seorang tukang
kayu adalah kebajikan atau keutamaan yang menjadikan tukang kayu itu menjadi
tukang kayu yang baik, karena tahu pekerjaannya dengan baik, dan mempunyai
keahlian di bidang itu. Demikian halnya dengan kebajikan atau keutamaan bagi
seorang ahli yang lain. Jika dilihat dari hal itu, maka nampak bahwa pendirian
yang terkenal dari Sokrates yaitu “keutamaan adalah pengetahuan”. Oleh karena
itu keutamaan di bidang hidup baik tentu menjadikan orang dapat hidup baik, dan
hidup baik berarti mempraktekkan pengetahuannya tentang hidup baik itu. Jadi,
menurut Sokrates bahwa baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan
dengan kemauan manusia.
Bertolak
dari pandangannya di atas, maka menurut Sokrates adalah tidak mungkin orang
dengan sengaja melakukan hal yang salah. Bilamana orang berbuat salah, hal itu
disebabkan karena ia tidak berpengetahuan, sehingga ia keliru.
Oleh
karena kebajikan atau keutamaan adalah pengetauan tentang yang baik, padahal
yang baik adalah hanya satu, maka kebajikan atau keutamaan hanya ada satu saja,
dan sifatnya menyeluruh. Jadi, bila memiliki kebajikan yang satu itu berarti
memiliki segala kebajikan. Misalnya, orang yang berani, sudah barang tentu juga
adil dan menaruh belas kasihan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, bila
tidak demikian, maka itu berarti bukan kebajikan yang sejati. Dengan demikian,
jika memiliki arĂȘte, memiliki
kebajikan atau keutamaan, berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia
(Harun Hadiwijono, 1988: 37).
4. Filsafat Hasil Pemikiran Murid Sokrates dan Sesudahnya
Pemuda
bernama Plato yang lahir sekitar tahun 427 s. M. mempunyai maksud berbalik dari
kesusasteraan, yaitu dengan mencurahkan tenaganya kepada filsafat. Hal ini
dikisahkan bahwa setelah Plato berkenalan dengan Sokrates, ia lalu membakar
karya karya yang telah ditulisnya. Oleh sebab itu pertemuan Plato dengan
Sokrates merupakan peristiwa penentu dalam kehidupan Plato. Bagi Plato, bahwa
Sokrates adalah “orang yang paling baik, bijaksana, dan paling jujur”. Juga
bagi Plato, Sokrates adalah “manusia yang paling adil dari seluruh jamannya”
Dalam karya-karyanya, Sokrates diberi tempat yang paling sentral. Dan yang
paling mengesankan Plato, yaitu ketika peristiwa Sokrates didalam hukuman dan
eksekusi hukuman matinya.
Semua
karya yang ditulis Plato merupakan dialog dialog, kecuali surat-surat dan Apologia.
Palto adalah filsuf pertama dalam sejarah filsafat yang memilih dialog untuk
mengekspresikan pikiran-pikirannya. Sehingga Plato tidak memberi kuliah kuliah
sistematis, tetapi menyelenggarakan diskusi diskusi yang sebagian dipimpin
sendiri oleh Plato.
Ajaran
tentang Idea-idea merupakan inti dan dasar seluruh filsafat Plato. Dalam bahasa
Modern kata “idea/ ide” berarti suatu gagasan atau tanggapan yang hanya
terdapat dalam pemikiran saja. Oleh sebab itu, bagi orang modern bahwa idea
merupakan sesuatu yang bersifat subjektif belaka. Lain halnya dengan Plato,
karena baginya bahwa Idea merupakan sesuatu yang objektif. Artinya, ada
Idea-idea yang telepas dari subjek yang berpikir. Bagi Plato, idea idea tidak
diciptakan oleh pemikiran manusia. Idea idea tidak tergantung pada pemikiran;
sebaliknya, justru pemikiran yang tergantung pada Idea-idea. Jadi, justru karena ada Idea-idea yang berdiri
sendiri sendiri, pemikiran manusia dimungkinkan. Pemikiran itu tidak
lain daripada menaruh perhatian kepada Idea-idea itu.
Cara lain untuk mengerti lebih baik
asal usul ajaran Plato mengenai Idea-idea ialah ilmu pasti. Ilmu pasti berbicara mengenai garis, segitiga
dan lingkaran pada umumnya. Tidak mungkin bahwa ilmu pasti berbicara tentang
sesuatu yang tidak ada. Jadi, mesti terdapat
suatu Idea “segitiga”. Segitiga atau garis yang tergambar pada papan
tulis hanya merupakan tiruan tak sempurna saja dari Idea “segitiga atau garis”.
Yang
berlaku bagi segitiga tadi dapat dikatakan pula mengenai banyak hal lain lagi. Seperti, ada yang disebut “bagus”, kain
bagus, patung bagus, rumah bagus, dan lainsebagainya. Selain itu masih banyak
sebutan lagi, misalnya merah, mahal, dan lain lian. Nah Idea yang bagus
merupakan “yang bagus” sendiri, secara sempurna, tidak tercampur dengan sesuatu
yang lain. Plato menyebutnya
dengan kata kata Yunani idea serta eidos dan juga dengan kata morphe yang berarti “bentuk”.
Bertolak
dari ajaran di atas, menurut Plato bahwa realitas seluruhnya seakan akan
terdiri dari dua “dunia”. Satu “dunia” mencakup benda benda jasmani yang
disajikan kepada pancaindera. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya tetap
berada dalam perubahan. Misalnya, bunga yang ini bagus, tapi esok harinya sudah
jelek, dan lain lain. Di samping “dunia” inderawi itu terdapat suatu “dunia”
lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri dari “Idea-idea”. Dalam dunia
ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Jadi semua Idea bersifat abadi dan
tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya
ada satu Idea “yang Bagus”. Demikian halnya juga dengan idea-idea lain. Dan
tiap tiap Idea bersifat sama sekali sempurna. Jadi, Idea merupakan model atau
contoh (Yunani: paradeigma) bagi
benda benda kongkrit. Benda
benda kongkrit itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model
tersebut.
Teori
tentang Idea-idea dari Plato, ternyata dapat mendamaikan ajaran Herakleitos
dengan ajaran Parmenides. Manurut Herakleitos bahwa semuanya senantiasa berada
dalam perubahan; tidak ada sesuatu pun yang tetap dan mantap. Kata Plato, bahwa
pendapat Herakleitos itu memang benar, tetapi hanya berlaku bagi dunia inderawi
saja. Namun demikian, pendapat Parmenides benar juga kata Plato, tetapi hanya
berlaku bagi Idea-idea saja. Dalam dunia ideal ini tidak ada perubahan, karena
Idea-idea bersifat abadi. Dan Idea-idea ini merupakan pondamen bagi pengenalan
yang sejati.
Plato
menciptakan suatu ajaran tentang jiwa yang berhubungan erat dengan pendiriannya
mengenai Idea-idea. Bagi Plato, antara tubuh dan jiwa tidak merupakan kesatuan.
Tubuh adalah kubur bagi jiwa, dan jiwa berada dalam tubuh bagaikan dalam
penjara, kata Plato. Dalam karyanya yang disebut “Phaidon”, Plato mengatakan
bahwa “filsafat adalah latihan untuk mati”, dan ini adalah dapat dimengerti
tentang pendapatnya dalam rangka dualisme. Jadi, semestinya para filsuf sudah
menjadi siap untuk melepaskan diri dari kebutuhan kebutuhan badani sama sekali
pada saat kematian.
Murid
Plato yang tidak kalah terkenalnya adalah Aristotelas yang lahir pada tahun 384
s. M. Aristoteles belajar dalam academia Plato di Athena dan tinggal di sana
sampai Plato meninggal dunia. Aristoteles mengkritik sangat tajam atas pendapat
Plato tentang ajaran Idea-idea. Aristoteles berpendapat bahwa yang ada ialah
manusia ini dan manusia itu. Jadi manusia konkrit saja. Sebab Idea “manusia”
tidak terdapat dalam kenyataan. Hal yang sama juga berlaku untuk Idea
“segitiga” dan semua Idea lain.
Aristoteles
memang setuju anggapan Plato bahwa ilmu pengetahuan berbicara tentang yang umum
dan tetap. Ilmu pasti tidak berbicara tentang segitiga ini atau itu, namun
tentang segitiga pada umumnya. Salah satu alasan Plato menerima
Idea-idea ialah untuk menjamin kemungkinan adanya ilmu pengetahuan. Oleh sebab
itu muncullah pertanyaan: jika tidak ada Idea-idea, bagaimana mungkin adanya
ilmu pengetahuan ?. Maka Aristoteles menjawab, yaitu memang ada sesuatu yang
umum dan tetap, tetapi bukan dalam suatu dunia ideal melainkan dalam benda
benda jasmani sendiri. Untuk memahami hal itu maka harus disinggung pendapat
Aristotels yang lazim disebut “teori bentuk-materi”. Aristoteles menegaskan
bahwa setiap benda jasmani terdiri dari dua hal, yaitu bentuk dan materi. Misalnya, sebuah patung yang
terdiri dari bahan tertentu dan bentuk tertentu.
Materi
menurut Aristoteles adalah prinsip yang sama sekali tidak ditentukan, yang sama
sekali “terbuka”. Materi adalah kemungkinan belaka untuk menerima suatu bentuk.
Itulah sebabnya Aristoteles menyebutnya: materi pertama (Yunani: hyle prote).
Dengan kata “pertama” dimaksudkan bahwa materi sama sekali tidak ditentukan.
Namun pada kenyataannya materi pertama selalu mempunyai salah satu bentuk.
Bentuk (Yunani: morphe) ialah prinsip yang menentukan. Jadi, kiranya jelas
bahwa bagi Aristoteles ilmu pengetahuan dimungkinkan atas dasar bentuk yang
terdapat dalam setiap benda konkrit (Bertens, 1988: 15, Yogyakarta, Penerbit
Kanisius).
Teori
Aristoteles yang disebutkan di atas, di kemudian hari biasa dinamakan teori “hilemorfisme” (Asal bahasa Yunani: hyle dan morphe). Teori hilemorfisme
menjadi dasar juga untuk pandangan Aristoteles tentang manusia. Bertentangan
dengan Plato, karena Aristoteles sangat menekankan kesatuan manusia. Manusia
merupakan satu substansi yang terdiri dari bentuk dan materi Bentuk itu ialah
jiwa. Karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, secara konsekuensi
Aristoteles harus mengatakan bahwa pada saat manusia mati, maka jiwanya akan
hancur juga (Harun Hadiwijono, 1988: 50, Yogyakarta, Penerbit Kanisius).
Inti
sari ajaran Aristoteles tentang fisika dan metafisika terdapat dalam ajarannya
mengenai dinamis (potensi) dan energia (aksi). Ajarannya ini
dimaksudkan guna memecahkan masalah perubahan atau gerak dan yang tetap tidak
berubah. Para filsuf Elea, seperti Parmenides dan Zeno berpendapat bahwa gerak
dan perubahan adalah khayalan. Namun Aristoteles menentang pendapat itu.
Menurut Aristoteles, bahwa “yang ada” dalam arti yang mutlak adalah yang teleh
terwujud, sedangkan “yang tidak ada” hanya dapat menjadi “yang ada” secara
mutlak, atau menjadi “yang ada” secara terwujud, jikalau melalui sesuatu. Di
antara “yang tidak ada” dan “yang ada” secara mutlak itu terdapat “ada yang
nyata nyata mungkin”, atau “yang ada” sebagai kemungkinan, sebagai bakat,
sebagai potensi, sebagai dinamis. “Yang ada” sebagai potensi ini pada dirinya
bukanlah sesuatu, sekalipun dapat menjadi sesuatu. “Yang ada” sebagai potensi
ini senantiasa cenderung menjadi “yang ada secara terwujud”, sehingga “yang
ada” sebagai potensi dapat dipandang sebagai perealisasian dari “yang ada”
secara terwujud. Jadi, secara hakiki keduanya harus dibedakan, akan tetapi
tidak dapat dipisah-pisahkan.
Perubahan
dan gerak dalam arti yang lebih luas mencakup hal “menjadi” dan “binasa” serta
segala perubahan lainnya, baik di bidang bilangan maupun di bidang mutu dan di
bidang ruang. Tiap gerak sebenarnya mewujudkan suatu perubahan dari apa yang
ada sebagai potensi ke apa yang secara terwujud. Jadi setiap gerak mewujudkan
suatu perpindahan dari apa yang ada sebagai potensi ke apa yang secara
terwujud. Dan semua gerak itu tentu ada gerak yang sempurna. Gerak yang
sempurna itulah yang disebut penggerak pertama. Penggerak pertama ini adalah
Tuhan. Ialah yang menyebabkan gerak abadi, yang sendiri tidak digerakkan,
karena bebas dari materi. Tuhan adalah
Actus Purus, Aktus murni (Harum Hadiwijono, 1988: 49, Yogyakarta, Penerbit
Kanisius).
Ajaran
Aristoteles tentang manusia melalui dua tahap. Dalam tahap pertama, ia masih
dipengaruhi oleh Plato, sehingga masih mengajarkan dualisme antara tubuh dan
jiwa, serta mengajarkan praeksistensi jiwa. Akan tetapi kemudian ia
meninggalkan dualisme dengan menjembatani jurang yang ada di antara tubuh dan
jiwa. Keduanya dipandang sebagai dua
aspek dari satu substansi, yang saling berhubungan dan yang nisbahnya sama
seperti nisbah antara materi dan bentuk, atau antara potensi dan aktus. Jikalau
tubuh adalah materi, maka jiwa adalah bentuknya, jikalau tubuh adalah potensi,
maka jiwa adalah aktusnya Jadi, jiwa adalah aktus pertama yang paling asasi,
yang menyebabkan tubuh menjadi tubuh yang hidup. Jiwa adalah asas hidup dalam
arti yang seluas luasnya, yang menjadi asas segala arah hidup yang menggerakkan
tubuh, yang memimpin segala perbuatan menuju kepada tujuannya.
Puncak
pemikiran Yunani Kuno ajaran yang disebut “Neoplatonisme”. Sebagaimana namanya
bahwa aliran ini sudah bermaksud menghidupkan kembali filsafat Plato. Namun hal
itu bukan berarti bahwa para pengikutnya tidak dipengaruhi oleh filsuf-filsuf
lain, seperti Aristoteles. Sebenarnya ajaran neoplatonisme merupakan semacam
sintesa dari semua aliran filsafat sampai saat itu, namun Plato diberi tempat
istimewa.
Filsuf
yang menciptakan sintesa itu adalah Plotinos yang lahir di Mesir tahun 203 dan
meninggal dunia kira kira tahun 270 ssd. M. Filsafat Plotinos berkisar pada
Tuhan, sebab Tuhan disebutnya dengan nama “yang Satu”. Plotinos mengatakan
bahwa semuanya berasal dari “yang Satu” dan akan kembali ke “yang Satu”. Oleh
sebab itu dalam relitas seluruhnya terdapat gerakan dua arah, yaitu dari atas
ke bawah, dan dari bawah ke atas. Gerakan dimaksud, yaitu:
a. Dari atas ke bawah.
Plotinos
sangat mementingkan kesatuan semua makhluk yang ada, bersama sama merupakan
keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat
“yang Satu” (Yunani: to Hen), yaitu:
Allah/ Tuhan. Setiap taraf dalam hirarki berasal dari taraf lebih tinggi yang
paling berdekatan dengannya. Taraf satu berasal dari taraf lain melalui jalan
pengeluaran atau “emanasi” (Inggris: emanation). Istilah “emanasi” mau
ditunjukkan bahwa pengeluaran itu berlangsung secara mutlak perlu, seperti air
sungai mutlak perlu memancar dari sumbernya. Taraf lebih tinggi tidak bebas
dalam mengeluarkan taraf berikutnya. Namun dalam proses pengeluaran ini taraf
lebih tinggi tidak berubah dan kesempurnaannya tidak hilang sedikitpun. Adapun
proses pengeluaran dilukiskan oleh Plotinus, sbb.:
Dar ‘yang Satu” dikeluarkan Akal Budi (nus). Akal Budi sama
dengan Idea ideanya Plato yang dianggap Plotinos sebagai suatu intelek yang
memikirkan dirinya sendiri. Jadi Akal Budi sudak tidak satu lagi, karena di
sini terdapat dualitas: pemikiran dan apa yang dipikirkan. Dari Akal Budi itu
berasallah Jiwa Dunia (psyche). Akhirnya dari Jiwa Dunia dikeluarkan materi
(hyle) yang bersama dengan Jiwa Dunia merupakan jagat raya. Selaku taraf yang
paling rendah dalam seluruh hirarki, materi adalah makhluk yang paling kurang
kesempurnaannya dan sumber segala kejahatan.
b. Dari bawah ke atas.
Setiap taraf hirarki mempunyai
tujuan untuk kembali kepada taraf lebih tinggi yang paling dekat dank arena itu
secara tak langsung menuju ke Allah/ Tuhan. Sebab hanya manusia mempunyai
hubungan dengan semua taraf hirarki, dialah yang dapat melaksanakan
pengemnalian kepada Allah/ Tuhan. Hal itu dapat dicapai melalui tiga langkah,
yaitu:
- Langkah pertama adalah
penyucian, ialah manusia melepaskan diri dari materi dengan laku tapa.
- Langkah kedua adalah penerangan,
dimana ia diterangi dengan pengetahuan tentang Idea-idea Akal Budi.
- Akhirnya langkah ketiga adalah
penyatuan dengan Tuhan yang melebihi segala pengetahuan.
- Langkah terakhir ini ditunjukkan
oleh Plotinos dengan nama “ekstasis” (Inggris: ecstasy). Hal ini murid Plotinos yang bernama Porphyrios menceriterakan
bahwa selama 6 tahun mengikuti gurunya, ia pernah melihat Plotinos mengalami
ekstasis sebanyak 4 kali.
ZAMAN PERTENGAHAN
1. Pendahuluan
Abad
Pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi kekristenan. Abad Pertengahan selalu
dibahas sebagai zaman yang spesifik, karena dalam abad-abad itu perkembangan
alam pikiran Eropa sangat terkendali oleh keharusan untuk disesuaikan dengan
ajaran agama. Filsafat zaman Pertengahan biasanya dipandang terlampau seragam, dan lebih dari itu
dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran sebenarnya.
Perkembangan
pemikiran kefilsafatan terutama filsafat Barat, bila hendak dipahami, maka
pendapat semacam di sebutkan di atas tadi hendaknya ditinjau kembali. Apa yang
terungkap pada masa Renaissana dan pada filsafat Barat abad ke-17, tidak
mungkin dipahami, manakala diabaikan permainan
pendahuluan tentang hal-hal yang
tersebut yang terjadi pada abad Pertengahan (Delfgaauw, 1992: 63).
Para
filsuf Yunani yang sangat berpengaruh pada abad Pertengahan adalah Plato dan
Aristoteles. Hal ini bisa dipahami, bahwa pengaruh Plato yaitu pada pemikiran
Agustinus, sedangkan pengaruh Aristoteles adalah pada pemikiran Thomas Aquinas.
2. Hasil Pemikiran Zaman Pertengahan
Filsafat
Agustinus yang diperkirakan antara tahun 354 s/d. Tahun 430 adalah filsafat di
mana keadaan dan situasi ikut berpartisipasi, sehinga merupakan bentuk
Platonisme yang sangat spesifik. Dengan pengetahuannya mengenai
kebenaran-kebanaran abadi yang disertakan sejak lahir dalam ingatan dan yang
menjadi sadar karena manusia mengetahui sesuatu, manusia ikut berpartisipasi
dalam idea-idea tentang Tuhan, yang mendahului ciptaan dunia. Ciptaan merupakan
keadaan yang ikut ambil bagian dalam idea-idea Tuhan, tetapi manusia adalah
ciptaan yang unik, dan manusia bukan yang ambil bagian yang pasif saja,
melainkan diwujudkan secara aktif dalam suatu pengetahuan yang penuh kasih
(Delfgaauw, 1992: 58).
Oleh
sebab itu, manusia melalui penciptaan dapat mendaki sampai pada pengakuan yang
penuh kasih akan Tuhan. Dalam arti tertentu keadaan ikut berpartisipasi ini terjadi dengan mengetahui sesuatu, namun
semua perbuatan mengetahui dibimbing oleh kasih. Demikianlah menurut Agustinus
bahwa berpikir dan mengasihi berhubungan secara selaras dan tak terceraikan.
Tuhan adalah ada sebagai ada, yang bersifat pribagi dan sebagai pribadi
menciptakan seluruh jagad raya secara bebas, dan tidak dengan jelas emanasio
yang niscaya terjadi, seperti dikatakan oleh Plotinos.
Pemikiran
filsafat Aristoteles direnungkan secara mendalam oleh Thomas Aquinas (tahun
1125-1274), tanpa ragu-ragu ia mengambil pemikiran filsafat Aristoteles sebagai
dasar dalam berfikir secara kefilsafatannya. Namun demikian pemikiran filsafat
Thomas Aquinas tidak semata-mata merupakan pengulangan dari filsafat
Aristoteles. Ia membuang hal-hal yang tidak pas dengan ajaran Kristiani dan
menambahkan hal-hal baru, sehingga filsafatnya melahirkan suatu aliran yang
bercorak Thomasisme.
Thomas
Aquinas tentang pandangan terjadinya alam semesta menganut teori penciptaan,
artinya bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Dengan tindakan mencipta, Tuhan
menghasilkan ciptaan dari ketiadaan. Tuhan mencipta dari ketiadaan pada awal
mulanya tidak terdapat dualisme antara Tuhan (kebaikan) dengan materia
(keburukan). Karena segala sesuatu timbul oleh penciptaan dari Tuhan, maka
segala sesuatu juga ambil bagian dalam kebaikan Tuhan; artinya bahwa alam
material mempunyai bentuk kebaikan sendiri. Selanjutnya bahwa penciptaan itu
bukan merupakan tindakan pada suatu saat tertentu, yang sesudah itu ciptaan
tersebut untuk seterusnya dibiarkan mengadu nasibnya. Mencipta berarti secara
terus menerus menghasilkan serta memelihara ciptaan (Delfgaauw, 1992: 86-87).
Tuhan mencipta alam semesta serta
wktu adalah dari keabadian, dan gagasan penciptaan tidak bertentangan dengan
alam abadi. Kitab suci mengajarkan bahwa alam semesta berawal mula atau ada
awal dan ada akhir, namun bagi filsafat tidak membuktikan hal itu, seperti
halnya filsafat juga tidak dapat membuktikan bahwa alam semesta tanpa awal dan
tanpa akhir.
FILSAFAT BARAT JAMAN MODERN
1. Pendahuluan
Filsafat
dan ilmu pengetahuan merupakan suatu pasangan yang tampaknya kurang seimbang.
Hal ini dapat dilihat antara lain karena filsafat merumuskan pertanyaan,
sedangkan ilmu pengetahuan memberi jawaban. Ilmu pengetahuan berkembang pesat,
filsafat kelihatannya tidak pernah maju. Namun di lain pihak, sejarah suatu
ilmu tertentu kurang dipentingkan bagi
umat manusia sekarang, karena jawaban-jawaban dari dahulu sering kali sudah
dikoreksi, sedangkan pertanyaan-pertanyaan dari sejarah filsafat masih tetap
actual bagi manusia masa kini.
Pendapat-pendapat
masa lampau tentang “pertanyaan-pertanyaan terakhir”, pertanyaan-pertanyaan
yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengethauan, tidak lebih jelek atau lebih
baik daripada pendapat-pendapat yang dikemukakan sekarang. Sejarah filsafat
seakan-akan merupakan suatu diskusi kontinyu mengenai pertanyaan-pertanyaan
manusia, dan dalam hal ini rentetan pendapat dari semua jaman dan sudut dunia
sama berharga.
Sejarah
filsafat mirip suatu museum yang memuat koleksi raksasa dari pendapat pendapat
pemikir-pemikir besar mengenai misteri hidup. Koleksi ini bertambah terus
menerus. Dalam koleksi ini dibedakan tiga tradisi besar, yaitu filsafat India,
filsafat Cina, dan filsafat Barat. Khusus dalam rencana pembicaraan ini adalah
filsafat Barat yang mempunyai tiga jaman yang menonjol dan tiga periode
keemasan, yaitu filsafat kosmosentris dari jaman Yunani, filsafat teosentris
dari abad pertengahan, dan filsafat antroposentris dari jaman modern dan
kontemporer. Pada bahasan ini hanya akan berbicara tentang jaman ketiga, yaitu
pereode yang dimulai dari filsafat hasil pemikiran Rene Descartes (1596-1650)
yang mendapat julukan Bapak filsafat modern, yang berlangsung sampai masa kini dan
tetap jadi pembicaraan.
Berbicara
tentang filsafat modern, amat luas menghadapi pertanyaan, oleh sebab itu, maka
“mana yang harus dimuat, mana tidak”: what
to leave out and what to put in, that’s the problem. Pembicaraan pada
masalah ini banyak hal yang tidak dimuat, sehingga nanti akan nampak sebagai ihtisar
yang sederhana. Ihtisar dimaksud adalah ihtisar tentang filsafat modern dari
filsafat abad ketujuh belas, filsafat abad kedelapan belas, dan filsafat abad
kesembilan belas. Filsafat pada abad-abad itu sudah dianggap “klasik”. Di
sinilah nanti beberapa pokok pemikirannya tentang filsafat modern yang dapat
dilihat dalam uraian berikut ini.
2. Filsafat Abad Modern.
Peralihan
dari abad pertengahan ke abad Modern ditandai oleh suatu era yang disebut
dengan ”Renaissans”. Era Renaissans adalah suatu zaman yang sangat
menaruh perhatian dalam bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra,
filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi (Lucas, 1960: 3). Pada jaman ini
berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad Pertengahan yang
dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran
manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat (Patterson,
1971: 2).
Zaman
Renaissans terkenal dengan jaman kelahiran kembali kebasan manusia dalam
berpikir. Renaissans adalah zaman atau gerakan yang didukung oleh cita-cita
lahirnya kembali manusia yang bebas. Manusia bebas yang dimaksudkan dan
didambakan adalah manusia bebas seperti yang ada dalam zaman Yunani Kuno. Pada
zaman Renaissans ini manusia Barat mulai berpikir secara baru, dan secara
berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini
telah ”mengungkung” kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu
pengetahuan.
Filsafat
Barat Modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan
”Renaissans” itu di dalamnya mengandung dua hal yang sangat penting, yaitu:
Pertama,
semakin berkurangnya kekuasaan Gereja.
Kedua,
semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan (Russell, 1957: 511). Pengaruh dari
gerakan Renaissans iu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan Barat modern
berkembang dengan pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma
Gereja. Terbebasnya manusia Barat dari
otoritas Gereja merupakan dampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan. Sebab pada zaman Renaissans, perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan tidak lagi didasarkan pada otoritas dogma-dogma Gereja,
melainkan didasarkan atas kesesuaiannya dengan akal. Sejak jaman Renaissans,
kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan
kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan
berdasarkan metode, perkiraan, dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang
dihasilkan tidak bersifat tetap, namun dapat berubah dan diferivikasi sepanjang
waktu.
Dengan
demikian filsafat Barat Modern memiliki corak yang berbeda dengan periode
filsafat Abad Pertengahan. Perbedaan itu terletak terutama pada otoritas
kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika Abad Pertengahan otoritas
kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada Zaman
Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri.
Manusia pada zaman Modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh
kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri. Kekuatan yang mengikat itu ialah agama
dengan Gerejanya, serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
Para
filsuf Modern pertama-tama menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari
kitab suci atau dogma-dogma Gereja, juga tidak berasal dari kekuasaan feodal,
melainkan dari diri manusia sendiri (Nico Syukur Diester, 1992: 55). Sebagai
ahli waris zaman Renaissans, filsafat Modern itu bercorak ”antroposentris”, artinya manusia menjadi
pusat perhatian penyelidikan filsafati. Semua filsuf pada zaman Modern
menyelidiki segi-segi subjek manusiawi; ”aku” sebagai pusat pemikiran, pusat
pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat kehendak, dan pusat perasaan
(Hammersma, 1983: 3-4).
Wacana
filsafat yang menjadi topik utama pada zaman Modern, khususnya dalam abad
ke-17, adalah persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang
epistemologi adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana
yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang
dimaksud kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
bercorak epistemologi ini, maka dalam filsafat abad ke-17 muncullah dua aliran
filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran
filsafat dimaksud adalah aliran rasionalisme dan aliran empirisme.
Mengawali
filsafat Modern dengan kemunculannya aliran rasionalisme yang tokoh utamanya
adalah Rene Descartes, maka setidak-tidaknya harus dipahami bagaimana filsafat
Rene Descartes. Dari sinilah tonggak awal pemikiran filsafat Modern dimulai. Dengan
ketidak puasannya Rene Descartes (1596-1650) terhadap filsafat pada zaman
Renaissans, yang dianggapnya kurang sistematis dan kurang metode, maka
diperbaharuilah filsafat, yaitu dengan “kesangsian metodis”. Menurut
Rene Descartes, segala sesuatu hal disangsikannya, supaya tinggal diterima hal
yang betul-betul pasti, sehingga dapat terjadi suatu system filsafat seperti
suatu system ilmu pasti: yaitu suatu system berdasarkan aksioma-aksioma, dan
tersusun menurut langkah-langkah logis, yaitu:
Pertama,
ia mengawalinya dengan ucapan “kalau saya sangsi akan segala sesuatu, tinggal
satu hal yang tidak dapat disangkal, yaitu kesangsian itu sendiri”. Sebenarnya pikiran ini tidak baru, namun yang
baru pada Descartes, yaitu bahwa subjek yang sedang berpikir menjadi titik
pangkal untuk filsafatnya. Kata Descartes, kalau saya ragu-ragu akan segala
sesuatu, saya masih berpikir, dan kalau saya berpikir, saya ada. Jadi kalau
saya berpikir maka saya ada, istilah Yunani: “Cogito ergo sum” (Harry Hamersma, 1992: 8).
Kedua, Descartes dalam berpikir berpangkal pada
dirinya sendiri. Artinya, bahwa ia mengambil manusia yang sebagai subjek
berpikir sekaligus dijadikan sebagai titik tolak berpikirnya. Hal inilah yang
sama sekali baru, karena sebeleum Descartes, kebenaran selalu berdasarkan
kekuasaan di luar manusia, misalnya kekuasaan kitab suci, tradisi, Negara, dan
lain sebagainya. Tetapi bagi Descartes, bahwa manusia sendiri menjadi kekuasaan
yang “membawa”, dan “memikul” kenyataan. Manusia yang berpikir merupakan pusat
dunianya, dan berkat idea inilah sehingga ia dijuluki sebagai ”Bapak
filsafat modern”.
Ketiga, bahwa Desacartes mengatakan
bila dirinya telah mempunyai kepastian tentang idea. Hal ini tampak dengan
ucapannya “saya berpikir, maka saya ada”, karena menurutnya idea “jelasdan
tegas”, dan semua hal yang dimilikinya merupakan idea-idea yang jelas dan tegas
atau yang dilihatnya (Prancis: clare et
distincte) itu pasti. Akal budi, ratio, mencapai kepastian ini tanpa
pertolongan apa pun. Oleh karena itu, Descartes nampaklah bahwa dirinya sebagai
seorang “rasionalis” sejati.
Keempat, Descartes menyatakan
bahwa ideanya tentang yang “jelas dan tegas”, di dalamnya memuat tiga substansi
yaitu, substansi Allah, pemikiran (cogitatio),
dan keluasan (extensio). Substansi
pemikiran merupakan bidang psikologi atau bidang jiwa, sedangkan keluasan adalah
bidang ilmu alam atau bidang materi. Dalam manusia kedua bidang yaitu pemikiran
dan keluasan merupakan kesatuan, namun menurut Descartes tentang kesatuan ini
agak aneh. Maksudnya yaitu, bawa pemikiran yang berupa kejiwaan dan keluasan
yang berupa badani atau materi adalah
merupakan dua kenyataan terpisah, yang saling mempengaruhi melaui kelenjar
kecil di bawah otak. Oleh sebab itu, seorang filsuf Inggris, Ryle, mengatakan
bahwa dalam pikiran Descartes, manusia itu bagaikan “suatu hantu dalam sebuah
mesin” (Harry Hamersma, 1992: 8).
Berdasar dari pemikiran Descartes
seperti itu, ternyata pengaruhnya tidak hanya bidang filsafat, melainkan juga
ilmu pasti, ilmu alam, dan kedokteran, sehingga tampak jelas, bahwa dia telah
memberi epistemology yang sama sekali baru, dan filsafat telah dibuatnya
sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Sikap rasionalis ini pun juga ditemukan pada Spinoza dan Leibniz.
Filsafat
modern tidak saja ditemukan pada Descartes, meskipun dia telah mencari dasar
untuk semua kepastian, dan dia mendapat
dasar ini dalam penglihatan “saya berpikir, maka saya ada”. Ternyata
penglihatan Descartes tentang “saya
berpikir, maka saya ada” menjadi titik pangkal aliran rasionalisme,
meskipun di Inggris dalam waktu yang sama juga timbul aliran lain, yaitu aliran
empirisme.
Aliran
empirisme dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679)
dan aliran ini sangat penting bagi John Loke (1632-1704) sebagai seorang tokoh
aliran empirisme Hal ini dapat dimengerti karena rasionalisme menekankan
peranan “rasio”, akal budi, maka empirisme menekankan peranan “pengalaman
inderawi” (Yunani: emperia).
John
Loke mengatakan bahwa segala sesuatu dalam pikiran saya, berasal dari
pengalaman inderawi. Tidak dari akal budi. Otak itu sepeti sehelai kertas yang
masih putih. Baru melalui pengalaman inderawi, helai kertas itu diisi (Harry
Hamersma, 1992: 19). Dan menurut John Loke tidak ada perbedaan antara
pengetahuan dari akal budi dan pengetahuan dari panca indra. Semua pengetahuan
berasal atau dari pengalaman lahiriah (dari sense atau external
sensation), atau dari pengalaman batin (internal sense
atau reflexion).
Yang lahiriah member informasi tentang dunia di luar kita, yang batin tentang
dunia dalam kita, yakni: jiwa. Pengalaman lahiriah, sensation, itu tersusun
dari sifat-sifat seperti: “keluasan”, “bentuk”, “jumlah”, dan “gerak”.
Pengalaman batin, reflexion, terjadi kalau kesadaran melihat keaktifannya
sendiri. Dengan cara ini terjadi “ingat”, membandingkan”, “menghendaki”, dan
lain sebagainya. Isi otak saya terdiri dari idea-idea, kata John Loke. Ada dua
jenis idea kata John Loke,yakni: idea tunggal dan idea majemuk (simple
ideas dan complex ideas). Idea tunggal berasal secara langsung dari
pengalaman inderawi, sedangkan idea majemuk memang hanya “hubungan-hubungan
dari idea-idea tunggal”. Missal: “sebab”, “relasi”, “syarat”, dan lain
sebagainya, tidak diamati secara langsung, tetapi “dilihat” melalui kombinasi
idea-idea tunggal. Jadi bagi
penganut empirisme, bahwa sumber pengetahuan yang memadai itu ialah pengalaman.
Pengalaman yang dimaksudkan di sini ialah pengalaman lahir yang menyangkut
dunia dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal
manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan
atau data yang diperoleh melalui pengalaman. Oleh sebab itu para penganut
aliran empirisme berkeyakinan bahwa manusia tidak mempunyai idea-idea bawaan
yang dalam bahasa Yunani disebut ”Innate ideas”. Bagi mereka manusia itu
ibarat kertas putih yang belum ditulisi, dan baru terisi melalui
pengalaman-pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah.
Aliran
empirisme pertama kali berkembang di Inggris pada abad ke-15 dengan Francis
Bacon sebagai pelopornya. Bacon memperkenalkan metode eksperimen dalam
penyelidikan atau penelitian. Menurut Francis Bacon, bahwa manusia melalui
pengalamannya dapat mengetahui benda-benda dan hukum-hukum relasi antara
benda-benda. Kemudian ajaran ini dilanjutkan oleh Thomas Hobbes, ia juga
meyakini bahwa pengenalan atau pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman.
Berbeda dari pendahulunya, John Locke lebih terdorong untuk mengemukakan tentang
asal mula gagasan manusia, kemudian menentukan fakta, menguji kepastian
pengetahuan dan memeriksa batas-batas pengetahuan manusia. Paham empirisme ini
kemudian dikembangkan oleh David Hume (tahun 1611-1776), ia menegaskan bahwa
sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman, dan ia
sangat menentang kaum rasionalisme yang berlandaskan pada prinsip apriori, yang
bertitik tolak dari idea-idea bawaan. David Hume mengajarkan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam
hidupnya. Sumber pengetahuan ialah pengamatan, melalui pengamatan ini manusia
memperoleh dua hal, yaitu kesan-kesan (impresion) dan
pengertian-pengertian (ideas) (Harun Hadiwijono, 1985: 52). Kesan-kesan
adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik lahiriah maupun
batiniah. Sedangkan pengertian-pengertian merupakan gambaran tentang pengamatan
yang redup, kabur atau samar-samar yang diperoleh dengan merenungkan kembali
atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima melalui pengamatan
langsung.
Di
abad filsafat Modern, kemunculan aliran-aliran bukan saja hanya aliran
rasionalisme dan aliran empirisme, melainkan banyak aliran lain, seperti aliran
Kritisisme, aliran Idealisme, aliran Positivisme, dan lain sebagainya.
FILSAFAT
POSTMODERN
(Kontemporer)
1. Pendahuluan
Tema
yang menguasai refleksi filosofis dalam abad ke-20 ini adalah pemikiran tentang
bahasa. Sebagian besar pemikir abad ke-20 pernah menulis tentang bahasa
(Bertens, 1987: 17). Ungkapan filsafat yang membingungkan. Tugas filsafat
bukanlah membuat pernyataan-pernyataan tentang sesuatu yang khusus, sebagaimana
yang diperbuat oleh para filsuf sebelumnya, melainkan memecahkan persoalan yang
timbul akibat ketidak pahaman terhadap bahasa logika (Charlesworth, 1959: 2).
Russell
dan Wittgenstein melangkah lebih jauh ke dalam metode analisa bahasa ini
sebagai sikap atau keyakinan ontologis memilih alternatif terbaik bagi
aktivitas berfilsafat. Menurut Wittgenstein, bahwa apa yang dihasilkan oleh
sebuah karya filsafat bukan hanya sederetan ungkapan filsafati, melainkan upaya
membuat ungkapan-ungkapan itu menjadi jelas. Tujuan filsafat adalah penjelasan
logis terhadap pemikiran-pemikiran . Filsafat bukanlah doktrin, melainkan
aktivitas. Sebuah karya filsafat pada hakekatnya terdiri atas penjelasan
(elucidations) (Wittgenstein, 1963: 49).
Dengan
demikian jelaslah apa yang diperbuat oleh para filsuf analitik ini tidak lain
sebagai reaksi atau respons terhadap aktivitas filsafat yang dilakukan oleh
para penganut aliran filsafat idealisme. Sebab aliran filsafat idealisme lebih
menekankan pada upaya mengintrodusir ungkapan-ungkapan filsafati. Padahal
ungkapan-ungkapan filsafati yang diintrodusir oleh penganut idealisme itu
menurut filsuf analitik, kebanyakan bermakna ganda, kabur dan tidak terpahami
oleh akal sehat. Hal-hal semacam itulah yang perlu diatasi dengan analisa
bahasa.
2. Filsafat Postmodern
Perkembangan
filsafat abad ke-20 juga ditandai oleh munculnya berbagai aliran filsafat, dan
kebanyakan dari aliran filsafat itu merupakan kelanjutan dari aliran aliran
filsafat yang telah berkembang pada abad Modern, seperti neo-kantianisme,
neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme, dan lain sebagainya. Namun
demikian ada juga aliran filsafat yang baru dengan ciri dan corak yang lain
sama sekali, seperti fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme,
strukturalisme, dan yang paling mutakhir adalah aliran Postmodernisme.
Munculnya
gerakan Postmodernisme sebenarnya bukan
hanya masuk di akal, tetapi tak terelakkan. Di samping mendatangkan berbagai
keuntungan dan kemajuan, proyek modernisme juga mendatangkan konsekuensi yang
tidak diharapkan dan tidak diinginkan. Bila Amerika merupakan pemimpin Dunia
Bebas pada tahun 1960an, dan bila ortodoksinya adalah suatu bentuk modernisme
yang terkait dengan kapitalisme liberal, maka tepatlah waktunya bagi seniman
dan intelektual untuk menyatakan pemikiran dan budaya tandingan
(counter-culture). Mereka sudah kenyang, bahkan muak dengan cara hidup yang
mekanistis, deterministis, dan materialistis. Tidak mengherankan bahwa tidak
terjadi pergeseran dari perspektif yang antroposentris ke kosmologis. Yang
sesungguhnya berarti adalah akal dan budi (spirit).Konon gerakan budaya,
estetika dan spiritualitas postmodernisme adalah upaya mengembalikan
nilai-nilai, keindahan dan moralitas kedalam kehidupan kontemporer (Suryakusuma,
1993: 1).
Dengan
atau tanpa nama, gerakan posmodernisme itu sudah ada. Adalah pekerjaan yang
sangat khas dari teori sosial menunjuk
kepada suatu gejala sosial, mengidentifikasikannya, mengemas dan memberikan
label. Postmodernisme adalah ibarat jari yang menunjuk kepada bulan. Sampai
kapanpun, jari tidak akan menjadi bulan. Tetapi yang lebih penting diingat,
bulan itu ada, apakah ditunjuk dengan jari ataupun tidak. Yang pasti,
postmodernisme menunjuk pada suatu perkembangan masyarakat yang memang perlu
diperhatikan. Sifat kritis posmodernisme menimbulkan banyak pertanyaan yang
perlu dijawab, paling tidak ditanggapi. Kadang pertanyaan yang baik, pertanyaan
yang tajam dan jitu, lebih berguna daripada pertanyaan yang buruk atau tidak
tepat. Yang menjadi petanyaan, apakah postmodernisme akan atau bisa menjadi
acuan suatu kehidupan dan dunia yang lebih baik, mengingat bahwa postmodernisme
menghindari menjadi suatu world-view yang kohern ? Apakah postmodernisme mampu
menjadi sang bulan, ataukah ia memang tak punya ambisi untuk itu ? Apakah tidak
ada bahaya, postmodernisme dalam bentuknya yang ekstrim akan merosot menjadi
relativisme, anarki dan chaos ? Hal inilah yang sekedar menjadi ilustrasi untuk
memahami apakah itu posmodernisme.
Oleh karena banyaknya
keterbatasan, maka dalam hal ini hanya dibicarakan beberapa aliran dan tokoh
yang banyak pengaruhnya pada abad ke-20 ini.
Tokoh utama fenomenologi, yaitu Edmund Husserl (Tahun
1859-1938) yang sekaligus juga pendirinya, ia banyak mempengaruhi pemikiran
filsafat abad ke-20 ini secara amat spektakuler. Fenomenologi adalah ilmu
pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (Yunani: phainomenon).
Dengan demikian fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari apa yang menampakkan
diri atau fenomenon (Bertens, 1987:
100). Fenomenon bagi Husserl adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada
selubung atau tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, sehingga realitas
itu sendiri yang tampak bagi subjek. Husserl dengan pandangannya tentang
fenomenon ini, mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat. Karena sejak
Descartes, bahwa kesadaran selalu dimengerti sebagai kesadaran tertutup atau cogito
tertutup, artinya bahwa kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan
jalan itu mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran
terarah pada realitas. Jadi, ”kesadaran bersifat intensional” sebetulnya sama
artinya dengan mengatakan realitas menampakkan diri.
Eksistensialisme
dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat erat dan menunjukkan
pemberontakan tambahan terhadap metode-metode dan pandangan pandangan filsafat
Barat. Istilah eksistensialisme tidak menunjukkan suatu sistem filsafat secara
khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara para pengikut
aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini
yang tampak pada para penganutnya. Titus dkk. (1984: 382) tentang aliran
Eksistensialisme mengidentifikasi ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
- Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat Modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
- Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
- Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri Modern dan teknologi, serta gerakan masa. Oleh sebab itu masyarakat industri cenderung untuk seseorang kepada mesin.
- Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fisis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan dalam kolektif atau massa.
- Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
- Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Salah seorang tokoh
eksistensialisme yang populer adaah Jean Paul Sartre (Tahun 1905-1980), ia
membedakan rasio dialektis dengan rasio analitis. Rasio analitis dijalankan
dalam ilmu pengetahuan. Rasio dialektis harus digunakan, jika berpikir tentang
manusia, sejarah dan kehidupan sosial. Rasio terakhir ini bersifat dialektis,
karena terdapat identitas dialektis antara Ada dan pengetahuan. Rasio ini
dialektis, karena objek yang diselidikinya bersifat dialektis, dan juga karena
ditentukan oleh tempatnya dalam sejarah (Bertens, 1987: 111).
Aliran
filsafat eksistensialisme yang menjadi mode berfilsafat pada pertengahan abad
ke-20 mendapat reaksi dari aliran strukturalisme. Jika aliran eksistensialisme
menekankan pada peranan individu, maka aliran strukturalisme justru melihat
manusia ”terkungkung” dalam berbagai struktur dalam kehidupannya. Secara garis
besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme
sebagai aliran filsafat.
Pertama, strukturalisme adalah metode
atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan
bertitik tolak dari prinsip-prinsip lingustik yang dirintis oleh Ferdinand de
Saussure. Ilmu-ilmu kemanusiaan di sini dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang
dalam terminologi Dilthey disebut ”Geisteswissenschaften” yang
dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam atau ”Naturwissenschaften”.
Kedua,
struturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahamimasalah yang muncul
dalam sejarah filsafat. Metodologi
struktural di sini dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayaan,
serta hubungan antara kebudayaan dan alam, yaitu dengan membuka secara
sistematik struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusastraan dan dalam
pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia (Kurzwell,
1980: vi-x).
Para
strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme
linguistik dalam berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat fenomenologi dan
eksistensialisme yang melihat manusia dari sudut pandangan yang subjektif. Para
penganut aliran strukturalisme ini memilki corak yang beragam, namun demikian
mereka memiliki kesamaan, yaitu: penolakan terhadap prioritas kesadaran. Bagi
mereka manusia tidak lagi merupakan titik pusat yang otonom, manusia tidak lagi
menciptakan sistem, melinkan takluk pada sistem.
Tokoh
berpengaruh dalam aliran filsafat strukturalisme, yaitu Michel Foucault
(Tahun 1926-1984). Kesudahan ”manusia” sudah dekat, itulah pendirian
Foucault yang sudah terkenal tentang ”kematian” manusia. Maksud Foucault
bukannya bahwa nanti tidak ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep
“manusia” sebagai suatu kategori istimewa dalam pikiran manusia (Bertens, 1987:
217). Manusia akan
kehilangan tempatnya yang sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam kultur
seluruhnya.
Di
abad ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praksis cukup
besar, yaitu aliran filsafat Pragmatisme. Pragmatisme merupakan gerakan
filsafat Amerika yang menjadi terkenal selama satu abad terakhir. Aliran
filsafat ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai
akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk
menetapkan nilai kebenaran (Titus, dkk, 1984: 340). Kelompok pragmatis bersikap
kritis terhadap sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti bentuk-bentuk aliran
materialisme, idealisme, dan realisme. Mereka mengatakan bahwa pada masa lalu
filsafat telah keliru karena mencari hal-hal mutlak, yang ultimate,
esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang tetap dan sistem kelompok empiris,
dunia yang berubah serta problema-problemanya, dan alam sebagai sesuatu dan
manusia tidak dapat melangkah keluar daripadanya.
Salah
satu tokoh Pragmatisme adalah William James (Tahun 1842-1910), berpandangan
bahwa pikirannya sendiri sebagai kelanjutan empirisme Inggris, namun
empirismenya bukan merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasar atas fakta
lepas sebagai hasil pengamatan. James membedakan dua macam bentuk pengetahuan,
yaitu:
Pertama, pengetahuan yang langsung
diperoleh dengan jalan pengamatan.
Kedua, merupakan pengetahuan tidak langsung yang
diperoleh dengan melalui pengertian (Delfgaauw, 1988: 62).
Kebenaran itu suatu proses, suatu
idea dapat menjadi benar apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa sebagai
akibat atau buah dari idea itu. Oleh karena kebenaran itu hanya satu yang
potensial, baru setelah verifikasi praktis (berdasarkan hasil/ buah pikiran),
maka kebenaran potensial menjadi real.
Postmodernisme
sebagai trend dari suatu pemikiran yang sangat populer pada penghujung abad
ke-20 ini merambah ke berbagai bidang dan disiplin filsafat serta ilmu
pengetahuan. Istilah ”Postmodern” telah digunakan dalam demikian banyak bidang
dengan meriah dan hiruk-pikkuk. Kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi
kepadanya mengandung resiko dicap sebagai ikut mengabadikan mode intelektual
yang dangkal dan kosong.
Pada
awalnya Postmodernisme lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan Modernisme.
Filsafat dalam Modernisme memang berpusat pada Epistemologi yang bersabda pada
gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang satu sama lain
terpisah dan tak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat adalah mencari fondasi
segala pengetahuan (Fondasionalisme), dan tugas pokok subjek
adalah merepresentasikan kenyataan objektif (Representasionalisme).
Dengan demikian klaim-klaim dari kaum Posmodernis tentang ”berakhirnya
Modernisme” biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan
Modern tentang ”subjek” dan ”dunia objektif” tadi (Bambang Sugiharto, 1996:
33).
Wacana
Postmodern menjadi populer setelah Francois Lyotard (Tahun 1924- ) menerbitkan
bukunya ”The Postmodern Condition: A Report on Knowldge” (Tahun 1979). Modernitas
menurut Lyotard ditandai oleh kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi
mengarahkan serta menjiwai masyarakat Modern, mirip dengan mitos-mitos yang
mendasari masyarakat primitive dulu. Seperti halnya dengan mitos dalam masyarakat primitive, kisah-kisah
besar pun melegitimasi institusi-institusi serta praktek-praktek social
politik, system hokum serta moral, dan seluruh cara berpikir. Namun berbeda
dengan mitos-mitos, kisah-kisah besar itu tidak mencari legitimasi dalam suatu
peristiwa yang terjadi pada awal mula (seperti penciptaan oleh dewa-dewa)
melainkan dalam suatu masa depan, dalam suatu idea yang harus diwujudkan (Bertens,
1987: 348). Salah satu contoh kisah besar yang berusaha mewujudkan idea seperti
itu adalah emansipasi progresif dan rasio serta kebebasan dalam liberalisme
politik.
Mengakhiri
pembicaraan tentang pemikiran filsafat Barat terutama di akhir abad ke 20 dan
menginjak abad 21 ini, penulis kutipkan tulisan Julia I Suryakusuma (th. 1993)
tentang: Modern dicangkok ke Postmodern
sebagai berikut:
Modern Postmodern
1. Dalam politik
Negara
(nation-state) region/
badan supranational
Totalitarian demokratis
Konsensus konsensus
yang dipertanyakan
Friksi kelas isyu
agenda baru
2. Dalam Ekonomi
Fordism Posca
fordism (networking)
Kapitalisme
monopoli kapitalisme
sosialis yg diregulasi
Sentralisasi ekonomi
dunia yg didesentralisasi
3. Dalam Masyarakat
Pertumbuhan
pesat kestabilan
berkesinambungan
Industrial pasca
industrial
Berstruktur
kelas berkelompok
kelompok kecil
4. Dalam Kebudayaan
Kemurnian
(purism) double-coding
Elitisme dialog
elit/ masa
Objektivisme nilai-nilai
dalam alam
5. Dalam Estetika
Harmoni
sederhana harmoni
yg tidak harmonis
Top-down
terintegrasi semiosis
yg dikonflikkan
Ahistoris terkait
waktu
6. Dalam
Filsafat
Monisme pluralisme
Materialisme pandangan
semiotik
Utopian interutopian
7. Dalam Media
Dunia
Cetak elektronik/
reproduktif
Berubah
cepat instan/
mengubah dunia
8. Dalam Ilmu Pengetahuan
Mekanistis mengorganisasi
diri sendiri
Linier non
linier
Deterministik kreatif/
terbuka
9. Dalam Agama
Tuhan
telah mati spiritualitas
pusatnya pada kreasi
Kekecewaan kembali
terpesona
10. Dalam Pandangan Hidup
Mekanistis ekologis
Reduktif holoistik/
saling berkaitan
Terpisah berkaitan
semi-otonom
Hirarkis heterarkis
Antroposentris orientasi
kosmologis
Absurditas
manusia optimisme
tragis
PENUTUP
Berdasarkan
paparan singkat perkembangan filsafat Barat sejak kelahirannya pada zaman
Yunani Kuno sampai dengan abad ke-20 atau abad Kontemporer yang biasa juga
disebut zaman Postmodern, maka secara singkat dapat ditegaskan bahwa pemikiran
filsafat Barat berkembang sebagai reaksi terhadap mitos-mitos dan sikap
dogmatis. Reaksi terhadap mitos dan sikap dogmatis ini melahirkan pemikiran
rasional, artinya bahwa suatu pendapat yang dimitoskan dan telah menjadi dogma
yang beku dilawan, ditentang, dan dikoreksi berdasarkan asumsi-asumsi ilmiah
yang baru. Di sini ciri utama filsafat spekulatif menjadi lebih dominan,
artinya ada keberanian untuk menemukan hal-hal baru, walaupun manusia pada
zamannya mungkin belum dapat menerima idea-idea tersebut pada massa itu,
sebagaimana halnya Copernicus, Galileo Galilei yang pandangan Heliosentrismenya
belum dapat diterima oleh umat manusia pada zamannya, namun akhirnya pandangan
mereka tetap diakui kebenarannya pada era-era sesudahnya.
Demikian
juga dengan kelahiran filsafat Modern yang dirintis sejak Renaissans dan
Aufklarung, merupakan reaksi terhadap pemikiran filsafat abad Pertengahan yang
bersifat dogmatis. Gereja sebagai institusi pada waktu menjadi satu-satunya
otoritas yang mengakui kebenaran dan keabsahan pemikiran filsafat dan ilmu
pengetahuan. Padahal perkembangan ilmu pengetahuan di luar kontrol Gereja sudah
berjalan sangat pesat, terutama bidang Astronomi. Sehingga upaya mengontrol perkembangan
ilmu pengetahuan kedalam sekat-sekat agama mengalami kegagalan. Bahkan terjadi
sekularisasi ilmu, yaitu pemisahan antara aktivitas ilmiah dengan aktivitas
keagamaan.
Pada
abad ke-20 kelahiran Postmodernisme juga sebagai reaksi terhadap pemikiran
Modern yang juga telah berubah menjadi mitos baru. Filsafat Modern yang lahir
sebagai reaksi terhadap sikap dogmatis Abad Pertengahan, menurut kaum
Postmodernis telah terjebak dalam membangun mitos-mitos baru. Mitos-mitos baru
itu ialah suatu keyakinan bahwa dengan pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan,
dan aplikasinya dalam teknologi, segala persoalan kemanusiaan dapat
diselesaikan. Padahal kenyataannya
banyak agenda kemanusiaan yang masih membutuhkan pemikiran-pemikiran baru. Di
sinilah Postmodernisme ”menggugat” Modernisme yang telah mandeg
(berhenti) dan berubah menjadi mitos baru.
Akhirnya
dari uraian-uraian di atas yang berupa perkembangan pemikiran filsafat Barat,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Filsafat dapat dipandang sebagai sikap kritis yang mempersoalkan segala sesuatu yang menurut kacamata awam tidak perlu dipersoalkan.
- Filsafat memiliki daya dobrak/ gebrakkan yang tinggi terhadap kemapanan yang diciptakan oleh manusia dalam peradaban dan kebudayaannya.
- Filsafat bukan merupakan dogma, melainkan suatu aktivitas yang menuntut kreativitas pikir secara berkesinambungan.
DaftarPustaka
Bertens, K, 1987, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta,
Penerbit Kanisius.
Bebbington,
David, 1979, Patterns in history, , England,
Inter-Varsity Press
Caputo, John D.
1987, Radical Hermeneutics, Bloomington and Indianapolis,
Indiana University Press
Harun
Hadiwijono, 1988, Sari Sejarah Fil safat
Yunani,Yogyakarta, Penerbit Kanisius
Harry Hamersma,
1992, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,
Jakarta, PT. Gramedia
Robert N. Beck,
1967, Perspectives in Social Philosophy,
New York,
Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Sullivan, John
Edward, 1970, Prophets of the West, New York, Holt, Rinehart
and Winston, Inc
Suparlan
Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat,
Ruzz Media.Yogyakarta, ArFil