Selasa, 26 Mei 2015

Meniti Filsafat Yunani Kuno



MENITI  FILSAFAT YUNANI KUNO DAPAT DIPAKAI SEBAGAI PEMAHAMAN DAN PENGHAYATAN AJARAN AGAMA HINDU
Oleh: Drs. Sudadi, M. Hum.

ABSTRACT

Search Western philosophy, especially Ancient Greek philosophy, and the teachings of the Hindu religion philosophically understood, especially concerning the doctrine of reincarnation, when examined with comparative phenomenological theory by Edmund Husserl essence is saying that it is an abstract framework, which is absolute, unchangeable, and immortal, then Western philosophy, especially in this case filsaf Ancient Greece, when considered and studied carefully, a little or a lot can be used to understand and appreciate some of the teachings of Hinduism. It said in part, karnena according to the author's understanding that there is a resemblance to the doctrine of the soul that can not die. The doctrine of the soul that can not die or in other words, the soul is eternal, ie the teachings of Pyrhagoras and his followers. While in Hinduism the doctrine states that the soul is eternal, is one of the five beliefs and teachings of the faith called Panca sradha, namely the doctrine of believing in the existence of the soul in every being is eternal and everlasting. So, in essence, that by studying western philosophy, especially ancient Greek philosophy, the teachings of Pyrhagoras and his followers, can be used to understand and appreciate the teachings of Hinduism, especially the doctrine of reincarnation.
ABSTRAK
            Penelusuran filsafat Barat, khususnya filsafat Yunani Kuno, maupun ajaran agama Hindu yang dipahami secara filosofis, terutama tentang ajaran reinkarnasi, bila dikaji dengan teori komparasi fenomenologis oleh Edmund Husserl yang mengatakan bahwa essensi itu merupakan suatu kerangka abstrak, yang bersifat mutlak, tidak terubahkan, dan abadi, maka filsafat Barat khususnya dalam hal ini filsafat Yunani Kuno, bila diperhatikan dan dipelajari secara saksama, sedikit atau banyak dapat dipakai untuk memahami dan menghayati sebagian dari ajaran agama Hindu. Dikatakan sebagaian, karena menurut pemahaman penulis yang ada kemiripannya adalah ajaran tentang jiwa yang tidak dapat mati. Ajaran tentang jiwa yang tidak dapat mati atau dalam istilah lain jiwa adalah kekal, yakni ajaran dari Pyrhagoras dan para pengikutnya. Sedangkan dalam agama Hindu yang ajarannya menyebutkan bahwa jiwa kekal adanya, adalah salah satu ajaran dari lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha, yakni ajaran tentang percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk adalah kekal dan abadi. Jadi, pada intinya bahwa dengan mempelajari filsafat Barat khususnya filsafat Yunani Kuno, yakni ajaran dari Pyrhagoras dan para pengikutnya, dapat dipakai untuk memahami dan menghayati ajaran agama Hindu terutama ajaran reinkarnasi.



I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang dan Masalah
            Penulis bukan seorang filsuf, melainkan pecinta filsafat dan kebetulan saja sebagai pengajar filsafat. Oleh sebab itu dirasa tidak ada maksud apapun dengan penulisannya ini, kecuali hanya dimaksudkan, apabila mungkin bisa membantu siapa saja yang sedang dan ingin belajar filsafat terutama filsafat Barat yang sebagian ajarannya dapat dipakai dalam memahami dan menghayati sebagian dari ajaran agama Hindu. Meskipun tentang hal ini telah ditulis oleh banyak orang yang dimungkinkan lebih ahli dan lebih mendalami dalam bidang ini. Disinilah keberanian penulis walaupun bukan seorang filsuf, namun karena dirasa sangat diperlukan khususnya dalam kegiatannya sebagai pengajar filsafat di Perguruan Tinggi yang  sebagian besar Program Studinya berlatar belakang Agama Hindu.
            Berbekal lebih dari tiga dasa warsa pengalaman penulis bergumul dengan problem problem, seperti bagaimana mengajar filsafat (filsafat Barat) kepada mahasiswa, agar supaya mereka mencintai dan memahami “filsafat Barat”. Itulah sebabnya tulisan ini diusahakan uraiannya sejelas dan sesederhana mungkin, meskipun ini belum tentu memuaskan bagi yang sedang menggeluti ilmu semacam ini. Mungkin juga karya ini masih banyak kekurangannya, atau mungkin bisa menjadi pendorong orang lain yang lebih ahli tentang filsafat, sehingga bisa menambah dalam berfilsafat secara mandiri.
            Suatu pandangan dunia dan umumnya suatu pandangan teoritis tidak pernah melayang layang di udara. Setiap pemikiran teoritis mempunyai hubungan erat dengan lingkungan di mana pemikiran itu dijalankan. Itu benar juga bagi permulaan pemikir teoritis, yaitu filsafat Barat, ”apakah ada Filsafat Barat khususnya Filsafat Yunani Kuno yang dapat dipakai untuk memahami dan menghayati ajaran agama Hindu ?”. Kritik dan saran yang sifatnya menyempurnakan akan penulis terima dengan terbuka, dengan harapan agar dapat membantu para pecinta terutama mahasiswa yang sedang dan ingin belajar filsafat (filsafat Barat), sehingga filsafat Barat tidak membosankan untuk dibaca dan dipelajari.
1.2.Batasan Pembahasan
Penulisan pada bahasan ini tentunya akan dibatasi, artinya bahwa penulisannya hanya akan difokuskan pada hal-hal yang menurut penulis dapat digunakan untuk memahami dan menghayati sebagian dari ajaran agama Hindu. Dikatakan sebagian, karena bila bicara agama Hindu tentang ajarannya, sudah tentu tidak mungkin ajaran agama Hindu secara menyeluruh dapat dipahamami maupun dihayati dari mempelajari filsafat Barat. Hal ini perlu disadari, karena latar belakang maupun wilayah perkembangan agama Hindu dan filsafat Barat sangat berbeda.
            Berdasar dari uraian di atas, maka bahasan untuk filsafat Barat khususnya filsafat Yunani Kuno, yang dapat dimungkinkan dapat membantu memahami ajaran agama Hindu terutama yang berbicara tentang ”Reinkarnasi” adalah ajaran dari Pythagoras. Meskipun demikian ajaran Pythagoras pun tidak seluruhnya dapat membantu untuk memahami dan menghayati ajaran agama Hindu.

II
Landasan Pemahaman
2.1. Filsafat Yunani Kuno
2.1.1.  Mencari Kebijaksanaan.
Nama “filsafat” dan “filsuf” berasal dari kata-kata Yunani philosophia dan philosophos. Menurut bentuk kata, seorang philo-sophos adalah seorang “pecinta kebijaksanaan”. Ada tradisi kuno yang mengatakan bahwa nama “filsuf” (philosophos) untuk pertama kalinya dalam sejarah dipergunakan oleh Pythagoras (abad ke-6 s.M). Tetapi kesaksian sejarah tentang kehidupan dan aktivitas  Pythagoras demikian tercampur dengan legenda legenda sehingga kebanyakan kali kebenaran tidak dapat dibedakan dengan reka-rekaan saja (Bertens, 1987: 13).  Demikian halnya juga dengan hikayat yang mengisahkan bahwa nama “filsuf” ditemukan oleh Pythagoras. Yang pasti ialah bahwa dalam kalangan Sokrates dan Plato (abad ke-5 s.M) nama “filsafat” dan “filsuf” sudah lazim dipakai. Contohnya dalam dialog Plato yang berjudul Phaidros, julukan seseorang dengan dipanggil “orang bijaksana ‘ terlalu sangat agung untuk memanggil seorang manusia dan akan lebih cocok bila panggilan itu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seseorang akan lebih baik apabila dipanggil dengan julukan philosophos yaitu seorang pecinta kebijaksanaan. Julukan ini akan lebih relevan dengan panggilan bagi makhlukNya sebagai makhluk insani.
2.1.2. Latar Belakang Lahirnya Filsafat (Filsafat Barat).
            Bukan saja nama filsafat berasal dari bahasa Yunani, melainkan juga isi konsep yang ditunjukkan dengan nama ini merupakan suatu penemuan Yunani yang khas. Pada abad ke-6 sebelum Masehi telah terjadi berbagai peristiwa menakjubkan dan ajaib di Yunani, yang dalam istilah kerennya adalah “the Greek miracle” (bahasa Inggris). Timbulnya filsafat di Yunani pada saat itu memang biasa dikatakan sebagai suatu peristiwa ajaib, sebab tidak mungkin memberi alasan alasan yang akan menerangkan kejadian itu secara memuaskan. Namun demikian ada beberapa factor yang sudah mendahului dan seakan akan mempersiapkan lahirnya filsafat di Yunani. Adapun factor factor sebagai penyebab lahirnya filsafat adalah sebagai berikut:
            Pertama, adalah bahwa bangsa Yunani seperti juga bangsa bangsa sekitarnya, terdapat adanya mitologi yang kaya dan luas. Mitologi itulah yang merupakan percobaan untuk mengerti. Mite-mite sudah memberi jawaban atas petanyaan pertanyaan yang timbuh dalam hati manusia. Misalnya, dari manakah dunia ini ?, dari manakah peristiwa peristiwa yang terjadi di dalam alam ini?, apa sebab terjadi pelangi ? dan lain sebagainya. Melalui mite-mite, manusia mencari keterangan tentang asal usul alam semesta dan tentang kejadian kejadian yang berlangsung di dalamnya. Mite macam pertama yang mencari keterangan tentang asal usul alam semesta, lalu disebut dengan istilah mite kosmogonis, sedangkan mite jenis kedua yang mencari keterangan tentang asal usul serta sifat kejadian kejadian dalam alam semesta disebut mite kosmologis.
            Bagi bangsa Yunani, bahwa dengan mengadakan beberapa usaha untuk menyusun mite-mite yang diceriterakan oleh rakyat supaya menjadi sistematis. Karena dengan mencari dan mensistematiskan itu, mereka sudah menyatakan keinginan untuk mengerti hubungan mite-mite satu sama lain dan menyingkirkan mite yang tidak dapat dicocokkan dengan mite lain. Di sini mereka sudah tampak mulai berpikir secara rasional.
            Kedua, adalah adanya kesusasteraan Yunani, di sini tampak sebagai persiapan yang mempengaruhi timbulnya filsafat, asal saja dipakainya kata itu dalam arti seluas luasnya, sehingga meliputi juga teka-teki, dongeng-dongeng, dan lain seagainya. Misal karya puisi Homeros yang terdiri dari dua puisi, yaitu Ilias dan Odyssea yang dibuat pada tahun 850 s.M. dan puisi itu mempunyai kedudukan istimewa dalam kesusastraan pada waktu itu. Syair-syair dalam puisi tersebut lama digunakan, karena dapat dipakai sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat Yunani.
            Ketiga, adalah adanya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang pada waktu itu sudah muncul di Timur Kuno. Ilmu pengetahuan yang muncul di Timur Kuno itu adalah ilmu ukur dan ilmu hitung dari Mesir. Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut oleh bangsa Yunani dijadikan suatu corak yang sungguh-sungguh ilmiah. Hal ini dapat dilihat seperti diceriterakan oleh seorang sejarawan Yunani yang hidup sekitar abad ke-5 s. M, yaitu Herodotos yang menceriterakan, bahwa ilmu ukur dan ilmu hitung yang berkembang di Mesir itu, karena di Mesir setiap tahun dirasakan keperluanya, yaitu untuk mengukur kembali tanah-tanah setelah terjadi banjir setiap tahun di sungai Nil. Namun pada orang Yunani ilmu ukur yang disebut “geometria” (artinya: pengukuran tanah) tidak dijalankanya dalam suatu konteks praktis seperti yang dipakai bangsa Mesir, melainkan mulai mempelajari ilmu pengetahuan tersebut dengan tidak mencari untung (Inggris: disinterestedly). Di negeri Yunani ilmu pasti, astronomi, dan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi keuntungan yang letaknya di luar ilmu pengetahuan itu. 
2.1.3.  Pergumulan antara Mythos dengan Logos
            Di atas telah disebutkan bahwa mitologi merupakan salah satu factor yang mendahului dan mempersiapkan ke arah timbulnya filsafat. Kenyataan memang benar bahwa para filsuf pertama, menerima objek penyelidikannya dari mitologi, yaitu alam semesta dan kejadian-kejadian setiap yang orang dapat menyaksikan di dalamya. Mitologi Yunani meskipun menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang alam semesta itu, tetapi jawaban jawaban demikian diberikan justru masih dalam bentuk mite yang meloloskan diri dari tiap-tiap control pihak rasio. Dan baru pada sekitar abad ke-6 s. M, orang-orang mulai berkembang sikapnya yang sama sekali berlainan dengan kepercayaannya akan mitologi. Sejak saat itu orang mulai mencari jawaban-jawaban yang rasional terhadap problem problem yang timbul dari alam semesta, karena itu logos (akal budi, rasio) mulai mengganti kedudukan mythos, sehingga dapat dikatakan lahirlah filsafat. Sebagai catatan bahwa dalam bahasa Yunani, logos mempunyai arti lebih luas dari kata rasio.
            Filsafat meskipun lahir pada saat rasio mengalahkan mythos, namun bukan berarti bahwa seluruh mitologi dtinggalkan secara sporadis. Proses rasio menggantikan mythos itu berlangsung secara berangsur-angsur. Jadi seluruh filsafat Yunani merupakan suatu pergumulan yang panjang antara mythos dan logos, oleh karena itu tidak sulit untuk menunjukkan pengaruh mitologi atas para filsuf yang pertama atau filsuf pra Socrates. Meskipun demikian, pada abad ke-6 s. M di negeri Yunani terjadilah peristiwa-peristiwa yang sama sekali baru yaitu, bahwa para filsuf pertama memandang dunia dengan cara yang belum pernah dipraktekkan oleh orang lain. Mereka tidak mencari lagi keterangan tentang alam semesta seperti dalam peristiwa-peristiwa mitis yang pada mulanya harus dipercaya saja, melainkan bahwa mereka mulai berpikir sendiri. Jika terjadi peristiwa peristiwa alam yang dapat diamati secara umum, mereka mulai mencari keterangan yang memungkinkan untuk dimengerti peristiwa-peristiwa itu. Tidak pelak lagi bahwa keterangan-keterangan semacam itu bagi orang jaman sekarang seringkali agak naïf kedengarannya, namun yang sangat penting adalah cara rasional dan logis yang mereka gunakan untuk mendekati problem-problem yang ditemui  dalam alam semesta. Contoh sederhana yaitu, adanya peristiwa pelangi di ufuk baik di bagian Barat maupun bagian Timur. Bagi masyarakat Yunani  yang tradisional atau yang kuno, menganggap bahwa pelangi adalah seorang bidadari sebagai pesuruh para dewa turun tangga menuju bumi. Hal ini ditanggapi bila membaca dan  memahami puisi-puisi Homeros, dan Xenophanes salah seorang filsuf pertama mengatakan bahwa pelangi merupakan suatu awan. Satu abad kemudian Anaxagoras mengatakan bahwa pelangi disebabkan oleh pantulan matahari dalam awan. Oleh karena dengan pendekatan demikian itu, yaitu secara rasional dan dapat dikontrol oleh siapa saja, maka terbukalah kemungkinan untuk memperdebatkan hasil-hasilnya secara leluasa dan untuk umum. Satu jawaban akan menampilkan pertanyaan pertanyaan lain dan kritik atas satu keterangan akan menuntut timbulnya keterangan lain, sehingga dalam suasana rasional maka terciptalah saasana perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan secara ilmiah akan dapat dimungkinkan.
            Jika dikatakan filsafat lahir karena logos telah mengalahkan mythos, maka sekali lagi harus ditekankan bahwa kata “filsafat” di sini meliputi baik filsafat maupun ilmu pengetahuan, dan kedua-duanya harus dibedakan dengan terminologi modern tentang filsafat dan ilmu pengetahuan. Bagi orang Yunani pada waktu itu, filsafat merupakan suatu pandangan rasional tentang segala-galanya. Baru kemudian berangsur-angsur dalam sejarah kebudayaan, ilmu-ilmu pengetahuan satu demi satu melepaskan diri dari filsafat, agar memperoleh otonominya demi ilmu itu sendiri. Jadi jika dirunut secara dalam dan jauh ke belakang, para filsuf dikemudian hari seperti Descartes, Immanuel Kant, Hegel, Husserl, dan para ilmuwan seperti Newton, Planck, dan Einstein, serta Colombos, dan masih banyak lagi, mereka mempunyai leluhur yang sama di negeri Yunani. Oleh sebab itu bangsa Yunani mendapat kehormatan yang tidak kecil, karena merekalah yang menelorkan cara berpikir ilmiah. Seperti kata J. Burnet: “it is an adequate description of science to say that it is thinking about the world in the Greek way”. Jadi, merekalah sebagai pendasar-pendasar pertama kultur Barat, bahkan kultur sedunia, sebab cara pendekatan ilmiah semakin menjadi unsur hakiki dan merangkum semua kebudayaan diseantero jagad raya. 
2.1.4. Karakteristik Bangsa Yunani
Karakteristik bangsa Yunani memperlihatkan banyak bedanya dengan bangsa bangsa lain di muka bumi ini, antara lain dapat dilihat dari berbagai segi agar memudahkan untuk memahaminya. Adapun beberapa segi dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Ditinjau dari segi geografis
            Negeri Yunani yang masuk daratan Eropa, permukaan wilayahnya melingkupi pesisir di Asia Kecil sampai dengan pulau Sisilia serta Italia Selatan, bahkan mencapai Kyrene di daratan Afrika. Oleh sebab itu, bangsa Yunani dapat dikatakan bangsa yang menduduki wilayah yang jauh lebih luas bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini. Dari segi prestasi di bidang ilmu pengetahuan pun, nampak lebih besar di era global ini.
            Bagi bangsa Yunani, luasnya wilayah yang ditempati ini, karena mereka berpindah-pindah di daratan Eropa sampai ke tanah asing. Perpindahan mereka disebabkan adanya penyerbuan-penyerbuan dari suku Doria ke dalam daratan Yunani, dan peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1100 s/d. 1000 s. M, di samping alasan alasan ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 750 s/d. 500 s. M (Bertens, 1987: 18). Begitu juga tentang daratan Yunani yang sebagian besar terdiri dari pegunungan pegunungan yang gundul dan gersang, sehingga sangat kurang penghasilannya, menyebabkan bangsa Yunani banyak menjadi pelaut yang handal, dan mereka lalu banyak merantau ke daerah asing, ditambah dengan banyaknya jumlah penduduk Yunani pada waktu itu. Pendek kata, bahwa alasan alasan itulah yang membentuk sebagian karakteristik bangsa Yunani yang pandai berlayar, suka merantau dan berpikiran brelian.
b. Ditinjau dari segi social dan polotik.
            Bangsa Yunani sadar akan bedanya dengan bangsa-bangsa lain, sehingga mereka mempertentangkan antara Yunani dengan Barbaros atau yang biasa disebut dengan “Barbar”. Kata Barbaros bagi bangsa Yunani tidak berarti menghina, karena bagi mereka bangsa Mesir dan Babylonia pun terhitung kaum Barbar. Oleh sebab itu, bangsa Yunani mengatakan bahwa kata “Barbaros” lebih kurang sinonimnya adalah “asing” (Bertens, 1987: 19). Maka dari itu, seorang Barbaros adalah seorang asing yang tidak berbicara dengan memakai bahasa Yunani, melainkan hanya mengeluarkan suara yang bagi telinga bangsa Yunani terdengar dengan kata-kata “bar, bar” saja. Namun sebagai penentu sebenarnya bukan karena mempertentangkan antara Yunani dan asing saja, melainkan bahwa orang Yunani adalah merdeka atau bebas, sedangkan orang Barbar dianggapnya adalah budak saja.
            Anggapan bahwa orang Yunani merdeka dan orang Barbar sebagai budak saja, memunculkan dua anggapan yaitu, anggapan secara negative dan anggapan secara positive.
            Adapun anggapan secara negative yaitu, bahwa orang Yunani tidak hidup dalam suatu kerajaan yang diperintah oleh Sang Raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.  Kerajaan dimaksud adalah kerajaan kerajaan di Timur Kuno yaitu kerajaan yang mempunyai tanda despotisme, dalam arti bahwa kekuasaan raja mempunyai hukum-hukum yang menjamin keadilan. Oleh sebab itu Raja berkuasa semaunya sendiri dengan anggapan bahwa dirinya bersifat ilahi. Bangsa barbar dianggap sebagai bawahan saja dan bukan warga Negara yang sejati, artinya bahwa bangsa barbar tidak lain hanyalah dianggap budak saja.
            Anggapan secara positif yaitu, bahwa orang Yunani memang berbeda dengan bangsa asing, karena orang Yunani hidup dalam polis. Kata “polis” merupakan asal-usul untuk kata kata Indonesia, seperti “politik”, “politikus”, dan juga “polisi”, serta masih banyak kata kata lagi di Indonesia yang memang sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa bahasa modern untuk istilah polis itu sendiri. Pada waktu itu suatu polis adalah suatu negara kecil atau suatu Negara kota, namun serentak juga bahwa kata polis menunjuk kepada rakyat yang hidup dalam Negara kota itu.
Polis timbul akibat dari suatu bentuk kemasyarakatan baru antara abad ke-8 dan ke-7 s. M,dan cepat sekali berkembang, sehingga tidak mengambil waktu yang lama, negeri Yunani terdiri dari ratusan Negara kota semacam itu yaitu yang disebut Negara polis. Sebenarnya permukaan tanah wilayahnya tidak begitu besar, karena satu polis hanya melingkupi satu atau dua kota saja, dan mungkin hanya beberapa desa saja. Seperti dikatakan Plato, bahwa satu polis yang ideal sebaiknya tidak melebihi dari jumlah 5.000 warga Negara. Dan dalam kenyataannya memang banyak polis yang kurang dari jumlah itu, hanya ada sebagian kecil saja yang jumlah warga negaranya 20.000 warga Negara (Bertens, 1987: 20).
Pengorganisasian polis tidak selalu sama, namun meskipun ada cukup banyak perbedaan antara satu dengan yang lain, di seluruh dunia Yunani selalu polis yang merupakan pusat segala keaktifan, misalnya dalam bidang ekonomi, social, politik, dan religius. Ciri-ciri polis yaitu mempunyai tanda tanda otonomi, swasembada, dan merdeka.
Pada abad ke-5 dan ke-4 s. M Athena dapat mencapai puncaknya dengan bentuk pemerintahan seperti itu. Akan tetapi apabila dewan harian yang memainkan peran dominant di suatu polis, maka cara pemerintahan seperti ini adalah oligarki atau aristokrasi. Dan sepanjang sejarah, suatu polis sudah biasa terjadi bila pemerintahannya jatuh di tangan satu orang saja, sehingga bagi orang Yunani pemerintahan seperti ini disebutnya tyrannos (Inggris: tyrant). Dan bagi bangsa Yunani, tyrannos sebagai penguasa juga tergantung pada hukum, sehingga mereka tidak dapat bertindak sembarangan. Oleh sebab itu perbedaan dengan kerajaan kerajaan Timur tetap ada. Dan satu catatan lagi, bahwa pemerintahan seorang tyrannos biasanya tidak tahan lama.
c. Ditinjau dari segi cultural
            Bangsa Yunani konon sebagai pencipta filsafat (filsafat Barat) dan ilmu pengetahuan, juga mempunyai hasil karya berupa seni yang dikagumi di seantero pelosok dunia dan tetap jadi kenangan. Mestinya dalam hal ini bukan saatnya untuk bicara masalah kesenian Yunani, tetapi satu aspek yang saling berkaitan antara kesenian dengan rasionalitas adalah ciptaan ciptaan artistic  Yunaninya. Ciptaan artistic Yunani yang menampakkan suasana rasionalitas adalah tampak dalam tanda tanda keseimbangan dan keselarasan yang tidak ada tolok ukurnya dengan norma norma seni. Oleh sebab itu, karya seni Yunani bisa dibilang sempurna, artinya tidak ada sedikitpun yang dapat ditambah maupun dikurangi tanpa mengambil secara keseluruhan. Jadi apabila dikatakan benar dan baik untuk seni rupa maka dapat pula untuk kesusastraan.  Hal senada seperti dikatakan oleh seorang ahli kesusastraan Yunani sebagai berikut:It has been said that a Gothic cathedral is never finished, and conversely Shakespeare has often been cut – but who could add anything to a Greek temple that would not be an obvious excrescence, or cut a scene from a Greek play without making it unintelligible ?”.
            Secara cultural, struktur bahasa Yunani juga tampak adanya rasionalitas tertentu, seperti dalam mengekspresikan pikiran pikiran dengan seksama dan jelas, serta dalam mengungkap pikiran-pikiran abstrak. Hal ini ditandai dengan adanya kata sandang dapat mensubstantifkan kata sifat dan kata kerja. Dengan demikian bangsa Yunani dapat berbicara tentang “yang baik” (Yunani: to agathon), “hal mengenal” (Yunani: to noein), dan “yang ada” (Yunani: to on) (Bertens, 1987: 23).
2.1.5. Corak Filsafat Bangsa Yunani
            Jika dilihat kebelakang corak filsafat bangsa Yunani, maka sudah barang tentu bukan melihat keruntuhan Yunani yang telah lama ditinggalkan. Di sini yang akan ditinjau dan dipahami serta yang dihadapi adalah unsur-unsur yang sebagian besar menjadi fondasi bangunan untuk kultur modern bahkan sampai era kontemporer ini. Contohnya adalah jika dirunut jalan pikiran yang logis, maka mau tak mau adalah meneruskan tradisi yang diwarisi dari orang Yunani. Oleh sebab itu dengan tidak disadarinya bahwa perkembangan sekarang ini berasal dari kebudayaan Yunani atau setidak tidaknya orang Yunani memberikan landasannya.
            Untuk seorang filsuf atau ahli di bidang filsafat, sudah tentu banyak alasan untuk menaruh perhatian kepada filsafat Yunani. Ditinjau secara kronologis adanya filsafat (filsafat Barat) seluruhnya, maka era filsafat purba jaman Yunani mempunyai kedudukan istimewa, sebab di Yunani ditemui munculnya filsafat itu sendiri. Jadi mempelajari filsafat Yunani artinya menyaksikan kelahiran filsafat itu sendiri, sehingga tidak ada pemahaman filsafat yang lebih ideal kecuali studi tentang pertumbuhan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Hal ini pernah dikatakan oleh Alfred Whitehead seorang filsuf modern mengenai Plato sebagai berikut: All Western philosophy is but a series of footnes to Plato”. Bila dilihat secara harafiah tampaknya kata kata ini sangat melebih lebihkan pada diri Plato, namun sebenarnya tidak, sebab pada Plato dan umumnya dalam seluruh filsafat Yunani tetap berjumpa dengan problem problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai masa kini.  Tema-tema filsafat Yunani, seperti “ada”, “menjadi”, “substansi”, “ruang”, “waktu”, “kebenaran”, “jiwa”, “pengenalan”, dan “Tuhan” merupakan tema-tema pula bagi filsafat secara umum.Begitu pula para filsuf Yunani satu kali untuk selamanya menjuruskan pemikiran filsafat selanjutnya, sehingga filsafat sekarang masih tetap bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan yang untuk pertama kalinya dikemukakan dalam kalangan mereka.
            Bicara tentang filsafat ciptaan Yunani tampaknya tidak boleh menghindar bahwa sebenarnya mengalami banyak kesulitan. Banyak orang mengatakan bahwa pembicaraan periode filsafat purba Yunani ini adalah “The early Greek period is more a field for fancy than for fact”. Jadi kesulitan kesulitannya berasal dari keadaan sumber, karena pikiran dari para filsufnya di mana disimpan untuk bisa ditemukan dan dipelajarinya. Di samping itu, ada juga beberapa filsuf Yunani yang tidak pernah menulis satu barispun, misalnya Thales, Pythagoras, dan Sokrates. Sehingga untuk mengetahui jalan pikiran mereka terpaksa harus percaya dari kesaksian orang lain yang berbicara tentang ajaran mereka, seperti percaya pada tulisan dan pembicaraan para murid ataupun teman sejawatnya. Selain itu, ada filsuf filsuf yang meskipun menulis satu karangan atau lebih, namun tulisan itu sudah hilang entah di mana, sehingga harus merasa puas dengan beberapa fragmen yang telah dikutip oleh para pengarang lain dengan kesaksian isi ajaran mereka. Disinilah problem muncul, yaitu kesaksian bagaimana yang harus dipercaya tentang pikiran filsuf dimaksud. Problem tentang sumber atau refrensi terutama muncul apabila yang dibicarakan adalah para filsuf yang mendahului Sokrates dan karenanya filsufnya pun lalu dijuluki “filsuf filsuf pra-Sokratik”.
2.2.. Filsafat Hasil Pikiran Para Filsuf Miletos
Pada sekitar tahun 850 s. M hidup seorang penyair terkenal di Ionia dengan kotanya dinamakan Miletos, yaitu Homeros, setelahnya juga hidup di sana adalah ketiga filsuf pertama, yaitu Thales, Anaximandros, dan Anaximenes. Karena pikiran pikirannya dicetuskan di kota Miletos, maka ketiga filsuf tersebut lalu dijuluki filsuf Miletos.
Pada awal abad ke-6 s. M di Miletos bukan merupakan kebetulan untuk tempat lahir filsafat (Filsafat Barat) yang pertama, sehingga kota Miletos menjadi kota terpenting di antara dua belas kota yang ada di Ionia. Miletos sebagai kota tempat lahirnya filsafat (filsafat Barat), konon ceritanya juga tempat lahirnya tujuh orang bijaksana. Ketujuh orang bijaksana dimaksud memang tidak banyak yang diketahui siapa saja namanya, meskipun waktunya diketahui yaitu kira kira abad ke-6 s. M. Dalam berita berita yang didengar banyak orang pada waktu itu, namun tentang nama namanya pun berganti ganti dan berbeda beda. Meskipun banyak orang mengatakan berbeda beda, tetapi nama Thales dari Miletos tetap disebut sebut, sehingga ia tetap diingat sebagai salah satu dari ketujuh orang bijaksana dimaksud. Hanya saja tentang Thales banyak dongeng yang beredar dan kurang dapat dipercaya. Tentang fakta dan data Thales semasa hidupnya, dapat diketahui dari tokoh sejarawan Herodotos yang hidup kira kira abad ke-5 s. M, namun Thales tidak disebutnya dengan nama “filsuf” dan tidak menceritakannya bahwa ia sebagai filsuf . Baru kemudian Aristoteles seorang filsuf yang hidup sekitar abad ke-4 s. M mengatakan secara tegas dan mengenakan gelar kepada Thales “filsuf yang pertama”.
            Pribadi Thales khususnya tentang tanggal lahir dan tanggal kematiannya tidak diketahui, begitu juga para filsuf sejamannya. Untuk mengetahui perkiraan tahun kelahiran Thales yaitu, bahwa ia berjasa besar dengan satu kali keberhasilannya meramalkan  gerhana matahari. Dan para ahli astronomi modern mengatakan bahwa gerhana matahari peristiwanya terjadi pada tanggal 28 Mei 585 sebelum Masehi. Hal ini bukan berarti bahwa Thales meramalkannya tepat pada hari dan tanggal itu, melainkan ia meramalkannya satu tahun sebelumnya, yaitu dengan mengatakan “satu tahun kemudian gerhana matahari akan terjadi”. Kenyataan ini dimungkinkan karena Thales mempunyai pengalaman pengalaman tentang ilmu astronomi dari Babylonia. Oleh sebab itu diperkirakan bahwa Thales hidup disekitar abad ke-6 s. M.
            Satu hal yang perlu diingat, bila Thales tidak pernah menulis pikiran pikirannya atau tentang karyanya pun hampir tidak ada kesaksiannya. Oleh sebab itu, satu satunya sumber yang bisa dipercaya yaitu dari karya Aristoteles, meskipun ia memperoleh informasi hanya tradisi lisan saja. Salah satu contoh yaitu dalam traktat Aristoteles tentang “metafisika” yang mengatakan bahwa “Thales termasuk filsuf yang mencari arkhe (asas atau prinsip) alam semesta”, dan Thales adalah yang pertama di antara sesama filsuf se angkatannya. Thales mengatakan bahwa asas atau prinsip pertama alam semesta adalah air, dan semuanya berasal dari air yang akan kembali lagi menjadi air. Alasannya yaitu, karena air mempunyai pelbagai bentuk, seperti cair, padat, dan uap. Dugaan seperti itu juga karena menurut Thales bahwa bahan makanan semua makhluk memuat zat lembab, demikian juga dengan benih dari semua mkhluk hidup.
            Inilah perkenalan pertama dengan pemikiran filosofis dari fisuf pertama, meskipun tampaknya agak mengecewakan, karena belum secara eksplisit tentang pandangannya. Namun yang terpenting di sini dapat disaksikan percobaan pertama meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana dalam menghadapi alam jagat raya secara rasional. Dan inilah yang muncul kali pertama pikiran bahwa alam semesta secara fundamental bersifat satu, sehingga bisa diterangkan dengan menunjuk satu prinsip saja, yaitu air.
            Pendapat lain tentang prinsip pertama atau dalam istilah Yunani adalah arkhe alam semesta, dikemukakan oleh seorang filsuf lain, yaitu Anaximandros. Anaximandros sebenarnya murid Thales, maka hidupnya pun antara tahun 610 s/d. 540 s. M. Menurut tradisi Yunani, Anaximandros mempunyai jasa dalam bidang astronomi dan bidang georafi, dengan bukti bahwa ia yang telah membuat peta bumi yang pertama di Yunani. Ia juga yang memimpin ekspedisi dari Miletos menuju Apollonia di pantai Laut Hitam, dan mendirikan kota perantauan di sana. Di Miletos pun ia dihormati, yaitu didirikannya patung Anaximandros di kota itu.
            Anaximandros dalam mencari prinsip pertama atau juga bisa disebut prinsip terakhir dari alam semesta tidak mengambil salah satu anasir yang bisa diamati dengan pancaindra seperti pendapat Thales. Pemikiran Anaximandros lebih mendalam, sebab menurutnya adalah berupa hal “yang tidak terbatas”, yang dalam bahasa Yunani disebut to apeiron (dari kata peras artinya batas). Apeiron itu bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan, dan meliputi segala-galanya.
            Menurut kesaksian Aristoteles, mengapa Anaximandros menunjuk apeiron sebagai prinsip yang fundamental, karena apabila seandainya prinsip itu  hanya salah satu anasir seperti pendapat gurunya yaitu Thales, yang mengatakan air itu meresapi segala galanya dan air itu tak terhingga, namun bila demikian maka tidak ada tempat lagi untuk anasir yang berlawanan dengannya. Sebab air sebagai anasir basah akan mengeksklusifkan api yang merupakan anasir kering. Inilah alasan Anaximandros, sehingga ia tidak puas hanya dengan menunjuk salah satu anasir saja sebagai prinsip fundamental dari alam semesta. Anaximandros mencari sesuatu yang lebih mendalam dan yang tidak bisa diamati oleh pancaindera.
            Anaximandros mengatakan bahwa dunia timbul dari yang tak terbatas karena suatu penceraian (Yunani: ekkrisis). Prosesnya yaitu dilepaskan dari apeiron itu unsur unsur yang berlawanan (Yunani: ta enantia) berupa unsure panas dan unsure dingin, unsure kering dan unsure basah. Unsur-unsur itu selalu berparang antara yang satu dengan yang lain. Misalnya musim panas selalu mengalahkan musim dingin dan dsebaliknya, tapi bilamana satu unsure menjadi dominant, maka karena keadaan ini dirasakan tidak adil (adikia), maka keseimbangan neraca harus dipulihkan kembali. Jadi sebenarnya ada satu hokum yang menguasai unsure unsure dunia, dan hokum itu disebut keadilan (Yunani: dike). Perceraian tadi mengakibatkan adanya putting beliung yang memisahkan yang dingin dari yang panas, sedang yang panas kemudian membalut yang dingin. Gerak putting beliung yang demikian itu mengakibatkan terjadinya suatu bola raksasa, dengan yang dingin berada di tengah-tengah yang panas. Oleh karena panas, maka air lepas dari tanah dan menjadi kabut. Dan akhirnya udara menekan bola sedemikian rupa hingga meletus menjadi sejumlah lingkaran yang berpusat satu. Setiap lingkaran terdiri dari api yang dibalut oleh udara, dan tiap lingkaran memiliki satu lobang, sehingga menjadikan api di dalamnya tampak sebagai bintang-bintang, bulan, dan matahari. Anaximandros mengatakan bahwa bumi berbentuk selinder, yang terletak persis di pusat jagat raya(Harun Hadiwijono, 1988: 17). Jadi bumi bukan di atas air seperti pendapat Thales.
            Filsuf lain yang mencari prinsip fundamental atau yang disebut arkhe dari alam semesta adalah Anaximenes. Tentang tanggal kelahiran Anaximenes tidak diketahui secara pasti, namun yang jelas bahwa ia lebih muda dari Anaximandros. Anaximenes tidak menerima pandangan dari Anaximandros, karena menurutnya bagaimana mungkin hal yang tak terbatas (to apeiron) dapat menjadi asas yang pertama seluruh alam semesta dengan segala isinya.
            Anaximenes mengatakan bahwa prinsip pertama yang merupakan asal usul alam semesta beserta isinya adalah udara. Hal ini dengan dasar bahwa seperti jiwa menjamin kesatuan tubuh makluk hidup, terutama manusia, demikian pula udara melingkupi segala galanya. Jiwa sendiri menurut Anaximenes juga udara yang dipupuk dengan bernafas. Dan Anaximeneslah seorang filsuf pertama yang mengemukakan persamaan antara manusia dengan alam semesta, yang dalam istilah modern disebut sebagai mikrokosmos dan makrokosmos. Tema ini yang sering muncul kembali dalam sejarah filsafat Yunani, yang dengan menyebutkan tubuh adalah mikrokosmos (dunia kecil) yang seakan akan mencerminkan jagat raya yang merupakan makrokosmos (dunia besar). Tetapi perlu digaris bawahi bahwa Anaximenes sendiri belum mempergunakan istilah itu ( Bertens, 1987: 31).
            Anaximenes berpendapat bila udara melahirkan semua benda dalam alam semesta, karena suatu proses pemadatan dan pengenceran (Inggris: condensation dan rarefaction). Adapun prosesnya, yaitu jika udara semakin bertambah kepadatannya, maka muncullah berturut-turut angin, air, tanah, dan terakir batu. Tetapi sebaliknya, jika udara itu menjadi semakin lebih encer, maka yang timbul ialah api. Demikianlah dari udara atau hawa terjadi anasir anasir yang membentuk jagat raya dengan segala isinya (Harun Hadiwijono, 1988: 18).
            Hasil pemikiran para filsuf pertama kiranya dapat disimpulkan dalam tiga ucapan yaitu:
Pertama, Alam semesta merupakan keseluruhan yang bersatu, akibatnya maka harus diterangkan dengan menggunakan satu prinsip saja, meskipun dalam memilih satu prinsip zat asali itu antara filsuf yang satu dengan filsuf lain berbeda dalam mengartikan kesatuan dunia.
Kedua, Alam semesta dikuasai oleh suatu hokum. Oleh sebab itu, kejadian kejadian dalam alam semesta tidak merupakan kebetulan, melainkan ada semacam keharusan di belakang kejadian kejadiannya.
Ketiga, Sebagai akibatnya, maka alam semesta merupakan kosmos. Kata kosmos adalah istilah dari Yunani, maka boleh diterjemahkan  sebagai “dunia”, namun akan lebih tepat lagi apabila diterjemahkan “dunia yang teratur”. Jadi bagi orang Yunani, kosmos bertentangan dengan khaos artinya dunia dalam keadaan kacau balau (Bertens, 1987: 33).
2.3. Pythagoras dan Tarekat Pythagorean
            Pada tahun 494 s. M. di kota Miletos terjadi peristiwa penyerangan oleh bangsa Parsi, dan pada saat itu musnahlah kota Miletos. Oleh sebab itu dalam sejarah para filsuf selanjutnya nama kota Miletos hampir tidak kedengaran lagi, namun pemikiran filosofis dari salah satu kota di Yunani itu tidak musnah, dan berkembang terus di daerah daerah Yunani lainnya.
            Filsuf dari daerah wilayah Ionia berikutnya adalah Pyrhagoras. Ia lahir di pulau Samos yang termasuk Ionia, namun tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Para pengikut dan yang melanjutkan ajaran dari Pythagoras, kemudian disebutnya dengan aliran Pythagorean. Sedangkan ajaran Pythagoras yang bersifat religius, bukan politik, sebagaimana pernah diperkirakan disebutnya Tarekat, sehingga para pengikutnya pun disebutnya “Tarekat Pythagorean”.
            Semasa hidupnya Pythagoras tidak pernah menulis apapun, sebab ajarannya diberikan secara lisan dan sembunyi sembunyi. Baru kira kira pertengahan abad ke-5 s. M. terdengar pemberitaan tentang ajarannya. Ajaran Pythagoras ada dua hal yang pengaruhnya sangat besar hingga masa kini yaitu: Pertama, berupa ajaran tentang kepercayaan bahwa jiwa tidak dapat mati. Kedua, ajaran tentang usaha mempelajari ilmu pasti.
            Ajarannya tentang jiwa yang tidak dapat mati, ia katakan bahwa karena hukumanlah maka jiwa dibelenggu di dalam tubuh manusia, sehingga setelah manusia mati, jiwanya akan mendapat kebahagiaan. Tetapi barang siapa tidak mencucikan diri atau pencuciannya kurang, jiwanya akan pindah ke kehidupan lain, sesuai dengan keadaannya. Perpindahan jiwa yang belum bersih itu dapat ke binatang, tumbuh tumbuhan, atau ke tubuh manusia lagi. Sebagai bukti perpindahan jiwa, yaitu dalam empat baris sajaknya diceriterakan bahwa satu kali Pythagoras mendengar seekor anjing mendengking karena dipukul, dan ia meminta pukulan itu dihentikan, sebab katanya dalam dengkingannya ia mengenal lagi suara seorang sahabat yang telah meninggal. Adapun penyucian diri itu dilakukan dengan menghindari makanan yang jadi pantangan, seperti daging dan kacang-kacangan (Harun Hadiwijono, 1988: 20). Mentaati peraturan tersebut adalah unsur penting dalam kehidupan kaum Pythagorean, dan mereka juga mempraktekan filsafat sebagai jalan menuju ke penyucian.
2.3. Agama Hindu
Dalam bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata ''Sindhu'' (Bahasa Sanskerta). name=Hindu [http://www.vishnumandir.com/htm/meaning.htm "Meaning of Hindu"] Dalam Regweda/Reg Weda, (bangsa Arya) menyebut wilayah mereka sebagai ''Sapta Sindhu'' (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya (anak benua India), yang salah satu sungai tersebut bernama (sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata ''Hapta-Hendu'' yang termuat dalam (Zend Avesta) (''Vendidad: Fargard'' 1.18) sastra suci dari kaum (Zoroaster) di (Iran). Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda dilengkapi oleh para Brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncu,l semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda.
2.3.1. Keyakinan Dalam Hindu
Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun realitanya tidaklah demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Bagi umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran (filsafat Hindu), (Adwaita/ Adwaita Wedanta) menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk (Bhaskarananda, Swami, ’’’The Essentials of Hinduism’’’,  1994: 25)
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Sradha, yakni Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
a.      '''[[Brahman|Widhi Tattwa]]''' - percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
b.      '''[[Atman|Atma Tattwa]]''' - percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk adalah kekal dan abadi
c.       '''[[Karmaphala|Karmaphala Tattwa]]''' - percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
d.      '''[[Samsara|Punarbhava Tattwa]]''' - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
e.      '''[[Moksa|Moksa Tattwa]]''' - percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia
2.3.2. Punarbhawa
Punarbhawa merupakan keyakinan bahwa manusia mengalami reinkarnasi. Dalam ajaran Punarbhawa, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya (baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati. Proses reinkarnasi diakhiri apabila seseorang mencapai kesadaran tertinggi, yakni moksa (Bowes, Pratima,''"The Hindu Religious Tradition: A Philosophical Approach’’’, 1976: 103)
2.3.3. Reinkarnasi dalam Hinduisme
Dalam filsafat [[agama Hindu]], reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Pada saat manusia hidup, mereka banyak melakukan perbuatan dan selalu membuahkan hasil yang setimpal. Jika manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya yang belum sempat dinikmati. Selain diberi kesempatan menikmati, manusia juga diberi kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya (kualitas). Jadi, lahir kembali berarti lahir untuk menanggung hasil perbuatan yang sudah dilakukan. Dalam filsafat ini, bisa dikatakan bahwa manusia dapat menentukan baik-buruk nasib yang ditanggungnya pada kehidupan yang selanjutnya. Ajaran ini juga memberi optimisme kepada manusia. Bahwa semua perbuatannya akan mendatangkan hasil, yang akan dinikmatinya sendiri, bukan orang lain (Bhaskarananda, Swami, ''"The Essentials of Hinduism"'', 1994: 58)
Menurut Hinduisme, yang bisa berinkarnasi itu bukanlah hanya jiwa manusia saja. Semua jiwa mahluk hidup memiliki kesempatan untuk berinkarnasi dengan tujuan menikmati hasil perbuatannya di masa lalu dan memperbaiki kulaitas hidupnya. Dalam kehidupan di dunia, manusia menempati strata yang paling tinggi sehingga reinkarnasi yang tertinggi adalah hidup sebagai manusia, bahkan dewa atau malaikat yang ingin sempurna hidupnya, harus turun ke dunia untuk menyempurnakan ''atman/jiwatman''-nya sehingga mencapai moksa, bersatu dengan Brahman. Makhluk hidup selain manusia memiliki ''jiwatman'' yang sama. ''Jiwatman'' memiliki memori untuk mencatat dan mengenang peristiwa yang dilakukan atau dialami dalam kehidupan sewaktu masih bersatu dengan raga. Memori tersebut menghasilkan kemelekatan terdadap dunia yang terus dibawa walaupun terjadi kematian yang menyebabkan ''jiwatman'' berpisah dengan badan. Suatu saat jiwatman tersebut akan mencari raga baru yang sesuai dengan kemelekatannya pada konsepsi (janin) yang siap dimasuki roh (atman). Bila manusia mampu meniadakan kemelekatannya terhadap kehidupan dunia, maka ia akan mencapai moksa dan bersatu dengan Brahman.
2.3.4. Proses Reinkarnasi
Pada saat jiwa lahir kembali, roh yang utama kekal namun raga kasarlah yang rusak, sehingga roh harus berpindah ke badan yang baru untuk menikmati hasil perbuatannya. Pada saat memasuki badan yang baru, roh yang utama membawa hasil perbuatan dari kehidupannya yang terdahulu, yang mengakibatkan baik-buruk nasibnya kelak. Roh dan jiwa yang lahir kembali tidak akan mengingat kehidupannya yang terdahulu agar tidak mengenang duka yang bertumpuk-tumpuk di kehidupan lampau. Sebelum mereka bereinkarnasi, biasanya jiwa pergi ke surga atau ke neraka.
Dalam filsafat agama yang menganut faham reinkarnasi, neraka dan sorga adalah suatu tempat persinggahan sementara sebelum jiwa memasuki badan yang baru. Neraka merupakan suatu pengadilan agar jiwa lahir kembali ke badan yang sesuai dengan hasil perbuatannya dahulu. Dalam hal ini, manusia bisa bereinkarnasi menjadi makhluk berderajat rendah seperti hewan, dan sebaliknya hewan mampu bereinkarnasi menjadi manusia setelah mengalami kehidupan sebagai hewan selama ratusan, bahkan ribuan tahun.
2.3.5. Akhir Proses Reinkarnasi
Selama jiwa masih terikat pada hasil perbuatannya yang terdahulu, maka ia tidak akan mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yakni lepas dari siklus reinkarnasi. Maka, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi tersebut, roh yang utama melalui badan kasarnya berusaha melepaskan diri dari belenggu duniawi dan harus mengerti hakikat kehidupan yang sebenarnya. Jika tubuh terlepas dari belenggu duniawi dan jiwa sudah mengerti makna hidup yang sesungguhnya, maka perasaan tidak akan pernah duka dan jiwa akan lepas dari siklus kelahiran kembali. Dalam keadaan tersebut, jiwa menyatu dengan Tuhan, Moksha "Kebahagiaan Abadi" (Istilah Agama Hindu untuk akhir proses reinkarnasi).
III
Pemahaman Filosofis
            Bertolak dari landasan pemahaman, baik penelusuran filsafat Barat, khususnya filsafat Yunani Kuno, maupun ajaran agama Hindu yang dipahami secara filosofis, terutama tentang ajaran reinkarnasi, bila dikaji dengan teori komparasi fenomenologis oleh Edmund Husserl yang mengatakan bahwa essensi itu merupakan suatu kerangka abstrak, yang bersifat mutlak, tidak terubahkan, dan abadi (Anton Bakker, 1992: 54). Hal senada Edmund Husserl mengatakan the object, or the world is for Husserl nothing other, and nothing more, than a ”pole of unity” within experience and of experience (Madison, 1988: 11). Yakni, obyek, realitas, atau dunia adalah untuk apa saja Husserl lainnya, dan tidak lebih, dari "pola kesatuan" dalam pengalaman dan pengalaman.
                Dengan demikian filsafat Barat khususnya dalam hal ini filsaf Yunani Kuno, bila diperhatikan dan dipelajari secara saksama, maka sedikit atau banyak dapat dipakai untuk memahami dan menghayati sebagian dari ajaran agama Hindu. Dikatakan sebagaian, karena menurut pemahaman penulis yang ada kemiripannya adalah ajaran tentang jiwa yang tidak dapat mati. Ajaran tentang jiwa yang tidak dapat mati atau dalam istilah lain jiwa adalah kekal, yakni ajaran dari Pyrhagoras dan para pengikutnya. Sedangkan dalam agama Hindu yang ajarannya menyebutkan bahwa jiwa kekal adanya, adalah salah satu ajaran dari lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha, yakni ajaran tentang percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk adalah kekal dan abadi. Jadi, pada intinya bahwa dengan mempelajari filsafat Barat khususnya filsafat Yunani Kuno, yakni ajaran dari Pyrhagoras dan para pengikutnya, dapat dipakai untuk memahami dan menghayati ajaran agama Hindu terutama ajaran reinkarnasi.
IV
Simpulan
Ajaran tentang jiwa adalah kekal, yakni ajaran dari Pyrhagoras dan para pengikutnya atau ajaran dari aliran Pythagorean.  Sedangkan dalam agama Hindu yang ajarannya menyebutkan bahwa jiwa kekal adanya, adalah salah satu ajaran dari lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha, yakni ajaran tentang percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk adalah kekal dan abadi. Jadi, pada intinya bahwa dengan mempelajari filsafat Barat khususnya filsafat Yunani Kuno, yakni ajaran dari Pyrhagoras dan para pengikutnya, dapat dipakai untuk memahami dan menghayati ajaran agama Hindu terutama ajaran reinkarnasi.
Daftar Pustaka
Anton Bakker, 1992, Ontologi ”Metafisika Umum”, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Basham, A.L., (Ed.), 199, ''"A Cultural History of India"'', Oxford UniveResity Press, ISBN 0-19-563921-9
Bertens, K, 1987, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Bebbington, David, 1979, Patterns in history, , England, Inter-Varsity Press
Bhaskarananda, Swami, 1994, ''"The Essentials of Hinduism"'', Viveka Press, ISBN 1-884852-02-5
Bowes, Pratima, 1976, ''"The Hindu Religious Tradition: A Philosophical Approach"'', Allied Pub.,  ISBN 0-7100-8668-7
Caputo, John D. 1987, Radical Hermeneutics, Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press
Harun Hadiwijono, 1988, Sari Sejarah Fil safat Yunani,Yogyakarta, Penerbit Kanisius
Madison, G. B., 1988,The Hermeneutics of Postmoderity, The United State of America, Indiana University Press
Robert N. Beck, 1967, Perspectives in Social Philosophy, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Sullivan, John Edward, 1970, Prophets of the West, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc
Suparlan Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat, Ruzz Media.Yogyakarta, ArFil.